Dakwah Islam di Cina
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Cina adalah negara terbesar ketiga
yang mempunyai penduduk terpadat. Di negara yang menggunakan mandarin sebagai
bahasa nasionalnya menganggap bahwa agama tidaklah penting, karena mereka
menganggap bahwa agama hanyalah sesuatu yang kuno dan agama halnya dipakai pada
masyarakat yang tidak mampu menjalani tantangan hidup. Di negeri tak mengenal
Tuhan, Islam hidup dan berkembang. Bahkan banyak sumbangan Islam telah
diwariskan. Diantaranya sistem kalender, ilmu matematika, kedokteran, dsb. Cina
merupakan negara yang mempunyai penduduk paling besar di dunia, dengan jumlah
populasi lebih dari 1.3 milyar. Sekalipun ia sering dilihat sebagai negara
komunis, ia juga dikenal sebagai negeri yang tak bertuhan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal-muasal Islam di Cina ?
2.
Bagaimana kedatangan Islam di Tiongkok ?
3.
Bagaimana orang Arab di Tiongkok memeluk Islam ?
4.
Bagaimana Islam di Cina Pasca Saad bin Abi Waqqas
?
5.
Bagaimana pola dakwah Islam di Cina ?
6.
Bagaimana kondisi mad’u di Cina ?
7.
Bagaimana metode dakwah yang digunakan di Cina ?
8.
Bagaimana pola dakwah kontemporer di Cina ?
PEMBAHASAN
A.
Asal-Muasal Islam di Cina
Agama Islam dipercaya telah sampai
ke Cina sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu. Nabi Muhammad SAW., sebelum
memulai penghijrahan dari Mekkah ke Madinah telah lebih dulu mengantar beberapa
orang sahabatnya pergi berdakwah ke Cina. Di antaranya adalah Saad bin Abdul
Qais, Qais bin Abu Hudhafah, Urwah bin Abi Uththan, dan Abu Qais bin Al-Harits.
Misi dakwah yang dilaksanakan telah berhasil melahirkan lebih dari 136 juta
umat Islam yang ada di Cina hari ini. Jumlah ini jauh lebih besar dari angka
yang diberikan oleh pihak kerajaan Cina. Menurut data 1990, jumlah umat Islam
di Cina hanya sekitar 17 juta orang saja. Bagaimanapun, pendataan ini
menimbulkan banyak keraguan karena umat Islam membentuk penduduk mayoritas di
sebagian besar wilayah Cina, seperti Xinjiang, Gansu, Hubel, Qinghai, dan
Yunan.
Penduduk Islam di Cina tidak hanya
terbatas kepada suku etnis Hui, tetapi juga Uyghur, Kazak, Tartar, Salar,
Dongxiang, Tajik, Uzbek, dan Baoan. Serta tidak terkecuali juga orang Han yang
membentuk mayoritas penduduk di Negara Cina. Suku-suku etnis ini tinggal di
kawasan barat laut Cina dan mempunyai hubungan pertalian darah dengan orang
Arab, Turki, Afghanistan, Uzbekistan, Tibet, Mongolia, dan Indo Eropa. Wajah
suku etnis Islam ini memiliki perbedaan dengan wajah orang Cina yang lain
karena memiliki ciri-ciri darah campuran. Muka mereka kelihatan sedikit
kemerah-merahan dengan bentuk hidung yang tinggi dan mancung. Namun, mata
mereka tetap kelihatan sipit menunjukkan adanya percampuran dengan darah orang
Cina. Keunikan ini menjadikan umat Islam di Cina sebagai suatu kelompok etnis
yang istimewa dengan identitas, budaya, dan cara hidup yang tersendiri. Bahkan,
di beberapa tempat, ada di antara suku etnis itu menggunakan bahasa Arab
sebagai bahasa komunikasi utama.
