Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Otonomi Daerah
Menurut kamus besar bahasa
indonesia, otonomi adalah pemerintahan sendiri, dalam kaitannya dengan daerah
dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[1]
Berbagai definisi tentang
desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar sebagai
bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar
tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi
dalam makna sempit dapat diartikan sebagi ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang
lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya’. Otonomi daerah dengan demikian berarti
kemandirian suatu daerah dalam kaitan perbuatan dan pengambilan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai
kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa
saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (eksternal intervention).[2]
Istilah otonomi daerah dan
desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada
organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang
mengikuti pembagian wewenang tersebut. Desentralisasi sebagaimana didefinisikan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah:
“Desentralisasi terkait dengan masalah perlimpahan wewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara
baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat
di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di
daerah.”[3]
Selain itu, otonomi
daerah dapat pula diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[4]
Pengertian
otonomi (desentralisasi) menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer
kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari
seseoran atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain
yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Kemudian pengertian
desentralisasi menurut Rondinelli yakni transfer tanggungjawab dalam
perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan
agen-agennya kepada unit kementerian pemerintahan pusat, unit yang ada di bawah
level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas
regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non
pemerintah dan organisasi nirlaba.[5]
B. Sejarah Otonomi
Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama
kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan
adalah UU No. 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante)
dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa
kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini
menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan
pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini
ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.
periode berlakunya Undang-Undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun
waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintahan yang mengatur mengenai penyerahan
urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang
tiga tahun karena diganti dengan Undng-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis.
Di dalam Undang-Undang ini terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom
biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah otonom yaitu
propinsi, kebupaten atau kota besar, dan desa atau kota kecil.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian
urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah.
Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang tentang pembentukan
daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan
tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.[6]
Perjalanan sejarah otonomi daerah di
Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang
menggantikan produk sebelumnya.
Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan
daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini bisa
pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam
menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU No. 22 tahun
1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU
Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam
untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi
yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974.
UU
yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang
menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian
otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil danseluas-luasnya”, tetapi
“otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah
yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak
serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan
dalam arti luas. Undang Undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun dan
baru diganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25
tahun1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak
terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu yakni lengsernya
rezim otoriter Orde Baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan
reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan
kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan
Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah ;
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan
tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam
perubahan kedua yang secara tegas dan ekspisit menyebutkan bahwa negara
Indonesia memakai prinsip otonomi dan desetralisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformasi,
tiga tahun setelah implementasi UU No.22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan
revisi terhadap Undang-Undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004
yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal
penting yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif
dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnnya
hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.[7]
C. Hubungan
Otonomi Daerah dengan Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang lazim disebut dengan pilkada baik dengan pemilihan gubernur
dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati merupakan perwujudan pengembalian
hak-hak rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan pilkada langsung
tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin
daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom. Sebagaimana rakyat memilih
presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan anggota DPD, DPR, dan DPRD
(legislatif). Pilkada lansung merupakan instrumen politik yang sangat strategis
untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan
kepala daerah.
Penyelenggaraan pilkada harus
memenuhi beberapa kriteria:[8]
1.
Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2.
Umum
Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan
yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status
sosial.
3.
Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan
tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap waga
negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani
dan kepentingannya.
4.
Rahasia
Dalam memberikan suaranya pemilih dijamin, dan pilihannya tidak
akan diketahui oleh pihak manapun serta dengan jalan apapun.
5.
Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat
pemerintah, calon atau peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada,
pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.
Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada setiap pemilih dan calon peserta
pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.
Ada lima
pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia:[9]
1.
Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan
aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan
kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.
Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan
UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur,
Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.
Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi
(politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran
praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran
kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar
sesuai nuraninya
4.
Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat
otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada
langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.
Pilkada langsung merupakan sarana
penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak,
stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang
lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa.
Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu
2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada
langsung ini.
Dari beberapa penelitian ditemukan
bahwa hubungan antara pra-kondisi demokrasi dan efektivitas pemilihan yang
terbentuk tidak bersifat linear, melainkan hubungan timbal balik.
Pilkada langsung memiliki
kelebihan-kelebihan, di antaranya:
1.
Kepala daerah
terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat.
2.
Kepala daerah
terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai politik yang
mencalonkannya.
3.
Sistem pilkada
langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas publik.
4.
Pilkada
langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
5.
Membangun
stabilitas politik dan mencegah separatisme.
6.
Mencegah
konsentrasi kekuasaan di pusat.
Namun demikian, pilkada langsung
tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Adapun kelemahan dari adanya pilkada
langsung adalah:
1.
Dana yang
dibutuhkan.
2.
Membuka
kemungkinan konflik elit dan masa.
3.
Aktifitas
rakyat terganggu.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi.
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia,
dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2003.
Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka 2005.
Haris, Syamsuddin
(Ed). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. 2005.
Hidayat,
Komaruddin dan Azyumardi Azra. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. disunting oleh A.
Ubaedillah dan Abdul Rozak. Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2008.
Handayani Ningrum, Pelayanan
Pemerintah Daerah dalam Arti Luas, http://merakyat.com/nasional/opini-nasional/1859-pelayanan-pemerintah-daerah-dalam-arti-luas ,
diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:23.
Nurdiansah, Bambang. http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html . diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:28.
[1] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
hlm. 805.
[2] Azyumardi
Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003), hlm. 150.
[3] Komaruddin
Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, disunting oleh A.
Ubaedillah dan Abdul Rozak, (Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), hlm. 149.
[4] Handayani Ningrum, Pelayanan
Pemerintah Daerah dalam Arti Luas, http://merakyat.com/nasional/opini-nasional/1859-pelayanan-pemerintah-daerah-dalam-arti-luas , diakses pada
tanggal 24 April 2014 pukul 14:23.
[5] Op.cit., hlm.150-151.
[6]Ibid., hlm. 165-166.
[7] Op.cit., hlm.
152-154.
[8] Komaruddin
Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, disunting oleh A.
Ubaedillah dan Abdul Rozak, (Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), hlm. 164.[9]Bambang Nurdiansah, http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html . diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:28.