Featured

November 22, 2015

Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

PEMBAHASAN
            A. Pengertian Otonomi Daerah
Menurut kamus besar bahasa indonesia, otonomi adalah pemerintahan sendiri, dalam kaitannya dengan daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagi ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya’. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan perbuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (eksternal intervention).[2]
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Desentralisasi sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah:
“Desentralisasi terkait dengan masalah perlimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara  baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.”[3]
Selain itu, otonomi daerah dapat pula diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[4]
Pengertian otonomi (desentralisasi) menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseoran atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Kemudian pengertian desentralisasi menurut Rondinelli yakni transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian pemerintahan pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba.[5]
           
            B.            Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. periode berlakunya Undang-Undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintahan yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undng-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam Undang-Undang ini terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kebupaten atau kota besar, dan desa atau kota kecil.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.[6]
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk  sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU No. 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974.
            UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil danseluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang Undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun dan baru diganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 tahun1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
            Kehadiran Undang Undang  Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu yakni lengsernya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah ; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan ekspisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desetralisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No.22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-Undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.[7]

            C.            Hubungan Otonomi Daerah dengan Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lazim disebut dengan pilkada baik dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati merupakan perwujudan pengembalian hak-hak rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan pilkada langsung tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom. Sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan anggota DPD, DPR, dan DPRD (legislatif). Pilkada lansung merupakan instrumen politik yang sangat strategis untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah.
Penyelenggaraan pilkada harus memenuhi beberapa kriteria:[8]
1.      Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2.      Umum
Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
3.      Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap waga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4.      Rahasia
Dalam memberikan suaranya pemilih dijamin, dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun serta dengan jalan apapun.
5.      Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon atau peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.      Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada setiap pemilih dan calon peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia:[9]
1.         Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.         Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.         Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya
4.         Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.          Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.

Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa hubungan antara pra-kondisi demokrasi dan efektivitas pemilihan yang terbentuk tidak bersifat linear, melainkan hubungan timbal balik.
Pilkada langsung memiliki kelebihan-kelebihan, di antaranya:
1.      Kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat.
2.      Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai politik yang mencalonkannya.
3.      Sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas publik.
4.      Pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
5.      Membangun stabilitas politik dan mencegah separatisme.
6.      Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat.

Namun demikian, pilkada langsung tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Adapun kelemahan dari adanya pilkada langsung adalah:
1.      Dana yang dibutuhkan.
2.      Membuka kemungkinan konflik elit dan masa.
3.      Aktifitas rakyat terganggu. 
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2003.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka  2005.
Haris, Syamsuddin (Ed). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. 2005.
Hidayat, Komaruddin dan Azyumardi Azra. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. disunting oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Handayani Ningrum, Pelayanan Pemerintah Daerah dalam Arti Luas, http://merakyat.com/nasional/opini-nasional/1859-pelayanan-pemerintah-daerah-dalam-arti-luas , diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:23.
Nurdiansah, Bambang. http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html . diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:28.









[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka,  2005),  hlm. 805.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 150.
[3] Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, disunting oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, (Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 149.
[4] Handayani Ningrum, Pelayanan Pemerintah Daerah dalam Arti Luas, http://merakyat.com/nasional/opini-nasional/1859-pelayanan-pemerintah-daerah-dalam-arti-luas , diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:23.
[5] Op.cit., hlm.150-151. 
[6]Ibid., hlm. 165-166.
[7] Op.cit., hlm. 152-154.
[8] Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, disunting oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, (Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 164.[9]Bambang Nurdiansah, http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html . diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:28.
  

November 13, 2015

Perkembangan dan Jenis Emosi

I.   PENDAHULUAN
Ketika kita mencari identitas dan membentuk citra diri, kita juga belajar mengatasi berbagai emosi dan berusaha memenuhi “significant others” (orang yang memiliki arti signifikan bagi seseorang) disekitar kita. Bagaimana kita belajar menginterpretasi pikiran dan perasaan orang lain?.
Memahami intensi (maksud) dan mengambil perspektif orang lain adalah elemen-elemen dalam perkembangan kompetensi emosional atau kemampuan untuk memahami dan mengelola berbagai situasi emosional.
Pada usia 2 atau 3 tahun, anak-anak memulai mengembangkan theory of mind, pemahaman bahwa orang lain juga orang,  dengan mind (pikiran atau akal), thought (pemikiran atau gagasan), perasaan, keyakinan, keinginan dan persepsinya (Flavell, Miller, & Miller.2002).

