Featured

October 31, 2013

Filsafat Eksistensialisme dan Pragmatisme

 I.      PENDAHULUAN
Pada kira- kira tahun 1890 dimulailah  suatu zaman yang baru, yang dalam banyak hal berbeda dengan zaman yang mendahuluinya,tetapi yang masih ada juga kesinambungannya. Abad ke 20 masih juga dijiwai oleh  pandangan bahwa cara  yang paling baik untuk menemukan kebenaran di bidang filsafat adalah cara yang dengan sadar meninggalkan apa yang telah dapat disumbangkan oleh para pemikir yang terdahulu di bidang itu. Dengan demikian sifat individualistis yang telah tampak pada abad ke 19 menjadi berlarut-larut, sehingga sering sukar sekali untuk mengerti pangkal pemikiran para ahli itu.
Pada umumnya pada bagian pertama abad ke 20 terdapat bermacam-macam aliran yang berdiri sendiri-sendiri dan yang terdapat di bermacam-macam Negara.  Masing-masing menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat di sekitarnya. Pada zaman parohan pertama abad ke 20 ini umpamanya terdapat aliran pragmatisme di Inggris dan Amerika, filsafat hidup di Prancis dan Jerman, Fenomonologi dan masih ada lainnya lagi.
Di dalam bab ini kita tidak akan membicarakan semua aliran yang ada. Kita akan membatasi diri pada beberapa aliran saja. Umpamanya kita akan membicarakan Pragmatisme yang meragukan kekuasaan akal dan ilmu pengetahuan positif, filsafat Evolusi, fenomonologi Edmund Husserl dan filsafat Eksistensialisme.[1]
II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah Pragmatisme itu?
B.     Bagaimana Filsafat Evolusi itu?
C.     Bagaimana Fenomonologi Edmund Husserl ?
D.    Bagaimana filsafat Eksistensialisme?
III.      PENDAHULUAN
A.    Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar denggan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis.Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.
Dalam perkembangannya  lebih lanjut pragtisme berjalan dalam taiga jurusan yang berbeda, artinya: sekalipun semuanya berpangkal dari satu gagasan asal, namun bermuara dalam kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya ketiganya adalah sama, yaitu: menolak  segala intelektualisme dan absolutisme, serta meremehkan  logika formal. Para wakil ketiga jurusan itu adalah William James dan John Dewey, keduanya dariAmirika Serikat, serta F.C.S. Schiller dari inggris. Oleh karna Schiller tidak begitu penting, maka hanya William James dan John Deweylah yang dibicarakan disini.
WILLIAM JAMES lahir di New York pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di Universitas Havard ia belajar psikologi di Jerman dan nampaknya juga di Prancis. Kemudian ia memberi kuliah di  Universitas Havard, yaitu secara berturut-turut: anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat hingga tahun 1907. Pada tahun 1910 ia meninggal dunia. Arti  James  yang terpenting terletak di bidang psikologi. Menurut dia psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan tentang gejala-gejala, yang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Hanya saja psikologi memiliki hukum-hukum dan metodenya sendiri.
Sebelum James, orang berpendapat bahwa kesadaran adalah “sesuatu” semacam bahan asli atau kualitas “yang ada” yang keadaannya berbeda sekali dengan bahan daripadanya objek-objek bendani dibuat. Pandanagan demikian ditentang oleh James. Menurut dia  Kesadaran adalah sebutan bagi sesuatu yang tidak mewujudkan sesuatu kesatuan lahiriah. Sebab kesadaran adalah suatu fungsi, didalamnya arus gejala-gejala berlangsung terus tiada hentinya. Oleh karna itu kesadaran tidak boleh diberi tempat diantara asas-asas pertama, dan kita tidak boleh melengket kepada kesadaran itu.  Satu-satunya bahan asli atau materi, yang daripadanya segala sesuatu didalam dunia ini dibuat, adalah “pengalaman murni”. Yang dimaksud pengalaman murni ialah perubahan-perubahan langsung yang terus-menerus dari hidup ini, yang melengkapi bahan-bahan yang diperlukan bagi pemikiran kembali atau refleksi kita dikemudian hari.[2]
Menurut James, akal dengan segala perbuatannya ditaklukkan oleh PERBUATAN. Akal dan segala sesuatunya itu hanya berfungsi sebagai pemberi informasi bagi praktek hidup dan sebagai pembuka jalan baru bagi pembuatan-pembuatan kita. Segera akal telah memberi informasi serta telah membuka jalan baru bagi perbuatan kita, kita mendapatkan suatu keyakinan sementara, yang disebut “kepercayaan” yang merupakan persiapan langsung yang kita perlukan bagi perbuatan. Demikianlah akal ditaklukkan pada perbuatan.
Menurut James, Dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal dari satu asas saja. Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri-sendiri.  Suatu hipotese yang diterima sebagai pemecahan sementara ialah bahwa dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam. Dunia adalah suatu tempat pementasan kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan.[3]
Orang yang sekalipun bekerja lepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James, adalah JOHN DEWEY. Ia dilahirkan di Burlington tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi guru besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada Universitas-universitas di Minnesota,Michigan,Chicago (1894-1904), dan akhirnya di Universitas Columbia (1904-1929).
Ia adalah seorang pragmatis,tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karna itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai-nilai.
Seperti yang telah dikemukakan, menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung didalamnya pemisahan antara subjek dan objek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu keduannya bukan dipisahkan, tapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya  sebagai suatu hal yang penting dan berarti. Jikalau terjadi pemisahan diantara subjek dan objek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.[4]
     B.     Filsafat Evolusi
Pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 ilmu penetahuan dan tehnik berkembang sengat cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialism yang cepat juga. Hal ini menjadikan segala pemikiran orang di arahkan kepada hal-hal  yang bendani saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala sesuatu dianalisa, dibongkar dan ditafsirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut hukum yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikian juga halnya dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Kerjanya disebabkan karna akibat proses-proses bendani yang berjalan karna kehausan, seperti umpamanya: ginjal harus mengeluarkan air kencing, jantung harus memompa darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang salah seorang penganutnya adalah Henri Bergson (1859-1941), seorang yang berdarah campuran Prancis dan Yahudi, semula ia belajar matematika dan fisika. Tapi justru karna kecakapannya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan dengan persoalan-persoalan metafisik yang tersembunyi dibelakang tiap ilmu pengetahuan. Hal ini meneyebabkan dia berpaling ke filsafat.[5]
Semula Bregson mengagumi Spencer, tetapi makin ia mendalami ajaran spencer makin ragu-ragu ia terhadap kebenaran ajaran yang mengemukakan, bahwa hidup berasal dari benda atau materi yang tanpa hidup.
Menurut Bergson, Hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau menentangan materi (y.i. sesuatu yang lamban yang menentang gerak, yang oleh akal dipandang sebagi materi atau benda ). Jikalau perkembangan hidup itu digambarkan sebagai gerak keatas, maka materi adalah gerak kebawah, yang menahan gerak keatas itu. Dalam perkembangannya sebagai gerak keatas hidup menjumpai gerak ke bawah itu. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju ke banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedang bagian lain tetap memiliki kecakapannya untuk berbuat secara bebas dengan terus berjuang keluar dari genggaman materi. Bragson yakin akan adanya evolosi, tetapi tidak seperti yang diajarkan Darwin, yang menggambaran evolusi sebagai perkembangan segaris, yang satu sesudah yang lain, dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi segala kesadaran, segal hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya itu terus menciptakan bentuk-bentuk yang baru dan menghasilkan kekayaan yang baru. Evolusi ini tidak terikat kepada keharusan seperti keharusan yang tersirat didalam hukum sebab akibat yang mekanis. Evolusi, demikian Bergson, bukan bergerak ke satu arah dibawah dorongan suatu semangat hidup yang bersifat umum, tetapi evolusi berkembang kearah yang bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas dalam bentuk-bentuk kesadaran; pada binatang perkembanagn itu berhenti dalam naluri, sedang pada manusia perkembangan itu berlangsung pada akal.
Filsafat Bergson disebut sebagai filsafat hidup, karena Bergson mendasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak, hidup, berubah terus. Filsafat Bergson merupakan perlawanan terhadap pandangan pada waktu itu (abad 19 dan permulaan abad 20) yang menaruh penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap pengetahuan rasional.
Bergson, filsafatnya kembali pada pemikiran Metafisis dan anti rasionalis, dan menciptakan filsafat intuisi. Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan dapat mengenali seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi maupun dari seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa murni”. Intuisi yang dimaksudkan Bergson, lain dari perasaan perseorangan atau sentimen. Baginya filosof bukanlah seorang sentimentalis, bukanlah orang perasaan, melainkan seorang ahli pikir yang intuitif.[6]
       C.     Fenomonologi Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) adalah pelopor filsafat fenomenologi yang sangat berpengaruh. Fenomenologi adalah suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Bahwa dalam menghadapi suatu kenyataan kita menjumpai gejala-gejala (fenomena) yang belum tentu bahwa pengertian kita tentang sesuatu itu betul sama sekali.
Dari analisis filsafat dan sejarah kebudayaan kita mengetahui budaya barat disusun dengan menggunakan paradigma tunggal yaitu paradigma sains. (scientific paragidm). Untuk mengembangkan budaya sains paradigma ini sangat sesuai dan memadai tetapi untuk mengembangkan budaya dalam bidang seni dan etika paradigma ini tidak memadai. Paradigma sains hanya memandang dunia dari segi-segi empiriknya saja.
Dunia Barat abad kedua puluh berbeda sekali dengan abad kesembilan belas. Bukan saja karena semua perubahan teknis dan ekonomis serta kedua perang dunia yang menghancurkan banyak negara, melainkan juga karena gaya hidup, bentuk seni, jenis musik dan cara berpikir sama sekali berbeda. Sering dikatakan bahwa dalam pemikiran abad kedua puluh, heterogenitas dan kuantitas aliran-aliran lebih menonjol daripada kualitas mereka. Jumlah aliran dan perselisihan pendapat memang besar, tetapi di tengah semua kekacauan masih tetap menonjol beberapa pemikir yang penting.
Adapun usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu itu dengan jalan reduksi (penyaringan). Husserl mengemukakan tiga macam reduksi atau penyaringan, yaitu :
1.      Reduksi Fenomenologis
Di dalam reduksi fenomenologis, kita harus melakukan penyaringan terhadap semua pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang semurni-murninya. Telah dikemukakan, bahwa barang-barang yang nampak kepada kita, yang lebih kita pentingkan ialah apa yang menampakkan diri yang segera kita anggap sebagai realitas di luar kita. Fenomena atau gejala yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja. Keputusan itu harus ditangguhkan terlebih dahulu atau ditempatkan di antara tanda kurung dahulu. Sesudah itu harus memandang atau menilik apa yang kita alam di alam kesadaran kita. Kalau tindakan ini berhasil kita akan menemukan phenomenon atau gejala yang sebenarnya kita dengan demikian mengenal gejala dalam dirinya sendiri.
2.      Reduksi Eidetis
Yaitu penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos (intisari/hakekat gejala/fenomena). Kita melihat hakekat sesuatu. Inilah pengertian yang sejati.
3.      Reduksi Transendental
Dalam reduksi transendental yang harus ditempatkan di antara tanda kurung ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode fenomenologi itu diterapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.[7]
D.    Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Kata eksistensi berasal dari kata ex (keluar) dan sistensi (berdiri, menempatkan). Jadi, eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya.[8]
Martin Heidegger (1905) dengan bukunya Sein Und Zeit (1927). Menurutnya, persoalan berada hanya dapat dijawab melalui ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metode fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti berada itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya.[9] Keberadaan manusia adalah “berada di dalam dunia”. Maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.
Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, ia dilemparkan ke dalam keberadaan. Tetapi, walau manusia keberadaannya tidak mengadakan sendiri, bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadaannya itu. Di dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya itu menghadapi hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang sebenarnya.[10]
Jean Paul Sartre (1905), cukup lama ia menjadi pemikir paling populer di Eropa. Eksistensialisme-nya menjadi suatu gaya hidup. Bersama teman-temannya Sartre menerbitkan majalah Les Temps Modernes (Jaman Modern) yang menjadi corong bicara filsafat eksistensialistis, dan sekaligus dari suatu orientasi politik dan cultural.[11]
Dialah yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren Aabye Kierkegaard. Ia mengajarkan bahwa yang ada ialah “akal individual”. Ia telah memperkenalkan istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat abad ke-20. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah yang menjadi intisari filsafat yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensinya.
Bagi Sartre, segala berada secara ini, “segala berada” dalam diri (I’efre en soi) adalah memuakkan (nauseant). Benda-bend yang berada demikian, kalau kita tidak memberikan arti apa-apa, dalam keadaannya sendiri, nampak memuakkan. Adapun yang termasuk “berada untuk dirinya sendiri” (I’efre pour soi) adalah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada. Eksistensi walaupun kebebasan, namun tergantung juga kepada hal yang lain. Sebab sekali kita bebas di dalam pemilihan, kita terikat pada pemilihan itu, serta harus berbuat serta memikul akibat perbuatan itu. Maka tidak ada kebebasan yang mutlak. Kita bebas, tetapi justru itulah kecemasan kita.
Gabriel Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya. Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia[12]
     
           IV. KESIMPULAN
Filsafat abad 20 disebut filsafat dewasa ini (contemporary) dengan ciri-ciri bahwa rasio yang ada pada masa-masa sebelum masa itu dianggap sebagai potensi kebenaran, mulai ditinggalkan. Dan oleh karena itu orang mengalihkan pandangannya ke potensi-potensi yang bukan rasio, misalnya ke intuisi.
Pada abad ini muncul beberapa aliran filsafat, pragmatisme yang memberikan penilaian sesuatu pada nilai kontannya. Fenomenologi, suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Filsafat hidup yang berdasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak, hidup, berubah terus. Eksistensialisme yang memandang segala gejala kehidupan dengan berpangkal pada eksistensi.
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.




[1] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.130.
[2] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.131.
[3] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.132-133
[4] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.134
[5]  Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,(Yogyakarta:Kanisius,1980)hlm.135-136
[6] Harry Hamersma,Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,(Jakarta:PT.Gramedia,1992),hlm.102.
[7] Sudarsono,Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,(Jakarta:PT Rineka Cipta,1993),hlm.340.
[8] Ahmad tafsir,Filsafat Umum,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1990),hlm.191
[9] Ahmad Syadzali,Filsafat Umum,(Bandung:CV Pustaka Setia,1997),hlm.128
[10] Chairil Basori,Filsafat,(Semarang:IAIN Walisongo,1985),hal.128
[11] Harry Hamersma,Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,(Jakarta:PT Gramedia,1992),hlm.107
[12]  Ahmad Syadzali,Filsafat Umum,(Bandung:CV Pustaka Setia,1997),hlm.130-131.
Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates