Featured

June 19, 2014

Dakwah Islam di Cina

PENDAHULUAN
       A.    Latar Belakang Masalah
Cina adalah negara terbesar ketiga yang mempunyai penduduk terpadat. Di negara yang menggunakan mandarin sebagai bahasa nasionalnya menganggap bahwa agama tidaklah penting, karena mereka menganggap bahwa agama hanyalah sesuatu yang kuno dan agama halnya dipakai pada masyarakat yang tidak mampu menjalani tantangan hidup. Di negeri tak mengenal Tuhan, Islam hidup dan berkembang. Bahkan banyak sumbangan Islam telah diwariskan. Diantaranya sistem kalender, ilmu matematika, kedokteran, dsb. Cina merupakan negara yang mempunyai penduduk paling besar di dunia, dengan jumlah populasi lebih dari 1.3 milyar. Sekalipun ia sering dilihat sebagai negara komunis, ia juga dikenal sebagai negeri yang tak bertuhan.
      B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asal-muasal Islam di Cina ?
2.      Bagaimana kedatangan Islam di Tiongkok ?
3.      Bagaimana orang Arab di Tiongkok memeluk Islam ?
4.      Bagaimana Islam di Cina Pasca Saad bin Abi Waqqas ?
5.      Bagaimana pola dakwah Islam di Cina ?
6.      Bagaimana kondisi mad’u di Cina ?
7.      Bagaimana metode dakwah yang digunakan di Cina ?
8.      Bagaimana pola dakwah kontemporer di Cina ?
PEMBAHASAN
     A.    Asal-Muasal Islam di Cina
Agama Islam dipercaya telah sampai ke Cina sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu. Nabi Muhammad SAW., sebelum memulai penghijrahan dari Mekkah ke Madinah telah lebih dulu mengantar beberapa orang sahabatnya pergi berdakwah ke Cina. Di antaranya adalah Saad bin Abdul Qais, Qais bin Abu Hudhafah, Urwah bin Abi Uththan, dan Abu Qais bin Al-Harits. Misi dakwah yang dilaksanakan telah berhasil melahirkan lebih dari 136 juta umat Islam yang ada di Cina hari ini. Jumlah ini jauh lebih besar dari angka yang diberikan oleh pihak kerajaan Cina. Menurut data 1990, jumlah umat Islam di Cina hanya sekitar 17 juta orang saja. Bagaimanapun, pendataan ini menimbulkan banyak keraguan karena umat Islam membentuk penduduk mayoritas di sebagian besar wilayah Cina, seperti Xinjiang, Gansu, Hubel, Qinghai, dan Yunan.
Penduduk Islam di Cina tidak hanya terbatas kepada suku etnis Hui, tetapi juga Uyghur, Kazak, Tartar, Salar, Dongxiang, Tajik, Uzbek, dan Baoan. Serta tidak terkecuali juga orang Han yang membentuk mayoritas penduduk di Negara Cina. Suku-suku etnis ini tinggal di kawasan barat laut Cina dan mempunyai hubungan pertalian darah dengan orang Arab, Turki, Afghanistan, Uzbekistan, Tibet, Mongolia, dan Indo Eropa. Wajah suku etnis Islam ini memiliki perbedaan dengan wajah orang Cina yang lain karena memiliki ciri-ciri darah campuran. Muka mereka kelihatan sedikit kemerah-merahan dengan bentuk hidung yang tinggi dan mancung. Namun, mata mereka tetap kelihatan sipit menunjukkan adanya percampuran dengan darah orang Cina. Keunikan ini menjadikan umat Islam di Cina sebagai suatu kelompok etnis yang istimewa dengan identitas, budaya, dan cara hidup yang tersendiri. Bahkan, di beberapa tempat, ada di antara suku etnis itu menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi utama.