Walaupun tidak ada catatan yang
tepat mengenai tahun kedatangan Islam di Cina, catatan dari Dinasti Tang telah
menjelaskan bahwa terjalin hubungan diplomatik antara pemerintahan Cina dengan
pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Sayidina Utsman bin Affan. Catatan itu
menyebutkan, pada awal pemerintahan Dinasti Tang telah sampai orang asing ke
Cina dari Madinah, Annam, dan Kamboja. Tiga orang asing yang berasal dari
Madinah, mereka tidak memakan daging babi, tidak meminum arak, dan menyembelih
hewan sebelum memakannya. Mereka kemudian menetap di Kanton. Mereka berniaga
dan amat patuh pada pimpinan yang mereka pilih. Orang asing yang dimaksudkan
itu ialah pedagang Arab yang telah membentuk suatu komunitas yang cukup penting
di Kanton.
B.
Kedatangan Islam di Tiongkok
Hubungan perdagangan antara Arab dan
Tiongkok telah ada lama sebelum Islam diajarkan di Tiongkok. Hubungan antara
orang-orang Arab dan Cina telah ada semenjak kekuasaan Dinasti Sui. Dari
Baghdad dan daerah-daerah lainnya mereka membawa mutiara, batu-batu ambar dan
lain-lain barang berharga dan dari negerinya mereka membawa sutera, minyak
wangi dan barang lain-lain yang berguna. Perdagangan ini menyebabkan tiap tahun
terjadi pelayaran dilaut ke arah selatan tenggara Cina.
Menurut pendapat yang tradisionil,
orang Muslim pertama yang datang di Tiongkok ialah dalam zaman pemerintahan Tai
Tsung (627-650 A.D.), kaisar kedua dari Dinasti Tang. Orang yang mula-mula
mengajarkan Islam ialah Saad bin Abi Waqqas, yang meletakkan batu-batu pertama
Masjid Kanton yang masyur yang terkenal sekarang sebagai Wai-Shin-zi, yaitu
Masjid untuk kenang-kenangan kepada Nabi. Dalam bukunya, Chee Chea Sheehuzoo
(Kehidupan Nabi), seorang penulis Muslim abad ke-18 Lui Tshich, menulis:
“Ketika Saad bin Abi Waqqas kembali ke Arabia setelah lama berdiam di Kanton,
Khalifah Usman mengirimnya kembali sebagai utusannya kepada Kaisar Tiongkok.
Akan tetapi ia sendiri tak sempat mengunjungi tanah Arab untuk kedua kalinya dan
meninggal di Kanton. Diduga ia dikuburkan dikuburan tua di Kanton.[1]
Kota Guangzhou di Cina ternyata
menyimpan sejarah kebesaran Islam. Di kota yang disebut Khanfu oleh orang Arab
ini, Islam pertama kali datang dan berkembang. Kota ini menjadi pusat pengembangan
Islam di Cina karena keberadaan pelabuhan laut Internasionalnya. Menurut
catatan resmi dari Dinasti Tang yang berkuasa pada 618-905 M dan berdasarkan
catatan serupa dalam buku A Brief Study of the Introduction of Islam to China
karya Chen Yuen, Islam pertama kali datang ke Cina sekitar tahun 30 H atau 651
M.
Disebutkan bahwa Islam masuk ke Cina
melalui utusan yang dikirim oleh Khalifah Usman bin Affan, yang memerintah
selama 12 tahun atau pada periode 23-35 H/644-656 M. Sebagian catatan lagi
menyebutkan, Islam pertama kali datang ke Cina dibawa oleh panglima besar
Islam, Saad bin Abi Waqqas, bersama sahabat lainnya pada tahun 616 M. Catatan
tersebut menyebutkan bahwa Saad bin Abi Waqqas dan tiga sahabat lainnya datang
ke Cina dari Abyssinia atau yang sekarang dikenal dengan Ethiopia. Setelah
kunungan pertamanya, Saad kemudian kembali ke Arab. Ia kembali lagi ke Cina 21
tahun kemudian atau pada masa pemerintahan Usman bin Affan, dan datang dengan
membawa salinan Al-Qur’an pada masa ke khalifahannya memang menyalin Al-Qur’an
dan menyebarkan ke berbagai tempat, demi menjaga kemurnian kitab suci ini.
Pada kedatangannya yang kedua di
tahun 650, Saad bin Abi Waqqas kembali ke Cina dengan berlayar melalui Samudera
Hindia ke Laut Cina menuju pelabuhan laut di Guangzhou. Kemudian ia berlayar ke
Chang’an atau kini dikenal dengan nama Xi’an melalui rute yang kemudian dikenal
sebagai Jalur Sutera. Bersama para sahabat, Saad datang dengan membawa hadiah
dan diterima dengan hangat oleh Kaisar Dinasti Tang, Kao-Tsung (650-683).
Namun, Islam sebagai agama tidak langsung diterima oleh sang Kaisar. Setelah
melalui proses penyelidikan, sang Kaisar kemudian memberikan izin bagi
pengembangan Islam yang dirasanya cocok.
Saad bin Abi Waqqas kemudian menetap
di Guangzhou dan ia mendirikan Masjid Huaisheng yang menjadi salah satu tonggak
sejarah Islam paling berharga di Cina. Masjid ini menjadi Masjid tertua yang
ada di daratan Cina dan usianya sudah melebihi 1300 tahun. Masjid ini terus
bertahan melewati berbagai moment sejarah Cina dan saat ini masih berdiri tegak
dan masih seindah dahulu setelah diperbaiki dan direstorasi. Masjid Huaisheng
ini kemudian dijadikan Masjid Raya Guangzhou Remember the Sage, atau masjid
untuk mengenang Nabi Muhammad SAW. Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid
Guangta, karena Masjid dengan menara elok ini yang letaknya di jalan Guangta.[2]
C.
Orang Arab di Tiongkok
memeluk Islam
Nabi besar Muhammad SAW barulah
beroleh pengikutnya beberapa ratus orang saja pada Tahun Dakwah yang ke-7,
yakni pada tahun 618 M. Mereka itu beroleh tantangan teramat sengit dari pihak
Qurais yang masih menyembah berhala di kota Mekkah, dianiaya dan diboikot dan
bahkan dibunuh, karena tidak mau merubah keimanannya terhadap Allah Maha Esa.
Keimanan mereka itu berlawanan secara total dengan kepentingan para pemahat
patung dan dengan kepercayaan mereka yang masih menyembah berhala itu. Nabi
besar Muhammad pada akhirnya mengizinkan bagian terbesar dari mereka itu,
berjumlah 101 orang terdiri atas lelaki dan wanita, untuk hijrah ke Ethiopia
dibawah pimpian Jaafar ibn Abi Thalib.
Didalam jumlah itu ikut Saad ibn
Lubaid yang mempunyai darah petualang. Saad kurang serasi dengan kehidupan
Ethiopia itu, lalu berlayar dengan menumpang sebuah kapal (dari teluk Aden),
dengan harapan akan beroleh kehidupan yang lebih serasi pada suatu tempat
perantauan. Armada dagang Arab dari teluk Parsi maupun teluk Aden itu biasanya
berlayar pada bulan Mei dan Juni ke arah Timur dan pulang kembali pada bulan
Oktober dan November, yaitu mengikuti musim angin.
Kapal yang membawa Saad ibn Lubaid
itu, beberapa bulan belakangan, tiba pada Kwang Chow (Kanton), sebuah bandar
dagang yang teramat modern di dunia pada masa itu. Iapun mulai menyebarkan
ajaran Islam disitu pada masa antara tahun 9 H dan 14 H. Jadi, kurang lebih 20
tahun sebelum ada hubungan diplomatik resmi antara Dinasti Tang (618-905 M) di
Tiongkok dengan Daulah Umayyah (661-750 M) di Timur Tengah, maka agama Islam
itu sudah tersebar pada bandar-bandar dagang di Tiongkok. Orang Tionghoa
memanggilkan mereka itu dengan “orang Arab berjubah putih”. (White robed Arabs).[3]
D.
Islam di Cina Pasca Saad bin
Abi Waqqas
Setelah masa
itu, Islam berkembang dengan pesat di Cina dibanding daerah-daerah lain diluar
kawasan Arab. Di negara ini, Islam berkembang melalui perdagangan. Itu
sebabnya, Islam berkembang di daerah sekitar pelabuhan dan bandar-bandar besar
di berbagai negara. Selain Guangzhou, salah satu daerah yang menjadi pusat
perkembangan Islam adalah Quanzhou. Kota yang menjadi titik awal jalur sutera
ini juga menjadi bukti nyata keindahan toleransi antar umat beragama. Di kota
ini, pemeluk Islam, Hindu, Budha, Manichaeisme, Taoisme, Nestoriaisme, dan
berbagai kepercayaan lain di kota ini hidup damai dan berdampingan.
Quanzhou
juga ramai dikunjungi peziarah Muslim dari Arab karena keberadaan makam suci
dua orang yang dipercaya merupakan sahabat Rasulullah. Dalam bahasa Cina,
sahabat ini bernama Sa-ke-zu dan Wu-ko-su. Selain makam, di Quanzhou juga
terdapat salah satu Masjid pertama yang ada di Cina, yaitu Masjid Qinging.
Masid ini dibangun tahun 1009, dan desain masjid ini dibuat berdasar masjid di
Damaskus, Suriah.
Di kota ini
juga terdapat sekitar 10 ribu makam orang Arab dengan nama keluarga Guo di
Pulau Baiqi, Quanzhou. Makam-makam ini ditulisi dengan huruf Cina dan Arab.
Makam ini jelas makam orang Islam, dan banyak diantaranya yang ditulisi dengan
kata Fanke Mu yang artinya adalah makam orang asing. Ini menjadi bukti
banyaknya umat Islam dari luar Cina yang menetap di kota ini. Sayangnya kini
kejayaan sejarah kota itu hilang negitu saja. Di suatu masa, Quanzhou menjadi
kota yang dipenuhi oleh masjid, kuil, dan biara. Namun kini semua itu hilang,
dan yang tersisa hanyalah dinding yang nyaris roboh.
E.
Pola Dakwah Islam di Cina
Data sejarah
Islam masuk ke Cina sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi berbunyi,[4]
“Uthlub al-ilma walaw bi al-Shin Fainna thalab al-ilm faridhatun ‘ala kulli
muslimin wa muslimatin” (Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri Cina, karena
sesungguhnya mempelajari suatu ilmu wajib bagi muslim, laki-laki atau
perempuan). (HR.Ibnu Abdil Bar)”.[5]
Sedangkan perjalanan dakwah ke Cina disebabkan adanya lembaga perdagangan Arab
dan Cina yang terjalin lama sebelum Nabi Muhammad SAW lahir.
Pada abad
ke-6 M, pedagang antara Arab dan Cina sangat berkembang melalui Ceylon
(Srilangka) bahakan pada abad ke-7 perdagangan segitiga (Arab, Cina dan Persia)
makin terus berkembang. Kemudian sejak Dinasti Tang di Cina (618-907 M) pertama
kali nama Arab disebut-sebut dalam tarikh Cina. Jadi, tampaknya, penyebaran
Islam dalam berdakwah menggunakan jalur perdagangan yang dilakukan oleh bangsa
Arab dan disusul bangsa Persia di Cina.[6]
Selanjutnya pada masa khalifah Walid (705-715 M) Daulah Abbasiyah, Jenderal
Arab terkenal bernama Qutaibah bin Muslim berhasil meluaskan wilayahnya melintasi
Oxus, menguasai Bukhara, Samarkand, dan kota-kota lain di Timur hingga hampir
mencapai daerah perbatasan Cina.
Perluasan wilayah kekuasaan
menunjukkan perluasan wilayah daerah Islam di Cina dalam proses menggunakan
pendekatan jalur dagang (kultural) dan politik (struktural). Dakwah dengan
pendekatan politik ialah terjadinya budaya diplomatik yang bangsa antara
khalifah Hisyam dengan Kaisar Hsuan Tsung dimana Khalifah mengutus duta Arab
bernama Sulaiman ke Cina. Hubungan diplomatik ini terjadi ketika Kaisar Hsuan
digulingkan oleh pemberontak, lalu Kaisar Hsuan menyerahkan kekuasaannya kepada
putranya, Su Tsung (756 M) dan Kaisar Su memohon bantuan kepada Khalifah
Abbasiyah yang dijabat oleh Al-Mansur, lalu Al-Mansur mengirim pasukan dan
berhasil merebut dua kota penting dari tangan pemberontak, yaitu kota
Si-ngan-fu dan Ho-non-fu. Pada akhir pemberontakan, pasukan Arab tidak kembali
ke negerinya, tetapi kawin dan menetap di Cina dengan berbagai alasan.[7]
Orang-orang
Arab yang menetap di Cina masih sangat kuat memperlihatkan sikap dan prilaku
yang berbeda dengan non muslim, Cina yang kebiasaan memakan babi dan beribadah
di rumah atau tempat tertentu (klenteng). Sebaliknya, umat Islam Cina
mengharamkan babi dan menjadikan masjid sebagai tempat ibadah. Oleh karena itu,
kaum pendatang (Arab Muslim) yang menetap di Cina membangun masjid-masjid untuk
tempat beribadah mereka. Akan tetapi, memang tidak ada kegiatam dakwah yang
menonjol dari orang-orang Islam Cina, dan kalau pun ada sangat sedikit
keterangan yang dapat diperoleh setidaknya hingga periode penaklukan Mongol
pada abad ke-13. Penaklukan ini ternyata membuka kesempatan untuk berimigrasi
secara besar-besaran dari orang-orang Islam berbagai kebangsaan, seperti: Arab,
Persia, Turki, dan lain-lain. Sebagian mereka datang ke Cina sebagai pedagang,
seniman, tentara, dan sebagai tawanan.
Beberapa
orang Islam tersebut menduduki jabatan-jabatan penting pada pemerintahan
Mongol, diantaranya Abdurrahman dan Umar Syamsuddin (dikenal Sayyid Ajall).
Abdurrahman pada tahun 1244 disebut menjadi mentri keuangan untuk mengurusi
pajak dari warga negara Cina. Sayyid Ajall asal kelahiran Bukhara oleh Qubilay
Khan pada tahun 1259 diserahi suruh mengurusi keuangan negara merangkap jabatan
Gubernur Yunan sebagai Propinsi yang ditaklukan dan disatukan ke dalam imperium
Cina. Sayyid Ajall wafat tahun 1270 dan ia meninggalkan nama harum karena
sebagai administator teladan yang jujur.[8]
Selama
memainkan peran sebagai peabat negara, Sayyid Ajall terus berdakwah dengan
keteladanan dirinya dan membangun masjid-masjid di kota Yunan, tetapi juga ia
membangun klenteng-klenteng, jadi dengan masuknya pendatang Muslim ke jalur
pemerintahan kerajaan Mongol, ini makin memperkuat dan memudahkan penyebaran
Islam atau proses dakwah di Cina. Bahkan dituturkan oleh Thomas W. Arnold,
bahwa keluarga keturunan Sayyid Ajall memainkan peranan penting dalam dakwah
Islam di Cina. Kaisar pun mendukung penyebaran dakwah Islam di Cina yang
dilakukan oleh keturunan Sayyid Ajall, cucu Sayyid Ajall pada tahun 1335
memperjuangkan Islam memperoleh pengakuan dari Kaisar sebagai “Agama yang Benar
dan Murni”. Seorang keturunan lainnya juga diberi wewenang oleh Kaisar pada
tahun 1420 untuk membangun masjid-masjid kota penting di kota Si-ngan-fu dan
kota Nan-kin. Namun demikian, penghargaan Kaisar kepada keturunan Sayyid Ajall
mengundang kecemburuan dan kekecewaan pribumi Cina kepada pemerintahan Qubilay
Khan yang menempatkan pejabat-pejabat bukan dari pejabat pribumi untuk
menggantikan pejabat imigran dari Turki dan Persia, tetapi dari keturunan
Sayyid Ajall.
Tampaknya
penghormatan terhadap keturunan Sayyid Ajall dari Kaisar Mongol memberikan
dampak yang mendorong orang-orang Islam untuk datang ke Cina Utara. Kedatangan
imigrasi diberbagai daerah di Cina dan berkembang pesat komunitas Islam di
Cina.
Perkembangan
komunitas Islam di Cina memperlihatkan perkembangan dakwah Islam disana.
Berbagai aktivitas umat Islam di Cina menunjukan prilaku budaya Islam sekaligus
memperlihatkan syi’ar Islam. Menurut Ibn Barutah, bahwa ia mengunjungi berbagai
kota pantai di Cina pada pertengahan abad ke-14, dan menurutnya disetiap kota
terdapat suatu wilayah khusus bagi orang-orang Islam, mereka dihormati dan
dimuliakan oleh orang-orang Cina.
Akan tetapi,
pada masa-masa selanjutnya perkembangan dakwah Islam di Cina mengalami masa
surut, disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:[9]
1.
Komunitas Muslim pedagang di Cina masih dipandang atau
mereka memandang dirinya sebagai kelompok masyarakat asing di Cina karena
pemerintahan Cina, sejak akhir abad ke-14 dengan tersingkirnya Dinasti Mongol,
menerapkan kebijakan politik isolasi bagi pendatang, termasuk pendatang Muslim
yang berasal dari Arab dan Persia.
2.
Terputusnya komunikasi antar sesama komunitas Muslim
diCina dengan saudara-saudara mereka se-agama dan se-tanah air di negeri lain
(Cina).
3.
Munculnya pemerintah baru, setelah berakhirnya Dinasti
Mongol dan Dinasti Ming, kebebasan agama bagi komunitas Muslim dibatasi oleh
pemerintah baru, lalu timbulah kerusuhan-kerusuhan. Pada tahun 1648 di Propinsi
Kausu terjadi kerusuhan dimana umat Islam mengangkat senjata terhadap
pemerintah Cina dan Kaisar Yung Chen mengeluarkan maklumat pada tahun 1731 yang
berisi tentang persamaan hak dan kebebasan bersama untuk meredam konflik yang
disebabkan oleh perbedaan ras, etnis, dan agama. Bahkan kira-kira tahun
berikutnya, Islam mulai bangkit kembali.
Kebangkitan Islam di Cina antara
lain:[10]
1.
Diangkatnya dua orang Islam sebagai bangsawan (Beg
Turki) oleh Kaisar K’ien Lung sebagai usaha memadamkan pemberontakan di Barat
Laut Kashgar, dan dibangunnya Islam Peking dan masjid untuk kepentingan mereka.
2.
Kaisar pada tahun 1770 memindahkan 10.000 keluarga
tentara untuk menumpas pemberontakan di Zungaria, dan mereka konon kabarnya
telah menganut Islam mengikuti penduduk sekitarnya.
3.
Perkawinan Kaisar dengan tawanan cantik dan karena
cintanya di bangunlah masjid yang langsung berhadapan dengan istana.
4.
Dakwah sosial dilakukan dengan membantu anak-anak dari
keluarga miskin di Cina dan anak-anaknya dibesarkan menjadi Islam.
5.
Orang-orang Islam Cina cenderung hidup bersama
terpisah dari penduduk yang beragama Islam, baik di kota maupun di desa dan
mereka tidak suka apabila ada seseorang yang tidak mau beribadah di masjid.
6.
Umat Islam mampu beradaptasi dengan kultur budaya
masyarakat setempat dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan
kebiasaan dan cara-cara setempat.
7.
Para pengarang atau penulis Muslim Cina selalu
menghargai karya-karya konfusius dan tulisan Cina klasik dan mereka juga
berusaha mengharmonisasikan pokok-pokok isi buku tersebut dengan ajaran-ajaran
Islam, dan
8.
Pemerintah Cina memberikan hak-hak yang sama terhadap
kaum muslimin seperti penduduk lainnya.
Beberapa
pola dakwah yang dikembangkan kaum muslimin di Cina tersebut menjadikan agama
Islam dapat berkembang di Cina. Akan tetapi, pada masa-masa selanjutnya, ketika
Cina memasuki pemerintahan Republik Cina dengan menganut sistem pemerintahan
beridiologi komunis sangat berpengaruh terhadap kemunduran dakwah Islam di Cina.[11]
F.
Kondisi Mad’u di Cina
1.
Sosial
Secara garis besar masyarakat Cina Muslim
terbagi menjadi 2 kelompok: Pertama kelompok Hui, yakni
warga Muslim yang tersebar di beberapa daerah yang berpenduduk Hui secara
fisik, dan bahasa adalah warga Cina, tetapi menganggap diri mereka
bukan sebagai warga Cina disebabkan mereka tidak makan daging babi dan
menyembah nenek moyang, tidak berjudi, tidak mengkonsumsi minuman keras dan
tidak pula mengisap ganja. Kedua kelompok muslim yang tidak
berasimilasi dengan masyarakat Asia Tengah termasuk didalamnya kelompok Khazah,
Ughur dan beberapa kelompok kecil lainnya yang sebagian besar mereka berbahasa
Turki yang tidak berasimilasi ke dalam kebudayaan Cina, dan mereka mau
bergabung sekitar abad ke-19 ketika Cina berhasil mengalahkan serangkaian
pemberontakan yang dilancarkan Muslim yang berbahasa Cina didaerah Yunan,
Shesi, di provinsi Khansu dan serangkaian pemberontokan di Uighhur dan Khazah
di Singking.[12]
Pada masa Dinasti Tang datanglah ke
kota Kangton banyak orang asing dari Amman, Kamboja, Madinah, dan beberapa
orang lainnya dalam beribadah mereka menyembah langit maksudnya Allah dan tidak
ada patung berhala, atau symbol pigura dalam rumah peribadatan mereka. Kerajaan
Madinah memiliki hubungan yang erat dengan India. Di kerajaan inilah lahir
agama-agama asing yang berbeda dengan agama Budha. Mereka tidak memakan daging
babi atau minuman anggur dan tidak halal apa yang disembelih diluar cara
mereka.
2.
Ekonomi
Perekonomian Cina di bawah Dinasti Song (960-1279), dari Cina ditandai
oleh ekspansi komersial, kemakmuran finansial, peningkatan perdagangan
internasional-kontak, dan sebuah revolusi dalam produktivitas pertanian. Keuangan
swasta tumbuh, merangsang pengembangan jaringan pasar negara-lebar yang
menghubungkan provinsi pesisir dengan interior. Perekonomian laju menimbulkan
ledakan populasi yang sangat besar, yang berasal dari budidaya pertanian
meningkat dalam 10 ke-11 abad yang dua kali lipat penduduk secara keseluruhan
Cina, yang naik di atas 100 juta orang (dibandingkan dengan sebelumnya Tang, dengan
sekitar 50 juta orang).
Islam terus berkembang pada jaman
Dinasti Tang, Dinasti Song dan Dinasti Yuan, perkembangan kemudian menjadi
sangat pesat sekali, bahkan kaum muslim di Cina saat itu menguasai sektor
perdagangan baik Ekspor maupun Impor, lewat pelayaran laut maupun lewat jalur
sutera. Pada jaman Dinasti Yuan perkampungan awal kaum Muslim disebut Hui-hui,
adalah sekelompok etnis keturunan Cina Arab, dan Cina Persia, kemudian istilah
Hui-hui berkembang menjadi Hui dan disematkan kepada semua orang Cina dari
etnis manapun yang beragama Islam.
3.
Politik
Setelah penaklukan kerajaan
mongol yang ditaklukan oleh Cina, negara ini menganut sistem politik
isolasi sehingga komunikasi penduduk Islam dengan saudara saudara mereka
seagama mereka jadi terputus oleh karena itu mereka cenderung berasimilassi
dengan penduduk Cina serta mengikuti adat kebiasaan orang Cina.
Secara politis umat muslim Cina
membuat kemunculan kembali secara mengesankan banyak diantara mereka bergabung
dengan revolusi nasionalis. Sementara itu pengorganisasian
semua Muslim Cina dibawah paying tunggal dimotori oleh Muslim
mulia dengan pembentukan “liga limama” gerakan-gerakan pembaharuan bersemangat
wahabiah yang dikenal sebagai yuwani (ikhwan) menjadi pelopor berkat dukungan
kaum nasionalis dan panglima perang mereka menilai bahwa Islam
tradisionalis terlalu menyesuaikan diri dengan praktek-praktek Cina.
4.
Budaya
Terlepas itu, kebudayaan Islam
mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan Cina. Islam pernah memberi
sumbangan besar terhadap perkembangan sains dan teknologi negeri itu.
Diantaranya adalah kalender yang diciptakan oleh umat Islam dan pernah
digunakan di Cina dalam waktu yang panjang.
Selain itu ada alat pandu arah
angkasa yang dicipta oleh seorang ahli ilmu falak yang bernama Zamaruddin pada
Dinasti Yuan sangat popular di Cina. Ilmu matematika yang dikembangkan dari
Arab telah diterima oleh orang Cina. Ilmu perobatan Arab juga menjadi sebagian
ilmu perobatan Cina. Umat Islam juga terkenal dengan pembuatan meriam di Cina,
Dinasti Yuan menggunakan sejenis meriam yang dikenali sebagai meriam etnik
Huizu yang dicipta oleh orang Islam Cina. Yang jelas, Islam tidak bisa
dipisahkan begitu saja di negeri itu.
G.
Metode Dakwah yang Digunakan
di Cina
Metode
dakwah di Cina secara kultur menggunakan metode yaitu dengan membuat
pranata atau lembaga sosial membuat lebih dari seribu bangunan sekolah dasar
dan perpustakan sekolah menengah, mereka berhasil mengenakan
studi bahasa Arab dan Islam di universitas Cina, seperti
Universitas Bezing, Universitas Central, dan yang kedua mengunakan dakwah bil
qalam yang telah banyak diproduksi sejumlah besar
literature Islam dan bahasa Cina melalui
majalah-majalah Islam seperti majalah studi Islam di Cina, surat
kabar Islam, sinar Islam dan masih banyak lainnya.[13]
H.
Pola Dakwah Kontemporer Cina
Secara
kultural terjadi kebangkitan kembali gerakan dakwah Islam di Cina, yaitu pada
abad-19 dan 20. Selama periode ini orang-orang muslim banyak membangun lebih
dari seribu sekolah dasar dan perpustakaan dan banyak sekolah menengah. Mereka
berhasil mengenalkan studi bahasa Arab dan Islam di universitas-universitas
Cina, seperti Universitas Beizing, Universitas Central, Universitas Tcung-San
dan sebagainya. Dalam dakwah bil qalam
telah banyak diproduksi sejumlah besar literatur Islam dalam bahasa Cina
melalui majalah-majalah Islam, seperti ; Majalah Studi Islam di Cina, Surat
Kabar Islam, Sinar Islam, Matahari Terbit, Pemuda Muslim, Al-Islah,
Kemanusiaan, Chee, Bang-Tou, Batas0Batas, Al-Awqaf dan sebagainya.
Secara
politis, umat muslim Cina membuat kemunculan kembali secara mengesankan. Banyak
diantara mereka bergabung dengan Revolusi Nasionalis. Sementara itu
pengorganisasian semua muslim Cina dibawah payung tunggal dimotori oleh muslim
Mongolia dengan pembentukan “Liga Lima Ma”. Gerakan-Gerakan pembaruan
bersemangat Wahabiyah yang dikenal
sebagai Yihewani menjadi populer
berkat dukungan kaum nasionalis dan para panglima perang. Mereka menilai bahwa
Islam tradisionalis terlalu menyesuaikan diri dengan ppraktik-praktik Cina dan
gerakan dakwahnya lebih pada aspek pembaruan dalam kehidupan masyarakat.[14]
[1] M. Rafiq Khan, Islam
di Tiongkok, (Jakarta : Tintamas, 1967) hlm.1-2.
[2] Ahmad
Zainuddin, Dakwah Islam di Cina, (2
Oktober 2006) Diakses dari : http://datarental.blogspot.co.id/2009/06/dakwah-islam-di-cina.html
pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 13:20.
[3] H. Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan
Islam di Tiongkok, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979) hlm.27-29.
[4] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.70.
[5] H.
Mochtar Husein, Dakwah di Beijing,
(10 November 2007), Diakses dari http://islam-itu-indah.blogspot.co.id/2007/11/dakwah-di-beijing.html
pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 13:27.
[6] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.70.
[7] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.71.
[8] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.72-73.
[9] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.73-74.
[10] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.75.
[11] Dr. Abdul Syukur, M.Ag., Sejarah Dakwah di Dunia Islam, (Bandar Lampung Fakultas Dakwah IAIN
Raden Intan Lampung, 2010), hlm.76-77.
[12] Wahyu Ilahi, S.Ag., M.A. dan Harjani Hefni, Lc, M.A., Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta :
Kencana 2007), hlm.138.
[13] Jaka
Bilal, Resume Sejarah Dakwah, (20
Desember 2011), Diakses dari http://jakabillal.blogspot.co.id/2011/12/resume-sejarah-dakwah.html
pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 20:15.
[14] Wahyu Ilahi, S.Ag., M.A. dan
Harjani Hefni, Lc, M.A., Pengantar
Sejarah Dakwah, (Jakarta : Kencana 2007), hlm.139.