Featured

January 02, 2016

Penggerakan Dakwah

I.                    PENDAHULUAN

Usaha untuk menyebarluaskan Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia adalah usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun dan dimanapun harus dilaksanakan oleh umat islam. Penyelenggaraan usaha dakwah islam pada masa depan akan semakin bertambah berat. Hal ini disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi oleh dakwah semakin berkembang. Penyelenggaraan dakwah akan dapat berjalan secara efektif dan efesien, apabila terlebih dulu dapat mengidentifikasi dan mengantisipasi masalah-masalah yang akan dihadapi.
Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, kemudian menyusun rencana yang tepat, mengatur dan mengorganisir para pelaksana dakwah dalam kesatuan- kesatuan tertentu, selanjutnya mengerahkan dan menggerakkannya pada tujuan yang dikehendaki, begitu pula kemampuan untuk mengawasi. Salah satu materi yang sangat penting untuk dipahami dalam manajemen dakwah adalah penggerakan dakwah, oleh sebab itu  makalah ini secara khusus membahas tentang penggerakan dakwah agar dapat diketahui peran penting seorang pemimpin terhadap  anggota-anggotanya dalam memberikan motivasi, bimbingan dan lain-lain untuk dapat  mencapai tujuan dakwah yang telah disepakati bersama.

II.                 RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan penggerakan dakwah?
2.      Langkah- langkah apa saja yang harus dilakukan dalam penggerakan dakwah?



III.               PEMBAHASAN
1.      Pengertian penggerakan dakwah
Penggerakan dakwah merupakan inti dari manajemen dakwah. Sedangkan pengertian penggerakan adalah suatu usaha membujuk orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan suatu organisasi. Penggerakan juga dapat didefinisikan sebagai keseluruhan usaha, cara, teknik dan metode untuk mendorong para anggota organisasi agar mau dan ikhlas bekerjasama dengan sebaik mungkin  demi tercapainya tujuan organisasi dengan efektif, efisien, dan ekonomis[1].                                         
 Penggerakan diarahkan untuk merangsang anggota-anggota kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas secara antusias dan penuh semangat sebagai wujud dari kemauan yang baik .
Yang dimaksud dengan penggerakan dakwah adalah meminta pengurbanan para pelaksana untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka da’wah. Hal ini hanya mungkin terjadi bila pemimpin da’wah (da’i) mampu memberikan motivasi, bimbingan, mengkoordinir dan menjalin pengertian diantara mereka serta selalu meningkatkan kemampuan dan keahlian mereka[2].
Dalam proses da’wah, penggerakan da’wah (Actuating) mempunyai fungsi yang secara langsung berhubungan dengan teknis pelaksanaan. Maka, dengan adanya fungsi penggerakan inilah ketiga fungsi da’wah yang lain – Planing, Organizing and Controlling – ­baru akan efektif[3].
Agar fungsi dari penggerakan dakwah ini dapat berjalan secara optimal, maka harus menggunakan teknik-teknik tertentu yang meliputi :
Ø  Memberikan penjelasan secara komprehensif kepada seluruh elemen dakwah yang ada dalam organisasi dakwah.
Ø  Usahakan agara setiap pelaku dakwah menyadari, memahami, dan menerima baik tujuan yang telah diterapkan.
Ø  Setiap pelaku dakwah mengerti struktur organisasi yang di bentuk.
Ø  Memperlakukan secara baik bawahan dan memberikan pnghargaan yang diiringi dengan bimbingan dan petunjuk ntuk semua anggota.

2.      Langkah-langkah penggerakan dakwah
Peranan seorang pemimpin sangat menentukan keberhasilan dari kegiatan-kegiatan yang akan dilaksankan, karena pemimpin ditutuntut mampu memberi motivasi, bimbingan, mengoordinasikan serta menciptakan suasana sejuk dalam membentuk kepercayaan diri yang akhirnya dapat mengoptimalkan semua anggotanya. Ada beberapa point dari peroses penggerakan dakwah yang menjadi kunci dari kegiatan dakwah yaitu :
a.      Pemberian motivasi (Motivating)
b.      Pembimbingan (Directing)
c.      Penjalinan hubungan (Coordinating)
d.      Penyelenggaraan komunikasi (Communicating)
e.      Pengembangan atau peningkatan pelaksana (Developping people)[4].
Langkah-langkah penggerakan dakwah dapat diuraikan sebagai berikut:
a.      Pemberian motivasi ( Motivating )
Motivasi diartikan sebagai kemampuan seseorang manajer atau pemimpin dakwah dalam memberikan sebuah kegairahan, kegiatan dan pengertian, sehingga para anggotanya mampu untuk mendukung dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya[5]. Menurut Ngalim Purwanto menjelaskan bahwa “motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks didalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku ke suatu tujuan atau perangsang”[6]. Suatu organisme yang dimotivasi akan melakukan aktifitasnya secara lebih giat dan lebih efisien dibandingkan dengan organisme yang beraktifitas tanpa motifasi. Selain itu, motifasi cenderung mengarahkan kepada suatu tingkah laku tertentu[7]. Dengan demikian, motivasi merupakan dinamisator bagi para elemen dakwah yang secara ikhlas dapat merasakan, bahwa pekerjaan itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, bahwa motivasi adalah memberikan semangat atau dorongan kepada para pekerja untuk mencapai tujuan bersama dengan cara memenuhi kebutuhan dan harapan mereka serta memberikan sebuah penghargaan (reward). Dengan adanya rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility), maka akan menumbuhkan rasa kecewa jika gagal dan merasa bahagia jika tujuannya berhasil. Selanjutnya jika perasaan itu sudah mengakar, maka fungsi motivasi sudah berhasil. Motivasi sebagai suatu yang dirasakan sangat penting, akan tetapi ia juga sulit dirasakan, karena disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu :
Ø  Motivasi itu penting ( important subject )
Ø  Motivasi itu sulit ( puzzling subject ),                                                                                          Melihat sisi psikologis manusia yang berbeda-beda, ada beberapa cara untuk membangkitkan semangat kerja dan pengabdian. Diantaranya adalah:
§  Mengikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan;
§  Memberikan informasi yang lengkap;
§  Memberikan penghargaan terhadap sumbangan yang telah diberikan.
§  Menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan;
§  Penempatan yang tepat;
§  Pemberian wewenang.
b.      Pembimbingan ( Directing )
Selain memberikan motivasi untuk melakukan tugas-tugas da’wah, para pelaksana juga perlu dibimbing dan dijuruskan kearah pencapaian sasaran da’wah yang telah ditetapkan. Sebab pimpinan da’wah adalah orang yang dapat melihat medan secara lebih luas dan mengetahui jalan-jalan mana yang harus ditempuh[8].

Pembimbingan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap pelaksana dilakukan dengan jalan memberikan perintah atau petunjuk yang bersifat mempengaruhi dan menetapkan arah tindakan mereka. Sebab kepemimpinan dalam da’wah adalah sifat dan ciri tingkah laku pemimpin yang mengandung kemampuan untuk memengaruhi dan mengarahkan daya kemampuan seseorang atau kelompok guna mencapai tujuan da’wah yang telah ditetapkan sehingga terciptalah suatu dinamika dikalangan pengikutnya yang terarah dan bertujuan. Maka atas dasar ini usaha-usaha da’wah akan berjalan dan terealisasikan dengan baik dan efektif bilamana pimpinan da’wah dapat memberikan perintah-perintah yang tepat[9].
Dalam hal pemberian perintah, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah maksud dikeluarkannya perintah itu, yang tidak lain adalah dalam rangka pencapaian sasaran dakwah yang telah ditetapkan. Untuk itu beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
-         Perintah harus jelas.
-         Perintah itu mungkin dan dapat dikerjakan.
-         Perintah hendaknya diberikan satu persatu.
-         Perintah harus diberikan pada orang yang tepat.
-         Perintah harus diberikan oleh satu tangan[10].tetapi tidak semua sekumpulan orang dapat dikatakan tim, untuk dapat dianggap sebagai tim maka harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

c.      Penjalinan hubungan
Organisasi dakwah merupakan sebuah organisasi yang berbentuk sebuah tim atau kelompok. Tim adalah sebagai dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling mempengaruhi arah tujuan bersama. Akan tetapi tidak semua sekumpulan orang dikatakan tim, maka harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
·        Ada berbagai kesepakatan terhadap misi tim
·        Semua anggota harus mentaati peraturan tim yang berlaku
·        Ada pembagian tanggung jawab dan wewenang yang adil
·        Orang yang beradaptasi terhadap perubahan[11]
Secara mendasar terdapat beberapa alasan mengapa diperlukan hubungan antar kelompok, yaitu:
o   Keamanan
o   Status
o   Pertalian
o   Kekuasaan
o   Prestasi baik.
Untuk menciptakan sebuah kerja sama yang solid dalam organisasi maka dituntut sebuah kecerdasan dan kerja sama yang baik oleh para pemimpin dakwah.  Dalam hal ini pemimpin dakwah harus dapat memberikan seperangkat tujuan dakwah yang memungkinkan untuk dicapai, juga dapat dijadikan tujuan masa depan.[12]