Walaupun tidak ada catatan yang tepat mengenai tahun kedatangan Islam di Cina, catatan dari Dinasti Tang telah menjelaskan bahwa terjalin hubungan diplomatik antara pemerintahan Cina dengan pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Sayidina Utsman bin Affan. Catatan itu menyebutkan, pada awal pemerintahan Dinasti Tang telah sampai orang asing ke Cina dari Madinah, Annam, dan Kamboja. Tiga orang asing yang berasal dari Madinah, mereka tidak memakan daging babi, tidak meminum arak, dan menyembelih hewan sebelum memakannya. Mereka kemudian menetap di Kanton. Mereka berniaga dan amat patuh pada pimpinan yang mereka pilih. Orang asing yang dimaksudkan itu ialah pedagang Arab yang telah membentuk suatu komunitas yang cukup penting di Kanton.
     B.     Kedatangan Islam di Tiongkok
Hubungan perdagangan antara Arab dan Tiongkok telah ada lama sebelum Islam diajarkan di Tiongkok. Hubungan antara orang-orang Arab dan Cina telah ada semenjak kekuasaan Dinasti Sui. Dari Baghdad dan daerah-daerah lainnya mereka membawa mutiara, batu-batu ambar dan lain-lain barang berharga dan dari negerinya mereka membawa sutera, minyak wangi dan barang lain-lain yang berguna. Perdagangan ini menyebabkan tiap tahun terjadi pelayaran dilaut ke arah selatan tenggara Cina.
Menurut pendapat yang tradisionil, orang Muslim pertama yang datang di Tiongkok ialah dalam zaman pemerintahan Tai Tsung (627-650 A.D.), kaisar kedua dari Dinasti Tang. Orang yang mula-mula mengajarkan Islam ialah Saad bin Abi Waqqas, yang meletakkan batu-batu pertama Masjid Kanton yang masyur yang terkenal sekarang sebagai Wai-Shin-zi, yaitu Masjid untuk kenang-kenangan kepada Nabi. Dalam bukunya, Chee Chea Sheehuzoo (Kehidupan Nabi), seorang penulis Muslim abad ke-18 Lui Tshich, menulis: “Ketika Saad bin Abi Waqqas kembali ke Arabia setelah lama berdiam di Kanton, Khalifah Usman mengirimnya kembali sebagai utusannya kepada Kaisar Tiongkok. Akan tetapi ia sendiri tak sempat mengunjungi tanah Arab untuk kedua kalinya dan meninggal di Kanton. Diduga ia dikuburkan dikuburan tua di Kanton.[1]
Kota Guangzhou di Cina ternyata menyimpan sejarah kebesaran Islam. Di kota yang disebut Khanfu oleh orang Arab ini, Islam pertama kali datang dan berkembang. Kota ini menjadi pusat pengembangan Islam di Cina karena keberadaan pelabuhan laut Internasionalnya. Menurut catatan resmi dari Dinasti Tang yang berkuasa pada 618-905 M dan berdasarkan catatan serupa dalam buku A Brief Study of the Introduction of Islam to China karya Chen Yuen, Islam pertama kali datang ke Cina sekitar tahun 30 H atau 651 M.
Disebutkan bahwa Islam masuk ke Cina melalui utusan yang dikirim oleh Khalifah Usman bin Affan, yang memerintah selama 12 tahun atau pada periode 23-35 H/644-656 M. Sebagian catatan lagi menyebutkan, Islam pertama kali datang ke Cina dibawa oleh panglima besar Islam, Saad bin Abi Waqqas, bersama sahabat lainnya pada tahun 616 M. Catatan tersebut menyebutkan bahwa Saad bin Abi Waqqas dan tiga sahabat lainnya datang ke Cina dari Abyssinia atau yang sekarang dikenal dengan Ethiopia. Setelah kunungan pertamanya, Saad kemudian kembali ke Arab. Ia kembali lagi ke Cina 21 tahun kemudian atau pada masa pemerintahan Usman bin Affan, dan datang dengan membawa salinan Al-Qur’an pada masa ke khalifahannya memang menyalin Al-Qur’an dan menyebarkan ke berbagai tempat, demi menjaga kemurnian kitab suci ini.
Pada kedatangannya yang kedua di tahun 650, Saad bin Abi Waqqas kembali ke Cina dengan berlayar melalui Samudera Hindia ke Laut Cina menuju pelabuhan laut di Guangzhou. Kemudian ia berlayar ke Chang’an atau kini dikenal dengan nama Xi’an melalui rute yang kemudian dikenal sebagai Jalur Sutera. Bersama para sahabat, Saad datang dengan membawa hadiah dan diterima dengan hangat oleh Kaisar Dinasti Tang, Kao-Tsung (650-683). Namun, Islam sebagai agama tidak langsung diterima oleh sang Kaisar. Setelah melalui proses penyelidikan, sang Kaisar kemudian memberikan izin bagi pengembangan Islam yang dirasanya cocok.
Saad bin Abi Waqqas kemudian menetap di Guangzhou dan ia mendirikan Masjid Huaisheng yang menjadi salah satu tonggak sejarah Islam paling berharga di Cina. Masjid ini menjadi Masjid tertua yang ada di daratan Cina dan usianya sudah melebihi 1300 tahun. Masjid ini terus bertahan melewati berbagai moment sejarah Cina dan saat ini masih berdiri tegak dan masih seindah dahulu setelah diperbaiki dan direstorasi. Masjid Huaisheng ini kemudian dijadikan Masjid Raya Guangzhou Remember the Sage, atau masjid untuk mengenang Nabi Muhammad SAW. Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Guangta, karena Masjid dengan menara elok ini yang letaknya di jalan Guangta.[2]
     C.     Orang Arab di Tiongkok memeluk Islam
Nabi besar Muhammad SAW barulah beroleh pengikutnya beberapa ratus orang saja pada Tahun Dakwah yang ke-7, yakni pada tahun 618 M. Mereka itu beroleh tantangan teramat sengit dari pihak Qurais yang masih menyembah berhala di kota Mekkah, dianiaya dan diboikot dan bahkan dibunuh, karena tidak mau merubah keimanannya terhadap Allah Maha Esa. Keimanan mereka itu berlawanan secara total dengan kepentingan para pemahat patung dan dengan kepercayaan mereka yang masih menyembah berhala itu. Nabi besar Muhammad pada akhirnya mengizinkan bagian terbesar dari mereka itu, berjumlah 101 orang terdiri atas lelaki dan wanita, untuk hijrah ke Ethiopia dibawah pimpian Jaafar ibn Abi Thalib.
Didalam jumlah itu ikut Saad ibn Lubaid yang mempunyai darah petualang. Saad kurang serasi dengan kehidupan Ethiopia itu, lalu berlayar dengan menumpang sebuah kapal (dari teluk Aden), dengan harapan akan beroleh kehidupan yang lebih serasi pada suatu tempat perantauan. Armada dagang Arab dari teluk Parsi maupun teluk Aden itu biasanya berlayar pada bulan Mei dan Juni ke arah Timur dan pulang kembali pada bulan Oktober dan November, yaitu mengikuti musim angin.
Kapal yang membawa Saad ibn Lubaid itu, beberapa bulan belakangan, tiba pada Kwang Chow (Kanton), sebuah bandar dagang yang teramat modern di dunia pada masa itu. Iapun mulai menyebarkan ajaran Islam disitu pada masa antara tahun 9 H dan 14 H. Jadi, kurang lebih 20 tahun sebelum ada hubungan diplomatik resmi antara Dinasti Tang (618-905 M) di Tiongkok dengan Daulah Umayyah (661-750 M) di Timur Tengah, maka agama Islam itu sudah tersebar pada bandar-bandar dagang di Tiongkok. Orang Tionghoa memanggilkan mereka itu dengan “orang Arab berjubah putih”. (White robed Arabs).[3]
     D.    Islam di Cina Pasca Saad bin Abi Waqqas
Setelah masa itu, Islam berkembang dengan pesat di Cina dibanding daerah-daerah lain diluar kawasan Arab. Di negara ini, Islam berkembang melalui perdagangan. Itu sebabnya, Islam berkembang di daerah sekitar pelabuhan dan bandar-bandar besar di berbagai negara. Selain Guangzhou, salah satu daerah yang menjadi pusat perkembangan Islam adalah Quanzhou. Kota yang menjadi titik awal jalur sutera ini juga menjadi bukti nyata keindahan toleransi antar umat beragama. Di kota ini, pemeluk Islam, Hindu, Budha, Manichaeisme, Taoisme, Nestoriaisme, dan berbagai kepercayaan lain di kota ini hidup damai dan berdampingan.
Quanzhou juga ramai dikunjungi peziarah Muslim dari Arab karena keberadaan makam suci dua orang yang dipercaya merupakan sahabat Rasulullah. Dalam bahasa Cina, sahabat ini bernama Sa-ke-zu dan Wu-ko-su. Selain makam, di Quanzhou juga terdapat salah satu Masjid pertama yang ada di Cina, yaitu Masjid Qinging. Masid ini dibangun tahun 1009, dan desain masjid ini dibuat berdasar masjid di Damaskus, Suriah.
Di kota ini juga terdapat sekitar 10 ribu makam orang Arab dengan nama keluarga Guo di Pulau Baiqi, Quanzhou. Makam-makam ini ditulisi dengan huruf Cina dan Arab. Makam ini jelas makam orang Islam, dan banyak diantaranya yang ditulisi dengan kata Fanke Mu yang artinya adalah makam orang asing. Ini menjadi bukti banyaknya umat Islam dari luar Cina yang menetap di kota ini. Sayangnya kini kejayaan sejarah kota itu hilang negitu saja. Di suatu masa, Quanzhou menjadi kota yang dipenuhi oleh masjid, kuil, dan biara. Namun kini semua itu hilang, dan yang tersisa hanyalah dinding yang nyaris roboh.
     E.     Pola Dakwah Islam di Cina
Data sejarah Islam masuk ke Cina sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi berbunyi,[4] “Uthlub al-ilma walaw bi al-Shin Fainna thalab al-ilm faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” (Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri Cina, karena sesungguhnya mempelajari suatu ilmu wajib bagi muslim, laki-laki atau perempuan). (HR.Ibnu Abdil Bar)”.[5] Sedangkan perjalanan dakwah ke Cina disebabkan adanya lembaga perdagangan Arab dan Cina yang terjalin lama sebelum Nabi Muhammad SAW lahir.
Pada abad ke-6 M, pedagang antara Arab dan Cina sangat berkembang melalui Ceylon (Srilangka) bahakan pada abad ke-7 perdagangan segitiga (Arab, Cina dan Persia) makin terus berkembang. Kemudian sejak Dinasti Tang di Cina (618-907 M) pertama kali nama Arab disebut-sebut dalam tarikh Cina. Jadi, tampaknya, penyebaran Islam dalam berdakwah menggunakan jalur perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Arab dan disusul bangsa Persia di Cina.[6] Selanjutnya pada masa khalifah Walid (705-715 M) Daulah Abbasiyah, Jenderal Arab terkenal bernama Qutaibah bin Muslim berhasil meluaskan wilayahnya melintasi Oxus, menguasai Bukhara, Samarkand, dan kota-kota lain di Timur hingga hampir mencapai daerah perbatasan Cina.
Perluasan wilayah kekuasaan menunjukkan perluasan wilayah daerah Islam di Cina dalam proses menggunakan pendekatan jalur dagang (kultural) dan politik (struktural). Dakwah dengan pendekatan politik ialah terjadinya budaya diplomatik yang bangsa antara khalifah Hisyam dengan Kaisar Hsuan Tsung dimana Khalifah mengutus duta Arab bernama Sulaiman ke Cina. Hubungan diplomatik ini terjadi ketika Kaisar Hsuan digulingkan oleh pemberontak, lalu Kaisar Hsuan menyerahkan kekuasaannya kepada putranya, Su Tsung (756 M) dan Kaisar Su memohon bantuan kepada Khalifah Abbasiyah yang dijabat oleh Al-Mansur, lalu Al-Mansur mengirim pasukan dan berhasil merebut dua kota penting dari tangan pemberontak, yaitu kota Si-ngan-fu dan Ho-non-fu. Pada akhir pemberontakan, pasukan Arab tidak kembali ke negerinya, tetapi kawin dan menetap di Cina dengan berbagai alasan.[7]
Orang-orang Arab yang menetap di Cina masih sangat kuat memperlihatkan sikap dan prilaku yang berbeda dengan non muslim, Cina yang kebiasaan memakan babi dan beribadah di rumah atau tempat tertentu (klenteng). Sebaliknya, umat Islam Cina mengharamkan babi dan menjadikan masjid sebagai tempat ibadah. Oleh karena itu, kaum pendatang (Arab Muslim) yang menetap di Cina membangun masjid-masjid untuk tempat beribadah mereka. Akan tetapi, memang tidak ada kegiatam dakwah yang menonjol dari orang-orang Islam Cina, dan kalau pun ada sangat sedikit keterangan yang dapat diperoleh setidaknya hingga periode penaklukan Mongol pada abad ke-13. Penaklukan ini ternyata membuka kesempatan untuk berimigrasi secara besar-besaran dari orang-orang Islam berbagai kebangsaan, seperti: Arab, Persia, Turki, dan lain-lain. Sebagian mereka datang ke Cina sebagai pedagang, seniman, tentara, dan sebagai tawanan.
Beberapa orang Islam tersebut menduduki jabatan-jabatan penting pada pemerintahan Mongol, diantaranya Abdurrahman dan Umar Syamsuddin (dikenal Sayyid Ajall). Abdurrahman pada tahun 1244 disebut menjadi mentri keuangan untuk mengurusi pajak dari warga negara Cina. Sayyid Ajall asal kelahiran Bukhara oleh Qubilay Khan pada tahun 1259 diserahi suruh mengurusi keuangan negara merangkap jabatan Gubernur Yunan sebagai Propinsi yang ditaklukan dan disatukan ke dalam imperium Cina. Sayyid Ajall wafat tahun 1270 dan ia meninggalkan nama harum karena sebagai administator teladan yang jujur.[8]
Selama memainkan peran sebagai peabat negara, Sayyid Ajall terus berdakwah dengan keteladanan dirinya dan membangun masjid-masjid di kota Yunan, tetapi juga ia membangun klenteng-klenteng, jadi dengan masuknya pendatang Muslim ke jalur pemerintahan kerajaan Mongol, ini makin memperkuat dan memudahkan penyebaran Islam atau proses dakwah di Cina. Bahkan dituturkan oleh Thomas W. Arnold, bahwa keluarga keturunan Sayyid Ajall memainkan peranan penting dalam dakwah Islam di Cina. Kaisar pun mendukung penyebaran dakwah Islam di Cina yang dilakukan oleh keturunan Sayyid Ajall, cucu Sayyid Ajall pada tahun 1335 memperjuangkan Islam memperoleh pengakuan dari Kaisar sebagai “Agama yang Benar dan Murni”. Seorang keturunan lainnya juga diberi wewenang oleh Kaisar pada tahun 1420 untuk membangun masjid-masjid kota penting di kota Si-ngan-fu dan kota Nan-kin. Namun demikian, penghargaan Kaisar kepada keturunan Sayyid Ajall mengundang kecemburuan dan kekecewaan pribumi Cina kepada pemerintahan Qubilay Khan yang menempatkan pejabat-pejabat bukan dari pejabat pribumi untuk menggantikan pejabat imigran dari Turki dan Persia, tetapi dari keturunan Sayyid Ajall.
Tampaknya penghormatan terhadap keturunan Sayyid Ajall dari Kaisar Mongol memberikan dampak yang mendorong orang-orang Islam untuk datang ke Cina Utara. Kedatangan imigrasi diberbagai daerah di Cina dan berkembang pesat komunitas Islam di Cina.
Perkembangan komunitas Islam di Cina memperlihatkan perkembangan dakwah Islam disana. Berbagai aktivitas umat Islam di Cina menunjukan prilaku budaya Islam sekaligus memperlihatkan syi’ar Islam. Menurut Ibn Barutah, bahwa ia mengunjungi berbagai kota pantai di Cina pada pertengahan abad ke-14, dan menurutnya disetiap kota terdapat suatu wilayah khusus bagi orang-orang Islam, mereka dihormati dan dimuliakan oleh orang-orang Cina.
Akan tetapi, pada masa-masa selanjutnya perkembangan dakwah Islam di Cina mengalami masa surut, disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:[9]
1.      Komunitas Muslim pedagang di Cina masih dipandang atau mereka memandang dirinya sebagai kelompok masyarakat asing di Cina karena pemerintahan Cina, sejak akhir abad ke-14 dengan tersingkirnya Dinasti Mongol, menerapkan kebijakan politik isolasi bagi pendatang, termasuk pendatang Muslim yang berasal dari Arab dan Persia.
2.      Terputusnya komunikasi antar sesama komunitas Muslim diCina dengan saudara-saudara mereka se-agama dan se-tanah air di negeri lain (Cina).
3.      Munculnya pemerintah baru, setelah berakhirnya Dinasti Mongol dan Dinasti Ming, kebebasan agama bagi komunitas Muslim dibatasi oleh pemerintah baru, lalu timbulah kerusuhan-kerusuhan. Pada tahun 1648 di Propinsi Kausu terjadi kerusuhan dimana umat Islam mengangkat senjata terhadap pemerintah Cina dan Kaisar Yung Chen mengeluarkan maklumat pada tahun 1731 yang berisi tentang persamaan hak dan kebebasan bersama untuk meredam konflik yang disebabkan oleh perbedaan ras, etnis, dan agama. Bahkan kira-kira tahun berikutnya, Islam mulai bangkit kembali.
Kebangkitan Islam di Cina antara lain:[10]
1.      Diangkatnya dua orang Islam sebagai bangsawan (Beg Turki) oleh Kaisar K’ien Lung sebagai usaha memadamkan pemberontakan di Barat Laut Kashgar, dan dibangunnya Islam Peking dan masjid untuk kepentingan mereka.
2.      Kaisar pada tahun 1770 memindahkan 10.000 keluarga tentara untuk menumpas pemberontakan di Zungaria, dan mereka konon kabarnya telah menganut Islam mengikuti penduduk sekitarnya.
3.      Perkawinan Kaisar dengan tawanan cantik dan karena cintanya di bangunlah masjid yang langsung berhadapan dengan istana.
4.      Dakwah sosial dilakukan dengan membantu anak-anak dari keluarga miskin di Cina dan anak-anaknya dibesarkan menjadi Islam.
5.      Orang-orang Islam Cina cenderung hidup bersama terpisah dari penduduk yang beragama Islam, baik di kota maupun di desa dan mereka tidak suka apabila ada seseorang yang tidak mau beribadah di masjid.
6.      Umat Islam mampu beradaptasi dengan kultur budaya masyarakat setempat dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan kebiasaan dan cara-cara setempat.
7.      Para pengarang atau penulis Muslim Cina selalu menghargai karya-karya konfusius dan tulisan Cina klasik dan mereka juga berusaha mengharmonisasikan pokok-pokok isi buku tersebut dengan ajaran-ajaran Islam, dan
8.      Pemerintah Cina memberikan hak-hak yang sama terhadap kaum muslimin seperti penduduk lainnya.
Beberapa pola dakwah yang dikembangkan kaum muslimin di Cina tersebut menjadikan agama Islam dapat berkembang di Cina. Akan tetapi, pada masa-masa selanjutnya, ketika Cina memasuki pemerintahan Republik Cina dengan menganut sistem pemerintahan beridiologi komunis sangat berpengaruh terhadap kemunduran dakwah Islam di Cina.[11]
      F.      Kondisi Mad’u di Cina
1.      Sosial
Secara garis besar masyarakat Cina Muslim terbagi menjadi 2 kelompok: Pertama  kelompok Hui, yakni warga Muslim yang tersebar di beberapa daerah yang berpenduduk Hui secara fisik, dan bahasa adalah warga Cina, tetapi menganggap diri mereka bukan sebagai warga Cina disebabkan mereka tidak makan daging babi dan menyembah nenek moyang, tidak berjudi, tidak mengkonsumsi minuman keras dan tidak pula mengisap ganja. Kedua kelompok muslim yang tidak berasimilasi dengan masyarakat Asia Tengah termasuk didalamnya kelompok Khazah, Ughur dan beberapa kelompok kecil lainnya yang sebagian besar mereka berbahasa Turki yang tidak berasimilasi ke dalam kebudayaan Cina, dan mereka mau bergabung sekitar abad ke-19 ketika Cina berhasil mengalahkan serangkaian pemberontakan yang dilancarkan Muslim yang berbahasa Cina didaerah Yunan, Shesi, di provinsi Khansu dan serangkaian pemberontokan di Uighhur dan Khazah di Singking.[12]
Pada masa Dinasti Tang datanglah ke kota Kangton banyak orang asing dari Amman, Kamboja, Madinah, dan beberapa orang lainnya dalam beribadah mereka menyembah langit maksudnya Allah dan tidak ada patung berhala, atau symbol pigura dalam rumah peribadatan mereka. Kerajaan Madinah memiliki hubungan yang erat dengan India. Di kerajaan inilah lahir agama-agama asing yang berbeda dengan agama Budha. Mereka tidak memakan daging babi atau minuman anggur dan tidak halal apa yang disembelih diluar cara mereka.
2.      Ekonomi
Perekonomian Cina di bawah Dinasti Song (960-1279), dari Cina ditandai oleh ekspansi komersial, kemakmuran finansial, peningkatan perdagangan internasional-kontak, dan sebuah revolusi dalam produktivitas pertanian. Keuangan swasta tumbuh, merangsang pengembangan jaringan pasar negara-lebar yang menghubungkan provinsi pesisir dengan interior. Perekonomian laju menimbulkan ledakan populasi yang sangat besar, yang berasal dari budidaya pertanian meningkat dalam 10 ke-11 abad yang dua kali lipat penduduk secara keseluruhan Cina, yang naik di atas 100 juta orang (dibandingkan dengan sebelumnya Tang, dengan sekitar 50 juta orang).
Islam terus berkembang pada jaman Dinasti Tang, Dinasti Song dan Dinasti Yuan, perkembangan kemudian menjadi sangat pesat sekali, bahkan kaum muslim di Cina saat itu menguasai sektor perdagangan baik Ekspor maupun Impor, lewat pelayaran laut maupun lewat jalur sutera. Pada jaman Dinasti Yuan perkampungan awal kaum Muslim disebut Hui-hui, adalah sekelompok etnis keturunan Cina Arab, dan Cina Persia, kemudian istilah Hui-hui berkembang menjadi Hui dan disematkan kepada semua orang Cina dari etnis manapun yang beragama Islam.
3.      Politik
Setelah  penaklukan kerajaan mongol yang ditaklukan oleh Cina, negara ini menganut sistem politik isolasi sehingga komunikasi penduduk Islam dengan saudara saudara mereka seagama mereka jadi terputus oleh karena itu mereka cenderung berasimilassi dengan penduduk Cina serta mengikuti adat kebiasaan orang Cina.
Secara politis umat muslim Cina membuat kemunculan kembali secara mengesankan banyak diantara mereka bergabung dengan revolusi nasionalis. Sementara itu pengorganisasian semua Muslim Cina dibawah paying tunggal dimotori oleh Muslim mulia dengan pembentukan “liga limama” gerakan-gerakan pembaharuan bersemangat wahabiah yang dikenal sebagai yuwani (ikhwan) menjadi pelopor berkat dukungan kaum nasionalis dan panglima perang mereka menilai bahwa Islam tradisionalis terlalu menyesuaikan diri dengan praktek-praktek Cina.
4.      Budaya
Terlepas itu, kebudayaan Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan Cina. Islam pernah memberi sumbangan besar terhadap perkembangan sains dan teknologi negeri itu. Diantaranya adalah kalender yang diciptakan oleh umat Islam dan pernah digunakan di Cina dalam waktu yang panjang.
