Baca Online Twilight
1. PANDANGAN PERTAMA
IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan
terbuka. Suhu kota Phoenix 23° C langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan
kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang
perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka.
Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington, sebuah kota kecil bernama
Forks berdiri di bawah langit yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota
terpencil ini hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Amerika Serikat.
Dari kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, ibuku melarikan
diri bersamaku ketika aku baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku telah
dipaksa menghabiskan satu bulan setiap musim panas sampai aku berusia empat
belas tahun. Ketika itulah aku akhirnya mengambil keputusan tegas; dan sebagai
gantinya selama tiga musim panas terakhir ini, ayahku, Charlie, berlibur bersamaku
di California selama dua minggu.
Ke kota Forks-lah sekarang aku mengasingkan diri – keputusan yang kuambil
dengan ketakutan yang amat sangat. Aku benci Forks. Aku mencintai Phoenix. Aku
mencintai matahari dan panasnya yang menyengat. Aku mencintai kotanya yang
dahsyat dan megah. "Bella," ibuku berkata—untuk terakhir kali dari
ribuan kali ia mengatakannya—sebelum aku naik pesawat. "Kau tidak perlu
melakukan ini.” Ibuku mirip aku, kecuali rambut pendek dan garis usia di sekeliling
bibir dan matanya. Aku merasa sedikit panik saat menatap mata kekanak-kanakannya
yang lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan konyol
ini sendirian? Tentu saja sekarang ia bersama Phil, jadi ada yang membayar
tagihan-tagihannya, akan ada makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan
bakar, dan ada orang yang bisa diteleponnya bila ia tersesat,
tapi tetap saja...
tapi tetap saja...
"Aku ingin pergi," aku berbohong. Aku tak pernah pandai berbohong
tapi aku telah mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris
terdengar meyakinkan.
"Sampaikan salamku buat Charlie."
"Akan kusampaikan."
"Sampai ketemu lagi," ibuku berkeras. "Kau bisa pulang kapan
pun kau mau—aku akan segera datang begitu kau membutuhkanku." Tapi di
matanya bisa kulihat pengorbanan di balik janji
itu.
itu.
"Jangan khawatirkan aku," pintaku. "Semua akan baikbaik
saja. Aku sayang padamu, Mom."
Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian aku naik ke pesawat, dan
ia pun pergi. Makan waktu empat jam untuk terbang dari Phoenix ke Seattle, satu
jam lagi menumpang pesawat kecil menuju Port Angeles, lalu saru jam perjalanan
darat menuju Forks. Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam mobil
bersama Charlie-lah yang agak kukhawatirkan.
Secara keseluruhan Charlie lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya
tulus, ketika untuk pertama kali aku datang dan tinggal bersamanya entah selama
berapa lama. Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku mendapatkan
kendaraan pribadi. Tapi tentu saja saat-saat bersama Charlie terasa canggung.
Kami sama-sama bukan tipe yang suka bicara, dan aku juga tak tahu harus bilang
apa. Aku tahu ia agak bingung karena keputusanku—sebab seperti ibuku, aku juga tidak
menyembunyikan ketidaksukaanku pada Forks. Ketika aku mendarat di Port Angeles,
hujan turun. Aku tidak melihatnya sebagai pertanda—hanya sesuatu yang tak terelakkan.
Lagi pula aku telah mengucapkan selamat tinggal pada matahari. Charlie
menungguku di mobil patrolinya. Yang ini pun sudah kuduga. Charlie adalah
Kepala Polisi Swan bagi orang-orang baik di Forks. Tujuan utamaku di balik membeli
mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah karena aku menolak diantar
berkeliling kota dengan mobil yang ada lampu merah-biru di atasnya. Tak ada
yang membuat laju mobil berkurang selain polisi. Charlie memelukku canggung
dengan satu lengan ketika aku menuruni pesawat.
"Senang bisa ketemu denganmu, Bells," katanya, tersenyum ketika
spontan menangkap dan menyeimbangkan tubuhku. "Kau tak banyak berubah. Bagaimana
Renee?"
"Mom baik-baik saja. Aku juga senang ketemu kau, Dad." Aku tidak
diizinkan memanggilnya Charlie bila bertemu muka. Aku hanya membawa beberapa
tas. Kebanyakan pakaian Arizona-ku tidak cocok untuk dipakai di Washington. Ibuku
dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami miliki untuk melengkapi pakaian
musim dinginku, tapi tetap saja ke-lewat sedikit. Barang bawaanku muat begitu saja
di bagasi mobil patroli Dad.
"Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benarbenar murah,"
ujarnya ketika kami sudah berada di mobil.
"Mobil jenis apa?" Aku curiga dengan caranya mengatakan
"mobil bagus buatmu", seolah itu tidak sekadar "mobil
bagus". "Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy." "Di mana kau
mendapatkannya?"
"Kauingat Billy Black di La Push?" La Push adalah reservasi Indian
kecil di pantai.
"Tidak."
"Tidak."
"Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim panas," Charlie
menambahkan.
Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan
menyakitkan dari ingatanku.
"Sekarang dia menggunakan kursi roda," Charlie melanjutkan ketika
aku diam saja, "jadi dia tak bisa mengemudi lagi dan menawarkan truknya
padaku dengan harga murah." "Keluaran tahun berapa?"