d.      Penyelenggaraan komunikasi
Dalam proses      kelancaran dakwah komunikasi, yakni suatu proses yang digunakan oleh manusia dalam usaha untuk membagi aksi lewat transmisi pesan simbolis merupakan hal yang sangat penting. Karna tanpa komunikasi yang efektif antara pemimpin dengan pelaksana dakwah, maka pola hubungan dalam sebuah organisasi dakwah akan mandek, sebab komunikasi akan mempengaruhi seluruh sendi organisasi dakwah.
Kinerja komunikasi sangat penting dalam sebuah organisasi termasuk organisasi dakwah. Adapun manfaat dari penyelenggaraan komunikasi sebagai sarana yang efektif dalam sebuah organisasi adalah:
§  Komunikasi dapat menempatkan orang-orang pada tempat yang seharusnya
§  Komunikasi menempatkan orang-orang untuk terlibat dalam organisasi
§  Komunikasi menghasilkan hubungan dan pengertian lebih baik antara atasan dan bawahan
§  Menolong orang-orang untuk mengerti perubahan.[13]
Dalam aktivitas dakwah, komunikasi yang efektif dan efisien dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi tindakan manusia kearah yang diharapkan.
Paling tidak, ada dua alas an mengapa diperlakukan sebuah komunikasi yang efektif para pemimpin dakwah terhadap para anggotanya, yaitu:
-         Komunikasi akan menyediakan sebuah chanel umum dalam proses manajemen
-         Ketrampilan komunikasi yang efektif dapat membuat para pemimpin dakwah menggunakan berbagai ketrampilan serta bakat yang dimilinya.

Menurut Minzeberg ada tiga komponen peran komunikasi dalam manajerial, yaitu:
·        Dalam peran antar pribadi mereka, pemimpin berrtindak sebagai tokoh dari unit organisasi, berinteraksi dengan karyawan, pelanggan, dan rekan sejawat dalam organisasi
·        Dalam peran informal mereka, manajer mencari informasi dari rekan sejawat karyawan dan kontak pribadi yang lain mengenai segala sesuatu yang mungkin mempengaruhi pekerjaan dan tanggungjawab mereka.
·        Dalam peran mengambil keputusan mereka, manajer mengimplentasikan proyek baru, menangani gangguan, dan mengalokasikan sumber daya kepada anggota unit dan manajemen.[14]


[2]. A.Rosyad Salaeh. Management Da’wah Islam. 1977. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 113

[3] . A. Rosyad Salaeh, op. Cit. hal 112
[4] A. Rosyad Shaleh. Op. cit . hal123
[5] Ek. Mochtar Effendy, Manajemen suatu pendekatan berdasarkan ajaran Islam, 1986  Jakarta: Bhratara Karya Aksara hal 105
[6] Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Hlm 60

[7]. Faizah dan Lalu Muchsin Effendi. Psikologi Da’wah. 2006. Jakarta: Kencana. Hlm. 103.

[8].A. Rasyad Saleh Op. Cit. hlm. 128
[9] Faizah dan Lalu Muchsin Effendi Op. Cit. hlm. 170
[10] .A.Rosyad Shaleh. Op.cit hal: 132-134
[11] M N Nasution, Manajemen mutu terbaru,(Jakarta: galia Indonesia, 2001), hal. 166-167
[12] Yunan yusuf, manajemen dakwah(Jakarta: rahmad semesta,2006), hal. 158
[13] Ron loudlow, Fergus panton, the essence of effective communication; komunikasi efektif, (Yogyakarta: andi, 2000), hal. 4-5
[14] Henny mintzberg, the manager’s job;folklore and fa, (Harvand: bussines reviuw 53, no. 4, juli- agustus 1975)

Fiqh dan Ushul Fiqih

I.                   PENDAHULUAN
Syariat islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu.
Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan manusia yang diambil dari nash-nash yang ada atau dari pembentukan hukum berdasarkan dalil syariat yang tidak ada nash nya,terbentuklah ilmu fiqh.[1]
Fiqh berasal dari kata “paham yang mendalam”. Fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliyahyang digali dan ditemukan dan dalil-dalil yang tafsili.
Dalam definisi fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan . fiqh ialah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan nya,sedangkan ilmu tidak bersifat zanni seperti fiqh.[2]
Ushul fiqh berasal dari dua kata ushul dan fiqh,secara etimologi “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Dengan demikian secara teknik hukum,ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada hukum syar’a dan dalilnya yang terinci.[3]

                               I.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian  fiqih dan ushul fiqh ?
B.     Bagaimanakah perkembangan fiqih dan ushul fiqh ?
C.     Apa  tujuan fiqih dan ushul fiqh ?

    II.            PEMBAHASAN
A.    pengertian fiqh dan ushul fiqh
Ø Fiqh
Kata fiqh berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham”dapat digunakan untuk hal-hal yan bersifat lahiriyah maka,fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin.[4] ilmu fiqih menurut syarak adalah pengetahuan tentang hukum syariah yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalilnya secara detail. Sumber hukum syariat adalah al-qur’an kemudian al sunnah sebagai penjelas atas keglobalan al-Qur’an, pembatas keumumannya, pengikat kebebasannya, dan sebagai penerang serta penyempurna.[5]
Ø Ushul fiqh
 Ushul fiqh adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh” .kata fiqh berarti paham yang mendalam. Kata ushul berati jamak ”ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain”. Ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa usaha merumuskan hukum syar’a dari dalilnya yang terinci.[6]
Dari penjelasan diatas dapat diketahui perbedaan ushul fiqih dan fiqih. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seseorang faqih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqih adalah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditetapkan.[7]

B.     Perkembangan fiqh dan  ushul fiqh
Ø Perkembangan  Fiqh
fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud hukum allah yang berhubungan pada tingkah laaku manusia. Hukum fiqih tumbuh bersamaan dengan perkembangan islam. Hukum atas suatu perbuatan ini telah terbentuk sejak zaman Rosulullah berdasarkan al-Qur’an. Hukum-hukum fiqih pada periode pertama perkembangannya terdiri dari hukum Allah dan Rasulnya, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, muncul kejadian-kejadian baru, sehingga para sahabat melakukan ijtihad, memutuskan suatu perkara, memberikan fatwa,menetapkan dan menyadarkan pada hukum-hukum periode pertama sesuai dengan hasil ijtihad. Hukum-hukum, fatwa, serta keputusannya yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijtihad sahabat.
Pada periode ke tiga, yaitu periode tabiin, tabiit tabiin dan imam-imam mujtahid, kekuasaan islam semakin berkembang dan banyak orang-orang dari non arab memeluk agama islam. Sehingga kaum muslimin menghadapi masalah-masalah baru, berbagai kesulitan, bahasa, pandangan, gerakan pembangunan material dan spiritual, yang kesemuannya itu mendorong kepada para imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum-hukum syara’ atas kejadian-kejadian tersebut serta membuka pintu bahasan dan pandangan baru bagi mereka.
 Pada periode perkembangannya yang ke tiga ini, hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan Rasul-NYA, fatwa dan putusan sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihat mereka, yang bersumber dari al-Qur’an, alSunnah, ijtihad sahabat dan ijtihad imam-imam mujtahid. Pada abad ini dimulailah pembukuan hukum-hukum syara’ seiring pembukuan hadits. Hukum-hukum tersebut dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu karna telah disertai dalil, alasan, dan dasar umum yang menjadi pokok dari hukum tersebut. Akhirnya disebut ahli fiqih dan disiplinnyadisebut ilmu fiqih.[8]
Ø Perkembangan Ushul Fiqh
  perumusan fiqh sudah dimulai langsung sesudah nabi wafat,yaitu periode sahabat.pemikiran ushul fiqh itu telah ada pada perumusan fiqh itu.para sahabat diantaranya umar ibn khotob,ibnu mas’ud,ali bin abi tholib dalm mengemukakan pendapat tentang hukum,sebenarnya sudah menggunakan pedoman dalam merumuskan hukum.
Pada periode tabi’in lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang banyak bermunculan. Perbedaan yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri.menetapkan al-qur’an dan hadis sebagai sumber pokok, dan mengambil hukum-hukum yang telah disepakati oleh para sahabat. Imam malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup dikalangan penduduk madinah,sebagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Imam malik lebih mengunakan hadis ketimbang abu hanifah,karena banyak hadis yang ditemukan.
Setelah imam abu hanifah dan imam malik,tampil imam syafi’I. ia menemukan dalam masanya perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat,tabi’in,dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam syafi’I sebagai orang pertama yang menyusun system metodelogi berpikir tentang hukum islam,yang kemudian popular dengan ushul fiqh. Selama keberadaan di mekah, imam syafi’I mewarisi ilmu al-qur’an dari Abdullah ibn ‘abbas yang memungkinkannya untuk mengenal nasikh mansukh. Usul fiqih itu sendiri semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqih mengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah di susun imama syafi’i.[9]

C.     Tujuan Fiqh dan Ushul Fiqih
Ø Tujuan Fiqh
Tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia, juga mengenalkan kepada mukallaf tentang hal-hal yang wajib dan haram baginya.[10]
Ø Tujuan Ushul Fiqh
Tujuan ilmu Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara’ dan dengan hukum-hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara sebagian nash dengan yang lain.
Dengan kaidah dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki nash dengan cirri kias, ihtihsan,istishhab atau yang lain; dapat bener-bener dipahami hukum yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid; dapat dijadikan penimbangan (sebab terjadinya) perbedaan madzhab diantara mereka terhadap satu bentuk kejadian. Karna tidak mungkin memahami hukum dari satu sudut pandang atau membandingkan dua hukum yang berbeda kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan ilmu ushul fiqih yang merupakan dasar ilmu fiqih perbandingan.[11]



[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Aman), hlm. 1.
[2] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 3.
[3] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 41.
[4] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 2.
[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta:Pustaka Aman), hlm. 1.
                [6]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 41.
[7] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group), hlm. 42.
[8]  Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta:Pustaka Aman), hlm. 7.

[9] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Prenada Media Group), hlm. 42-46.
[10]  Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta:Pustaka Aman), hlm. 5.

[11] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Aman), hlm. 6.


Hubungan Individu, Keluarga, Masyarakat, Budaya

PENGANTAR
     A.    LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk sosial berperan sebagai individu. Berperan sebagai keluarga dan masyarakat dan oleh karenanya manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok atau berorganisasi dan membutuhkan orang lain. Seorang individu untuk memperoleh suatu kebudayaan membutuhkan keluarga dan masyarakat sebagai sarana dan pembentuk kebudayaan itu sendiri. Sebelum mengetahui hubungan antara keempatnya, ada baiknya kita mengetahui pengertian individu, keluarga, masyarakat dan budaya secara singkat. Karena dari empat elemen tersebut saling berkesinambungan, pembahasan dalam makalah ini terdapat pula bab masyarakat, namun tidak menyimpang dari judul.
      B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud individu, keluarga, masyarakat dan budaya ?
2.      Bagaimana hubungan antara individu, keluarga, masyarakat dan budaya ?

PEMBAHASAN
     A.    Pengertian Individu, Keluarga, Masyarakat dan Budaya
     1.      INDIVIDU
      a.       Pengertian Individu
Kata individu berasal dari bahasa latin “individuum” yang artinya tidak terbagi. Individu merupakan unit terkecil dari pembentuk masyarakat. Dalam ilmu sosial, individu berarti  bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipisah menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Cotntohnya, suatu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Anak merupakan individu dalam kelompok sosial tersebut, yang sudah tidak dapat dibagi lagi ke dalam satuan yang lebih kecil. Individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan-kenyataan hidup yang istimewa dan seberapa mempengaruhi kehidupan manusia. Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagi kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perseorangan.[1]
     2.      KELUARGA
     a.       Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit kecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Keluarga berasal dari bahasa Sanskerta "kulawarga", "ras" dan "warga" yang berarti "anggota" yang berarti lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.
     b.      Peran Keluarga
Keluarga merupakan salah satu faktor dalam pembentukan sifat seorang individu. Misalkan seorang anak dengan latar belakang keluarga yang tidak harmonis, yang sering melihat ayahnya memukul ibunya maka anak itu akan meniru perilaku yang dia lihat. Dia akan suka memukul teman sekolah nya, dia akan menjadi anak yang menyebalkan, suka membentak teman-temannya dan sebagainya. Keluarga yang tidak harmonis itu juga akan membuat psikologis anaknya terganggu. Dia mungkin tidak bisa diterima dalam suatu masyarakat karena sifat jelek nya atau ketidakmampuannya dalam bersosialisasi dengan masyarakat lain. Ketidakditerimanya dia di kalangan masyarakat dan minimnya bimbingan dari orang tua juga akan berpengaruh terhadap budayanya kelak. Jadi, keluarga adalah faktor yang sangat penting mengingat fungsi keluarga adalah sebagai media transmisi atas nilai, norma dan simbol yang dianut masyarakat kepada anggotanya yang baru.
     3.      MASYARAKAT
a.       Pengertian Masyarakat
Masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Umumnya, masyarakat adalah kumpulan dari penduduk yang menjalani kehidupan sosial di suatu wilayah. Masyarakat dapat juga dikatakan sebagai kumpulan manusia yang hidup dalam auatu daerah tertentu, yang telah cukup lama dan mempunyai aturan-aturan yang mengatur mereka dan menuju pada tujuan yang sama.[2]
Kata society berasal dari bahasa latin “societas” yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
b.      Peran Masyarakat
Tokoh masyarakat merupakan orang yang di hormati dan yang di hormati dalam masyarakat karena memiliki kesuksesan atau kekayaan dalam kesuksesan dalam kehidupan. Ia menjadi contoh dan teladan karena pola pikirnya yang di bangun karena pengetahuan yang di dapat dalam hidupnya, dengan kekayaan intelektual dan keberhasilan yang di milikinya ia memiliki peran dalam pembangunan nasional,karena kekayaan intelektual dan kesuksesan tokoh masyarakat selalu di tunggu peranan dan pertimbangannya serta kebijakan yang di buat dalam menghadapi suatu permasalahan di masyarakat. Seorang tokoh masyarakat dalam kebudayaan mencakup seorang agama dan budayawan, seorang agamawan merupakan tokoh yang di hormati karena agama adalah suatu kepercayaan yang saat di patuhi oleh masyarakat,sedangkan budayawan di sebut tokoh masyarakat sebab budayawan memiliki ilmu tentang budaya dan mengerti sejarah budaya dan pelestariannya. Peran tersebutlah yang di gunakan untuk menyebarkan pelestariann kebudayaan dan membimbing individu menjadi seorang yang berbudaya.
    4.      BUDAYA
    a.       Pengertian Kebudayaan
Dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari budi atau akal. Menurut E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive Culture”, kebudayaan adalah suatu satu kesatuan atau jalinan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hukum, adat istiadat dan kesanggupan-kesanggupan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat.[3]
Menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu naluri dan refleks.[4]
    
     B.     Hubungan Antara Individu, Keluarga, Masyarakat dan Budaya
     a.       Hubungan Individu dengan Keluarga
Individu dilahirkan dari keluarga, tumbuh dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik. Dengan orang tua, dengan saudara-saudara kandung, terjalin relasi biologis yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya. Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan tolak ukur dari efek biologis, psikologis, dan sosial. Hal khusus oleh kebudayaan yang dibahas di lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa yaitu tentang adat-istiadat, kebiasaan, norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun yang ada dalam masyarakat.
     b.      Hubungan Individu dengan Masyarakat
Manusia hidup dalam di dalam masyarakat. Hal ini bukan sekedar ketentuan semata, tapi memiliki arti yang lebih dalam. Hidup bermasyarakat itu adalah rukun bagi manusia agar benar-benar dapat mengembangkan budayanya dan mencapai kebudayaannya. Tanpa masyarakat, hidup manusia tidak dapat menunjukkan sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya Kala dan Komala, dua anak yang ditemukan di sarang serigala di India, walau sudah dibawa masuk ke dalam kehidupan masyarakat, kondisi mereka tetap liar dan belum bisa berinteraksi dengan masyarakat di sana.
     c.       Hubungan Individu dengan Kebudayaan
Manusia dapat ditinjau dari dua segi dari sudut pandang antropologi, yaitu:
1.      Manusia sebagai makhluk biologi, dipelajari dalam ilmu biologi.
2.  Manusia sebagai makhluk sosio-budaya, yang dipelajari dalam antropologi budaya, berkesimpulan bahwa hanya manusialah yang dapat menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa manusia. Hal ini dikarenakan manusia dapat belajar dan memahami bahasa, dengan akal budi dan struktur fisiknya dapat mengubah lingkungan berdasarkan pengalamannya, yang semua itu bersumber pada akal manusia.[5]
Singkatnya, hubungan antara individu dan masyarakat sangat erat. Karena hanya manusia saja yang dapat hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain.  Masyarakat merupakan satuan lingkungan sosial yang bersifat makor. Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada hakikatnya terdiri dari sekian banyak komunias yang berbeda, sekaligus mencakup berbagai macam keluarga, lembaga dan individu-individu.
   d.      Hubungan Masyarakat dengan Budaya
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Kebudayaan tak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat. Dan eksistensi masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan. Dalam masyarakat, individu selalu memperoleh pengetahuan baru dan kecakapan. Semakin lama, semakin banyak pengetahuan yang ditampung individu dari masyarakat yang membuatnya sebagai sumber kebudayaan. jadi, erat sekali hubungan antara masyarakat dan kebudayaan.[6]
    e.       Hubungan Individu, Keluarga, Masyarakat dan Budaya
Manusia yang memiliki hidup yang panjang dan adanya ikatan antara anggota keluarga lainnya membuat suatu keluarga dapat bertahan lama. Hal itu memberi kesempatan untuk meneruskan tradisi kebudayaan kepada seorang individu. Maksudnya, individu yang membentuk sebuah keluarga akan menghasilkan sebuah budaya baru dalam keluarga tersebut yang akan berlaku untuk semua anggota keluarganya. Seorang individu memerlukan keluarga untuk membentuk sifat kemanusiaannya.[7]
Orang tua yang berasal dari daerah yang berbeda tentunya memiliki kebudayaan yang berbeda, sehingga memang tak dapat dipungkiri jika kadangkala orang tua yang berasal dari kebudayaan yang berbeda memiliki perbadaan dalam hal kebiasaan dan cara mengasuh anak. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi penghambat bagi orang tua dalam mengajarkan kebudayaan Indonesia pada anaknya. Justru sebaliknya, orang tua yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dapat mengajarkan pada anak lebih banyak ragam budaya yang ada, sehingga anak memiliki referensi lebih banyak tentang kebudayaan yang ada di Indonesia. Individu membutuhkan masyarakat untuk mengembangkan potensi yang telah ia bentuk dalam keluarganya dan membawa budaya yang lahir dalam keluarganya itu ke dalam masyarakatnya. Lingkungan sosial yang pertama kali dijumpai individu adalah lingkungan keluarga. Sementara itu, masyarakat merupakan lingkungan sosial individu yang lebih luas. Di dalam masyarakat, individu menerapkan apa saja yang sudah dipelajari dari keluarganya.[8] Dan di dalam masyarakat itu pula terdapat aturan-aturan, tradisi, adat istiadat yang juga akan menuntun individu ke dalam sebuah budaya.
PENUTUP
     A.    KESIMPULAN
Individu, keluarga, masyarakat dan kebudayaan merupakan aspek sosial yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam membentuk eksistensi seorang individu, individu itu harus mempunyai keluarga yang menjadi latar belakang kehidupannya dan masyarakat sebagai latar belakang keberadaannya. Tanpa individu, sebuah keluarga tidak akan bisa terbentuk. Di samping itu, individu juga membutuhkan kebudayaan yakni wahana bagi individu untuk mengembangkan dan mencapai potensinya sebagai manusia. Lingkungan sosial yang pertama kali dijumpai individu dalam hidupnya adalah lingkungan keluarga. Individu-individu yang membentuk sebuah keluarga, akan menghasilkan sebuah budaya baru dalam keluarga tersebut yang berlaku untuk semua anggota keluarganya kelak. Sorang individu memerlukan media keluarga untuk membentuk sifat kemanusiaannya, media masyarakat untuk mengembangkan potensi yang telah ia bentuk dalam keluarganya dan membawa budaya yang lahir dalam keluarganya itu ke tengah-tengah masyarakatnya.
     B.     SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Antropologi dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Goode,Wiliam J. (1995). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.
Prasetya, Joko Tri. (2011). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta :  Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu. (1991). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. (2000).  Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta.





[1] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm.23.
[2] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm.36.
[3] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta : PT Rineka Cipta), hlm.28.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm.179.
[5] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm.35.
[6] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm.35.
[7] Wiliam J Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara),hlm.35.
[8] Wiliam J Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm.36.
Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates