Ta'arudh Al Adilah
MAKALAH
TA’ARUDL AL-ADILAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag.
Disusun oleh:
Zahrotu Millah (131311117)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum fiqh mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan manusia dan dengan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi dan kondisi tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun disana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihat dalam menentukan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka disini terkenal dengan ta’arudl al-adilah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu, namun disana juga ditentukan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.[1]
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian Ta’arudl al-adillah?
b. Apa sajakah macam-macam Ta’arudl al-adillah?
c. Bagaimanakah cara penyelesaian Ta’arudl al-adillah ?
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ta’arrudl al-adillah
Secara etimologi ta’arud berasal dari kata aradha yang mempunyai arti banyak, antara lain: dhahara, ashaba, naha nahwahu, dan ada yang mengartikan denganpertentangan. Sedangkan adilallah adalah jamak dari dalil yang berarti alasan, argumentasi, dan dalil.[2]
Sedangkan menurut terminology, para ulama’ memiliki berbagai pendapat antara lain:
Imam Syaukani berpendapat Ta’arrudl al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan suatu hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil ini.
Kamal ibnu Al-Humam dan At-Taftazani berpendapat bahwa Ta’arrudl al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
Ali Hasaballah berpendapat bahwa Ta’arrudl al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang terkandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.[3]
Asywadie Syukur berpendapat bahwa menurut arti syara’ ialah berlawanannya dua nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.[4]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ta’arrudl al-Adillah adalah; pertentangan antara dua dalil (menghendaki apa yang tidak di kehendaki oleh selainnya). Dengan ibarat yang lain, ialah; “ dalil yang menerapkan hukum di waktu yang sama terhadap sesuatu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain”.[5]
Ta’arrudl al-adillah merupakan pertentangan yang hanya terjadi secara lahiriah saja, yakni menurut pandangan atau pemikiran para mujtahid saja, sebagaimana yang tela dijelaskan, bukan secara hakiki.
Dari beberapa keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang terkandung dalam pengertian Ta’arrudl al-adillah adalah:
- Adanya dua dalil yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.
- Sama martabat keduanya
- Mengandung ketentuan yang berbeda
- Berkenaan dengan masalah yang sama
- Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu.
2. Macam-macam Ta’arrudl al-adillah
Ta’arrudl al-adillah ada empat macam, yaitu:
a. Ta’arudl antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl (16):8
ÙˆَالْØ®َÙŠْÙ„َ Ùˆَالْبِغَالَ ÙˆَالْØَÙ…ِيرَ Ù„ِتَرْÙƒَبُوهَا ÙˆَزِينَØ©ً ÙˆَÙŠَØ®ْÙ„ُÙ‚ُ Ù…َا لا تَعْÙ„َÙ…ُونَ
“Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya)perhiasan.DanAllah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”
Dalam ayat diatas, dapat diambil sebuah pengertian bahwa kuda, bagal, dan keledai hanya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedangkan ayat berikut bermakna berbeda.[6]
QS. Al-Mu’min (40):79
اللَّÙ‡ُ الَّØ°ِÙŠ جَعَÙ„َ Ù„َÙƒُÙ…ُ الأنْعَامَ Ù„ِتَرْÙƒَبُوا Ù…ِÙ†ْÙ‡َا ÙˆَÙ…ِÙ†ْÙ‡َا تَØ£ْÙƒُÙ„ُونَ
"Allah-lah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai, dan sebagiannya untuk kamu makan." – (QS.40:79)
b. Ta’arudl antara As-Sunnah dengan sunnah
Ada dua hadits yang bertentangan yaitu
“Dari Siti Aisyah dan Ummi Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan junub karna melakukan jimak kemudian mandi dan menjalankan puasa”(HR.Mutafaqun Alaih)
Hadits diatas bertentangan dengan hadits dibawah ini yang mempunyai arti sbb:
“Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantara kamu dalam keadaan junub maka jangan puasa dihari itu”. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)
c. Ta’arudl antara As-Sunnah dengan Al-Qias
Dapat dilihat dalam contoh tentang ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunnah, satu kambing untuk putrid dan dua kambing untuk putra, berdasarkan hadits yang mempunyai arti
“aqiqah itu sesuatu yang musti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak perempuan satu kambing.” (HR. Asma binti Yazid).
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang lebih besar, unta lebih dari sapi dan lebih besar dari kambing, ini hamper pendapat sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits diatas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih kambing.
d. Ta’arudl antara Al-Qias dengan Al-Qias
Peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim:
“Dari Siti Aisyah beliau berkata: Rosulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur Sembilan tahun” (HR. Muslim dari Aisyah)
Berdasarkan hadits diatas, dapat diambil hukum kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan masih dibawah umur, demikian pendapat Hanafiyah. Sedang ulama’ Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan demikian kalau telah tsayyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tak mempunyai hak ijbar(memaksa).
3. Cara Penyelesaian Ta’arrudl al-adillah
Bila terjadi pertentangan antara dua dalil yang mana kedua dalil tersebut qath’I, maka dicarilah mana yang dahulu kemudian wurudnya, yang dinyatakan nash dan yang dahulu dinyatakan mansuh. Bila tidak bisa dicari mana yang lebih dahulu, maka diadakan jama’ diantara keduanya yang biasa disebut amalan bisyabhaini. Akan tetapi kalau ada dua dalil tapi yang satu qath’I dan yang satu dhanni, atau keduanya sama-sama dhanni, maka dicari mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian wurudnya untuk dinyatakan nask mansuh seperti diatas, selanjutnya bila tidak bisa maka dilakukan tarjih, barulah diusahakan jama; antara keduanya.[7]
Para ulama’ telah memberi solusi jika terjadi pertentangan antara dalil, baik dalil itu qath’I maupun dalil itu dhanni. Jika dianalisa sebenarnya pertentangan itu tidak ada, hanya saja berbedanya cara pandang ulama’ dan juga sejauh mana logika mereka dalam membahas suatu hukum, ulama’ ushul fiqh terdapat dua pendapat dalam menyelesaikan ta’arudh, amtara lain adalah:
a. Jumhur Ulama’ (kebanyakan ulama’)
Biasanya kebanyakan adalah pengikut imam Syafi’I, Imam Maliki dan golongan Zhahiriyah. Para ulama’ ini berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan, maka metode yang ditempuh adalah:
1) Al-jum’uwa talfiq bain al-Muta’aridhain (mengumpulkan dan mengkompromikan dalil yang bertentangan)
Alasan mereka memakai Metode iniadalah berdasarkan kaidah mengamalkan kedua lebih baik daripada mengabaikan salah satu dalil.
Cara ini dapat dilakukan dengan cara menta’wilkan lafadz yang umum kepada lafadz yang khusus, lafadz yang dhahir kepada lafadz nash, dan lafadz muthlaq kepada lafadz yang muqayyad, serta dengan cara memilih salah satu hukum dengan cara mangambil hukum yang khusus daripada dalil yang umum. Seperti contoh pertentangan yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180 dengan surat al-Nisa ayat 11.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah: 180)
“Allah mensyariatkan bagimu (tentang pusaka untuk) anak-anakmua. Yaitu, seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” (QS. Al-Nisa: 11)
Kedua ayat di atas menunjukan pertentangan. Adapun ayat yang pertama menjelaskan wajib bagi seseorang yang kedatangan tanda-tanda kematian untuk memberi wasiat kepada kedua orang tua dan sanak kerabatnya tentang harta yang dia miliki. Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa kedua orang tua dan sanak kerabat secara otomatis mendapatkan harta pusaka tanpa adanya wasiat. Secara dzahir kedua ayat di atas terdapat pertentangan, sebab ayat yang pertama menjelaskan kewajiban untuk berwasiat, sedangkan ayat yang kedua menjelaskan tidak wajibnya wasiat.
Kedua dalil qathi’ yang bertentangan dapat diselesaikan dengan metode al-jam’u dengan cara ta’wil, yaitu mena’wil ayat yang pertama untuk berwasiat kepada calon ahli waris karena berbedanya Agama yang manjadikan terputusnya hak waris. Dengan seperti ini sudah tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut
2) Al-tarjih (menguatkan)
Menguatkan salah satu dalil yang mengalami kontradiksi, berdasarkan petunjuk dalil-dalil yang mendukungnya, kemudian mengamalkan hukum dalil ynag lebih unggul dan mengabaikan dalil yang lemah. Penguatan dalil disini terjadi dengan sendirinya, tidak dikuat-kuatkan oleh manusia.
Adapun cara pentarjihannya adalah:
a) Mencari dalil yang lain yaitu dengan cara mencari dalil yang lain baik berupa Al-Qur’an, Hadits Nabi, Ijma’, Qiyas. Yang sekiranya dalil tersebut bisa menguatkan salah satu dalil yang bertentangan.
b) Meneliti hukum, cara ini dapat dilakukan dengan mendahulukan hukum haram atas hukum halal.
dalil yang bertentangan yang diselesaikan dengan cara tarjih yaitu Hadits Nabi yang diriwayatkan olehImamAbuDawuddibawahini
Hadits Pertama
Hadits Pertama
“Dari Hizam Ibnu Hakim dari pamannya, sesungguhnya dia bertanya kepada Rasulullah SAW. “Apa yang boleh aku lakukan terhadap isteriku yang sedang haidh? “, Rasulullah SAW. menjawab, “segala yang berada di atas kain pinggang“. (HR. Abu Dawud)
Hadits Kedua
“Dari Anas ra. Dia berkata, Rasulullah SAW. beesabda” berbuatlah segala sesuatu (terhadap isterimu yang sedang haidh) selain bersetubuh”. (HR. Abu Dawud)
Sekilas kedua Hadits mengalami pertentangan, tetapi ketika dilakukan pentarjihan maka jelaslah hukum berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut. Hadits petama menegaskan hukum haram berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut terhadap isteri yang sedang haidh. Sedangkan Hadits yang kedua membolehkan berbuat sesuatu antara pusar dan lutut kecuali bersetubuh. Pada kasus ini ulama Jumhur menguatkan Hadits yang pertama, yaitu mendahulukan hukum haram daripada hukum halal ataupun mubah. Jadi haram berbuat sesuatu kepada isteri yang sedang haidh diantara pusar dan lutut, meskipun keduanya (suami dan isteri) tidak bersetubuh.
3) Al-Nasakh (membatalkan)
Membatalkan, mencabut, dan menghapus. Akan tetapi yag dimaksut membatalkan disini adalah membatalkan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian (diakhirkan). Cara ini ditempuh ketika kedua cara diatas yaitu mengumpulkan kedua dalil serta menguatkan salah satu dalil tidak bisa menjadi jalan keluar dari pertentangan.
Ulama’ menetapkan hukum berdasarkan dalil yang datang lebih akhir dari pada dalil yang datang lebih sebelumnya.
Al-Nasakh dilakukan dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dulu, mana dalil yang pertama duluan serta mana dalil yang datang kemudian. Kemudian ulama menetapkan hukum berdasarkan dalil yang datang lebih akhir dari pada dalil yang datang lebih sebelumnya. Pembatalan ini menurut Abdul Wahab Khallaf, guna merealisasikan kemaslahatan manusia, yang terkadang menghendaki perubahan seiring dengan perubahan kondisi manusia itu sendiri. Dengan diketahuinya dalil hukum yang datang awal dan akhir maka dapat diketahui mana dalil yang dibatalkan. Seperti contoh ayat al-Quran surat al-Baqarah pada ayat 180 dengan ayat al-Quran surat an-Nisa’ pada ayat11dibawahini
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah: 180)
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah: 180)
“Allah mensyariatkan bagimu (tentang pusaka untuk) anak-anakmua. Yaitu, seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” (QS. Al-Nisa: 11)
Pada ayat yang pertama menjelaskan wajib bagi seseorang yang kedatangan tanda-tanda kematian untuk memberi wasiat kepada kedua orang tua dan sanak kerabatnya tentang harta yang dia miliki. Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa kedua orang tua dan sanak kerabat secara otomatis mendapatkan harta pusaka tanpa adanya wasiat. Secara dzahir kedua ayat di atas terdapat pertentangan sebab ayat yang pertama menjelaskan kewajiban untuk berwasiat, sedangkan ayat yang kedua menjelaskan tidak wajibnya wasiat. Menurut penelitian ulama Jumhur ayat 180 surat al-Baqarah dinasakh dengan surat al-Nisa ayat 11. Jadi hukum yang dipakai dalam menentukan hak waris seorang anak adalah dapat diperoleh secara otomatis, dengan tanda kutip sang anak bukan orang kafir ataupun murtad.
4) Tatsaquth al-Dalilain (meninggalkan kedua dalil)
Meninggalkan kedua dalil yang bertentangan kemudian berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah.jumhur ulama berpendapat seperti itu, tapi ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa sebelum ulama meninggalkan kedua dalil yang bertentangan, ia diberi kesempatana untuk takhyir (memilih), yaitu dengan memilih salah satu dalil yang dikehendaki tanpa menganggap adanya pertentangan antar dalil yang ada. Namun bila hal ini memang tidak memungkinkan, maka baru menggugurkan kedua dalil serta berijtihad dengan dalil yang lebih rendah kualitasnya.
Demikianlah jumhur ulama dalam menghadapi kontradiksi antar dalil, dengan mencari jalan keluar dari pertentangan yang ada, dengan syarat keempat cara diatas harus ditempuh secara teratur.[8]
b. Ulama’ Hanafiah
Mayoritas pengikut Imam Hanafi meskipun Imam Hanbali juga ikut. Adapun urutan metode yang digunakan adalah:
1. Nashsh
Jika ada dalil yang datang belakangan disebut Nasikh terhadap dalil yang lebih dahulu datang, sehingga yang diamalkan adalah dalil yang belakangan datangnya.
2. Tarjih (seleksi segi kekuatan)
Melakukan tarjih seleksi segi kekuatan terhadap salah satu dalil yang bertentangan tersebut.
3. Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain
Metode ini ditempuh dengan cara memberlakukan kedua nashsh yang bertentangan secara bersamaan dan maksimal, melalui penerapan cakupan makna salah satu nashsh terhadap wilayah makna yang tidak dicakup oleh dalil lainnya (bi haml ahad al-dalilain’ala ghair ma yahmil alaih al-dalil al-akhar)
4. Tatsaquth al-Dalilain
Dicari dalil lain yang tingkatnya dibawah dalil yang bertentangan tersebut, sedangkan dalil yang saling bertentangan itu sendiri tidak diberlakukan pada masalah yang dibahas.[9]
Prakteknya tetap sama ketika menggunakan nashsh, para ulama harus mendahulukan hukum dari dalil yang datang belakangan, ketika tarjih dengan mencari dalil yang lebih unggul diantara keduanya, ketika menggunakan al-jam’u talfiq bain al-muta’aridhain maka harus menyatukan dan mengkompromikan kedua dalil yang saling bertentangan. Penerapan dari semua metode ini juga harus secara berurutan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa didalam menyelesaikan masalah pertentangan dalil terdapat variasi pendapat dikalangan ulama baik dalam segi jumlah pilihan caranya, maupun dari segi pemilihan prioritas cara yang mereka tempuh sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyah berpendapat, langkah yang ditempuh adalah Naskh, kemudian Tarjih, kemudian Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, dan yang terakhir Tatsaquth al-Dalilain.
2. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat, secara bertingkat langkah yang harus ditempuh ialah, Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, kemudian Tarjih, kemudian Naskh, kemudian Tatsaquth al-Dalilain.
3. Adapun jika terjadi pertentangan antara naskh dan naskh al-amm yang waktu datangnya tidak diketahui, maka menurut Hanafiyyah, cara penyelesaiannya adalah melalui tarjih, sedang menurut Jumhur Ulama adalah melalui Takhshish.
4. Segi tingkat pemberlakuan dalil yang saling bertentangan, uraian menjelaskan langkah-langkah pemberlakuan dalil yang dikemukakan ulama Hanafiyyah berbeda dengan jumhur ulama. Dalam hal ini langkah yang ditempuh Hanafiyyah ialah, tidak memberlakukan salah satu dalil, kemudian memberlakukan kedua dalil secara bersamaan, kemudian barulah mengabaikan kedua dalil yang bertentangan tersebut. Sementara itu, langkah yang ditempuh Jumhur Ulama ialah, memberlakukan kedua dalil secara bersamaan, kemudian memberlakukan salah satu dalil, kemudian barulah mengabaikan kedua dalil yang bertentangan tersebut.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ta’arrudl al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
Macam-macam Ta’arrudl al-adillah: Ta’arudl antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Ta’arudl antara As-Sunnah dengan As-Sunnah, Ta’arudl antara As-Sunnah dengan Al-Qias, Ta’arudl antara Al-Qias dengan Al-Qias.
Terdapat dua pendapat ulama’ ushul fiqh dalam menyelesaikan Ta’arrudl al-adillah:
1. Jumhur ulama berpendapat, secara bertingkat langkah yang harus ditempuh ialah, Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, kemudian Tarjih, kemudian Naskh, kemudian Tatsaquth al-Dalilain.
2. Sedangkan Ulama Hanafiyah berpendapat, langkah yang ditempuh adalah Naskh, kemudian Tarjih, kemudian Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, dan yang terakhir Tatsaquth al-Dalilain.
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Rahman, ushul fiqh,Jakarta:Amzah,2011.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:AMZAH,2005.
Syafe’I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung:Pusaka Setia, 1998.
Umar, Muin, Dkk, Ushul Fiqh 1, Jakarta:Departemen Agama RI,1985
[1] http://Yeyenfadhillah.blogspot.com.es/2013/01/makalah-taarudh-al-adillah.html. diakses pada tanggal 10 september2014 pukul 20.00 WIB.
[2] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih(Jakarta:AMZAH,2005)hal.311.
[3] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTsAIS, (Bandung:Pusaka Setia, 1998)hal.225.
[4] M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hal. 266.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Penganntar Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 275.
[6] Muin Umar Dkk, Ushul Fiqh 1(Jakarta:Departemen Agama RI,1985)hal.169-170.
[7] Muin Umar Dkk, Ushul Fiqh 1(Jakarta:Departemen Agama RI,1985)hal.173-174.
0 komentar:
Post a Comment