II.                RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian emosi ?
b.      Bagaimana perkembangan emosi di dalam diri manusia?
c.       Apa saja jenis-jenis emosi ?

III.             PEMBAHASAN
a.      Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai  oleh perasaan perasaan tertentu,yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang.perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari hari itu,disebut warna efektif. warna efektif ini kadang-kadang kuat,kadang-kadang lemah atau samar-samar saja. Dalam hal warna efektif yang kuat,maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan perasaan yang seperti ini disebut emosi.Beberapa macam emosi antara lain : gembira, bahagia, terkejut, jemu, benci, was-was, dan sebagainya.
Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas,karna keduanya merupakan suatu kelangsungan kwalitatif yang tidak jelas batasnya.Pada suatu saat tertentu,suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan,tetapi juga dapat sebagai emosi. Jadi, sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksut dengan  disini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat yang lemah(dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam).[1]
b.      Perkembangan Emosi
Individu berkembangan, perkembangannya meliputi semua aspek kepribadian termasuk emosinya. Seorang anak kecil atau bayi pada mulanya hanya memiliki satu pola rangsangan emosi yang bersifat umum. Perangsang yang kuat, suara yang keras, diabaikan orang tua dan sebagainya, ditolak dan direspon dengan tangisan. Belaian, pujian, rawatan, makanan, dan lain-lain. Diterima dan direspon dengan tertawa. Pola rangsangan emosi ini berkembangan dan berdiferensiasi sejalan dengan perkembangan anak.[2]
Pertumbuhan dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia harus mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu.
Pada bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah kegelisahan yang Nampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis dan meronta. Pada keadaan tenang bayi itu tidak menunjukkan perbuatan apapun, jadi emosinya netral.
Tiga bulan kemudian baru nampak perbedaan. Sekarang terdapat dua ekstrimitas, yaitu rasa tertekan atau terganggu dan rasa senang atau gembira. Senang atau gembira merupakan perkembangan emosi lebih lanjut yang tidak terdapat waktu lahir.
Pada usia lima bulan marah dan benci mulai dipisahkan dari rasa tertekan atau terganggu. Usia tujuh bulan mulai nampak perasaan takut. Antara usia 10-12 bulan perasaan bersemangat dan kasih sayang mulai terpisah dari rasa senang.
Makin besar anak itu, makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosi makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.[3]
c.        Jenis-Jenis Emosi
1.      Takut
Takut adalah persaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu. Bentuk ekstrim  dari takut adalah  takut yang pathologis, yang disebut dengan fobia. Fobia adalah prasaan takut terhadap hal hal tertentu yang demikian kuatnya, meskipun tidak ada alasan yang nyata, misalnya takut terhadap tempat yang sepi dan tertutup, takut terhadap ketinggian,takut terhadap kerumunan orang atau tempat tempat ramai. Rasa takut lain yang merupakan kelainan kejiwaan adalah kecemasan (anxiety) yaitu rasa takut yang tak jelas sasarannya dan juga tidak jelas alasannya. Kecemasan yang terus menerus biasanya terdapat pada penderita-penderita psikoneurosis.
2.      Khawatir
Kuatir atau was-was adalah rasa takut yang tidak mempunyai obyek yang jelas atau tidak ada obyeknya sama sekali. Kekuatiran menyebabkan rasa tidak senang, gelisah, tegang, tidak tenang, tidak aman. Kekuatiran seseorang untuk melanggar norma masyarakat adalah salah satu bentuk kekuatiran yang umum terdapat padatiap-tiap orang dan kekuatiran ini justru positif karena dengan demikian orang selalu bersikap hati-hati dan berusaha menyesuaikan diri dengan norma masyarakat. Tetapi kekhawatiran ini  dapat juga menjadi  kelainan atau penyakit, kalau terlalu banyak kadarnya  dan berlaku terus menerus tanpa dapat dicegah atau dikurangi.
3.      Cemburu
Kecemburuan adalah bentuk khusus dari kekuatiran yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri dan ketakutan akan  kehilangan kasih sayang dari seseorang. Seseorang yang cemburu selalu mempunyai sikap benci terhadap saingannya.
4.      Marah
Sumber utama dari kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai pada tujuannya. Dengan demikian, ketegangan yang terjadi dalam aktivitas itu tidak mereda, bahkan  bertambah. Untuk menyalurkan ketegangan ketegangan itu  individu yang bersangkutan menjadi marah.
5.      Motif
Motif  dalam bahasa inggris  Motive  berasal dari kata  Motion yang berarti gerakkan atau sesuatu yang bergerak. Jadi istilah  motif pun erat hubungannya dengan gerak yaitu dalam hal ini  gerakan yang dilakukan oleh  manusia atau disebut juga perbuatan atau tingkahlaku. Motif dalam psikologi  berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.
Di samping istilah motif dikenal pula dalam  psikologi dalam istilah motivasi. Motifasi merupakan istiah yang lebih umum, yang menunjukkan pada seluruh proses gerakan itu, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku  yang ditimbulkan oleh situasi  tersebut dan tujuan atau  akhir daripada gerakan atau perbuatan.
Ada beberapa pendapat mengenai apa sebabnya motif itu. Salah satu pendapat mengatakan  bahwa motif itu merupakan  energi dasar yang terdapat di dalam diri seseorang. Sigmund Freund adalah salah satu seorang sarjana  yang berpendapat demikian. Tiap tingkah laku, menurut Freund  didorong oleh suatu energi dasar yang disebut instink. instink  ini oleh Freund dibagi menjadi dua:
a.       Instink kehidupan atau instink seksuil yaitu dorongan untuk mempertahan kan  hidup dan mengembangkan keturunan.
b.      Instink yang mendorong perbuatan perbuatan agresif atau yang menjurus kepada kematian.
Sarjana-sarjana lain juga mengakui motif sebagai energy dasar antara lain adalah:
a.       Bergson dengan teori “elan vital’’ yang mengakui adanya factor yang bersifat  non materill yang mengatur tigkah laku.
b.      Mc dougall dengan teori ‘hormic’ yang mengatakan bahwa tigkah laku ditentukan dalam dunia ilmu alam dan ilmu kimia.
Pendapat lain mengatakan  bahwa motivasi  mempunyai fungsi sebagai perantara  pada organisme atau manusia untuk menyesuaikan diri denan lingkungannya. Suatu perubahan dimulai dengan adanya suatu  ketidaksamaan  dalam diri individu, misalnya lapar atau takut. Keadaan tidak seimbang ini  tidak menyenangkan bagi individu yang bersangkutan, sehingga timbul kebutuhan untuk  meniadakan keseimbngan itu, misalnya mencari makanan atau perlindungan. Kebutuhan inilah yang akan menimbulkan dorongan atau motif untuk berbuat sesuatu. Setelah perbuatan itu dilakukan maka tercapailah keadaan seimbang dalam diri individu, dan timbul perasaan puas, gembira, aman, dan sebagainya. Kecenderungan untuk mengisahakan keseimbangan  dari ketidaksamaan terdapat dalam diri tiap organisme dan manusia, dan ini disebut prinsip homeostatis.
Motif adalah instasi terakhir bagi terjadinya tingkah laku meskipun misalnya ada kebutuhan, tetapi kebutuhan ini tidak berhasil mencapai motif, maka tidak akan terjadi tingkah laku. Hal ini disebabkan karena motif tidak saja ditentukan oleh factor-factor dalam individu, seperti factor-factor biologis, tetapi juga dipengaruhi oleh factor-factor social dan budaya. Contoh: seorang lulusan SMA ingin mnjadi dokter, keinginan ini belum tentu akan menimbulkan motif untuk masuk fakultas kedokteran, karena orang tersebut mempertimbangkan pula factor biaya, lamanya pendiikan, ujian saingan yang berat.[4]

IV.             KESIMPULAN
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Pertumbuhan dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia harus mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu.
Jenis-jenis emosi diantaranya, takut adalah persaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari ontak dengan hal itu. Khawatir atau was-was adalah rasa takut yang tidak mempunyai obyek yang jelas atau tidak ada obyeknya sama sekali. Cemburu, kecemburuan adalah bentuk khusus dari kekuairan yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri dan ketakutan akan  kehilangan kasih sayang dari seseorang. Marah, sumber utama dari kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai pada tujuannya. Motif  dalam bahasa inggris  Motive  berasal dari kata  Motion yang berarti gerakkan atau sesuatu yang bergerak.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


[1] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 58-59
[2] Nana Syaodih Sukma Dinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rusda Karya, 2003), hlm. 83
[3] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 60-61

[4] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 63-66

November 10, 2015

Undang Undang sebagai Instrumen Kebijakan

PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
       Peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis yang diberi bentuk sejak awal diharapkan bahwa dalam pelaksanaannya akan memberikan kepastian hukum. Disadari bahwa suatu hukum tertulis mengandung banyak kelemahan, tetapi juga memiliki kelebihan dibanding dengan hukum yang tidak tertulis. Peranan peraturan perundang-undangan semakin penting sebagai tuntutan asas legalitas sebagai salah satu ciri negara hukum. Dalam Negara kesejahteraan modern, tatkala menyusun suatu rencana, peraturan perundang-undangan semakin penting baik sebagai kerangka rencana itu sendiri, maupun sebagai instrument pemandu dalam melaksanakan suatu rencana.[1]

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian Kebijakan, Undang-undang, dan instrumen ?
2.      Bagaimana kedudukan, sifat dan fungsi UUD 1945 serta tujuan pembentukan Peraturan perundang-undangan?
3.      Apa saja tipe-tipe instrumen kegiatan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Undang-Undang, Instrumen, dan Kebijakan
1.      Pengertian Undan-undang
Menurut UU No. 10 tahun 2004 yang dimaksud dengan UU adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3). Dengan kata lain dapat diartikan sebagai, peraturan–peraturan tertulis yang dibuat oleh pelengkapan negara yang berwenang dan mengikat setiap orang selaku wagar negara. UU dapat berlaku apabila telah memenuhi persayratan tertentu.
Undang-undang : Peraturan yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang dan mengikat masyarakatUndang-undang dalam arti materil : setiap peraturan perundangan yang isinya mengikat masyarakat secara umum.
Undang-undang dalam arti formal : Setiap peraturan perundangan yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang melalui tata cara dan prosedur yang berlaku.
Syarat undang – undang adalah kekuatan berlakunya undang-undang ini perlu dibedakan dari kekuatan mengikatnya undang-undang. Telah dikemukakan bahwa undang-undang mempunyai kekuatan mengikat sejak diundangkannya didalam lembaran Negara. Ini berarti bahwa sejak dimuatnya dalam lembaran Negara setiap orang terikat untuk mengakui eksistensinya. Kekuatan berlakunya undang-undang menyangkut berlakunya undang-undang secara operasional.
Undang-undang mempunyai persyaratan untuk dapat berlaku atau untuk mempunyai kekuatan berlaku. Ada tiga syarat kekuatan berlakunya undang-undang yaitu : kekuatan berlaku yuridis, sosiologis dan filosofis.[2]
2.      Pengertian Instrumen
Menurut kamus besar bahasa Indonesia instrumen/in·stru·men/ /instrumén/ n adalah alat yang dipakai untuk me-ngerjakan sesuatu (seperti alat yang dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat kedokteran, optik, dan kimia); perkakas.[3]
3.      Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya public. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, financial dan manusia demi kepentingan public, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga Negara.
Jadi, menurut kami undang-undang sebagai instrument kebijakan adalah undang undang sebagai alat jalannya kebijakan yang sudah dibuat.

B.  Kedudukan, Sifat Dan Fungsi UUD 1945 Serta Tujuan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
1.      Kedudukan , sifat, dan fungsi UUD 1945
Kedudukan UUD 1945
Hukum dasar yang tertulis (di samping itu masih ada hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu Konvensi)
a.       Sebagai (norma) hukum:
Ø  UUD bersifat mengikat terhadap pemerintah: setiap Lembaga Negara/Masyarakat, setiap WNRI dan penduduk di RI.
Ø  Berisi norma-norma: sebagai dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara harus dilaksanakan dan ditaati.
b.      Sebagai hukum dasar:
Ø  UUD merupakan sumber hukum tertulis (tertinggi) setiap produk hukum (seperti, UU, PP, Parpres, Perda) dan setiap kebijaksanaan pemerintah.
Ø  Sebagai Alat Kontrol, yaitu mengecek apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Sifat UUD 1945
1.      UUD 1945 bersifat supel (elastis)
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat itu terus berkembang dan dinamis. Negara Indonesia akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perubahan zaman.
2.      Rigid
Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, serta hanya dapat diubah dengan cara khusus dan istimewa.[4]
Fungsi UUD 1945
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi norma-norma, dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Perundang-undangan seyogyanya mengandung norma hukum yang umum abstrak atau sekurang-kurangnya yang umum-konkrit.[5]
Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber negara. Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi.
Dalam hubungan ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD 1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma hukum yang lebih tinggi, dan pada akhirnya apakah norma-norma hukum tersebut bertentangan atau tidak dengan ketentuan UUD 1945. Selain itu UUD 1945 juga memiliki fungsi sebagai pedoman atau acuan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.[6]
Dalam UUD 1945 juga terkandung :
a.      Materi pengaturan sisrem pemerintahan, termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas, wewenang dan hubungan antara lembaga-lembaga negara.
b.      Hubungan negara dengan warga negara baik dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun hankam.



2.        Tujuan Pembentukan Peraturan Perundangan
Peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.[7]
Tidak ada negarapun di dunia ini yang tidak memiliki konstitusi atau undang-undang. Negara dan konstitusi merupan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, dengan rumusan rechtstaat sesuai dengan UUD 1945 dan rumusan ini dilandasi suatu cita-cita negara integralistis. Paham cita integralistik ini diperkenalkan oleh Soepomo pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan pembentukan Indonesia. Soepomo mengetengahkan paham cita negara ke dalam kehidupan negara akan dibentuk dan juga menunjukan bahwa cita negara sebagai dasar pembentukan negara. Cita negara itu peranannya demikian menentukan terhadap susunan negara dan proses negara.[8]
Menurut Ultrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengurus tata tertib suatu mayarakat dan haru ditaati oleh masyarakat tersebut. Paul dan Dias mengajukan syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sitem hukum, yaitu:
1.      Mudah tidaknya makna atura-aturan hukum terebut untuk ditangkap dan dipahami.
2.      Luas tidaknya kalangan di dalam mayarakat yang mengetahui isi aturan yang bersangkutan.
3.      Efektif dan efesien tidaknya aturan-aturan hukum.
4.      Adanya mekanisme penyesuaian sengketa yang mudah dijangkau dan dimasuki oleh etiap warga masyarakat, akan tetapi harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa.
5.      Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan dan pranata hukum terebut sesungguhnya mempunyai daya kemampuan yang efektif.
Selain syarat yang dikemukakan di atas, setiap peraturan yang dibuat berdasarkan tiga landasan yakni landasan filosofi, yuridis,dan landasan sosiologis. Landasan filosofis bangsa Indonesia adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yaitu pancasila. Penjabaran nilai-nilai pancasila ke dalam hukum mencerminkan suatu keadilan,ketertiban, dan kesejahteraan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Landasan sosiologis bangsa Indonesia yaitu budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indoneia yang Bhineka Tunggal Ika berwawasan Nusantara,dan landasan yuridis bangsa Indonesia adalah nilai-nilai daar UUD 1945 yang dijiwai oleh nilai-nilai keadilan bagi eluruh lapisan masyarakat.
Sesuai dengan sistem kontitusi,seperti yang dijelaskan dalam penjelasan otetik UUD 1945 adalah bentuk  peraturan perundangan tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua perundangan. Sesuai pula denagan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan yang dibuat harus berdasarkan dan bersumber dengan tega pada peraturan yang berlaku dan tinggi tingkatannya.
Secara normatif,pembentukan peraturan perundangan diatur dengan Pasal 5 UU No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangan, harus memenuhi asas-asas,sebagai berikut:
1.      Asas kejelasan tujuan.
2.      Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.
3.      Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
4.      Asas dapat dilaksanakan.
5.      Asas kedayagunaan dan kehailgunaan.
6.      Asas kejelasan rumusan.  

C.  Tipe- Tipe Instrumen Kebijakan
Merujuk pada sistem pemerintahan di Australia, Bridgman dan Davis (2004:71) menyatakan bahwa instrumen kebijakan dapat dikategorikan kedalam empat tipe, yaitu bebagai berikut:
1.      Uang
Uang adalah instrumen yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan. Melalui kekuasaan menarik pajak dan mengeluarkan anggaran, pemerintah dapat melaksanakan kegiatan untuk melakukan dan mencapai suatu tujuan kebijakan. Uang yang diperoleh dari pajak atau pinjaman luar negeri bisa dipakai untuk membangun sekolah, universitas, pabrik, atau rumah sakit yang berguna dalam meningkatkan tingkat pendidikan, perluasan lapangan kerja dan kesehatan masyarakat.
2.      Tindakan
Menyediakan pelayanan sosial melalui lembaga-lembaga publik adalah “tindakan” yang bisa dilakukan untuk mencapai suatu tujuan kebijakan. Jika uang dapat digunakan pemerintah untuk pembayaran transfer kepada lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah dan individu, sebagian besar uang bisa diinvestasikan ke dalam program-program pelayanan sosial pada sektor publik. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit pemerintah, misalnya, adalah salah satu cara untuk meningkatkan tingkat harapan hidup masyarakat.
3.      Advokasi
Penguatan kapasitas, sosialisasi, kampanye, lobby dan demonstrasi adalah beberapa teknik advokasi yang dapat digunakan untuk mendidik atau mempengaruhi pihak lain. Sebagai sebuah instrumen kebijakan, advokasi seringkali mengharuskan pemerintah untuk bekerjasama dan membangun koalisi dan melakukan loby-loby dengan kelompok-kelompok kepentingan.kampanye anti-rokok, misalnya, mengharuskan pemerintah untuk berkoalisi dengan World Health Organisation (WHO), Yayasan Jantung Sehat, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
4.      Hukum
Hukum adalah instrumen kebijakan yang paling sering digunakan oleh pemerintah sebagai cara untuk mencapai tujuannya. Hukum dapat memfasilitasi, mengatur, atau melarang perilaku tertentu. Hukum juga dapat menciptakan dan mengontrol individu maupun organisasi. Hukum memberikn kerangka kerja bagi pemerintah untuk bertindak. Namun, sebagai besar perinciannnya diwujudkan dalam berbagai peraturan yang memberi kewenangan kepada pejabat-pejabat publik untuk melakukan tindakan.
Selain instrumen kebijakan harus sesuai dengan tujuan kebijakan, agar efektif ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman, yaitu :
a.       Ketepatan : apakah instrumen yang dipilih merupakan sebuah cara atau metode yang sejalan dengan bidang dan sasaran kebijakan ?
b.      Efektivitas : dapatkan instrumen ini membuat sebuah kebijakan mampu mencapai hasil-hasil sesuai dengan yang direncanakan ?
c.       Efisiensi : apakah instrumen kebijakan memenuhi kriteria analisis  keuntungan dan kerugian secara ekonomi (costs and benefits analysis atau costs effectiveness analysis)?
d.      Kesetaraan : apakah instrumen ini dapat menjamin bahwa prosedur, persyaratan dan akibat-akibat kebijakan yang ditimbulkannya bersifat adil, inklusif dan setara bagi semua orang?
e.       Dapat diterapkan : apakah instrumen kebijakan bersifat sederhana dan mudah untuk dilakukan?[9]
BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Undang-undang dalam arti formal : Setiap peraturan perundangan yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang melalui tata cara dan prosedur yang berlaku.
Instrumen/in·stru·men/ /instrumén/ n adalah alat yang dipakai untuk me-ngerjakan sesuatu (seperti alat yang dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat kedokteran, optik, dan kimia); perkakas.
Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, financial dan manusia demi kepentingan public, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga Negara.
Instrumen kebijakan dapat dikategorikan kedalam empat tipe yaitu uang, tindakan, advokasi, dan hukum.

B.  SARAN
Demikian yang dapat pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita. Amiin 
DAFTAR PUSTAKA
Attamini, Hamid S. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Manan, Bangir dan Kuntana Magnar. 1987. Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Armico.
Seidmenn, Aan et.all. 2001. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, ELIPS.
Suharto, Edi.2013. Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.





[1] Aan Seidmenn et.all., Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, ELIPS, 2001 hlm. 17
[3] http://kbbi.web.id/instrumen. diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul  12.40
[4] www.geofacts.co.cc/.../undang-undang-dasar-1945-sebagai-hukum.html diakses pada 15 Oktober 2015 pukul 16.32 WIB.
[5] A. Hamid S. Attamini, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.345-346.
[6] www.geofacts.co.cc/../undang-undang-dasar-1945-sebagai-hukum-html diakses pada 15 Oktober 2015 pukul 16.32 WIB
[7] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, 1987) hlm.13.
[9] Edi Suharto, Ph.D, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2013) hlm. 54
Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates