Qath'i dan Dzanni
QATH’I DAN DZANNI
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Ulumul
Qur’an
Dosen Pengampu :Yuyun Affandi, Dr., Hj.,Lc.,M.A.
Disusun Oleh :
Nana
Lutfiana (131311110)
Miftah Mursyidah (131311111)
Naili Mufrodah (131311113)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN
DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kajian terhadap al-Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak diperhatikan, yaitu al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna).Dari sisi al-subut al-Qur’an, tidak ada perbedaan
pandangan di kalangan umat Islam tentang kebenaran sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Allah karena
sampai kepada umat Islam secara mutawatir sehingga memfaedahkan yakin.
Sementara
dari sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat-ayat yang qath’i dan Dzanni.Kajian
mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an menunjukan bahwa adanya ayat-ayat yang qathi’i dan Dzanni merupakan ciri al-Qur’an tersendiri dalam menjelaskan hukum
(ahkam).Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya adalah
tabi’at ayat itu sendiri.Dalam hal ini, Allah memang secara sengaja menempatkan
suatu ayat qathi’i dan yang lain Dzanni dengan maksud dan makna tertentu.
Pembahasan qath’i dan Dzanni hanya dapat ditemukan di kalangan
ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta
kandungan makna dalil itu sendiri. Ulama Ushul al-Fiqh ada yang
menegaskan bahwa sifat dalil itu adalah menunjukkan kepada hukum syar'i secara
konklusif (qath'i), kalau tidak menunjukkan kepada hukum syar'i secara
konklusif (qath'i), melainkan hanya dugaan kuat (Dzanni) maka
disebut dengan amarah (tanda-tanda hukum).Akan tetapi pengertian yang
umum di kalangan ulama Ushul al-Fiqh adalah bahwa dalil-dalil itu meliputi
semua sumber hukum (Mashadir al-Ahkam) yang menunjukkan kepada hukum
syar'i, baik secara qath'i maupun secara Dzanni.[1]
B. Rumusan
masalah
1.
Apa Pengertian dalil
qath’i ?
2.
Apa saja macam-macam
dalil qhot’i ?
3.
Apa pengertian dalil dzanni
?
4.
Apa saja macam-macam
dzanni ?
5.
Bagaimana contoh-contoh
dalil qath’i dan dzanni?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
dalil qath’i
Dalil
menurut arti etimologi bahasa Arab ialah pedoman bagi apa saja yang khissi (material)
yang ma’nawi (spiritual), yang baik ataupun yang jelek. Adapun menurut
istilah ahli ushul (terminologi) ialah sesuatu yang dijadikan dalil,
menurut perundangan yang benar, atas hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia, secara pasti (qath’i) atau dugaan (dzanni).[2]
Di dalam kamus al-Munawir halaman
1134 القعي berarti secara pasti. Qath’i dan Dzonni
merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika
mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber
suatu dalil.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan
kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis). Qath’i tidak mengandung kemungkinan
takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna
yang ditunjukkan teks.
Dalil Qath'i yang dirumuskan
asy-Syatibi adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud),
penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) atau kekuatan argumentatif
maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan.seperti
kepastian kita tentang adanya seseorang yang bernama Hatim, yang kita ketahui
dari banyaknya kejadian-kejadian dan laporan-laporan mengenainya. Atau seperti
kepastian kita tentang adanya Kota Makkah dan Negara Mesir karena
ke-mutawatiran berita-berita mengenainya sehingga seakan-akan kita melihatnya
langsung.
Menurut asy-Syatibi, ke-qath'i-an
makna yang ditunjukkan oleh dalil tidak selalu lahir dari kekuatan dalil itu
sendiri. Dengan kata lain, suatu dalil tidak secara berdiri sendiri menunjukkan
kepada makna qath'i, sebagaimana yang disebutkan oleh
asy-Syatibi;"... adanya ke-qath’i-an, dalam pengertian yang umum
dipakai pada dalil-dalil syar'i secara satu persatu adalah mustahil atau
amat langka". Ketidak-qath’i-an itu dapat disebabkan oleh
kemungkinan-kemungkinan historis, misalnya asal-usul dalil tersebut secara
historis (al-wurud) memang belum meyakinkan, dan apabila asal-usul
historisnya telah terbukti shahih dan qath'i, dalil tersebut masih akan
diliputi oleh kemungkinan-kemungkinan gramatikal dan semantik, misalnya adanya
perbedaan bacaan (qira'ah) yang disebabkan oleh perbedaan analisis
sintaksis, adanya makna ganda (musytarak), dan lain-lain.
