Featured

September 02, 2014

Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Dakwah

I.         PENDAHULUAN
Pada dasarnya tidak ada sistem informasi yang sempurna untuk masa yang terhingga. Adanya keperluan-keperluan baru, pertumbuhan organisasi/usaha, perkembangan teknologi, dan pengaruh luar lain mengharuskan adanya usaha pengembangan sistem informasi baru untuk mengimbangi dinamika organisasi dimana sistem informasi yang ditetapkan.
Kenyataan ini mengakibatkan setiap sistem perlu dirubah pada masa selanjutnya. Proses pengembangan sistem informasi melewati beberapa tahapan mulai sistem itu direncanakan sampai diimplementasikan, hingga suatu saat perlu dikembangkan kembali sistem yang baru. Siklus demikian merupakan suatu daur hidup pengembangan sistem informasi yang merupakkan suatu bentuk yang digunakan untuk menggambarkan tahapan utama dan langkah-langkah didalam tahapan tersebut untuk proses pengembangannya.[1]
II.       RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana Penerapan Pengembangan Sistem Informasi Pada Organisasi Dakwah?
B.       Bagaimana tahapan pengembangan SIM D?
C.       Bagaimana pendekatan pengembangan SIM D?
D.       Apa saja metode pengembangan SIM D?
III.   PEMBAHASAN
A.  Penerapan Pengembangan Sistem Informasi Pada Organisasi Dakwah
Pengembangan sistem merupakan penyusunan suatu sistem yang baru untuk menggantikan sistem yang lama secara keseluruhan atau memperbaiki sistem yang telah ada.
Tiga sasaran utama dalam penerapan system informasi dalam suatu organisasi. Pertama, memperbaiki efesiensi kerja dengan melakukan otomasi berbagai proses yang mengelola informatkan asi. Kedua, meningkatkan keefektifan manajemen dengan memuaska kebutuhan informasi guna pengambilan kputusan. Ketiga, memperbaiki daya saing atau meningkatkan keunggulan kompetitif organisasi dengan merubah gaya dan cara berbisnis.
Ketiga sasaran tersebut dapat tercapai secara optimal apabila adanya jaminan keselarasan antara strategi sisitem informasi dengan strategi bisnis organisasi, dimana nantinya strategi bisnis skan memberikan arahan terhadap tercapainya suatu goal organisasi, dan strategi system informasi akan memberikan dukungan terhadap pencapaian goal organisasi melalui penyiapan infrastruktur teknologi informasi yang sesuai dengan teknologi bisnis organisasi untuk menentukan strategi sisitem informasi yang dapat mendukung pencapaian visi dan misi organisasi, maka perlu pemahaman tentang strategi bisnis organisasi melalui perencanaan strategi Bisnis dan stategi system informasi perencanaanformasi, metodologi Ward-peppar.
Namun sering ditemukan bahwa penerapan TI kurang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja dan kesuksesan bisnis organisasi maupun peningkatan daya saing organisasi. Hal tersebut terjadi akibat penerapan SI/TI yang hanya berfokus pada teknologinya saja. Oleh karena itu, cara efektif untuk mendapatkan manfaat strategis dari penerapan SI/TI adalah dengan berkonsentrasi pada kaji ulang bisnis (rethinking business) melalui analisis masalah bisnis saat ini dan perubahan lingkungannya serta mempertimbangkan TI sebagai bagian solusi.
Permasalahan di dalam penerapan SI/TI pada suatu organisasi dapat dikatakan sebagai paradoks produktivitas. Dimana didalam penerapan SI/TI sudah diimplementasikan secara baik, namun dari sisi lain seperti halnya keamanan, sumber daya manusia, transparansi, dan lain-lain bersifat sebaliknya.Sebagai contoh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menginvestasikan sedikitnya Rp. 200 milyar untuk pengadaaan perangkat dan aplikasi SI/TI dengan harapan agar penghitungan suara hasil pemilu dapat berjalan dengan cepat, akurat dan transparan.[2]
B.  Tahapan Pengembangan SIM D
Pengembangan sistem informasi manajemen Dakwah terdiri dari 5 tahapan adalah sebagai berikut :
1.    Perencanaan Sistem
Dalam fase perencanaan sistem dibentuk suatu struktur kerja strategis yang luas dan pandangan sistem informasi baru yang jelas akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemakai informasi. Selama fase perencanaan sistem, harus dipertimbangkan :
a.         Faktor – faktor kelayakan yang berkaitan dengan kemungkinan berhasilnya sistem informasi yang dikembangkan dan digunakan.
b.         Faktor – faktor strategis yang berkaitan dengan pendukung sistem informasi dari sasaran bisnis dipertimbangkan untuk setiap proyek yang diusulkan. Nilai-nilai yang dihasilkan dievaluasi untuk menentukan proyek sistem mana yang akan menerima prioritas yang tertinggi.
Perencanaan sistem merupakan tahap paling awal yang memberikan pedoman dalam melakukan langkah selanjutnya. Tahap perencanaan sistem meliputi kegiatan sebagai berikut:
a.         Mengenali masalah
b.         Menentukan masalah
c.         Menentukan tujuan
d.        Mengenali kendala
e.         Studi kelayakan
f.          Laporan ke manajemen
Tahap perencanan sistem menguraikan mengenai proses bisnis yang dirumuskan dan kemudian diidentifikasi produk dan sumber daya yang ada serta daur hidupnya.[3]
2.    Analisis Sistem
Analisis sistem (system analysis) merupakan tahap setelah perencanaan sistem sebelum perancangan sistem. Analisis sistem sangat menentukan keberhasilan pengembangan sistem informasi, karena kesalahan dalam tahap ini akan mempengaruhi langkah pengembangan sistem selanjutnya. Bagan alir sistem akan digambarkan dalam tahap ini sebagai alat komunikasi antar analis sistem dan pemakai, serta personil yang terlibat di dalam tim. Tahap analisis sistem meliputi kegiatan sebagai berikut :         
a.         Menentukan kebutuhan informasi
b.         Menentukan kriteria kinerja sistem
c.         Laporan ke manajemen
3.    Desain/Perancangan sistem
Fase perancangan sistem secara detail menyediakan spesifikasi untuk perancangan secara konseptual. Pada fase ini semua komponen dirancang dan dijelaskan secara detail. Perencanaan output (layout) dirancang untuk semua layar, form-form tertentu dan laporan-laporan yang dicetak. Semua output direview dan disetujui oleh pemakai dan didokumentasikan. Semua input ditentukan dan format input baik untuk layar dan form-form biasa direview dan disetujui oleh pemakai dan didokumentasikan.
Berdasarkan perancangan output dan input, proses-proses dirancang untuk mengubah input menjadi output. Transaksi-transaksi dicatat dan dimasukkan secara online atau batch. Macam-macam model dikembangkan untuk mengubah data menjadi informasi. Prosedur ditulis untuk membimbing pemakai dan personil operasi agar dapat bekerja dengan sistem yang sedang dikembangkan.
Database dirancang untuk menyimpan dan mengakses data. Kendali-kendali yang dibutuhkan untuk melindungi sistem baru dari macam-macam ancaman dan error ditentukan. Pada beberapa proyek sistem, teknologi baru dan berbeda dibutuhkan untuk merancang kemampuan tambahan macam-macam komputer, peralatan dan jaringan telekomunikasi.
Pada akhir fase ini, laporan rancangan sistem secara detail dihasilkan. Laporan ini mungkin berisi beribu-ribu dokumen dengan semua spesifikasi untuk masing-masing rancangan sistem yang terintegrasi menjadi satu kesatuan. Laporan ini dapat juga dijadikan sebagai buku pedoman yang lengkap untuk merancang, membuat kode dan menguji sistem; instalasi peralatan; pelatihan; dan tugas-tugas implementasi lainnya.
4.    Implementasi Sistem
Sistem baru/ sistem lama yang telah dimodifikasi selanjutnya diinstal/ dijalankan pada organisasi. Tahapan ini merupakan tahap yang paling penting dalam pembangunan atau pengembangan sebuah sistem, dimulai setelah sebelumnya sistem tersebut dicoba dan distujui oleh pengguna.
Secara detail, beberapa hal yang terdapat dalam tahap implementasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Akuisisi perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan
Yaitu penambahan atau pengadaan perangkat keras maupun lunak serta layanan untuk mendukung system baru. Akuisisi perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan ini disesuaikan kebutuhan. Dengan adanya akuisisi, diharapkan system nantinya akan memiliki fungsi dan kemampuan yang optimal dalam operasi.
b.    Pembangunan atau modifikasi (pengembangan) perangkat lunak
Organisasi dapat membangun atau mengembangkan perangkat lunak sendiri, selain itu dapat membeli atau menyewa dari pihak lain (developer).
c.    Pelatihan atau user
System yang diterapkan dalam sebuah organisasi merupakan system yang baru dibangun atau dikembangkan.
d.   Dokumentasi system
Bertujuan untuk mempermudah dalam penggunaan system tersebut.dokumentasi system dilakukan dalam bentuk dokumentasi system secara teknis (menjelaskan karakteristik perangkat keras, lunak, fasilitas,utilitas, logical model, dan segala hal yang mendukung secara teknis system tersebut) serta petunjuk penggunaan atau pengoprasian (operasional) system secara detail (panduan penggunaan).
e.    Konveresi system
Yaitu penerapan dari system lama ke system baru. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan system baru adalah bagaimana caranya agar perubahan system dapat dilakukan secara tepat dan tidak mengganggukelancaran aktivitas organisasi. Konversi atau penerapan system baru dalam organisasi dapat dilakukan dengan cara:
1)        Pararel, yaitu dengan menerapkan system baru, akan tetapi system lama masih dijalankan hingga waktu tertentu dimana system baru tersebut secara total dapat diterima dan diaplikasikan dan system lama dapat ditinggalkan.
2)        Pilot (percontohan), konversi system ini yaitu dengan melakukan penerapan system pada subunit organisasi sebagi objek percontohan (pilot) system yang baru.
3)        Phased (bertahap), konversi model ini hampir sama dengan pilot, karena pada awalnya system baru diterapkan pada sebagian kecil unit organisasi yang ada, selanjutnya secara bertahap system lama akan digantikan system baru.
4)        Plunge, konversi system dengan cara ini menggantikan system lama dalam organisasi tersebut dengan system yang baru secara langsung (direct cut over) dan total untuk semua unit yang ada diorganisasi. Pergantian system tidak dilakukan secara bertahap. [4]
5.    Penggunaan/Review/Evaluasi Sistem
Penggunaan/ review/ evaluasi system merupakan tahap terakhir dalam pengembangan sistem berupa penggunaan/ operasi hasil implementasi system. Penggunaan/ review/evaluasi system meliputi kegian sebagai berikut:

a.    Operasional system
b.    Evaluasi system
c.    Memelihara system
d.   Mempertahankan kinerja system
e.    Meningkatkan kinerja system
f.     Laporan kemenejemen[5]
C.  Pendekatan Pengembangan SIM D
a.         Pendekatan klasik vs pendekatan terstruktur
Pendekatan klasik menekankan behwa pengembangan suatu system informasi akan berhasil apabila mengikuti tahapan ssuai daur hidup pengembangan system. Namun pada kenyataannya tidaklah cukup karena pendekatan tidak memberikan pedoman lebih lanjut tentang bagaimana melakukan tahapan’tersebut dengan terinci.
Pendekatan pengembangan system muncul karena pendekatan klasik menemui beberapa kelemahan, diantaranya adalah sebagi berkut:
1)   Pengembangan perangkat lunak menjadi sulit
2)   Biaya pemeliharaan system menjadi lebih mahal
3)   Kemungkinan kesalahan cukup besar
4)   Keberhasilan system kurang terjamin
5)   Masalah-masalah dalam penerapan system
b.    Pendekatan sepotong vs pendekatan system
Pendekatan seotong merupakan pengembangan system yang menekankan pada suatu kegiatan atau aplikasi tertentu saja. Pada pendekatan ini pendekatan atau aplikasi yang dipilih, yang dikembangkan tanpa memperhatikan posisinya dalam system informasi atau tanpa sasaan keseluruhan dari organisasi.pendekatan ini hanya memerhatikan sasaran dari kegiatan atau aplikasi itu saja.
Pendekatan system merupakan pendekatan pengembangan system yang memerhatikan system informasi sebagai satu kesatuan terintegrasi untuk masing-masing kegiatan atau aplikasinya. Pendekatan ini juga menekankan ada pencapaian sasaran keseluruhan dari organisasi.
D.  Metode Pengembangan SIM D
Pengembangan system dilakukan dengan menggunakan metode system development life cycle (SDLC), atau dapat juga dilakukan dengan pendekatan prototyping.
1)      System development life cycle (SDLC)
Pengembangan system dapat dilakukan dengan 3 cara: pertama, dikembangkan secara mandiri (in house development); kedua, dikembangkan oleh pihak lain(outsourcing development) dan katiga membeli produk jadi.
System development life cycle (SDLC) merupakan sebuah metodologi dalam pembangunan tau pengembangan system. system development life cycle memberikan kerangka kerja yang konsisten terhadap tujuan yang diinginkan dalam pembangunan dan pengembangan system. Metodologi sdlc  dimulai dengan ide-ide dari pengguna melalui study kelayakan analisis dan desain system, pemrograman, pilot testing, implementasi, dan analisis setelah diimplementasikan (evaluasi).
Beberapa ahli sistem informasi menyatakan bahwa sdlc merupakan pengembangan system secara tradisional dan memiliki beberapa tahapan. Langkah-lankah dalam metodologi sdlc adalah :
a)        mengevaluasi system yang ada
b)        mendefinisikan kebutuhan system baru anga akan dibutuhkan
c)        mendesai system yang diusulkan
d)       pengembangan system yang baru
e)        penggunaan system yang baru
f)         evaluasi harus dilakukan terhadap system informasi baru yang telah atau sedang berjalan.
2)      Prototyping
Proses pembangunan atau pembangunan system informasi dapat dilakukan dengan pendekatan Prototyping . Prototyping  merupakan pembuatan model system prototype yang pembangunan atau pengembangannya dapat dilakukan dengan cepat. Prototyping  mengakibatkan proses pembangunan atau pengembangan lebih cepat dan mudah.
Tujuan utama Prototyping adalah melibatkan pengguna dalam mendesain system dan merespon umpan balik dari pengguna pada tahap awal pembangunan atau pengembangan system akibatnya, waktu dan biaya dapat dihemat. Prototyping memberikan cara untuk membanguan system yang lebih efektif dan efisien untuk memperbaiki dan mengoptimalkan system melalui diskusi, eksplorasi, percobaan, perbaikan secara berulang-ulang.
Prototyping disebut sebagai pengembangan system secara evolusioner (evoliutionary development) atau sering kali juga disebut sebagai Rapid Application Design (rad), karena hal terpenting adalah bagaimana menghasilkan system secara cepat dan dapat ditunjukan kepeda pengguna untuk dicoba.
Prototyping juga memiliki kelemahan. Analisis system kemungkinan besar tidak membuat dokumentasi formal untuk programmer selama Prototyping berlangsung. Hal ini sangat berbeda dengan pengembangan sissten yang menggunakan metode konvensional sdlc. Jika orang yang berkompeten dbidang TI pada organisasi tersebut tudak mengikuti proses Prototyping, maka akan kesulitan dalam pemeliharaan system dikemudian hari karena dokumentasi sstem yanga ada kurang memadai. Kelemahan lain adalah, setelah pembuatan prototype selesai, kemungkinan pengguna tidak mengerti tambanhan lain yang diperlukan agar system tsersebut sesuai dengan standar atau kemauan organisasi.

IV.   PENUTUP
A.  Kesimpulan
Tiga sasaran utama dalam penerapan system informasi dalam suatu organisasi. Pertama, memperbaiki efesiensi kerja dengan melakukan otomasi berbagai proses yang mengelola informatkan asi. Kedua, meningkatkan keefektifan manajemen dengan memuaska kebutuhan informasi guna pengambilan kputusan. Ketiga, memperbaiki daya saing atau meningkatkan keunggulan kompetitif organisasi dengan merubah gaya dan cara berbisnis.
Pengembangan sistem informasi manajemen Dakwah terdiri dari 5 tahapan yaitu perencanaan sistem, analisis sistem, desain/perancangan sistem, implementasi sistem, Penggunaan/Review/Evaluasi Sistem.
Pendekatan pengembangan sistem manajemen dakwah yaitu pendekatan klasik vs pendekatan terstruktur, Pendekatan sepotong vs pendekatan system.
Pengembangan system dilakukan dengan menggunakan metode system development life cycle (SDLC), atau dapat juga dilakukan dengan pendekatan prototyping.

B.  Saran
Demikian yang dapat pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita. Amiin…
DAFTAR PUSTAKA

Marimin m.sc. dkk, system informasi manajemen (sumber daya manusia), Jakarta:grasindo.
Sutanta, Edhy. 2003. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta : Graha Ilmu.



[1] Edhy Sutanta, Sistem Informasi Manajemen, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2003). Hal. 119
[2] http://jakabillal.blogspot.co.id/2011/09/makalah-sistem-komunikasi-manajemen.html. Diakses pada tanggal 29 September 2015 pukul 14.00 WIB
[3] Edhy Sutanta, Sistem Informasi Manajemen, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2003,.... hal. 123
[4] Prof. dr. ir. Marimin m.sc. dkk, System Informasi Manajemen (Sumber Daya Manusia), (Jakarta:Grasindo). Hal. 100.
[5] Edhy Sutanta, Sistem Informasi Manajemen, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2003 ). Hal 123

September 01, 2014

Baca Online Twilight part 24

24. JALAN BUNTU
KETIKA terbangun aku melihat cahaya putih terang. Aku berada di ruang yang asing ruang putih. Dinding di
sebelahku tertutup tirai yang memanjang dari atas hingga bawah; di atas kepalaku, cahaya terang menyilaukan
pandangan. Aku dibaringkan di tempat tidur keras—dengan besi pengaman. Bantal-bantalnya kempis dan kasar. Ada bunyi bip yang mengganggu tak jauh dariku. Aku berharap itu artinya aku masih hidup. Kematian tak seharusnya tidak senyaman ini.
Tangan-tanganku dipenuhi slang infus, dan ada sesuatu direkatkan di wajahku, di bawah hidung. Kuangkat
tanganku untuk melepaskannya.
“Jangan, tidak boleh.” Jari-jari dingin menangkap tanganku.
“Edward?” Aku menoleh sedikit, dan wajahnya yang indah hanya beberapa senti dariku, ia meletakkan dagunya
di ujung bantal. Sekali lagi aku menyadari diriku masih hidup, kali ini dengan perasaan bersyukur dan bahagia.
“Oh, Edward, aku benar-benar menyesal!”
“Ssssttt.” Ia menyuruhku diam. “Sekarang semuanya baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi?” Aku tak bisa mengingat jelas, dan pikiranku memberontak saat mencoba mengingatnya.
“Aku nyaris terlambat. Aku bisa saja terlambat,” ia berbisik, suaranya terdengar menyesal.
“Aku bodoh sekali. Edward. Kupikir dia menyandera ibuku.”
“Dia mengelabui kita semua.”
“Aku harus menelepon Charlie dan ibuku,” samar-samar aku ingat untuk melakukannya.
“Alice sudah menelepon mereka. Renee ada di sini—well, di sini, di rumah sakit ini. Dia sedang mencari
makan.”
“Dia di sini?” Aku mencoba duduk, tapi kepalaku berputar makin menjadi, dan tangannya dengan lembut
menahanku di bantal.
“Sebentar lagi dia kembali,” Edward berjanji. “Dan kau belum boleh bergerak.”
“Tapi apa yang kaukatakan padanya?” tanyaku panik.
Aku sama sekali tak ingin ditenangkan. Ibuku ada di sini dan aku sedang dalam pemulihan setelah serangan vampir.
“Kenapa kau memberitahunya aku ada di sini?”
“Kau jatuh dari dua deret tangga lalu dari jendela.” Ia berhenti. “Harus kauakui, ini mungkin saja terjadi.”
Aku mendesah dan rasanya nyeri sekali. Aku memandangi tubuhku di balik selimut, kakiku bengkak.
“Seberapa buruk keadaanku?” aku bertanya.
“Kakimu patah, begitu juga empat rusukmu, beberapa bagian tengkorakmu retak, memar hampir di sekujur tubuh, dan kau kehilangan banyak darah. Mereka memberimutransfusi. Aku tidak menyukainya – sesaat aromamu jadi berbeda.”
“Itu pasti perubahan yang baik untukmu.”
“Tidak, aku menyukai aromamu yang asli.”
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku pelan. Ia langsung tahu maksudku.
“Aku tak yakin.” Ia memalingkan wajah dari tatapanku yang bertanya-tanya, mengangkat tanganku yang dibalut
perban dan menggenggamnya lembut dalam tangannya, berhati-hati agar tidak mengenai kabel yang terhubung
dengan salah satu monitor. Aku menunggu jawabannya dengan sabar. Ia mendesah tanpa membalas tatapanku. “Rasanya mustahil... untuk berhenti,” ia berbisik. “Mustahil. Tapi aku melakukannya.” Akhirnya ia memandangku, setengah tersenyum. “Aku harus mencintaimu.”
“Tidakkah rasaku seenak aromaku?” Aku balas tersenyum. Dan itu membuat wajahku terasa sakit.
“Lebih baik, bahkan—lebih baik daripada yang kubayangkan.”
“Maafkan aku,” ujarku menyesal. Ia menatap langit-langit. “Dari semua yang perlu
dimaafkan.”
“Apa lagi yang harus kumintai maaf?”
“Karena nyaris mengenyahkan dirimu selamanya dariku.”
“Maafkan aku,” aku meminta maaf lagi.
“Aku tahu kenapa kau melakukannya.” Suaranya menenangkan. “Tentu saja itu masih tidak masuk akal. Kau
seharusnya menungguku, seharusnya memberitahuku.”
“Kau takkan membiarkanku pergi.”
“Memang tidak.” Ia menimpali dengan geram. “Takkan kubiarkan.”
Beberapa ingatan yang sangat tak menyenangkan mulai menghantuiku. Aku merinding, kemudian meringis.
Edward langsung waswas.
“Ada apa, Bella?”
“Apa yang terjadi pada James?”
“Setelah aku menjauhkannya darimu, Emmett dan Jasper membereskannya.” Kata-katanya sarat dengan
penyesalan yang sangat dalam. Ini membingungkanku. “Aku tidak melihat Emmett dan Jasper di sana.”
“Mereka harus meninggalkan ruangan... darahmu berceceran di mana-mana.”
“Tapi kau tetap tinggal.”
“Ya, kau tetap tinggal.”
“Dan Alice dan Carlisle...?” aku bertanya-tanya.
“Mereka juga menyayangimu, kau tahu.”
Kelebatan ingatan menyakitkan dari saat terakhir aku melihat Alice, mengingatkanku akan sesuatu. “Apakah
Alice melihat rekamannya?” tanyaku waswas. “Ya.” Suaranya berubah kelam, samar-samar
menguarkan kebencian.
“Alice tak pernah mengerti, itu sebabnya dia tidak ingat.”
“Aku tahu. Dia memahaminya sekarang.” Suara Edward tenang tapi wajahnya kelam oleh amarah.
Aku mencoba meraih wajahnya dengan tanganku yang lain, tapi sesuatu menghentikanku. Aku memandang ke
bawah, melihat kantong transfusi menahan tanganku.

“Auw.” Aku meringis.
“Ada apa?” tanyanya waswas—perhatiannya teralihkan, tapi hanya sedikit. Kesedihan tak sepenuhnya memudar
dari matanya.
“Jarum,” aku menjelaskan, memalingkan pandang. Aku berkonsentrasi menatap langit-langit dan berusaha menarik napas panjang dalam-dalam dan mengabaikan nyeri di sekitar rusukku.
“Takut jarum,” ia bergumam pelan pada dirinya sendiri, sambil menggeleng. “Oh, vampir sadis yang berniat
menyiksanya sampai mati, tentu, tidak masalah, dia langsung lari menemuinya. Tapi jarum infus...”
Aku memutar bola mataku. Aku senang mengetahui setidaknya reaksi seperti ini tidak menyakitkan. Kuputuskan untuk mengubah topik.
“Kenapa kau ada di sini?” aku bertanya.
Ia menatapku, pertama bingung, kemudian kepedihan terpancar di matanya. Alisnya bertaut saat wajahnya
menekuk. “Kau ingin aku pergi?”
“Tidak!” protesku, ngeri membayangkannya. “Bukan, maksudku, kenapa ibuku pikir kau ada di sini? Aku harus
tahu apa yang harus kuceritakan saat dia kembali.”
“Oh,” kata Edward, dahinya kembali mulus bak pualam.
“Aku datang ke Phoenix untuk berbicara dari hati ke hati. Untuk meyakinkanmu agar kembali ke Forks.” Matanya yang lebar tampak jujur dan tulus, hingga aku sendiri nyaris memercayainya. “Kau setuju menemuiku, dan kau mengemudi ke hotel tempatku menginap bersama Carlisle dan Alice— tentu saja aku ke sini dengan ditemani orangtua,” ia menambahkannya lugu, “tapi kau terpeleset ketika sedang naik tangga menuju kamarku dan... well, kau tahu kelanjutannya. Tapi kau tak perlu mengingat detailnya; kau punya alasan bagus untuk tidak
mengingatnya dengan jelas.”
Aku memikirkannya beberapa saat. “Ada beberapa kekurangan dalam cerita itu. Tak ada jendela yang pecah,
misalnya.
“Tidak juga,” katanya. “Alice terlalu banyak bersenangsenang ketika menciptakan barang bukti. Semua telah
diatasi, kami membuatnya sangat meyakinkan—barangkali kau bisa menuntut hotelnya kalau mau. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun.” Ia berjanji, mengusap pipiku dengan sentuhan paling ringan. “Sekarang tugasmu hanya sembuh.”
Aku tidak terlaju tenggelam dalam rasa sakit atau pengaruh obat hingga tak bereaksi terhadap sentuhannya.
Suara bip di monitor langsung bergerak tak terkendali— sekarang bukan ia satu-satunya yang bisa mendengar irama jantungku yang mendadak liar.
“Ini bakal memalukan,” gumamku pada diri sendiri. Ia tertawa, dan tatapannya mengira-ngira. “Hmmm, aku
jadi penasaran...”
Ia mencondongkan tubuh perlahan; suara bip semakin cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Tapi
ketika akhirnya bibir kami bersentuhan, meskipun teramat lembut, bunyi bip itu mendadak berhenti.
Ia langsung tersentak, ekspresi waswasnya berubah lega saat monitor menunjukkan jantungku berdetak lagi.
“Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi denganmu daripada biasanya.” Dahinya berkerut.
“Aku belum selesai menciummu,” aku mengeluh.
“Jangan buat aku pergi menghampirimu.” Ia tersenyum, dan membungkuk untuk mencium lembut
bibirku. Monitor langsung bergerak kacau lagi. Tapi kemudian bibirnya menegang. Ia menarik diri.
“Kurasa aku mendengar ibumu,” katanya, tersenyum.