Selain itu ada alat pandu arah angkasa yang dicipta oleh seorang ahli ilmu falak yang bernama Zamaruddin pada Dinasti Yuan sangat popular di Cina. Ilmu matematika yang dikembangkan dari Arab telah diterima oleh orang Cina. Ilmu perobatan Arab juga menjadi sebagian ilmu perobatan Cina. Umat Islam juga terkenal dengan pembuatan meriam di Cina, Dinasti Yuan menggunakan sejenis meriam yang dikenali sebagai meriam etnik Huizu yang dicipta oleh orang Islam Cina. Yang jelas, Islam tidak bisa dipisahkan begitu saja di negeri itu.
G.    Metode Dakwah yang Digunakan di Cina
Metode dakwah di Cina secara kultur menggunakan metode yaitu dengan membuat pranata atau lembaga sosial membuat lebih dari seribu bangunan sekolah dasar dan perpustakan sekolah menengah, mereka berhasil mengenakan studi bahasa Arab dan Islam di universitas Cina, seperti Universitas Bezing, Universitas Central, dan yang kedua mengunakan dakwah bil qalam yang telah banyak diproduksi sejumlah besar literature Islam dan bahasa Cina melalui majalah-majalah Islam seperti majalah studi Islam di Cina, surat kabar Islam, sinar Islam dan masih banyak lainnya.[13]
H.       Pola Dakwah Kontemporer Cina
Secara kultural terjadi kebangkitan kembali gerakan dakwah Islam di Cina, yaitu pada abad-19 dan 20. Selama periode ini orang-orang muslim banyak membangun lebih dari seribu sekolah dasar dan perpustakaan dan banyak sekolah menengah. Mereka berhasil mengenalkan studi bahasa Arab dan Islam di universitas-universitas Cina, seperti Universitas Beizing, Universitas Central, Universitas Tcung-San dan sebagainya. Dalam dakwah bil qalam telah banyak diproduksi sejumlah besar literatur Islam dalam bahasa Cina melalui majalah-majalah Islam, seperti ; Majalah Studi Islam di Cina, Surat Kabar Islam, Sinar Islam, Matahari Terbit, Pemuda Muslim, Al-Islah, Kemanusiaan, Chee, Bang-Tou, Batas0Batas, Al-Awqaf dan sebagainya.
Secara politis, umat muslim Cina membuat kemunculan kembali secara mengesankan. Banyak diantara mereka bergabung dengan Revolusi Nasionalis. Sementara itu pengorganisasian semua muslim Cina dibawah payung tunggal dimotori oleh muslim Mongolia dengan pembentukan “Liga Lima Ma”. Gerakan-Gerakan pembaruan bersemangat Wahabiyah yang dikenal sebagai Yihewani menjadi populer berkat dukungan kaum nasionalis dan para panglima perang. Mereka menilai bahwa Islam tradisionalis terlalu menyesuaikan diri dengan ppraktik-praktik Cina dan gerakan dakwahnya lebih pada aspek pembaruan dalam kehidupan masyarakat.[14]





[1] M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, (Jakarta : Tintamas, 1967) hlm.1-2.
[2] Ahmad Zainuddin, Dakwah Islam di Cina, (2 Oktober 2006) Diakses dari : http://datarental.blogspot.co.id/2009/06/dakwah-islam-di-cina.html pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 13:20.
[3] H. Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979) hlm.27-29.
[4] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.70.
[5] H. Mochtar Husein, Dakwah di Beijing, (10 November 2007), Diakses dari http://islam-itu-indah.blogspot.co.id/2007/11/dakwah-di-beijing.html pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 13:27.
[6] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.70.
[7] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.71.
[8] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.72-73.
[9] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.73-74.
[10] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.75.
[11] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung, 2010), hlm.76-77.
[12] Wahyu Ilahi, S.Ag., M.A. dan Harjani Hefni, Lc, M.A., Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta : Kencana 2007), hlm.138.
[13] Jaka Bilal, Resume Sejarah Dakwah, (20 Desember 2011), Diakses dari http://jakabillal.blogspot.co.id/2011/12/resume-sejarah-dakwah.html pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 20:15.
[14] Wahyu Ilahi, S.Ag., M.A. dan Harjani Hefni, Lc, M.A., Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta : Kencana 2007), hlm.139.
Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates