Filsafat Eksistensialisme dan Pragmatisme
I.
PENDAHULUAN
Pada kira- kira tahun 1890
dimulailah suatu zaman yang baru, yang dalam
banyak hal berbeda dengan zaman yang mendahuluinya,tetapi yang masih ada juga
kesinambungannya. Abad ke 20 masih juga dijiwai oleh pandangan bahwa cara yang paling baik untuk menemukan kebenaran di
bidang filsafat adalah cara yang dengan sadar meninggalkan apa yang telah dapat
disumbangkan oleh para pemikir yang terdahulu di bidang itu. Dengan demikian
sifat individualistis yang telah tampak pada abad ke 19 menjadi berlarut-larut,
sehingga sering sukar sekali untuk mengerti pangkal pemikiran para ahli itu.
Pada umumnya pada bagian pertama
abad ke 20 terdapat bermacam-macam aliran yang berdiri sendiri-sendiri dan yang
terdapat di bermacam-macam Negara.
Masing-masing menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat di
sekitarnya. Pada zaman parohan pertama abad ke 20 ini umpamanya terdapat aliran
pragmatisme di Inggris dan Amerika, filsafat hidup di Prancis dan Jerman,
Fenomonologi dan masih ada lainnya lagi.
Di dalam bab ini kita tidak akan
membicarakan semua aliran yang ada. Kita akan membatasi diri pada beberapa
aliran saja. Umpamanya kita akan membicarakan Pragmatisme yang meragukan
kekuasaan akal dan ilmu pengetahuan positif, filsafat Evolusi, fenomonologi
Edmund Husserl dan filsafat Eksistensialisme.[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apakah
Pragmatisme itu?
B. Bagaimana
Filsafat Evolusi itu?
C. Bagaimana
Fenomonologi Edmund Husserl ?
D. Bagaimana
filsafat Eksistensialisme?
III. PENDAHULUAN
A. Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran
yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai
benar denggan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima
segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis.Pengalaman-pengalaman
pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis itu membawa akibat
praktis yang bermanfaat.
Dalam perkembangannya lebih lanjut pragtisme berjalan dalam taiga
jurusan yang berbeda, artinya: sekalipun semuanya berpangkal dari satu gagasan
asal, namun bermuara dalam kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Tetapi pada
dasarnya ketiganya adalah sama, yaitu: menolak
segala intelektualisme dan absolutisme, serta meremehkan logika formal. Para wakil ketiga jurusan itu
adalah William James dan John Dewey, keduanya dariAmirika Serikat, serta F.C.S.
Schiller dari inggris. Oleh karna Schiller tidak begitu penting, maka hanya
William James dan John Deweylah yang dibicarakan disini.
WILLIAM JAMES lahir di New York
pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di Universitas Havard ia
belajar psikologi di Jerman dan nampaknya juga di Prancis. Kemudian ia memberi
kuliah di Universitas Havard, yaitu
secara berturut-turut: anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat hingga tahun
1907. Pada tahun 1910 ia meninggal dunia. Arti
James yang terpenting terletak di
bidang psikologi. Menurut dia psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan tentang
gejala-gejala, yang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Hanya saja psikologi
memiliki hukum-hukum dan metodenya sendiri.
Sebelum James, orang berpendapat
bahwa kesadaran adalah “sesuatu” semacam bahan asli atau kualitas “yang ada”
yang keadaannya berbeda sekali dengan bahan daripadanya objek-objek bendani
dibuat. Pandanagan demikian ditentang oleh James. Menurut dia Kesadaran adalah sebutan bagi sesuatu yang
tidak mewujudkan sesuatu kesatuan lahiriah. Sebab kesadaran adalah suatu
fungsi, didalamnya arus gejala-gejala berlangsung terus tiada hentinya. Oleh
karna itu kesadaran tidak boleh diberi tempat diantara asas-asas pertama, dan
kita tidak boleh melengket kepada kesadaran itu. Satu-satunya bahan asli atau materi, yang
daripadanya segala sesuatu didalam dunia ini dibuat, adalah “pengalaman murni”.
Yang dimaksud pengalaman murni ialah perubahan-perubahan langsung yang
terus-menerus dari hidup ini, yang melengkapi bahan-bahan yang diperlukan bagi
pemikiran kembali atau refleksi kita dikemudian hari.[2]
Menurut James, akal dengan segala
perbuatannya ditaklukkan oleh PERBUATAN. Akal dan segala sesuatunya itu hanya
berfungsi sebagai pemberi informasi bagi praktek hidup dan sebagai pembuka
jalan baru bagi pembuatan-pembuatan kita. Segera akal telah memberi informasi
serta telah membuka jalan baru bagi perbuatan kita, kita mendapatkan suatu
keyakinan sementara, yang disebut “kepercayaan” yang merupakan persiapan
langsung yang kita perlukan bagi perbuatan. Demikianlah akal ditaklukkan pada
perbuatan.
Menurut James, Dunia tidak dapat
diterangkan dengan berpangkal dari satu asas saja. Kenyataan terdiri dari
banyak kawasan yang berdiri sendiri-sendiri.
Suatu hipotese yang diterima sebagai pemecahan sementara ialah bahwa
dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam.
Dunia adalah suatu tempat pementasan kekuatan-kekuatan yang saling
bertentangan.[3]
Orang yang sekalipun bekerja lepas
dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan
dengan gagasan James, adalah JOHN DEWEY. Ia dilahirkan di Burlington tahun
1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi guru besar di
bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada
Universitas-universitas di Minnesota,Michigan,Chicago (1894-1904), dan akhirnya
di Universitas Columbia (1904-1929).
Ia adalah seorang pragmatis,tetapi
ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Menurut dia,
tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam
kenyataan hidup. Oleh karna itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman (experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu
secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system
norma-norma dan nilai-nilai.
Seperti yang telah dikemukakan,
menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan
bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera
kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia
sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar
atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal
pengetahuan, yang mengandung didalamnya pemisahan antara subjek dan objek,
pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu
keduannya bukan dipisahkan, tapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak
dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai
suatu hal yang penting dan berarti. Jikalau terjadi pemisahan diantara subjek
dan objek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman
tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.[4]
B. Filsafat
Evolusi
Pada abad ke 19 dan awal abad ke 20
ilmu penetahuan dan tehnik berkembang sengat cepat, yang mengakibatkan
perkembangan industrialism yang cepat juga. Hal ini menjadikan segala pemikiran
orang di arahkan kepada hal-hal yang
bendani saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala
sesuatu dianalisa, dibongkar dan ditafsirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu
yang menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya
maupun manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang
masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut
hukum yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikian juga halnya
dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Kerjanya
disebabkan karna akibat proses-proses bendani yang berjalan karna kehausan,
seperti umpamanya: ginjal harus mengeluarkan air kencing, jantung harus memompa
darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap
pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang salah seorang
penganutnya adalah Henri Bergson (1859-1941), seorang yang berdarah campuran
Prancis dan Yahudi, semula ia belajar matematika dan fisika. Tapi justru karna
kecakapannya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan dengan
persoalan-persoalan metafisik yang tersembunyi dibelakang tiap ilmu
pengetahuan. Hal ini meneyebabkan dia berpaling ke filsafat.[5]
Semula Bregson mengagumi Spencer,
tetapi makin ia mendalami ajaran spencer makin ragu-ragu ia terhadap kebenaran
ajaran yang mengemukakan, bahwa hidup berasal dari benda atau materi yang tanpa
hidup.
Menurut Bergson, Hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah
ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau menentangan
materi (y.i. sesuatu yang lamban yang menentang gerak, yang oleh akal dipandang
sebagi materi atau benda ). Jikalau perkembangan hidup itu digambarkan sebagai
gerak keatas, maka materi adalah gerak kebawah, yang menahan gerak keatas itu.
Dalam perkembangannya sebagai gerak keatas hidup menjumpai gerak ke bawah itu.
Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju ke banyak
jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedang bagian lain tetap
memiliki kecakapannya untuk berbuat secara bebas dengan terus berjuang keluar
dari genggaman materi. Bragson yakin akan adanya evolosi, tetapi tidak seperti
yang diajarkan Darwin, yang menggambaran evolusi sebagai perkembangan segaris,
yang satu sesudah yang lain, dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson
evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi segala
kesadaran, segal hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya itu terus
menciptakan bentuk-bentuk yang baru dan menghasilkan kekayaan yang baru.
Evolusi ini tidak terikat kepada keharusan seperti keharusan yang tersirat
didalam hukum sebab akibat yang mekanis. Evolusi, demikian Bergson, bukan
bergerak ke satu arah dibawah dorongan suatu semangat hidup yang bersifat umum,
tetapi evolusi berkembang kearah yang bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan
perkembangan itu kandas dalam bentuk-bentuk kesadaran; pada binatang
perkembanagn itu berhenti dalam naluri, sedang pada manusia perkembangan itu
berlangsung pada akal.
Filsafat Bergson disebut sebagai filsafat
hidup, karena Bergson mendasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada
adalah gerak, hidup, berubah terus. Filsafat Bergson merupakan perlawanan
terhadap pandangan pada waktu itu (abad 19 dan permulaan abad 20) yang menaruh
penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap pengetahuan rasional.
Bergson, filsafatnya kembali pada pemikiran
Metafisis dan anti rasionalis, dan menciptakan filsafat intuisi. Fungsi intuisi
ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan dapat mengenali
seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi maupun dari
seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa
murni”. Intuisi
yang dimaksudkan Bergson, lain dari perasaan perseorangan atau sentimen.
Baginya filosof bukanlah seorang sentimentalis, bukanlah orang perasaan,
melainkan seorang ahli pikir yang intuitif.[6]
C. Fenomonologi
Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938)
adalah pelopor filsafat fenomenologi yang sangat berpengaruh. Fenomenologi
adalah suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam usahanya
memahami suatu kenyataan. Bahwa dalam menghadapi suatu kenyataan kita menjumpai
gejala-gejala (fenomena) yang belum tentu bahwa pengertian kita tentang sesuatu
itu betul sama sekali.
Dari analisis filsafat dan sejarah
kebudayaan kita mengetahui budaya barat disusun dengan menggunakan paradigma
tunggal yaitu paradigma sains. (scientific paragidm). Untuk
mengembangkan budaya sains paradigma ini sangat sesuai dan memadai tetapi untuk
mengembangkan budaya dalam bidang seni dan etika paradigma ini tidak memadai.
Paradigma sains hanya memandang dunia dari segi-segi empiriknya saja.
Dunia Barat abad kedua puluh
berbeda sekali dengan abad kesembilan belas. Bukan saja karena semua perubahan
teknis dan ekonomis serta kedua perang dunia yang menghancurkan banyak negara,
melainkan juga karena gaya hidup, bentuk seni, jenis musik dan cara berpikir
sama sekali berbeda. Sering dikatakan bahwa dalam pemikiran abad kedua puluh,
heterogenitas dan kuantitas aliran-aliran lebih menonjol daripada kualitas
mereka. Jumlah aliran dan perselisihan pendapat memang besar, tetapi di tengah
semua kekacauan masih tetap menonjol beberapa pemikir yang penting.
Adapun usaha untuk mencapai hakekat
segala sesuatu itu dengan jalan reduksi (penyaringan). Husserl mengemukakan
tiga macam reduksi atau penyaringan, yaitu :
1. Reduksi
Fenomenologis
Di dalam reduksi fenomenologis, kita harus melakukan penyaringan
terhadap semua pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan
fenomena yang semurni-murninya. Telah dikemukakan, bahwa barang-barang yang
nampak kepada kita, yang lebih kita pentingkan ialah apa yang menampakkan diri
yang segera kita anggap sebagai realitas di luar kita. Fenomena atau gejala
yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima
begitu saja. Keputusan itu harus ditangguhkan terlebih dahulu atau ditempatkan
di antara tanda kurung dahulu. Sesudah itu harus memandang atau menilik apa yang
kita alam di alam kesadaran kita. Kalau tindakan ini berhasil kita akan
menemukan phenomenon atau gejala yang sebenarnya kita dengan demikian mengenal
gejala dalam dirinya sendiri.
2.
Reduksi Eidetis
Yaitu penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang
bukan eidos (intisari/hakekat gejala/fenomena). Kita melihat hakekat sesuatu.
Inilah pengertian yang sejati.
3.
Reduksi Transendental
Dalam reduksi transendental yang harus ditempatkan di antara tanda
kurung ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik
dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa
yang ada pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode fenomenologi itu
diterapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran
yang murni.[7]
D.
Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal
pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Kata
eksistensi berasal dari kata ex (keluar) dan sistensi (berdiri,
menempatkan). Jadi, eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri
dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya.[8]
Martin Heidegger
(1905) dengan bukunya Sein Und Zeit (1927). Menurutnya, persoalan berada hanya
dapat dijawab melalui ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan
manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metode
fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti berada itu. Satu-satunya
yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan
benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil
tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya.[9]
Keberadaan manusia adalah “berada di dalam dunia”. Maka ia dapat memberi tempat
kepada benda-benda yang di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu
dan dengan manusia-manusia lain dapat bergaul dan berkomunikasi dengan
semuanya.
Menurut
Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, ia dilemparkan ke dalam
keberadaan. Tetapi, walau manusia keberadaannya tidak mengadakan sendiri,
bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab
atas keberadaannya itu. Di dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak
yang sebenarnya. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya itu
menghadapi hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak menyatukan hidupnya
sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara
bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang sebenarnya.[10]
Jean Paul Sartre (1905),
cukup lama ia menjadi pemikir paling populer di Eropa. Eksistensialisme-nya
menjadi suatu gaya hidup. Bersama teman-temannya Sartre menerbitkan majalah Les
Temps Modernes (Jaman Modern) yang menjadi corong bicara filsafat
eksistensialistis, dan sekaligus dari suatu orientasi politik dan cultural.[11]
Dialah
yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam
mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren Aabye
Kierkegaard. Ia mengajarkan bahwa yang ada ialah “akal individual”. Ia telah
memperkenalkan istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat
abad ke-20. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah
yang menjadi intisari filsafat yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensinya.
Bagi
Sartre, segala berada secara ini, “segala berada” dalam diri (I’efre en soi)
adalah memuakkan (nauseant). Benda-bend yang berada demikian, kalau kita
tidak memberikan arti apa-apa, dalam keadaannya sendiri, nampak memuakkan. Adapun
yang termasuk “berada untuk dirinya sendiri” (I’efre pour soi) adalah berada
yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai
hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada. Eksistensi
walaupun kebebasan, namun tergantung juga kepada hal yang lain. Sebab sekali
kita bebas di dalam pemilihan, kita terikat pada pemilihan itu, serta harus
berbuat serta memikul akibat perbuatan itu. Maka tidak ada kebebasan yang
mutlak. Kita bebas, tetapi justru itulah kecemasan kita.
Gabriel Marcel (1889-1973).
Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam
filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi
bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat
otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar
ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya. Manusia
bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia
selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam
hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan
manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan
manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak
berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada
kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya
cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian.
Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak
dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan,
bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi
puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi
Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia. [12]
IV. KESIMPULAN
Filsafat
abad 20 disebut filsafat dewasa ini (contemporary) dengan ciri-ciri
bahwa rasio yang ada pada masa-masa sebelum masa itu dianggap sebagai potensi
kebenaran, mulai ditinggalkan. Dan oleh karena itu orang mengalihkan
pandangannya ke potensi-potensi yang bukan rasio, misalnya ke intuisi.
Pada
abad ini muncul beberapa aliran filsafat, pragmatisme yang memberikan penilaian
sesuatu pada nilai kontannya. Fenomenologi, suatu filsafat yang menggunakan
suatu metode fenomenologi dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Filsafat
hidup yang berdasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak,
hidup, berubah terus. Eksistensialisme yang memandang segala gejala kehidupan
dengan berpangkal pada eksistensi.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami
semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan
pemakalah pada khususnya. Amin.
[1] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.130.
[2] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.131.
[3] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah
Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.132-133
[4] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.134
[5] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.135-136
[6] Harry Hamersma,Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,(Jakarta:PT.Gramedia,1992),hlm.102.
[7] Sudarsono,Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar,(Jakarta:PT Rineka Cipta,1993),hlm.340.
[8] Ahmad tafsir,Filsafat Umum,(Bandung:PT Remaja
Rosdakarya,1990),hlm.191
[9] Ahmad Syadzali,Filsafat Umum,(Bandung:CV Pustaka Setia,1997),hlm.128
[10] Chairil Basori,Filsafat,(Semarang:IAIN
Walisongo,1985),hal.128
[11] Harry Hamersma,Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,(Jakarta:PT
Gramedia,1992),hlm.107
[12] Ahmad Syadzali,Filsafat Umum,(Bandung:CV
Pustaka Setia,1997),hlm.130-131.