“Jangan tinggalkan aku,” aku berseru, rasa panik yang tak masuk akal merasukiku. Aku tak bisa membiarkannya pergi—ia mungkin akan menghilang dariku lagi. Sekejap ia melihat ketakutan di mataku. “Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji, sungguh-sungguh, kemudian tersenyum. “Aku akan tidur siang.”
Ia pindah dari kursi plastik keras di sampingku ke sofa recliner dari kulit sintetis warna turquoise di ujung tempat tidur, lalu berbaring dan memejamkan mata. Posisinya diam tak bergerak.
“Jangan lupa bernapas,” bisikku sinis. Ia menarik napas panjang, matanya masih terpejam.
Aku bisa mendengar ibuku sekarang. Ia sedang berbicara dengan seseorang barangkali perawat, dan ia terdengar lelah dan sedih. Ingin rasanya aku melompat dari tempat tidur dan berlari padanya, untuk menenangkannya, meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tapi keadaanku tak memungkinkan aku melompat, jadi aku menunggunya dengan tidak sabar.
Terdengar suara pintu berderit, dan ia mengintip dari sana.
“Mom!” aku berbisik, suaraku penuh sayang dan lega. Ia melihat Edward yang tertidur di sofa recliner dan berjingkat menghampiriku.
“Dia tak pernah pergi, ya kan?” gumamnya pada diri sendiri.
“Mom, aku senang sekali bertemu denganmu!” Ia membungkuk dan memelukku lembut, dan aku merasakan
air mata hangat menetes di pipiku.
“Bella, aku sedih sekali!”
“Maafkan aku, Mom. Tapi sekarang semua baik-baik saja, tidak apa-apa,” aku mencoba menenangkannya.
“Aku senang akhirnya kau tersadar.” Ia duduk di tepi tempat tidur.
Aku tiba-tiba menyadari aku tak tahu ini hari apa.
“Berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“Sekarang hari Jumat. Sayang, kau tak sadar cukup lama.”
“Jumat?” Aku terkejut. Aku mencoba mengingat hari ketika... tapi aku tak ingin memikirkannya.
“Mereka harus terus memberimu obat penenang untuk sementara waktu, Sayang—luka-lukamu parah sekali.”
“Aku tahu.” Aku bisa merasakannya.
“Kau beruntung dr. Cullen ada di sana. Dia baik, meskipun masih sangat muda. Dan dia lebih mirip model
daripada dokter...”
“Kau bertemu Carlisle?”
“Dan adik Edward, Alice. Dia gadis menyenangkan.”
“Memang,” aku menimpali sepenuh hati.
Ia menoleh ke arah Edward, yang berbaring di kursi dengan mata terpejam. “Kau tidak bilang punya temanteman yang baik di Forks.” Aku tersenyum, kemudian mengerang.
“Apa yang sakit?” Mom bertanya waswas, kembali menghadapku. Mata Edward berkilat menatapku.
“Tidak apa-apa,” aku meyakinkan mereka. “Aku hanya perlu mengingat untuk tidak bergerak.” Edward kembali
pura-pura tidur. Aku mengambil kesempatan untuk mengalihkan topik.
“Di mana Phil?” tanyaku cepat.
“Di Florida—oh, Bella! Kau takkan menyangka! Tepat sebelum berangkat, kami mendapat berita terbaik!”
“Phil mendapatkan kontrak?” aku menebaknya.
“Ya! Bagaimana kau tahu? The Suns, kau percaya?”
“Itu hebat, Mom,” kataku, berusaha terdengar bersemangat, meskipun aku tidak begitu mengerti apa
artinya itu.
“Dan kau akan sangat menyukai Jacksonville,” Mom sibuk meracau sementara aku hanya terpaku menatapnya.
“Aku sedikit khawatir saat Phil mulai membicarakan Akron, salju dan semuanya, karena kau tahu betapa aku
sangat membenci dingin, tapi sekarang Jacksonville! Matahari selalu bersinar, dan kelembabannya tak seburuk
itu. Kami menemukan rumah yang paling menggemaskan, warna kuning dengan bingkai putih, dan teras persis seperti di film-film tua, dan pohon ek raksasa, dan jaraknya hanya beberapa menit dari laut, dan kau akan memiliki kamar mandimu sendiri—“
“Mom, tunggu sebentar!” selaku. Mata Edward masih terpejam, tapi ia kelihatan terlalu tegang untuk bisa dibilang tidur. “Apa yang kaubicarakan? Aku takkan pergi ke Florida. Aku tinggal di Forks.”
“Tapi kau tak perlu lagi, dasar bodoh,” ia tertawa. “Phil bisa tinggal bersama kita lebih sering lagi sekarang... kami sudah sering membicarakannya, dan kalau dia harus melakukan perjalanan jauh, aku akan tinggal separuh waktu denganmu dan separuh lagi dengannya.”
“Mom.” Aku meragu, bertanya-tanya bagaimana bersikap diplomatis tentang hal ini. “Aku ingin tinggal di
Forks. Aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik di sekolah, dan aku punya beberapa teman cewek”—ia melirik ke arah Edward lagi saat aku mengingatkannya aku punya teman, jadi aku mencoba alasan lain—“dan Charlie membutuhkanku. Dia sebatang kara di sana, dan dia sama sekali tak bisa memasak.”
“Kau mau tinggal di Forks?” tanyanya, heran. Ide ini tak terbayangkan olehnya. Lalu matanya kembali melirik
Edward. “Kenapa?”
“Sudah kubilang–sekolah, Charlie–aduh!” Aku mengangkat bahu. Bukan ide bagus.
Tangannya bergerak ke sana kemari, mencoba menemukan bagian rubuhku yang bisa ditepuk-tepuk. Ia
menaruh tangannya di dahiku, karena bagian itu tidak diperban.
“Bella, Sayang, kau tidak menyukai Forks,” ia mengingatkanku.
“Tidak terlalu buruk, Mom.” Ia merengut, lalu memandangku dan Edward bergantian, kali ini benar-benar disengaja.
“Apakah karena anak laki-laki ini?” bisiknya.
Aku hendak berbohong tapi mata Mom mengamati wajahku, dan aku tahu ia bisa melihat jawabannya di sana.
“Dia salah satu alasannya,” aku mengakui. Tak perlu kuakui, dialah alasan terbesarku. “Apakah kau sempat
berbicara dengan Edward?” tanyaku.
“Ya.” Ia bimbang memandangi Edward yang diam tak bergerak. “Dan aku ingin bicara denganmu rentang hal ini.”
O-ow. “Tentang apa?” tanyaku.
“Kurasa anak laki-laki itu jatuh cinta padamu,” tuduhnya, berusaha menjaga suaranya tetap pelan.
“Aku juga berpikir begitu,” ujarku.
“Dan bagaimana perasaanmu padanya?” Ia tak bisa menutupi rasa penasaran dalam suaranya. Aku mendesah, memalingkan wajah. Meskipun aku sangat menyayangi ibuku, ini bukan sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya. “Aku cukup tergila-gila padanya.”
Nah—itu kedengarannya seperti sesuatu yang mungkin dikatakan seorang remaja cewek centang cowok
pertamanya.
“Well, dia kelihatan sangat baik, dan, ya Tuhanku, dia luar biasa tampan, tapi kau masih sangat muda. Bella...”
Suaranya terdengar ragu-ragu; sejauh yang bisa kuingat, inilah pertama kalinya sejak aku berusia delapan tahun ia nyaris menunjukkan otoritasnya sebagai orangtua. Aku mengenali nada masuk-akal-namun-tegas dari percakapan yang pernah kualami dengannya ketika membahas cowok.
“Aku tahu itu, Mom. Jangan khawatir. Aku Cuma naksir,” aku menenangkannya.
“Benar,” ia menimpali, langsung senang. Kemudian ia mendesah, dan dengan perasaan bersalah melirik jam bundar besar di dinding.
“Kau harus pergi?”
Ia menggigit bibir. “Phil seharusnya menelepon sebentar lagi... Aku tak tahu kau akan segera sadar...”
“Tidak apa-apa, Mom.” Aku berusaha menyembunyikan rasa legaku supaya perasaannya tidak terluka. “Aku tidak akan sendirian.”
“Aku akan segera kembali. Aku tidur di sini, kau tahu,” ujarnya, bangga pada dirinya sendiri.
“Oh, Mom, kau tak perlu melakukannya! Kau bisa tidur di rumah—aku takkan menyadarinya.” Pengaruh obat
penghilang sakit di otakku membuatku sulit berkonsentrasi sekarang, meski nyatanya aku telah tidur berhari-hari.
“Aku terlalu tegang,” ia mengakui malu-malu. “Telah terjadi tindak kejahatan di kompleks kita, dan aku tidak
suka berada di sana sendirian.”
“Kejahatan?” tanyaku kaget.
Seseorang menerobos ke studio tari di pojokan dekat rumah dan membakarnya hingga rata dengan tanah—sama
sekali tak bersisa! Dan mereka meninggalkan mobil curian tepat di halaman depan. Kau ingat dulu kau menari di sana, Sayang?”
“Aku ingat.” Aku bergidik dan meringis ngeri.
“Aku bisa tinggal. Sayang kalau kau membutuhkanku.”
“Tidak, Mom. Aku akan baik-baik saja. Edward akan menemaniku.”
Ekspresinya menunjukkan bahwa sepertinya itulah alasannya ingin tinggal. “Aku akan kembali malam ini.”
Kedengarannya itu seperti peringatan sekaligus janji, dan ia kembali menatap Edward saat mengucapkannya.
“Aku sayang kau, Mom.”
“Aku juga sayang kau. Bella. Cobalah untuk lebih berhari-hari ketika berjalan. Sayang, aku tak ingin
kehilangan dirimu.” Mata Edward tetap terpejam, tapi senyum lebar mengembang di wajahnya.
Perawat masuk untuk memeriksa semua infusku dan kabel-kabel yang menempel di rubuhku. Mom mengecup
dahiku, menepuk-nepuk tanganku yang diperban, kemudian pergi.
Perawat memeriksa catatan di monitor jantungku.
“Kau tegang Sayang? Irama jantungmu sedikit lebih tinggi di bagian ini.”
“Aku baik-baik saja,” aku meyakinkannya.
“Akan kuberitahu dokter bahwa kau sudah sadar. Dia akan ke sini sebentar lagi.”
Begitu perawat menutup pinru, Edward langsung berada di sisiku.
“Kau mencuri mobil?” Alisku terangkat.
Ia tersenyum, sama sekali tak menyesal. “Mobil bagus, lajunya sangat cepat.”
“Bagaimana tidur siangmu?” tanyaku.
“Menarik.” Matanya menyipit.
“Apa?”
Ia menunduk ketika menjawab, “Aku terkejut. Kupikir Florida... dan ibumu... Well, kupikir itulah yang
kauinginkan.” Aku menatapnya tak mengerti. “Tapi kau harus berada di dalam ruangan seharian bila berada di Florida. Kau hanya bisa keluar pada malam hari, seperti vampir sejati.” Ia nyaris tersenyum, tapi tidak juga. Lalu wajahnya serius. “Aku akan tinggal di Forks, Bella. Atau di mana pun yang keadaannya seperti di sana,” ia menjelaskan. “Di tempat aku tak bisa melukaimu lagi.”
Awalnya aku tak langsung memahaminya. Aku terus menatapnya hampa saat kata-katanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle mengerikan. Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang semakin memburu, meskipun, saat napasku semakin liar, aku merasakan nyeri di dadaku.
Ia tidak mengatakan apa-apa; ia memerhatikan wajahku dengan saksama ketika rasa sakit yang tak ada
hubungannya dengan tulang-tulang yang patah, rasa sakit yang jauh lebih parah, mengancam menghancurkanku.
Kemudian perawat lain melangkah pasti memasuki ruangan. Edward duduk tak bergerak saat perawat mengamati ekspresiku dengan pandangan terlatih, sebelum beralih ke monitor.
“Waktunya untuk obat penghilang sakit. Sayang?” tanyanya ramah, sambil menepuk-nepuk kantong infus.
“Tidak, tidak,” gumamku, berusaha menghilangkan kepedihan dari suaraku. “Aku tidak membutuhkan apaapa.”
Aku tak bisa memejamkan mata sekarang.
“Tak perlu berpura-pura berani. Sayang. Sebaiknya kautidak terlalu tegang; kau perlu beristirahat.” Ia menunggu, tapi aku hanya menggeleng.
“Baiklah,” ia mendesah. “Tekan saja tombol bantuan kalau kau sudah siap.”
Ia memandang Edward serius, dan sekali lagi melirik, waswas mesin-mesin itu, lalu pergi.
“Sssstt, Bella, tenanglah.”
“Jangan tinggalkan aku.” Aku memohon, suaraku parau
“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji. “Sekarang tenanglah sebelum aku memanggil perawat untuk
memberimu obat penenang.” Tapi jantungku tak mau tenang.
“Bella.” Ia membelai wajahku hati-hati. “Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada di sini selama kau
membutuhkanku.”
“Kau bersumpah takkan meninggalkanku?” bisikku.
Setidaknya aku mencoba mengendalikan napasku yang tersengal-sengal. Rusukku nyeri.
Ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya lebar dan
serius. “Aku bersumpah.”
Aroma napasnya menenangkan. Sepertinya meringankan rasa nyeri yang muncul ketika aku bernapas. Ia terus
menatapku sementara tubuhku pelan-pelan rileks dan suara bip mesin kembali normal. Matanya berwarna gelap, lebih mendekati hitam daripada keemasan.
“Lebih baik?” tanyanya.
“Ya,” sahutku hati-hati.
Ia menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti. Kurasa aku memilih kata “overreaction –
bereaksi berlebihan.”
“Mengapa kau bilang begitu?” aku berbisik, menjaga suaraku agar tidak gemetaran. “Apakah kau lelah
menyelamatkanku setiap saat? Kau ingin aku pergi?”
“Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Bella, tentu saja tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang saja
menyelamatkanmu—jika saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru menempatkanmu dalam bahaya...
bahwa akulah alasan kau berada di sini.”
“Ya, kaulah penyebabnya.” Aku merengut. “Alasan aku berada di sini—hidup-hidup.”
“Nyaris,” ia berbisik. “Dibalut perban dan plester dan nyaris tak bisa bergerak.”
“Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja kualami ini,” kataku, mulai jengkel. “Aku sedang
memikirkan yang lain—kau boleh pilih. Kalau bukan karena kau, aku sudah membusuk di pemakaman Forks.”
Ia meringis mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.
“Meski begitu, itu bukan yang terburuk,” ia melanjutkan berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan apa-apa.
“Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terbaring di lantai... meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat.
“Yang terburuk bukanlah berpikir bahwa aku terlambat. Bahkan bukan mendengarmu menjerit kesakitan—semua ingatan mengerikan itu akan kubawa bersamaku sepanjang masa. Bukan, yang paling parah adalah merasa... mengetahui bahwa aku tak bisa berhenti. Percaya aku sendirilah yang akan membunuhmu.”
“Tapi kau tidak membunuhku.”
“Aku bisa saja. Semudah itu.”
Aku tahu aku harus tetap tenang... tapi ia mencoba membujuk dirinya sendiri untuk meninggalkanku, dan rasa
panik mencekat paru-paruku, mencoba melepaskan diri. “Berjanjilah padaku.” Aku berbisik.
“Apa?”
“Kau tahu maksudku.” Aku mulai marah sekarang. Ia benar-benar bersikeras untuk terus berpikir negatif.
Ia mendengar perubahan pada nada suaraku.Tatapannya tajam. “Sepertinya aku tak cukup kuat untuk
berada jauh darimu, Jadi kurasa kau akan menemukan caranya... entah itu akan membunuhmu atau tidak.” Ia
menambahkan dengan kasar.
“Bagus.” Meski begitu ia tidak berjanji—fakta itu tak terlewatkan olehku. Kepanikanku nyaris tak terbendung;
tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk mengendalikan amarahku. “Kau memberitahuku
bagaimana kau berhenti... sekarang aku mau tahu kenapa,” desakku.
“Kenapa?” ulangnya hati-hati.
“Kenapa kau melakukannya. Kenapa kau tak membiarkan racunnya menyebar? Saat ini aku akan sama
seperti dirimu.”
Mata Edward sepertinya berubah hitam, dingin, dan aku ingat, ia tak ingin aku mengetahui hal seperti ini. Alice pasti terlalu disibukkan oleh hal-hal tentang dirinya yang baru diketahuinya... atau ia sangat berhati-hati dengan
pikirannya ketika berada di sekitar Edward—jelas Edward tidak tahu Alice telah memberitahuku tentang penciptaan vampir. Ia terkejut, marah. Lubang hidungnya kembangkempis, mulutnya seolah dipahat dan batu.
Ia tidak akan menjawab, itu sangat jelas.
“Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi
kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu sama lain.”
Ia melipat tangan dan meletakkannya di sisi tempat tidurku, lalu meletakkan dagunya di sana. Raut wajahnya
lembut, kemarahannya mereda. Sepertinya ia telah memutuskan ia tidak marah padaku. Kuharap aku punya
kesempatan untuk mengingatkan Alice sebelum Edward menemuinya.
“Kau telah menyelamatkanku,” katanya pelan.
“Aku tidak bisa selalu menjadi Lois Lane,” aku berkeras.
“Aku juga ingin jadi Superman.”
“Kau tidak tahu apa yang kauminta.” Suaranya lembut; ia menatap lekat-lekat ujung sarung bantal.
“Kurasa aku tahu.”
“Bella, kau tidak tahu. Aku telah melewati hampir sembilan puluh tahun memikirkan hal ini, dan aku masih
tidak yakin.”
“Apa kau berharap Carlisle tidak menyelamatkanmu?”
“Tidak, aku tidak berharap begitu.” Ia berhenti sebelum melanjutkan, “Tapi hidupku sudah berakhir. Aku tidak
menyerahkan apa pun.”
“Kaulah hidupku. Hanya kehilangan dirimu yang bisa menyakitiku.” Aku semakin baik dalam hal ini. Mudah
rasanya mengakui betapa aku membutuhkannya. Meski begitu ia sangat tenang. Yakin.
“Aku tak bisa melakukannya. Bella. Aku takkan melakukannya padamu.”
“Kenapa tidak?” Tenggorokanku tercekat dan mapanku tak selantang yang kuinginkan. “Jangan bilang padaku itu terlalu sulit untukmu! Setelah hari ini, atau kurasa beberapa hari yang lalu... setelah itu. Seharusnya bukan apa-apa.” Ia menatap geram padaku.
“Dan rasa sakitnya?” tanyanya.
Wajahku memucat. Aku tak bisa menahannya. Tapi aku berusaha menjaga ekspresiku hingga tidak kelihatan betapa jelas aku mengingat rasanya... api dalam nadiku.
“Itu masalahku.” Karaku. “Aku bisa mengatasinya.”
“Sangat mungkin untuk bersikap berani hingga pada titik keberanian itu berubah jadi kegilaan.”
“Bukan masalah. Tiga hari. Sama sekali, bukan masalah.”
Edward meringis lagi saat kata-kataku mengingatkannya bahwa aku tahu lebih banyak daripada yang mungkin
diharapkannya. Aku melihatnya berusaha menekan amarah, memerhatikan saat matanya mulai bertanya-tanya.
“Charlie?” tanyanya tiba-tiba. “Renee?”
Waktu berlalu dalam keheningan saat aku berusaha menjawab. Aku membuka mulut, tapi tak ada suara yang
keluar. Aku menutupnya lagi. Ia menunggu, kemudian ekspresinya berganti jadi kemenangan karena tahu aku
tidak mengetahui jawabannya.
“Begini saja, itu juga bukan masalah,” gumamku akhirnya; suaraku terdengar sama tidak meyakinkannya
seperti setiap kali aku berbohong. “Renee selalu membuat keputusan yang menurut dia benar—dia ingin aku
melakukan yang sama. Dan Charlie lebih fleksibel, dia terbiasa hidup sendirian. Aku tak bisa menjaga mereka
selamanya. Aku punya kehidupan sendiri yang harus kujalani.”
“Tepat sekali,” tukasnya. “Dan aku tak ingin mengakhirinya.”
“Kalau kau menungguku hingga sekarat, ada kabar baik untukmu! Aku baru saja mengalaminya!”
“Kau akan sembuh,” ia mengingatkanku.
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri, mengabaikan nyeri yang muncul karenanya. Aku
menatapnya, dan ia balas menatap. Wajahnya tidak menunjukkan kompromi.
“Tidak,” kataku pelan. “Aku takkan sembuh.”
Kerutan di dahinya semakin dalam. “Tentu saja kau akan sembuh. Paling-paling akan meninggalkan satu atau
dua bekas luka...”
“Kau keliru,” aku berkeras. “Aku bakal mati.”
“Sungguh, Bella.” Sekarang ia cemas. “Kau akan keluar dari sini beberapa hari lagi. Paling lama dua minggu.”
Aku menatapnya geram. “Aku mungkin takkan mati sekarang— tapi suatu saat. Setiap menit dalam hidupku aku
semakin dekat ke kematian. Dan aku akan menjadi tua.”
Wajahnya merengut saat ia memahami arti ucapanku. Ia menempelkan jemarinya yang panjang ke dahinya, matanya terpejam. “Itulah yang mestinya terjadi. Yang seharusnya terjadi. Yang akan terjadi seandainya aku tidak ada—dan aku seharusnya tidak ada.” Aku mendengus. Ia membuka mata, terkejut. “Itu bodoh. Itu seperti mendatangi orang yang baru menang lotere, mengambil uangnya, dan berkata, ‘Begini, kita kembali saja ke bagaimana segalanya seharusnya terjadi. Lebih baik begitu.’ Dan aku tidak memercayainya.”
“Aku bukan hadiah lotere,” geramnya.
“Benar. Kau jauh lebih baik.” Ia memutar bola matanya dan merapatkan bibirnya.
“Bella, kita tidak akan membahasnya lagi. Aku menolak mengutukmu mengalami malam tak berujung, dan inilah keputusanku.”
“Kalau kaupikir ini akhirnya, berarti kau tidak mengenalku,” aku mengingatkannya. “Kau bukan satusatunya
vampir yang kukenal.”
Matanya kembali kelam. “Alice takkan berani.” Dan untuk beberapa saat ia tampak sangat mengerikan
hingga aku tak dapat mencegah untuk memercayainya—aku tak dapat membayangkan ada orang yang cukup berani untuk membuatnya marah.
“Alice sudah melihatnya kan?” Aku mencoba menebak.
“Itu sebabnya hal-hal yang dikatakannya membuatmu marah. Dia tahu aku akan jadi seperti dirimu... suatu hari
nanti.”
“Dia keliru. Dia juga melihatmu mari. Tapi itu juga tidak terjadi.”
“Kau takkan mendapatkanku bertaruh melawan Alice.” Lama sekali kami bertatapan. Suasana hening kecuali
bunyi deru mesin bunyi bip, tetesan. Dan detak jam besar di dinding. Akhirnya ekspresinya melembut.
“Jadi bagaimana kesimpulannya?” aku bertanya-tanya.
Ia tertawa dingin. “Aku yakin itu namanya jalan buntu.” Aku mendesah. “Auw,” gumamku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya, sambil melirik tombol untuk memanggil perawat.
“Aku baik-baik saja.” Aku berbohong.
“Aku tidak percaya,” katanya lembut.
“Aku tidak mau tidur lagi.”
“Kau harus beristirahat Semua perdebatan ini tidak baik untukmu.”
“Jadi menyerahlah” aku menyarankan.
“Usaha bagus.” Ia menggapai tombol.
“Jangan!” Ia mengabaikanku
“Ya?” terdengar suara dan speaker di dinding.
“Kurasa Bella sudah siap untuk obat penghilang sakitnya,” katanya tenang tak memedulikan kekesalan yang
terpancar di wajahku.
“Aku akan menyuruh perawat ke sana” Suara itu terdengar bosan.
“Aku takkan meminumnya,” aku berjanji. Ia memandang kantong cairan di samping tempat tidurku. “Kurasa mereka takkan menyuruhmu meminum apa-apa.”
Detak jantungku mulai memburu. Ia melihat ketakutan di mataku, dan mendesah putus asa.
“Bella, kau sakit. Kau perlu tenang supaya bisa sembuh. Kau benar-benar keras kepala. Saat ini mereka tidak akan memasang jarum lagi di tubuhmu.”
“Aku tidak takut jarum,” gumamku. “Aku takut memejamkan mata.”
Kemudian ia tersenyum simpul, dan memegang wajahku dengan kedua tangannya. “Sudah kubilang, aku takkan
pergi ke mana-mana. Jangan khawatir. Selama kau senang karenanya, aku akan di sini.” Aku balas tersenyum, mengabaikan rasa sakit di pipiku.
“Itu berarti selamanya, tahu.”
“Oh, kau akan melupakannya—kau Cuma naksir aku.” Aku menggeleng tak percaya—itu membuatku pusing.
“Aku terkejut waktu Renee memercayai ucapanku itu. Aku tahu kau tahu lebih baik darinya.”
“Itulah hal terindah menjadi manusia.” Ia memberitahuku. “Segala sesuatu berubah.”
Mataku menyipit. “Jangan kelewat berharap.” Ia tertawa ketika perawat masuk sambil mengacungkan
suntikan.
“Permisi.” Katanya pada Edward
Edward bangkit dan pergi ke ujung ruangan, bersandar di dinding. Ia bersedekap dan menunggu. Aku terus
menatapnya, masih waswas. Ia menatapku tenang.
“Nah, ini obatnya, Sayang.” Perawat tersenyum saat menyuntikkan obat ke tabung infusku. “Kau akan merasa
lebih baik sekarang.”
“Terima kasih,” gumamku datar. Hanya sebentar. Aku langsung merasakan kantuk menetes-netes dalam aliran
darahku.
“Kurasa sudah bereaksi,” gumamnya, saat kelopak mataku mulai memejam.
Perawat pasti telah meninggalkan ruangan, karena sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh wajahku.
“Tinggallah.” Kata itu nyaris tak terdengar.
“Aku akan ada di sini,” ia berjanji. Suaranya indah, bagai nina bobo. “Seperti kataku, selama ini membuatmu
bahagia... selama ini adalah yang terbaik untukmu.” Aku mencoba menggerak-gerakkan kepala, tapi terlalu
berat. ‘”Tu tidak sama,” gumamku.
Ia tertawa. “Sudah, jangan khawatirkan itu, Bella. Kau bisa berdebat denganku saat kau bangun nanti.”
Kurasa aku tersenyum mendengarnya. ‘”Ke.” Aku bisa merasakan bibirnya di telingaku.
“Aku mencintaimu,” bisiknya.
“Aku juga.”
“Aku tahu,” ia tertawa pelan.
Aku menoleh sedikit... mencari. Ia tahu apa yang kucari. Bibirnya menyentuh lembut bibirku.
“Terima kasih,” desahku.
“Sama-sama.”
Aku sudah nyaris tak sadarkan diri. Tapi akumelawannya dengan sisa-sisa tenagaku. Tinggal satu lagi
yang ingin kukatakan padanya. “Edward?” aku berusaha mengucapkan namanya dengan
jelas.
“Ya?”
“Aku bertaruh memegang Alice,” gumamku. Kemudian aku pun tertidur.
Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates