Filsafat Dakwah Mad'u
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman
jatidiri mad’u sebagai manusia dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya menjadi
sangat penting dalam konteks dakwahuntuk selanjutnya dapat dirumuskan
pendekatan dan metode yang tepat dan relevan. Tentu metode, teknik dakwah,
menjadi tugas ilmu dakwah dan bukan menjadi wilayah kajian filsafat dakwah
untuk merumuskannya dan mengujinya secara empiris dilapangan. Disadari
keberadaan mad’u mempengaruhi aspek-aspek lain dalam proses dakwah. Oleh karena
itu, makalah ini dibuat sehingga
para da’i memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap aktifitas
dakwah, dan mempermudah da’i
dalam mengetahui tipologi dan klasifikasi masyarakat serta kemampuan berfikir
terhadap sasaran dakwah secara tepat. Sebab setiap sasaran atau object dakwah memiliki
suatu ciri-ciri tersendiri yang memerlukan suatu kebijakan dakwah dalam
penyampaiannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Mad’u?
2.
Bagaimana posisi Mad’u sebagai
sentral dakwah?
3.
Apa saja hak-hak Mad’u?
4.
Bagaimana klasifikasi dari Mad’u?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mad’u
Mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran
dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok, baik manusia yang beragama islam maupun tidak, atau dengan kata lain,
manusia secara keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama islam, dakwah
bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama islam, sedangkan kepada
orang-orang yang telah beragama islam dakwah bertujuan meningkatkan kwalitas
iman, islam, dan ihsan.[1]
Menurut Abdul Munir Mulkhan,bahwa
objek da’wah (mad’u) ada dua sasaran,yaitu umat da’wah dan umat ijabah. Umat
da’wah adalah masyarakat yang non muslim sedangkan umat ijabah adalah mereka
yang sudah menganut Agama islam.Kepada manusia yang belum beragama islam,da’wah
bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama islam.Sedangkan bagi
mereka yang telah beragama islam,da’wah bertujuan meningkatkan kualitas
keimanan.[2]
B.
Mad’u
Sebagai Sentral Da’wah
Objek da’wah (mad’u) adalah
merupakan sasaran da’wah.yang tertuju pada masyarakat luas, mulai dari diri
sendiri, keluarga, kelompok, baik yang menganut islam maupun tidak. salah satu
sasaran utama yang hendak dicapai melalui da’wah adalah pemberdayaan masyarakat
menuju suatu komunitas atau masyarakat yang khaira ummah, the best ummah. Bukan hanya dari aspek-aspek
keimanan dan ibadah semata, melainkan dari aspek-aspek sosial seperti
pendidikan. untuk memosisikan mad’u sebagai sentral da’wah, perlu memperhatikan
tiga hal berikut, yaitu :
1.
Da’wah harus memperhatikan kapasitas
pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat. Tingkat pemahaman suatu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya pasti berbeda. Perbedaan
pemahaman ditentukan banyak variabel, diantaranya tingkat kemajuan budaya dan
peradaban masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang masih sederhana dan
bersahaja, memiliki kecenderungan memahami dengan mudah dan apa adanya. Sedangkan
masyarakat yang memiliki intelektual lebih tinggi cenderung memahami agama
secara lebih kompleks.
2.
Da’wah harus memperhatikan
kondisi kejiwaan (psikologis) mad’u. Dipandang dari sudut suasana
kejiwaannya,setiap masyarakat memiliki suasana kejiwaan masing-masing,maka
da’wah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif adalah da’wah yang dapat
memahami perbedaan psikologis setiap masyarakat dan mencarikan jalan keluar
yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka.maka dalam pemilihan dan
penyesuaian materi da’wah menjadi hal yang penting yang harus diperhatikan.
3.
Da’wah harus memperhatikan
problematika kekinian yang harus dihadapi oleh suatu masyarakat. Risalah islam
diturunkan dengan kepentingan merespon masalah-masalah umat manusia dan
membantu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan
agar lebih berpihak pada nilai-nilai moral dan ketuhanan. Dalam pelaksanaannya da’wah harus bersifat
komunikatif dan interaktif. Komunikatif berarti bahwa da’wah harus memahami dan
merespons setiap problematika umat. Sedangkan interaktif berarti dakwah harus
mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok dalam rangka mencari solusi
dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh umat. Dengan demikian da’wah dituntut
untuk selalu inovatif dan kreatif dalam menajawab tantangan zaman dan perubahan
sosial.[3]
C.
Hak-Hak
Mad’u
Islam itu condong kepada prinsip humanisme.
Jika logika ini ditarik lebih jauh kemudian dikaitkan dengan hak mad’u,maka ia
adalah tidak laib dari hak-hak manusia. Persoalan ini dapat ditinjau dari dua
aspek, yaitu hak hubungan social antar pribadi (interpersonal relationship right) dan hak hubungan antar
keterkaitan komunikasi (communication interconnecting right). Hak manusia
dalam tujuan pertama, menekankan kecakapan kualitas pribadi seseorang dalam
membangun pola hubungan antar personal yang nyaman (comfortable), dan penuh keakraban (friendliness). Adapun hak dalam tinjauan aspek yang kedua adalah
menekankan pola hubungan ketergantungan dan saling respons serta saling
pengertian. Hubungan sehat antarpersonal, juga ditentukan oleh sejauh mana
masing-masing pihak mampu menciptakan situasi pergulan yang akrab dan hangat. Hal
demikian ini terbilang amat perlu karena pertimbangan beberapa hal:
1.
Secara psikologis orang hanya
akan mau membuka diri kepada orang yang benar-benar ia kenal dan tahu latar
belakangnya.
2.
Ketiadaan jarak antar hubungan memugkinkan
tumbuhnya selera untuk menjalin keakraban dan kedekatan dalam pergaulan.
3.
Keakraban dan kedekatan,lahir
dari sikap empatis dan simpatik dari seseorang kepada orang lain.
Penjelasan ini
akhirnya memberi pemahaman bahwa hak pertama yang harus diingat terkait dengan
dakwah adalah hak-hak terkait dengan hak asasi manusia pada umunya. Pengakuan
hak asasi manusia ini berarti memberi kebebasan kepada mad’u untuk menerima
atau menolak dakwah sesuai prinsip kebebasan agama yang diajarkan oleh islam. Keakraban
dan kedekatan pergaulan juga dapat diwujudkan melalui hubungan yang baik antara
da’i dengan mad’u. Dalam hal itu, da’i sebagai pihak yang lebih aktif, da’i harus
mengerti bahwa mad’u memiliki
hak untuk didekati dan dibimbing untuk kemudian dirubah menjadi lebih baik
lagi.[4]
D.
Klasifikasi
Mad’u
Setelah pemaparan bahwa setiap
manusia tanpa terkecuali adalahmad’u,yaitu
pihak yang diseru ke jalan Allahm, maka perbincangan mengenai klasifikasi mad’u menjadi tidak lepas dari
pengklasifikasian manusia dalam keterkaitannya dengan da’wah.
1.
Menurut Abdul Karim Zaidan
klasifikasi mad’u menurut sikapnya terhadap dakwah dibagi mnejadi empat yaitu :
a.
Al-mala’ (penguasa). Al-mala’ adalah kaum eksekutif masyarakat yang memiliki
pengaruh besar hal demikian karna kemampuan mereka untuk mengakomodasi masa dan
pengaruhnya dalam membentuk opini-opini publik.
b.
Jumhur An-nas (mayoritas
masyarakat). Menurut Abdul Karim Zaidan, jumhur an-nas adalah orang yang paling
tanggap menerima seruan dan ajakan dakwah. Hal demikian, kiranya dapat ditinjau
dari dua perspektif historis dan psikologis. Di tinjau dari perspektif
historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah
mereka yang paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwahpara rasul. Hal ini
banyak tersurat dalam al-qur’an maupun sirah nabi. Adapun dari perspektif
psikologis mayoritas manusia yang merupakan kaum yang lemah adalah mereka yang
selalu melawan penindasan kaum penguasa. Dalam kondisi ini, mereka senantiasa
mendambakan tampilnya sosok yang berani bersama-sama memperjuangkan nasib
mereka. Dan para rasul dan dakwahnya membawa ajaran kebebasan.
c.
Al-munafiqun, adalah oranag-orang
yang menentang dakwah namun tidak terlihat.
d.
Al-Usat atau pelaku maksiat,
adalah mereka yang secara batin masih memiliki pijakan yang kuat dalam agama,
namun secara behavioral menunjukan indikasi yang sebaliknya.
2.
Pengelompokan mad’u berdasarkan
antusiasnya kepada dakwah dibagi menjadi tiga kelompok :
a.
As-sabiquna
bil akhirat (yang bersegera dalam menerima
kebenaran), adalah golongan mad’u yang
cenderung antusias kepada kebaikan dan tanggap terhadap seru-seruan dakwah baik
yang sunnah apalagi yang wajib.
b.
Muqthasid (kelompok pertengahan), adalah mereka yang mengerjakan kewajiban-kewajiban
agama dan meninggalkan yang diharamkan, namun pada waktu yang bersamaan mereka
kerap kali melakukan hal-hal yang di makruhkan dan kurang tanggap terhadap
kebaikan yang dianjurkan.
c.
Zalim
linafsih (kelompok yang menzalimi diri sendiri), adalah
kelompok yang senang melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan
kewajiban dan kerap melakukan larangan-larangan dalam agama.
3.
Kategori mad’u menurut
keyakinannya. Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah
tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait
dengan aneka ragam keyakinan manusia dimuka bumi ini, dakwah juga memiliki
kepentingan untuk menarik orang ke jalan tuhan. Adapun kategori menurut
keyakinannya dibagi menjadi dua macam, yakni muslim dan non-muslim.
4.
Kategori mad’u berdasarkan kemampuannya
menangkap dakwah. Dalam kategori ini, mad’u dikelompokan secara hierarkis
dimulai dari kelompok elit hingga level bawah, karena kemampuan seseorang untuk
menangkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami agama dan
hakikatnya. Ada tiga kelompok dalam
hal ini.
a.
Mereka yang dalam menangkap pesan dakwah didekati dengan mengajukan
bukti-bukti demonstrative yang tak terbantahkan.
b.
Kelompok mad’u menengah terkait
tingkat pemahaman agamanya, dalam menerima pesan dakwah mereka belum mampu
menyikap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati dengan dialog
melalui adu argumentasi.
c.
Kelompok ahlul kitab, adalah
kelompok terbanyak dalam masyarakat, karena tingkat pemahaman agamanya yang
rendah. Kelompok mad’u ini tidak tertarik kepada pendekatan-pendekatan
dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam agama. Untuk itu, cara
retorik melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan pesan
dakwah dipandang sebagai jalan yang paling baik.[5]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Penulis berharap dengan
adanya makalah ini, dapat memenuhi mata kuliah Filsafat Dakwah dengan baik dan benar. Di sisi
lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi bahan
bacaan yang bermanfaat baik bagi mahasiswa maupun kalangan akademika pada
khususnya.
Kami
menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan berikutnya agar dapat menjadi yang lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
M. Munir dan Wahyu Ilahi. Manajemen Dakwah. Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2009. Hlm. 23.
Dr. A. Ilyas Isma’il, M.A. dan Prio Hotman, M.A. Filsafat
Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta : Kencana, 2011. Hlm. 155.
[1] M. Munir dan Wahyu Ilahi. Manajemen Dakwah. Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2009. Hlm. 23.
[2] Dr. A. Ilyas Isma’il,
M.A. dan Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta : Kencana, 2011. Hlm. 155.
[3] Dr. A. Ilyas Isma’il,
M.A. dan Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta : Kencana, 2011. Hlm. 159-163.
[4] Dr. A. Ilyas Isma’il,
M.A. dan Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta : Kencana, 2011. Hlm. 165-170.
[5] Dr. A. Ilyas Isma’il,
M.A. dan Prio Hotman, M.A. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta : Kencana, 2011. Hlm. 171-199.
0 komentar:
Post a Comment