Akan tetapi ke-qath'i-an
tersebut lahir dari gabungan sejumlah dalil yang secara bersama-sama mendukung
penunjukkan kepada makna (ad-dalalah) yang pasti. Rukun Islam yang ada
(lima) itu misalnya adalah qath'i, dan ke-qath’i-annya diperoleh
dengan cara demikian. Kewajiban shalat misalnya tidak semata-mata ditunjukkan
oleh perintah di dalam firman Allah SWT:
واقيموا
الصلاه......
"Dan dirikanlah shalat..." (QS.
al-Baqarah: 43).
Dalil tersebut ditopang oleh sejumlah indikasi
lain yang semuanya mendukung pemaknaan perintah di dalam firman Allah SWT di
atas sebagai menunjukkan wajib. Misalnya kita menemukan adanya pujian terhadap
orang yang mengerjakan shalat dan celaan terhadap orang yang meninggalkannya,
adanya perintah shalat dalam keadaan duduk sekalipun apabila tidak bisa
berdiri, atau berbaring apabila tidak bisa duduk, dan indikasi lainnya. Kebersamaan
inilah yang membuat Firman Allah SWT menjadi wajib dan membuat hukum wajib
tersebut adalh Qoth’i.[3]
Dari
pendapat di buku ilmu ushul fiqih, dalil yang jelas dari nash adalah makna yang
ditunjukan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar.
Menurut
kami qath’i adalah sesuatu yang menunjukan makna pasti dan tidak dapat di
takwil lagi, yang menurut buku ilmu usul fikih, harus diamalkan sesuai makna,
dan tidak boleh menakwil dalil tersebut, meskipun mungkin, kecuali ada dalil
yang kuat, untuk menakwilnya.[4]
B. Macam-macam
dalil qoth’i
Ulama’
ushul fikih membagi petunjuk yang jelas itu menjadi empat bagian di dalam buku
ilmu usul fikih karangan Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khalaf , penerjemah: Faiz El Muttaqin S. Ag
tapi di dalam buku usul fiqih karangan Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A
terdapat tiga, tapi menurut kalangan Hanafiyyah di dalam buku usul fiqih
karangan Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A terdapat empat.
Di
sini kami akan menjelaskan empat macam dalil qoth’i dilihat dari kejelasan
maknanya tersebut :
a.
Az-Zhahir
Az-zahahir
menurut bahasa berarti al-wudhuh( jelas ). Sedangkan menurut istilah,
menurut jumhur ulama Usul Fiqh antara lain seperti di kalangan Ibnu al-Subki
(w.771H), ahli Usul Fiqh dari kalangan Syafi’iyyah, berarti lafal yang
menunjukan sesuatu pengertian yang hanya sampai ke tingkat zhanny (
dugaan keras ). Contoh nya. Dalam Al-Quran kata “yad” dalam ayat 10 surat
al-Fath:
………..
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِم …..
…
yad ( tangan dan kekuasaan ) Allah di atas tangan mereka …. (QS. Al-Fath/48:10)
Maka
zhahir dari kata yad dalam ayat tersebut adalah “tangan” Karena untuk itulah
kata itu dibentuk dari mulanya. Namun ada kemungkinan bahwa yang di maksud
bukan makna zhahirnya itu tetapi makna lain, yaitu kekuasaan. Makna tersirat
itu baru boleh di fungsikan bilamana di dukung oleh dalil yang kuat.[5]
Menurut
pendapat kalangan hanafiyyah, zhahir adalah lafal yang menunjukan suatu
pengertian yang jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar, namun bukan
pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya, karena terdapat
pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya.
Contohnya, dalam surat al-baqoroh ayat
275 Allah berfirman:
…..
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا …..
…. padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba … (QS.
Al-Baqoroh/2:275)
Arti zhahir yang
cepat dapat ditangkap dari ayat tersebut adalah kehalalan jual beli dan
keharaman riba. Tetapi ada pengertian lain, yaitu perbedaan jual beli dengan
riba, karena dalam konteks ini menjawab pertanyaan orang musyrik yang
menyamakan jual beli dengan riba yang dibeberkan dalam ayat sebelumnya.
….. ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ ……
…… Keadaan mereka yang demikian itu
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli sama
dengan riba…. (QS. Al-Baqoroh/2:275).[6]
b.
An Nash
Secara
etimologi, nash berarti az-zuhur (jelas). Menurut imam syafi’I (w.204H) adalah
pengertian nash secara umum yaitu teks Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah, baik
tegas maupun tidak tegas (menurut Adib Shalih, dari pengertian itu, jadi
seluruh ayat dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah nash).[7]Menurut
istilah ulama usul fikih adalah sesuatu yang dengan bentuknya sendiri
menunjukan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya dan mungkin untuk
ditakwil. Jika makna itu langsung dipaham dari lafal, pemahamannya tidak butuh
faktor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan makna itu.
Firman
Allah SWT, yang berbunyi:
….
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ …
….
Maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat, …(QS.
An-Nisaa’:3)
Disebut
nash dalam arti membatasi jumlah maksimal istri sampai empat. Karena ini adalah
makna yang langsung dipahami dari lafadzh dan makna asal yang dimaksud dari
susunan katanya.[8]
c.
Al Mufassar
Menurut
istilah usul fikih al mufassar adalah nash yang dengan sendirinya menunjukan
makna secara rinci dan tidak memungkinkan adanya takwil. Antara lain karena bentuk nash itu dengan
sendirinya telah menunjukan makna secara jelas dan rinci yang didalamnya tidak
ada lagi kemungkinan diberi makna lain.[9]
Lafal musaffar dapat dibagi dua:
1.
Lafal yang maknannya
jelas dan terinci dari semula tanpa memerlukan penjelasan. Contohnya, ayat 4
surat An Nur yang menjelaskan jumlah 80 kali dera atas orang yang melakukan,
yaitu menuduh orang baik-baik tanpa ada saksi.
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
ۚوَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.” ( QS. An-Nur 24:4 ).
2. Lafal
yang pada mulanya adaah mujmal atau dalam bentuk global kemudian dari pembuat
syariat sendiri datang penjelasan yang merincinya sampai jelas bisa di
jelaskan. Contohnya kata sholat, zakat, dan haji dalam Alqur’an adalah
kata-kata global, tanpa terinci cara-cara pelaksanaanya. Namun lafal-lafal itu
telah menjadi mufassar karena telah dijelsakan secara rinci oleh Rasulullah. [10]
d. Al
Muhkam
Muhkam adalah
lafal yang menunjukan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemudian
untuk di takwil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan oleh Allah dan RosulNya. Seperti firman Allah SWT
setelah menjelaskan wanita yang haram dikawini
(dan dihalalkan
bagimu selain yang demikian QS. An Nisa’ – 24)
Dan firman Allah
(maka kwinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, empat QS An
Nisa-3)
Ayat pertama
jelas dalam menghalalkan istri kelima, karena ayat termasuk selain yang
demikian. Sedangkan ayat kedua adalah nash dalam membatasi kewenangan beristri
maksimal empat.[11]
Pembagian dalil qath’i di tinjau dari daya
kekuatannya, terbagi menjaadi dua:
a.
Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu dalil yang meyakinkan bahwa
datangnya dari Allah (Alquran) atau dari Rasulullah (Hadits Mutawatir).
b.
Dalil Qath'i Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau
ungkapan kata-katanya menunjukan arti dan maksud tertentu dengan tegas dan
jelas sehingga tidak mungkin dipahamkan lain.[12]
C. Pengertian
Dalil Dzanni
Didalam
kamus al-Munawir halaman 882 ظن berarti perkiraan.
Adapun dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadist) yang
menunjukan kepada sesuatu makna yang mengandung pengertian lain. Dalil zhonni
adalah suatu dalil yang asal usul historisnya (al-wurud), penunjukan kepada
maknannya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri
(al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang
didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.[13]
D. Macam
- macam Dzanni
1. Alkahfy
(samar)
Yang di maksud
dengan al kahfy menurut ulama ushul fiqh adalah lafal yang menunjukan makna secara jelas, tapi dalam menerapkan
arti kepada sebagian satuanya mengandung kesamaran dan ketidak jelasan, yang
untuk menghilangkanya membutuhkan pemikiran dan perkiraaan yang matang, sehingga
lafal itu di anggap samar dari segi penerapan arti kepada sebagian satuanya.
Misalnya lafal
as saariq artinya jelas, yaitu orang yang menganmbil harta berharga milik orang
lain secara tersembunyi dari tempat penyimpananya. Tetapi untuk menerapkan arti
ini kepda sebagian satuanya merupakan suatu kesamaran. Seperti pencopet, ia
juga mengambil harta secara ternag-terangan dengan menggunakan ketrampilan,
kelincahan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata. Maka ia berbeda
denga pencuri karena adanya sifat tambahan karena adanya keberanian mencuri.
2. Al
Musykil (sulit)
Yang dimaksud Al
musykil menurut ulama ushul fiqh adalah lafal yang bentuknya tidak dapat
menunjukan kepada makna, bahkan harus ada petunjuk dari luar yang dapat
menjelaskan maksud lafal tersebut.Sebab kesamaran
dari lafal kahfy bukan dari lafalnya, tetapi dari kesamaran dalam mentapkan
artinya kepada sebagian satuannya
karena fakor dari luar. Sedangkan sebab kesmaran dari al musykil adalah dari
lafal itu sendiri, karena ia secara bahasa memiliki makna lebih dari satu.
Misalnya lafal Qur-u
dalam firman allah SWT.
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
Artinya : “wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 3 kali Quru”. (QS al Baqarah
228).
Lafal al Qurru
menurut bahasa bermakna suci dan haid. Maka manakah yang dimaksud dalam ayat
diatas dalam ayat di atas ?apakah idah talak itu habis dalam 3 kali suci atau 3
kali haid ? ulama syafii dan sebagian
mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud al quru pada ayat di atas adalah suci.
Petunjuknya adalah muannast (perempuan) pada bilangan, karena menurut bahasa
menunjukan bahwa yang di hitung harus mudzakar
(laki-laki), yatu berarti al Ath-har(suci) bukan al Haid (haid).
3. Mujmal
Yang dimaksud al Mujmal
menurut istilah ulama ushul fiqh adalah lafal yang bentuknya tidak menunjukan
kepada makna, tidak ditemukan adanya alasan yang bersifat lafal atau bersifat
keadaan yang dapat menjelaskanya. Jadi sebab kesamaran dalam mujmal ini adalah
bersifat lafal bukan unsuryang lain. Diantara lafal mujmal adalah lafal yang
digunakan oleh Syari’ dari makna secara bahasa dan digunakan untuk makna secara
istilah tertentu yang bersifat syara’ seperti lafal sholat, zakat, juga semua
lafal lain yang digunakan oleh syari’ untuk makna syara’ tertentu. Bukan makna
secara bahasa. Jika diantara lafal yang global itu di gunakan dalam nash syara’
maka hukumnya tetap mujmal sampe ada penjelasan dari syari’ sendiri. Oleh
karena itu hadist yang bersifat perbuatan atau ucapan dikeluarkan untuk
menjleaskan sholat, rukun, sarat dan juknis. Rosulullah SAW bersabda:
صَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
4. Al
Mutasyabih (serupa)
Menurut ulama
ushul fiqh adalah lafal yang bentuknya itu
sendiri tidak menunjukan kepada makna yang dimaksud, tidak ada alasan pendukung
dari luar yang menjelaskanya dan syari’ dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu
saja tanpa penjelasan.
Al Mutasyabih
dengan pengertian ini, sedikitpun tidak terdapat dalam nash syara’. Maka
didalam ayat-ayat dan hadis-hadis hukum tidak terdapat lafal yang mutasyabih
yang tidak acara untuk mengetahui artinya. Akan
tetapi dalam beberpa bagian nash, terdapat huruf yang terpotong-potong dalam
permulaan surat, seperti :haa miim, shad, qaaf. Dan seperti ayat yang secara lahirnya berakan
allah menyerupai mahluk : denagn meiliki
tangan, mata dan bertempat seperti firman Allah:
الم
Alif
laam miim. [14]
Jika ditinjau dari daya kekuatanya
dzanni di bagi menjadi 2 :
a.
Dhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi kesan yang kuat atau sangkaan yang
kuat bahwa datangnya dari Rasulullah SAW.
b.
Dhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya
memberi kemungkinan - kemungkinan arti dan maksud lebih dari satu.
E. Contoh Dalil Qath’i dan Dzanni
1.
أَقِيْم الصَّلَاة
Artinya : “ Dirikanlah Shalat”
Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada nash Al-Qur’an yang
berbunyi Aqimu Al-Shalah, maka nash ini
tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun
redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat Al-Qur’an yang
menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib.
kepastian tersebut datang dari pemahaman terrhadap nash-nash lain (yang
walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda,
disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh
diatas, ditemukan selaan banyak ayat atau hadits yang menjelaskan antara lain
hal-hal berikut :
a. Pujian kepada
orang-orang yang shalat
b. Celaan dan
ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya.
c. Perintah kepada mukallaf
untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang dalam
keadaan berdiri atau –bila udzur– duduk atau berbaring atau bahkan dengan
isyarat.
d. Pengalaman-pengalaman yang
telah diketahui secara turun temurun dari Rasulullah saw, sahabat
beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut,
yang kemudian disepakati oleh umat melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat Aqimu
al-Shalah secara pasti
atau qath’iy
mengandung makna wajibnya shalat. juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti
lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari
aqimus shalah, menjadi aksioma. Di sini berlaku ma’lum min al-din
al-dharurah. Biasanya, ulama-ulama Ushul Fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk
menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab jika mereka menunjuk kepad nash
(dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang
–bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’ itu untuk mengalihkan makna yang
dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Maka, guna menghindari
hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma’.
2.
QS. An-Nisa’ : 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُم اِن لَّم يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ
Artinya : “Dan
bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”. (Q.S. An
Nisa’ : 12).
Ayat ini adalah qath’i dalalahnya bahwa bagian suami (bila ditinggal mati
istri) adalah seperdua atau separuh, tidak bisa lainnya. (yakni yang lain dari
seperdua) atau dipahami dengan versi lain.
3.
QS. An-Nisa’ : 11
يُوصِيكُمُ اللهُ فِى أَوْلدِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الآُنْثَيَيْنِ فَاِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اُثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَاكَ وَاِن كَانَتْ وّاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Artinya : “
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak
lelaki sama dengan dua bagian anak perempuan dan jika anak itu semuannya
perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan; dan jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh
separuh harta”. ( Q.S. An Nisa’ : 11 ).
Menurut ulama’ ushul fiqh ayat diatas mengandung hukum
yang qath’i dan tidak
bisa dipahami dengan pengertian lain.
4.
QS. An-Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّنِى فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاْئَةً جَلْدَةٍ
Artinya : “
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang
dari keduannya seratus kali dera”. (Q.S An Nur : 2)
Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan
ta’wil atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat
qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih,
dan tidak kurang.
5.
Dalam kafarat sumpah. Allah berfirman (QS. Al-Maidah :89)
فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامٍ
Artinya : “ Maka berpuasalah selama tiga hari “. (Q.S. Al Maidah : 89)
Puasa tiga hari untuk kafarat sumpah, menurut para ulama’
ushul fiqh mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan
pengertian lain
6. QS.
An Nur : 4
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتَواْ بِأَرْبَعَةِ ِشُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمنِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لهمْ شَهَادةً أَبَدًا
وَأُولئِكَ هُمُ الفَاسِقُونَ
Artinya “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan
mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina,
sedangkan ia tidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan
sebagai hukuman telah menuduh. Kata “delapan puluh” merupakan kata yang
sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain,
dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah.
1.
QS. Al Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَر بصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru”. (Q.S. Al
Baqarah : 228).
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak
(satu kata dua artinya atau lebih). Di dalam ayat tersebut bisa berarti
bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa
wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’. dengan demikian,
akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. jadi
adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’i. karena itu
dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu
(‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali bersih dan ada
yang mengatakan tiga kali haidh.
2.
Q.S. Al Maidah : 3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ المَيْتَةُ
وَالدَّمُ
Artinya : “
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Q.S. Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang
mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu
dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud
ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni
dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti
tetapi juga mungkin berarti lain.
3.
Q.S. Al Maidah : 38
وَ السَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أيْدِيَهُمَا جَزَاءَ بِمَا كَسَبَا نَكاَلاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزُ
حَكِيْمٌ
Artinya
: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al Maidah : 38).
Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang
dimaksudkan adalah tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung
kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan
dalam hadits Rasulullah SAW. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini menurut para
ulama’ usul fiqh bersifat zhanni (relatif benar) oleh sebab itu para mujtahid
boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung
oleh dalil lain.
Suatu ayat dapat menjadi qath’idan zhanni pada saat yang
sama firman Allah yang berbunyi :
وَامْسَحُوا بِرُئُوسكُمْ
Artinya : “ Dan
basuhlah kepalamu ”
Adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam
berwudhlu, tetapi ia zhanni al-dalalah dalam
hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. ke qath’iyan dan ke zhanniyan
tersebut disebabkan karena seluruh ulama’ ber-ijma’ (sepakat) menyatakan
kewajiban membasuh kepala dalam berwudhlu berdasarkan berbagai argumentasi. Namun
mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafadz biru’usikum.
dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’iy bi i’tibar wa
zhanniy bi i’tibar akhar (disuatu sisi qot’iy dan disisi lain zhanniy). Di suatu sisi ia
menunjuk kepada makna yang pasti dan disisi lain ia memberi berbagai alternatif
makna.
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
bahasa yang dimaksud dengan qath’i
adalah putus, pasti, atau diam,.Sedangkan menurut istilah qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu yang
harus dipahami dari teks (ayat atau hadis).Qath’i
tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk
memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks. Macam- macam qath’i
1. Zahir
2. An Nash
3. Al Mufasar
4. Al Muhkam
Secara bahasa yang
dimaksud dengan dzanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah).
Adapun dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadist) yang
menunjukan kepada sesuatu makna yang mengandung pengertian lain. Macam-macam
dzani
1. al
Kahfy
2. al
Musykil
3. al Mujmal
4. al Mutasyabih
B. Saran
Demikian
makalah yang bisa penulis paparkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
dan pembaca, dan semoga dapat menjadi bahan bacaan dalam menambah pengetahuan /
wawasan.Demi kesempurnaan makalah ini kritik
dan saran, penulis
harapkan dari pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Khalaf,
Abdul Wahhab. penerjemah: faiz el muttaqin s. ag., Ilmu Usul Fikih,
(jakarta:pustaka amani), 2003.
Satria Effendi, dkk. M.A Usul Fiqh, jakarta : prenada media,
2005.
http://faiz-farihah.blogspot.com/2011/08/qathi-dan-zhanni-dalam-al-quran.html, Kamis , 19 juni 2014, 22.07
http://mu-efdien.blogspot.com/2013/03/dalil-qothi-dan-zhonni.html. Sabtu, 3 mei 2014, 15.30.
[1]http://mu-efdien.blogspot.com/2013/03/dalil-qothi-dan-zhonni.html.
Sabtu, 3 mei 2014, 15.30
[2]http://blog.uin-malang.ac.id/awan/2011/03/14/dalil-qathi-dan-dzanni/,
sabtu, 3 mei 2014, 16.30
[3] http://mu-efdien.blogspot.com/2013/03/dalil-qothi-dan-zhonni.html.
Sabtu, 3 mei 2014, 15.30
[4] Prof. dr. abdul wahhab khalaf , penerjemah: faiz el muttaqin s.
ag., ilmu usul fikih , (jakarta:pustaka amani), 2003, hal 231
[5] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Usul Fiqh,
jakarta : prenada media, 2005, hal 221
[6] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Usul Fiqh,
jakarta : prenada media, 2005, hal 223-224
[7] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Usul Fiqh,
jakarta : prenada media, 2005, hal 219
[8] Prof. dr. abdul wahhab khalaf , penerjemah: faiz el muttaqin s.
ag., ilmu usul fikih , (jakarta:pustaka amani), 2003, hal 235
[9]Prof. dr. abdul wahhab khalaf , penerjemah: faiz el muttaqin s. ag.,
ilmu usul fikih , (jakarta:pustaka amani), 2003, hal 239
[10] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Usul Fiqh,
jakarta : prenada media, 2005, hal 225
[11] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Usul Fiqh,
jakarta : prenada media, 2005, hal 225
[14] Prof. Dr. Abdul
Wahhab Khalaf , Penerjemah: Faiz El Muttaqin S. Ag., Ilmu Usul Fikih ,
(Jakarta:Pustaka Amani), 2003, hal 244-254
[15] http://faiz-farihah.blogspot.com/2011/08/qathi-dan-zhanni-dalam-al-quran.html, kamis , 19 juni 2014, 22.07
[16] http://faiz-farihah.blogspot.com/2011/08/qathi-dan-zhanni-dalam-al-quran.html,
kamis , 19 juni 2014, 22.07
[17] http://faiz-farihah.blogspot.com/2011/08/qathi-dan-zhanni-dalam-al-quran.html,
kamis , 19 juni 2014, 22.07
0 komentar:
Post a Comment