Dari perubahan ekspresinya aku tahu ia berharap aku tidak pernah
melontarkan pertanyaan ini.
“Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik. Umurnya baru beberapa
tahun kok, sungguh."
Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku memercayai kata-katanya
dengan mudah. "Kapan dia membelinya?"
"Rasanya tahun 1984."
"Apa waktu dibeli masih baru?"
"Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal '60-an— atau setidaknya
akhir '50-an," Dad mengakui malu-malu.
"Ch—Dad, aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku
tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan aku tidak sanggup
membayar montir..."
"Sungguh, Bella, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi
sekarang."
Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek sebagai nama panggilan.
Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek sebagai nama panggilan.
"Seberapa murah yang Dad maksud?" Bagaimanapun aku tidak bisa
berkompromi soal yang satu ini.
"Well, Sayang aku sebenarnya sudah membelikannya untukmu. Sebagai hadiah
selamat datang." Charlie melirikku dengan ekspresi penuh harap.
Wow. Gratis.
"Kau tak perlu melakukannya, Dad. Aku berencana membeli sendiri
mobilku."
"Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini."
Ia memandang lurus ke jalan saat mengatakannya. Charlie merasa tak nyaman
mengekspresikan emosinya. Aku mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus
ke depan ketika menjawab.
"Asyik, Dad. Trims. Aku sangat menghargainya." Tak perlu
kutambahkan bahwa aku tak mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut
menderita bersamaku. Dan aku tak pernah meminta truk gratis—atau mesin.
"Well. sama-sama kalau begitu," gumamnya, tersipu oleh ucapan
terima kasihku. Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah
sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya
kami memandang ke luar jendela dalam diam.
kami memandang ke luar jendela dalam diam.
Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau:
pepohonan dengan batangbatang tertutup lumut, kanopi di antara
cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring
di antara dedaunannya yang hijau. Terlalu hijau—sebuah planet yang asing.
Akhirnya kami tiba di rumah Charlie. Ia masih tinggal di rumah kecil
dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruk.
dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruk.
Well, baru buatku. Truk itu berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap
yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku menyukainya. Aku tak
tahu apakah benda itu bisa jalan,
tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kautemukan di lokasi kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya.
tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kautemukan di lokasi kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya.
"Wow, Dad, aku suka! Trims!" Sekarang hari-hari menakutkan yang
akan menjelang takkan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan
berjalan dua mil ke sekolah hujan-hujan ataukah menumpang mobil patroli polisi.
"Aku senang kau menyukainya," kata Charlie parau, sekali lagi
merasa malu.
Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barangbarangku ke atas. Aku mendapat
kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier,
itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, langit-langit
lancip, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa
kecilku. Satu-satunya pembahan yang dibuat Charlie adalah mengganti tempat tidur
bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhanku.
Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung pada kabel
telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon terdekat. Ini
permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi goyang dari masa
bayiku masih ada di sudut.
Hanya ada satu kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya
dengan Charlie. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan keadaan itu. Salah satu
hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak
pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi
hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan.
pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi
hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan.
Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan
esok pagi. Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357—sekarang
358; sementara murid SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus
orang. Semua murid di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan
masa kecil bersama. Aku akan jadi anak perempuan baru dari kota besar,
mengundang penasaran, orang aneh. Barangkali takkan begitu jadinya bila aku
berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix. Tapi secara fisik
aku tak pernah cocok berada di mana pun. Aku harus berkulit cokelat, sporty, pirang—pemain
voli, atau pemandu sorak mungkin—segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di
lembah matahari.
Sebaliknya aku malah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau
rambut merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing
tapi lembek, jelas bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara
tangan dan mata untuk berolahraga tanpa
mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta siapa pun di dekatku. Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku
dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut.
mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta siapa pun di dekatku. Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku
dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut.
Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening nyaris transparan— tapi semua itu tergantung warna. Di sini aku tidak memiliki warna. Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang kesempatan apa yang kupunya di sini?
Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya
hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang
terdekat denganku dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras denganku,
tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang aku membayangkan apakah aku
melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin ada
masalah dengan otakku. Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah akibatnya.
Dan esok baru permulaannya. Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku
selesai menangis. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap
juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut tua itu menutupi kepala, kemudian
menambahkan bantalbantal.
Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa
kurasakan klaustrofobia merayapi tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat
langit, seperti di kandang. Sarapan bersama Charlie berlangsung hening. Ia mendoakan
supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterima
kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya.
kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya.
Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di salah satu
dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan dinding
panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang serta lantai linoleumnya yang putih.
Tak ada yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu ibuku mengecat rak-rak itu
dengan harapan bisa membawa sedikit kecerahan di rumah. Di atas perapian
bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak berderet foto-foto. Yang
pertama foto pernikahan Charlie dan ibuku di Las Vegas, kemudian foto kami di
rumah sakit setelah aku lahir
yang diambil oleh seorang perawat, diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu melihatnya— aku harus mencari cara supaya Charlie mau memindahkannya ke tempat lain. setidaknya selama aku tinggal di sini.
yang diambil oleh seorang perawat, diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu melihatnya— aku harus mencari cara supaya Charlie mau memindahkannya ke tempat lain. setidaknya selama aku tinggal di sini.
Rasanya mustahil berada di rumah ini, dan tidak menyadari bahwa Charlie belum
bisa melupakan ibuku. Itu membuatku tidak nyaman. Aku tak mau terburu-buru ke
sekolah, tapi aku tak bisa
tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan. Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika meraih kunci rumah yang selalu disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya.
Suara decitan sepatu bot antiairku yang baru membuatku takut. Aku merindukan bunyi keretakan kerikil saat aku berjalan. Aku tak bisa berhenti dan mengagumi trukku lagi seperti yang kuinginkan; aku sedang terburu-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku di balik tudung jaket.
tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan. Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika meraih kunci rumah yang selalu disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya.
Suara decitan sepatu bot antiairku yang baru membuatku takut. Aku merindukan bunyi keretakan kerikil saat aku berjalan. Aku tak bisa berhenti dan mengagumi trukku lagi seperti yang kuinginkan; aku sedang terburu-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku di balik tudung jaket.
Di dalam truk nyaman dan kering. Entah Billy atau Charlie pasti telah
membersihkannya, tapi dari jok berlapis kulit cokelat itu samar-samar masih
tercium bau tembakau, bensin, dan peppermint.
Mesinnya langsung menyala, dan aku lega dibuatnya, tapi derunya keras
sekali. Yah, truk setua ini pasti memiliki kekurangan. Radio antiknya masih berfungsi,
nilai tambah yang tak terduga. Menemukan letak sekolah tidaklah sulit, meskipun
aku belum pernah ke sana. Bangunan sekolah, seperti kebanyakan bangunan lainnya,
letaknya tak jauh dari jalan raya. Tidak langsung ketahuan itu sekolah sih; hanya
papan namanya yang menyatakan bangunan itu sebagai SMA Forks, yang membuatku
berhenti. Bangunannya seperti sekumpulan rumah serasi, dibangun dengan batu
bata warna marun. Ada banyak sekali pohon dan semak-semak sehingga awalnya aku
tak bisa mengira ngira luasnya. Di mana aura institusinya? Aku membayangkan
sambil bernostalgia. Di mana pagar pagar berantai dan pendeteksi logamnya?
Aku parkir di depan bangunan pertama yang memiliki papan tanda kecil di atas
pintu, bunyinya TATA USAHA. Tak ada yang parkir di sana, sehingga aku yakin itu
daerah parkir khusus. Tapi aku memutuskan akan bertanya di dalam, daripada
berputar-putar di bawah guyuran hujan seperti orang tolol. Dengan enggan aku
melangkah keluar dari trukku yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan setapak
dari bebatuan kecil berpagar warna gelap. Sebelum membuka pintu aku menghirup napas
dalam-dalam.
Di dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang kuharap. Kantornya
kecil, ruang tunggunya dilengkapi kursi lipat berjok, karpet bersemburat Jingga,
pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding sebuah jam dinding besar berdetak
keras. Tanaman ada di mana-mana dalam pot plastik besar, seolah-olah pepohonan yang
tumbuh rimbun di luar masih belum cukup. Ruangan itu dibagi dua oleh konter panjang
berantakan karena keranjang-keranjang kawat penuh kertas. Pamflet-pamflet warna
terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja di balik konter, salah satunya
dihuni wanita bertubuh besar berambut merah yang mengenakan kacamata. Ia mengenakan
T-shirt ungu, yang membuatku merasa pakaianku berlebihan. Wanita berambut merah
itu mendongak.
"Bisa kubantu?"
“Aku Isabella Swan," kataku. Kulihat matanya berkilat terkejut. Tak
diragukan lagi, aku akan segera menjadi topik gosip. Putri mantan istri Kepala
Polisi yang bertingkah akhirnya pulang.
“Tentu saja," katanya. Ia mengaduk-aduk tumpukan dokumen di mejanya hingga
menemukan yang dicarinya.
“Ini jadwal pelajaranmu, dan peta sekolah." Ia membawa
beberapa lembar ke meja konter dan memperlihatkannya padaku. Kemudian ia
menjelaskan kelas kelas yang harus kuambil, menerangkan rute terbaik menuju
masing-masing kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang harus
ditandatangani masing-masing guru. Pada akhir jam pelajaran nanti aku harus
menyerahkannya kembali. Ia tersenyum dan berharap, seperti Charlie, aku senang
berada di sini di Forks. Aku balas tersenyum meyakinkan sebisaku.
Ketika aku keluar lagi menuju truk, murid-murid lain berdatangan. Aku mengemudi
mengelilingi sekolah, mengikuti barisan mobil-mobil lain. Aku senang mobilmobil
lainnya juga sama tuanya seperti trukku, tak ada yang bagus. Di tempat asalku, aku
tinggal di permukiman kelas bawah di distrik Paradise Valley. Melihat Mercedes
baru atau Porsche di parkiran murid sudah biasa bagiku. Di sini, mobil terbagus
adalah Volvo yang bersih mengilap, dan jelas mencolok. Tetap saja aku mematikan
mesin begitu mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras tidak
menarik perhatian.
Aku mempelajari petanya di dalam truk, berusaha mengingatnya; berharap aku
tak perlu berjalan sambil terus memeganginya seharian. Aku memasukkan semua ke
tas, dan menyandangkan talinya di bahu, dan menarik napas panjang. Aku bisa
melakukannya, aku setengah
membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku. Akhirnya aku mengembuskan napas dan melangkah keluar truk.
membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku. Akhirnya aku mengembuskan napas dan melangkah keluar truk.
Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar
yang dipenuhi remaja. Jaket hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya
dengan perasaan lega. Begitu sampai di kafetaria, gedung tiga dengan mudah kutemukan.
Angka "3" hitam besar dicat di kotak persegi putih di pojok sebelah
timur. Aku mendapati napasku pelan-pelan berubah terengah-engah begitu
mendekati pintunya. Aku berusaha menahan napas ketika mengikuti dua orang yang
mengenakan jas hujan uniseks melewati pintu.
Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di muka pintu untuk
menggantungkan jas hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh
mereka. Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang yang lain juga
berkulit pucat, rambutnya cokelat muda.Setidaknya warna kulitku tidak bakal
mencolok di sini. Aku menyerahkan lembaran tadi pada seorang guru, laki-laki
tinggi botak yang di mejanya terdapat papan nama bertuliskan Mr. Mason. Ia
melongo menatapku ketika melihat namaku—bukan respons yang membangun—dan tentu
saja wajahku memerah seperti tomat. Tapi setidaknya ia menyuruhku duduk di meja
kosong di belakang tanpa memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi teman-teman
baruku untuk menatapku di belakang tapi entah bagaimana mereka bisa
melakukannya. Aku terus menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan guruku.
Bacaan dasar: Bronte, Shakespeare, Chaucer, Faulkner. Aku sudah pernah
membaca semuanya. Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan apakah
ibuku mau mengirimkan folder esai-esai lamaku atau apakah menurut dia itu sama
dengan menyontek. Aku berdebat dengannya dalam benakku sementara guru terus
bicara.
Ketika bel berbunyi, suaranya berupa gumaman sengau Seorang cowok ceking
dengan kulit bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong
dan berbicara padaku.
"Kau Isabella Swan, kan?" Ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong, tipe anggota klub catur.
"Bella." aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga kursi berbalik menghadapku.
"Kau Isabella Swan, kan?" Ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong, tipe anggota klub catur.
"Bella." aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga kursi berbalik menghadapku.
"Habis ini kau masuk kelas apa?" tanyanya.
Aku harus memeriksa dulu di dalam tasku. "Mmm, Pemerintahan, dengan
Jefferson, di gedung enam." Aku tak bisa melihat ke mana pun tanpa beradu
pandang dengan mata-mata penasaran.
"Aku akan ke gedung empat, aku bisa menunjukkannya padamu..."
Jelas tipe kelewat suka menolong. "Aku Eric," tambahnya.
Aku tersenyum hati-hati. "Terima kasih."
Kami mengambil jaket dan menerobos hujan, yang sudah reda. Aku berani
bersumpah beberapa orang di belakang kami berjalan cukup dekat supaya bisa menguping.
Kuharap aku tidak menjadi paranoid.
“Jadi, ini sangat berbeda dengan Phoenix heh?" tanyanya.
"Sangat".
"Di sana tidak sering hujan, kan?"
"Tiga atau empat kali setahun."
“Wow, seperti apa rasanya?" Ia membayangkan.
"Cerah," ujarku.
"Kulitmu tidak terlalu cokelat."
"Ibuku setengah albino."
Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan
selera humor tidak pernah selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, aku pasti
sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis. Kami berjalan lagi mengitari
kafetaria, ke gedung-gedung di sebelah selatan dekat gimnasium. Eric
mengantarku sampai ke pintu, meskipun papan tandanya jelas.
"Semoga berhasil," katanya ketika aku meraih gagang
pintu. "Barangkali kita akan bertemu di kelas lain." Ia terdengar
berharap.
Aku tersenyum samar dan masuk.
Sisa pagi itu berlalu kurang-lebih sama. Guru Trigonometriku, Mr. Varner,
yang toh bakal kubenci juga karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah
satusatunya yang menyuruhku berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Aku
tergagap, wajahku merah padam, dan tersandung sepatu botku sendiri ketika
menuju kursiku.
Setelah dua pelajaran, aku mulai mengenali beberapa wajah di masing-masing
kelas. Selalu ada yang lebih berani dari yang lain, yang memperkenalkan diri
dan bertanya mengapa aku menyukai Forks. Aku mencoba berdiplomasi, tapi secara
keseluruhan aku hanya berbohong. Setidaknya aku tidak pernah membutuhkan peta. Seorang
gadis duduk di sebelahku baik di kelas Trigono dan bahasa Spanyol, dan ia
berjalan menemaniku menuju kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih
pendek daripada aku yang 160 senti, tapi rambut gelapnya yang sangat ikal
berhasil menyamarkan perbedaan tinggi kami.
Aku tak ingat namanya, jadi aku tersenyum dan mengangguk ketika ia mengoceh
tentang guru-guru dan pelajarannya. Aku tak berusaha memerhatikannya. Kami
duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa temannya. Ia memperkenalkanku pada
mereka. Aku langsung lupa nama-nama mereka begitu ia mulai mengobrol dengan mereka.
Mereka tampak kagum dengan keberaniannya berbicara denganku. Cowok dari kelas bahasa
Inggris, Eric, melambai padaku dari seberang ruangan.
Di sanalah, duduk di ruang makan siang berusaha memulai pembicaraan dengan
tujuh orang asing yang penasaran, ketika aku pertama kali melihat mereka. Mereka
duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari tempat dudukku. Mereka berlima.
Mereka tidak bicara, juga tidak makan, meskipun di depan mereka masing-masing ada
satu nampan makanan yang tak tersentuh. Mereka tidak terpana menatapku, tidak
seperti kebanyakan murid lainnya, jadi rasanya aman memandangi mereka tanpa takut
bakal beradu pandang dengan sepasang mata yang kelewat penasaran. Tapi bukan
ini yang menarik perhatianku.
Mereka tidak terlihat seperti yang lain. Dari tiga cowok yang saru bertubuh
besar—berotot seperti atlet angkat besi profesional, rambutnya gelap ikal. Yang
lain lebih tinggi, lebih langsing tapi juga berotot dan rambutnya pirang keemasan.
Yang terakhir kurus dengan rambut berwarna perunggu yang berantakan. Ia lebih
kekanakan daripada yang dua lagi, yang kelihatannya sudah kuliah, atau bahkan bisa
jadi guru di sini dan bukannya murid. Yang cewek-cewek kebalikannya. Yang
jangkung tatapannya dingin. Tubuhnya indah, seperti yang kalian lihat di sampul
Sports Illustrated edisi pakaian renang, sosok yang membuat setiap cewek di
dekatnya tidak percaya diri hanya dengan berada di ruangan yang sama. Rambutnya
keemasan, tergerai lembut di punggung. Gadis yang bertubuh pendek seperti peri.
sangat kurus, perawakannya mungil. Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dan
lancip-lancip.
Namun toh mereka sama persis. Mereka pucat pasi, paling pucat dari semua
murid yang hidup di kota tanpa matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si
albino. Mata mereka sangat gelap, begitu kontras dengan warna rambut mereka.
Mereka juga memiliki kantong mata—keunguan, memar seperti bayangan. Seolah-olah
mereka melewati malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir sembuh
dari patah hidung. Terlepas dari hidung mereka, semua garis tubuh mereka lurus,
sempurna, kaku.
Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa berpaling. Aku memandangi mereka
karena wajah mereka begitu berbeda, namun sangat mirip, semuanya luar biasa, keindahan
yang memancarkan kekejaman. Mereka wajahwajah yang tak pernah kauharapkan bakal
kaulihat kecuali di halaman majalah fashion. Atau dilukis seorang pelukis ahli
sebagai wajah malaikat. Sulit memutuskan siapa yang paling indah—mungkin cewek
berambut pirang yang sempurna itu, atau si cowok berambut perunggu.
Mereka semua mengalihkan pandangan—dari satu sama lain, dari murid-murid
lain, dari segala sesuatu sejauh yang kulihat. Ketika aku memerhatikan, si
cewek mungil bangkit membawa nampan kaleng sodanya belum dibuka, apelnya masih
utuh—dan berlalu sambil melompat cepat dan indah.
Gerakan yang bisa dilakukan di landas pacu. Aku terus mengawasinya, mengagumi
langkah luwesnya yang bagai penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat
nampan kotor dan melayang lewat pintu belakang lebih cepat dari yang kupikir
mungkin dilakukannya. Mataku tertuju kembali ke yang lain, yang sama sekali tak
beranjak.
“Siapa mereka?” aku bertanya pada cewek dari kelas bahasa Spanyol-ku, yang
aku lupa namanya.
Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang kumaksud—meskipun dari nada
suaraku barangkali ia
sudah tahu—tiba-tiba salah satu cowok dari kelompok itu memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus dan berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda. Ia melihat ke cewek di sebelahku hanya beberapa detik, lalu matanya yang gelap mengerjap ke arahku. Ia berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa kulakukan, meskipun karena malu aku langsung menunduk saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan—seolah temanku telah menyebut namanya, dan ia memandang sebagai reaksi spontan, telah memutuskan untuk tidak menjawab.
sudah tahu—tiba-tiba salah satu cowok dari kelompok itu memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus dan berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda. Ia melihat ke cewek di sebelahku hanya beberapa detik, lalu matanya yang gelap mengerjap ke arahku. Ia berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa kulakukan, meskipun karena malu aku langsung menunduk saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan—seolah temanku telah menyebut namanya, dan ia memandang sebagai reaksi spontan, telah memutuskan untuk tidak menjawab.
Gadis di sebelahku tertawa tersipu, menunduk memandangi meja seperti aku.
"Itu Edward dan Emmett Cullen, serta Rosalie dan Jasper Hale. Yang
baru saja pergi namanya Alice Cullen, mereka tinggal bersama dr. Cullen dan
istrinya." Ia mengatakannya dengan berbisik.
Aku melirik cowok tampan itu, yang sekarang sedang memandangi nampannya,
mencubit-cubit bagelnya dengan jari-jari panjangnya yang pucat. Mulutnya
bergerak sangat cepat, bibirnya yang sempurna nyaris tidak terbuka. Yang tiga
lagi masih membuang muka, namun aku merasa ia berbicara diam-diam pada mereka. Nama-nama
aneh yang tidak populer, pikirku. Nama-nama yang dimiliki generasi kakek-nenek.
Tapi barangkali di sini nama-nama itu populer—khas nama-nama kota kecil? Aku
akhirnya ingat cewek di sebelahku bernama Jessica, nama yang sangat umum. Di
kelas Sejarah di sekolah tempat asalku, ada dua cewek bernama Jessica.
"Mereka... sangat tampan dan cantik." Dengan susah payah aku
menyatakan komentar yang mencolok itu.
"Benar!" Jessica setuju seraya terkekeh lagi. "Dan mereka
selalu bersama-sama—Emmett dan Rosalie, dan Jasper dan Alice, maksudku. Dan
mereka tinggal bersama-sama."
Suaranya mewakili keterkejutan dan ketidaksetujuan kota kecil ini, pikirku
kritis. Tapi kalau mencoba jujur, harus kuakui bahkan di Phoenix pun hal
seperti itu akan menimbulkan gunjingan.
"Yang mana di antara mereka yang bermarga Cullen?" tanyaku.
"Mereka tidak kelihatan seperti satu keluarga..."
"Oh, memang tidak. Dr. Cullen masih sangat muda, kirakira dua puluhan
atau awal tiga puluhan. Mereka semua anak adopsi. Yang bermarga Hale adalah
sepasang kembaran laki-laki dan perempuan—yang pirang—mereka anak angkat."
"Mereka kelihatannya agak terlalu tua untuk menjadi anak angkat."
"Sekarang memang. Jasper dan Rosalie umurnya delapan belas, tapi
mereka sudah hidup bersama sama Mrs. Cullen sejak masih delapan tahun. Mrs.
Cullen bibi mereka atau seperti itulah."
"Mereka baik sekali—mau memelihara semua anak-anak itu, ketika mereka
masih kecil dan segalanya."
"Kurasa begitu," ujar Jessica enggan, dan aku mendapat kesan ia
tidak menyukai sang dokter dan istrinya untuk alasan tertentu. Dari caranya
memandang anak-anak adopsi itu, aku menduga alasannya adalah iri.
"Kurasa Mrs. Cullen tidak bisa punya anak," Jessica menambahkan,
seolah-olah komentarnya mengurangi kebaikan hati mereka. Sepanjang percakapan
mataku mengerjap lagi dan lagi ke meja tempat keluarga aneh itu duduk. Mereka
terus memandang dinding dan tidak makan.
"Apa mereka sejak dulu tinggal di Forks?" tanyaku Aku yakin pernah
melihat mereka di salah satu kunjungan musim panasku di sini.
"Tidak," kata Jessica, nadanya mengindikasikan bahwa itu
seharusnya sudah jelas, bahkan bagi pendatang baru seperti aku. "Mereka
baru saja pindah ke sini dua tahun yang lalu dari sekitar Alaska."
Aku merasakan sebersit rasa iba, sekaligus lega. Iba karena betapapun cantik
dan tampannya mereka, mereka adalah pendatang jelas tidak diterima. Dan lega
karena aku bukan satu-satunya pendatang baru di sini, dan sudah pasti bukan
yang paling menarik bila dilihat dari standar apa
pun.
pun.
Saat aku mengamati mereka, yang paling muda, salah satu yang bermarga
Cullen, mendongak dan beradu pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan
rasa penasaran yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak
olehku bahwa tatapannya mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan.
"Cowok berambut cokelat kemerahan itu siapa?" tanyaku. Aku
mengintip ke arahnya lewat sudut mata, dan ia masih menatapku, tapi tidak
melongo seperti murid-murid lain seharian ini—ekspresinya sedikit gelisah. Aku kembali
menunduk.
"Itu Edward. Dia tampan tentu saja, tapi jangan buangbuang waktu. Dia
tidak berkencan. Kelihatannya tak satu pun cewek di sini cukup cantik
baginya." Jessica mendengus, sikapnya jelas pahit. Aku membayangkan kapan
Edward menampiknya. Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyumku.
Lalu aku kembali memandang Edward. Ia sudah memalingkan wajah, tapi rasanya
pipinya seperti tertarik, seolah-olah ia juga tersenyum. Beberapa menit
kemudian mereka berempat meninggalkan meja bersama-sama. Tak diragukan lagi mereka
sangat anggun—bahkan yang bertubuh besar dan berotot. Aku kecewa menyaksikan
kepergian mereka. Yang bernama Edward tidak menoleh ke arahku lagi. Aku duduk
di meja bersama Jessica dan teman-temannya lebih lama daripada kalau aku duduk
sendirian. Aku tak ingin terlambat tiba di kelas pada hari pertamaku di sekolah.
Salah satu kenalan baruku, yang dengan baik hati mau mengingatkan lagi bahwa
namanya Angela, juga mengambil kelas Biologi II bersamaku pada jam berikutnya. Kami
berjalan ke kelas bersama-sama tanpa bicara. Ia juga pemalu.
Ketika kami memasuki kelas, Angela duduk di meja lab yang bagian atasnya berwarna
hitam, persis yang dulu sering kutempati. Ia sudah punya teman sebangku. Malah sebenarnya
semua meja telah terisi, kecuali satu yang masih kosong. Di sisi gang tengah,
aku mengenali Edward Cullen dari rambutnya yang tidak biasa, duduk di sebelah
kursi yang kosong. Saat aku menyusuri gang untuk memperkenalkan diri kepada
guru dan memintanya menandatangani kertasku, aku diam-diam memerhatikan Edward.
Ketika aku melewatinya, tiba-tiba duduknya jadi kaku. Ia menatapku lagi, mataku
bertemu pandang dengan sepasang mata dengan ekspresi paling aneh—tidak
bersahabat, gusar.
Bergegas aku memalingkan wajah, terkejut, wajahku merah padam. Aku tersandung
buku dan nyaris terjerembab hingga tanganku meraih ujung meja. Cewek yang duduk
di situ terkekeh. Saat itulah aku memerhatikan bahwa matanya berwarna
hitam—hitam legam. Mr. Banner menandatangani kertasku dan menyerahkan sebuah
buku tanpa berbasa-basi tentang perkenalan. Bisa kukatakan kami bakal cocok.
Tentu saja dia tak punya pilihan kecuali menyuruhku menempati kursi yang kosong
di tengah kelas. Aku terus menunduk ketika menempatkan diriku di sisinya, bingung
oleh tatapan antagonis yang dilemparkannya padaku.
Tanpa mengangkat wajah, kuatur bukuku di meja lalu duduk, tapi dari sudut
mata bisa kulihat posturnya berubah. Ia menjauh dariku, duduk di ujung kursi,
memalingkan wajah seolah-olah mencium aroma yang tidak enak. Diamdiam aku
mengendus rambutku.
Aromanya seperti stroberi, aroma sampo kesukaanku. Sepertinya baunya cukup enak. Kubiarkan rambutku tergerai di bahu kanan, sebagai penghalang di antara kami, dan mencoba berkonsentrasi pada pelajaran. Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler, sesuatu yang sudah pernah kupelajari. Meski begitu aku tetap mencatat dengan teliti, dan selalu menunduk. Aku tak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat celah rambutku ke cowok aneh di sebelahku. Sepanjang pelajaran ia tak pernah duduk santai di ujung kursinya, sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat tangannya yang mengepal diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul di balik kulit pucatnya. Untuk yang satu ini, ia juga tak pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan berotot di balik kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatansekurus itu ketika berdampingan dengan kakaknya yang berperawakan gagah dan besar.
Aromanya seperti stroberi, aroma sampo kesukaanku. Sepertinya baunya cukup enak. Kubiarkan rambutku tergerai di bahu kanan, sebagai penghalang di antara kami, dan mencoba berkonsentrasi pada pelajaran. Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler, sesuatu yang sudah pernah kupelajari. Meski begitu aku tetap mencatat dengan teliti, dan selalu menunduk. Aku tak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat celah rambutku ke cowok aneh di sebelahku. Sepanjang pelajaran ia tak pernah duduk santai di ujung kursinya, sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat tangannya yang mengepal diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul di balik kulit pucatnya. Untuk yang satu ini, ia juga tak pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan berotot di balik kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatansekurus itu ketika berdampingan dengan kakaknya yang berperawakan gagah dan besar.
Pelajaran kali ini kelihatannya lebih lama daripada yang lain. Apa itu
karena sekolah sudah hampir usai, atau karena aku sedang menunggu kepalan
tangannya mengendur? Tangannya terus terkepal, ia duduk bergeming sampai-sampai
ia seolah-olah tidak bernapas. Apa yang salah dengannya? Apakah ini perilaku
normalnya? Aku mempertanyakan penilaian Jessica yang ketus saat makan siang
tadi. Barangkali cewek itu tidak sebenci yang kupikir. Tak mungkin ada
hubungannya denganku. Ia sama sekali tak mengenalku. Sekali lagi aku mengintip,
dan menyesalinya. Ia sedang menatapku, matanya yang hitam penuh rasa jijik.
Ketika aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba frase bila rupa
bisa membunuh melintas di benakku. Bel berbunyi keras, membuatku terperanjat.
Edward Cullen bangkit dari duduk. Dengan luwes ia berdiri—ia lebih tinggi
daripada yang kukira—memunggungiku, dan ia sudah keluar dari pintu sebelum yang
lain beranjak dari
kursi mereka.
kursi mereka.
Aku duduk membeku, menatapnya tak berkedip. Ia jahat sekali. Ini tidak
adil. Perlahan-lahan aku mulai membereskan barang-barangku, mencoba
mengenyahkan kemarahan yang menyelimutiku, sebab khawatir air mataku bakal
menggenang. Untuk beberapa alasan emosiku melekat erat dengan saluran air
mataku. Kalau marah aku biasanya menangis, kebiasaan memalukan.
“Apa kau Isabella Swan?" terdengar suara cowok bertanya.
Aku mengangkat kepala dan melihat seorang cowok bertampang imut dan tampan,
rambutnya yang pirang pucat di-gel membentuk spike yang teratur. Ia tersenyum ramah.
Ia jelas tidak menganggap bauku tidak enak.
“Bella," ralatku tersenyum.
"Aku Mike."
"Hai. Mike."
“Kau butuh bantuan mencari kelasmu selanjutnya?"
"Sebenarnya aku mau ke gimnasium. Kurasa aku bisa menemukannya."
“Itu juga kelasku berikutnya." Ia tampak senang meskipun itu bukan
kebetulan yang luar biasa di sekolah sekecil ini.
Kami berjalan bareng ke gimnasium; ia ternyata cowok yang senang mengobrol—kebanyakan
topik pembicaraan kami berasal darinya, memudahkan segalanya buatku. Ia tinggal
di California sampai umur sepuluh tahun, jadi ia tahu bagaimana perasaanku
tentang matahari. Dari pembicaraan kami, aku jadi tahu ia juga sekelas denganku
di bahasa Inggris. Ia orang paling ramah yang kutemui hari ini.
Tapi ketika kami memasuki gimnasium, ia bertanya,
"Jadi, kau menusuk Edward Cullen dengan pensil atau apa? Aku tak
pernah melihatnya bersikap seperti itu."
Aku menciut Jadi, aku bukan satu-satunya yang memerhatikan hal ini. Dan
rupanya itu bukan perilaku Edward yang biasanya. Aku memutuskan untuk
berpura-pura tidak tahu.
"Maksudmu cowok yang duduk di sebelahku di kelas Biologi?"
tanyaku polos.
"Ya," katanya. "Dia kelihatan kesakitan atau apa."
"Aku tidak tahu," timpalku. "Aku tak pernah bicara
dengannya."
Dia aneh." Bukannya menuju kamar ganti, Mike malah terus bersamaku.
"Kalau aku cukup beruntung bisa duduk denganmu, aku bakal mengobrol
denganmu."
Aku tersenyum padanya sebelum melangkah ke kamar ganti cewek. Ia cukup bersahabat
dan memesona. Tapi itu tak cukup mengobati sakit hatiku. Guru senam kami. Pelatih
Clapp, memberikan seragam buatku. Ia tidak menyuruhku mengganti pakaian dengan seragamku
untuk kelas hari ini. Di tempat asalku, pelajaran olahraga hanya selama dua
tahun. Di sini pelajaran olahraga wajib selama empat tahun. Secara harfiah,
Forks bagiku adalah neraka di bumi. Berturut-turut aku menyaksikan empat
pertandingan voli. Mengingat jumlah cedera yang telah menimpaku—dan yang
kutimbulkan—ketika bermain voli aku merasa agak mual.
Akhirnya bel terakhir berbunyi. Aku berjalan pelan ke kantor Tata Usaha
untuk mengembalikan kertas-kertas yang sudah ditandatangani. Hujan sudah reda,
tapi angin bertiup kencang dan lebih dingin. Aku memeluk diriku sendiri. Ketika
melangkah ke ruang Tata Usaha yang hangat, aku nyaris langsung berbalik dan
melarikan diri. Edward Cullen berdiri di meja di depanku. Aku mengenali rambut
berwarna perunggu yang berantakan itu. Sepertinya ia tidak memerhatikan
kedatanganku. Aku berdiri merapat ke dinding belakang menunggu petugas
resepsionis selesai. Edward sedang berdebat dengannya, nada suaranya rendah dan
indah. Dengan cepat aku menangkap inti perdebatan mereka. Ia sedang berusaha
menukar pelajaran Biologi dari jam keenam ke jam lain—jam mana saja.
Aku sama sekali tak percaya keinginannya memindahkan kelas Biologi-nya ada
hubungannya denganku. Pasti sesuatu yang lain, sesuatu yang terjadi sebelum aku
memasuki kelas itu. Raut wajahnya tadi pasti karena ia sedang jengkel semata.
Tak mungkin orang asing ini bisa tiba-tiba sangat tidak menyukaiku.
Pintunya terbuka lagi, dan angin dingin tiba-tiba berembus ke dalam ruangan,
meniup kertas-kertas di meja, meniup rambutku hingga menutupi wajah. Cewek yang
masuk langsung melangkah ke meja, meletakkan catatan di keranjang kawat, lalu
keluar lagi. Tapi punggung Edward Cullen menegang dan perlahan ia berbalik
menatapku—wajahnya luar biasa tampan—tatapannya menghunjam dan sarat kebencian.
Seketika aku merasakan ketakutan yang amat sangat, hingga bulu kuduk di
tanganku meremang.
Tatapannya hanya sedetik, tapi membuatku membeku lebih dari angin yang
dingin. Ia berbalik lagi ke resepsionis.
"Kalau begitu lupakan saja," katanya terburu-buru dengan nada selembut beledu. "Aku mengerti ini tidak mungkin. Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Dan ia berbalik tanpa memandangku lagi, lalu lenyap di balik pintu. Aku berjalan pelan ke meja, wajahku pucat dan bukannya memerah. Kuserahkan kertas yang sudah ditandatangani.
"Kalau begitu lupakan saja," katanya terburu-buru dengan nada selembut beledu. "Aku mengerti ini tidak mungkin. Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Dan ia berbalik tanpa memandangku lagi, lalu lenyap di balik pintu. Aku berjalan pelan ke meja, wajahku pucat dan bukannya memerah. Kuserahkan kertas yang sudah ditandatangani.
"Bagaimana hari pertamamu, Nak?" tanya resepsionis lembut.
"Baik," aku berbohong, suaraku lemah. Ia kelihatan tidak percaya.
Ketika tiba di lapangan parkir, hanya tinggal beberapa mobil di sana. Truk
itu rasanya seperti tempat perlindungan, nyaris mirip rumah yang kumiliki di lubang hijau yang lembab ini.
Aku duduk sebentar di dalamnya, hanya menerawang ke luar kaca depan. Tapi
ketika aku kedinginan dan membutuhkan kehangatan, kuselipkan kuncinya dan mesin
pun menyala. Aku pulang ke rumah Charlie sambil menahan air mata sepanjang
perjalanan ke sana.
0 komentar:
Post a Comment