Baca Online Twilight part 2
2. BUKU YANG TERBUKA
KEESOKAN harinya lebih baik... tapi juga lebih buruk. Lebih baik karena
hujan belum turun, meski langit sudah tebal oleh mendung. Itu lebih mudah
karena aku jadi tahu apa yang kuharapkan. Mike duduk bersamaku di kelas bahasa
Inggris, dan mengantarku ke kelasku berikut. Eric si anggota Klub Catur
memelototinya sepanjang waktu; membuatku tersanjung. Orang-orang tidak
memandangiku seperti kemarin. Aku duduk dalam kelompok besar saat makan siang
bersama Mike, Eric, Jessica, dan beberapa anak lainnya yang nama dan wajahnya
bisa kuingat sekarang. Aku mulai merasa seperti air yang mengalir tenang bukan
tenggelam. Lebih buruk karena aku lelah. Aku masih tak bisa tidur karena angin
yang terus bergema di sekeliling rumah. Lebih buruk karena Mr. Varner
memanggilku di pelajaran Trigono padahal aku tidak mengacungkan tangan dan jawabanku
salah.
Menyedihkan karena aku harus main voli, dan sekalinya tidak terhantam bola,
aku malah melemparkannya ke teman sereguku. Dan lebih buruk karena Edward
Cullen sama sekali tak terlihat di sekolah. Sepagian aku sangat mengkhawatirkan
saat makan siang waswas terhadap tatapan anehnya. Sebagian diriku ingin mengonfrontasinya
dan menuntut ingin mengetahui apa masalahnya. Ketika terbaring nyalang di
ranjang aku bahkan membayangkan apa yang bakal kukatakan. Tapi aku mengenal
diriku terlalu baik, tak mungkin aku punya nyali melakukannya. Aku membuat
Singa Pengecut terlihat seperti sang pemusnah.
Tapi ketika aku berjalan ke kafetaria bersama Jessica— mencoba menjaga
mataku agar tidak nanar mencari sosok Edward dan gagal total—aku melihat
keempat saudaranya duduk bareng di meja yang sama, tapi ia sendiri tak ada. Mike
menghadang dan mengajak kami ke mejanya. Jessica sepertinya senang dengan
perhatian Mike, dan teman-teman Jessica langsung bergabung dengan kami. Tapi
sementara aku berusaha mendengarkan obrolan santai mereka, aku merasa sangat tidak
nyaman, gelisah menantikan kedatangan Edward. Aku berharap ia akan mengabaikan
aku kalau muncul nanti, dan membuktikan kecurigaanku keliru. Ia tidak datang,
dan dengan berlalunya waktu, aku pun semakin tegang.
Aku menuju kelas Biologi dengan lebih percaya diri. Sampai waktu makan siang
berakhir tadi, Edward masih belum muncul juga. Mike, yang mirip Golden
Retriever, melangkah setia di sisiku menuju kelas. Sesampainya di pintu aku
menahan napas, tapi Edward Cullen juga tidak ada di sana. Aku mengembuskan
napas dan pergi ke kursi.
Mike mengikuti sambil terus membicarakan rencana jalan-jalan ke pantai. Ia
tetap di mejaku sampai bel berbunyi. Lalu ia tersenyum sedih dan beranjak duduk
dengan cewek berkawat gigi yang rambutnya keriting dan jelek. Sepertinya aku
harus melakukan sesuatu tentang cowok itu, dan ini takkan mudah. Di kota seperti
ini, tempat orang-orang selalu ingin tahu apa yang terjadi atas orang lain,
diplomasi sangatlah penting. Aku tak pernah pandai berdiplomasi; aku tak pernah
berpengalaman menghadapi teman cowok yang kelewat ramah.
Aku lega karena bisa menempati meja itu sendirian, berhubung Edward tidak
masuk. Aku terus-menerus mengingatkan diriku, tapi aku tak bisa mengenyahkan kecurigaan
bahwa akulah alasan ketidakhadirannya. Betapa konyol dan narsis mengira diriku
bisa memengaruhi orang seperti itu. Tidak mungkin. Tapi toh aku tak bisa
berhenti mengkhawatirkan bahwa itu benar. Ketika sekolah akhirnya usai, dan
rona di pipiku akibat kecelakaan waktu main voli tadi mulai memudar, aku buruburu
mengenakan kembali jins dan sweter biru tentaraku. Aku bergegas meninggalkan
kamar ganti cewek, senang karena untuk sementara berhasil melepaskan diri dari temanku
yang suka mengekor. Aku berjalan cepat menuju parkiran. Tempat itu dipenuhi
murid yang lalu-lalang. Aku masuk ke truk dan mengaduk-aduk tas, memastikan
semua ada di situ.
Semalam aku mengetahui Charlie tak bisa memasak kecuali membuat telur goreng
dan bacon. Jadi aku meminta diberi tugas memasak selama tinggal bersamanya.
Charlie dengan senang hari menyerahkan urusan itu kepadaku. Aku juga mendapati
Charlie tidak menyimpan makanan apa pun di rumah. Jadi aku membuat daftar
belanjaan, lalu mengambil uang dari stoples bertuliskan UANG MAKANAN yang
disimpan di lemari, dan sekarang akan menuju Thrifrway.
Aku menyalakan mesin truk yang menggelegar, mengabaikan kepala-kepala yang
menengok, dan mundur pelan menuju barisan mobil yang mengantre keluar dari
parkiran. Ketika aku menunggu, mencoba berpura-purabahwa deru yang memekakkan
telinga ini berasal dari mobil orang lain, aku melihat Cullen bersaudara, dan
si kembar Hale masuk ke mobil mereka. Volvo baru yang mengilap. Tentu saja.
Sebelumnya aku tidak memerhatikan pakaian mereka—aku kelewat terpesona dengan
rupa mereka. Karena sekarang aku memerhatikan, jelas sekali mereka berpakaian
sangat bagus: simpel, namun bermerek. Dengan rupa mereka yang luar biasa keren,
gaya mereka, mereka bisa saja memakai lap tangan dan tetap kelihatan keren.
Rasanya berlebihan sekali memiliki keduanya: wajah rupawan dan uang. Tapi
sejauh yang kutahu, hidup memang lebih sering seperti itu. Dan sepertinya
kenyataan itu tak lantas membuat mereka diterima di sini. Tidak, aku tak percaya
sepenuhnya. Mereka memang suka menyendiri; tak bisa kubayangkan tak ada yang
tidak mau menyambut ketampanan dan kecantikan seperti itu. Mereka memandang
trukku yang berisik ketika aku melewati mereka, sama seperti yang lain.
Pandanganku tetap terarah ke muka dan aku merasa lega ketika akhirnya keluar
dari lahan sekolah.
The Thriftway tak jauh dari sekolah, hanya beberapa blok ke selatan,
selepas jalan raya. Rasanya menyenangkan bisa berada di dalam supermarket;
rasanya normal. Di tempat asalku akulah yang berbelanja, dan aku menyukainya.
Supermarket itu cukup luas sehingga aku tak dapat mendengar tetesan air hujan
di atap yang mengingatkan keberadaanku sekarang. Sesampai di rumah aku
mengeluarkan semua barang belanjaan, lalu menyumpalkannya di mana-mana. Kuharap
Charlie tidak keberatan. Kubungkus kentang dengan aluminium dan kumasukkan ke
oven lalu memanggangnya, melapisi steik dengan saus marinade, dan meletakkannya
di atas sekarton telur di kulkas. Selesai melakukannya, aku membawa tas
sekolahku ke atas. Sebelum mengerjakan PR, aku mengganti pakaian dengan yang
kering mengikat rambutku yang lembab jadi kucir kuda, dan memeriksa e-mail-ku
untuk pertama kali. Aku mendapat tiga pesan.
"Bella," tulis ibuku...Kirimi aku kabar begitu kau sampai. Ceritakan bagaimana penerbanganmu. Apakah hujan? Aku sudah merindukanmu. Aku hampir selesai mengepak untuk ke Florida, tapi aku tak bisa menemukan blus pinkku. Kau tahu di mana aku meletakkannya? Phil kirim salam. Mom.”
Aku mendengus dan membaca pesan berikutnya. Pesan itu dikirim delapan jam
setelah pesan pertama.
"Bella," tulisnya...Kenapa kau belum kirim e-mail? Apa sih yang kautunggu? Mom.”
"Bella," tulisnya...Kenapa kau belum kirim e-mail? Apa sih yang kautunggu? Mom.”
Yang terakhir dikirim pagi ini. Isabella, Kalau sampai jam setengah enam
sore ini aku belum juga mendengar kabar darimu, aku akan menelepon Charlie. Aku
melihat jam. Aku masih punya waktu satu jam,”.
ibuku sangat terkenal suka meledak-ledak.
“Mom, Tenang saja. Aku sedang menulis sekarang. Jangan konyol. Bella. Aku
mengirimnya dan memulai lagi. Mom, Semua baik-baik saja. Tentu saja di sini
hujan. Aku menunggu sampai punya cerita yang bisa kubagikan. Sekolahku tidak jelek,
hanya sedikit mengulang pelajaran.
Aku bertemu beberapa anak yang baik yang makan siang bersamaku. blus pinkmu
ada di dry clean-kau harus mengambilnya hari Jumat. Charlie membelikan aku truk,
kau percaya? Aku menyukainya. Mobil tua, tapi benar-benar "bandel",
yang berarti bagus, kau tahu kan, buatku. Aku juga rindu padamu. Aku akan
menulis lagi nanti, tapi aku takkan mengecek e-mail-ku setiap lima menit
sekali. Tenang, tarik napas. Aku sayang Mom.
Bella.”
Bella.”
Kuputuskan untuk membaca Wuthering Heights – novel yang sedang kami
pelajari di kelas bahasa Inggris-demi kesenangan, dan itulah yang kulakukan
ketika Charlie pulang, bergegas turun mengeluarkan kentang dari oven serta
memanggang steiknya.
"Bella?" panggil ayahku ketika mendengar aku menuruni tangga.
Memangnya ada orang lain? pikirku.
"Hei, Dad, sudah pulang?" "Ya." Ia menggantungkan sabuk
senjatanya dan melepaskan botnya sementara aku sibuk di dapur. Setahuku, ia tak
pernah menembakkan senjatanya selama bertugas. Tapi senjatanya itu selalu
siaga. Waktu aku datang ke sini, ketika masih kanak-kanak, Dad selalu mengosongkan
pelurunya begitu ia masuk ke rumah. Kurasa sekarang ia sudah menganggapku cukup
dewasa sehingga tidak akan dengan sengaja menembak diriku sendiri, dan tidak
depresi sehingga mencoba bunuh diri.
"Kita makan malam apa?" tanya Dad hati-hati. Ibuku juru masak
imajinatif, dan percobaannya tak selalu aman untuk dimakan.
"Steik dan kentang" jawabku, dan Dad tampak lega. Sepertinya ia
merasa salah tingkah berada di dapur tanpa melakukan apa-apa; jadi ia pergi ke
ruang tamu dengan langkah diseret lalu menonton TV sementara aku bekerja di dapur.
Ini lebih nyaman buat kami berdua. Aku membuat salad sementara steiknya sedang
dipanggang kemudian menyiapkan meja makan.
Aku memanggil ayahku ketika makan malam sudah siap, dan ia mengendus nikmat
sambil menuju ruang makan.
"Aromanya lezat, Bell."
"Terima kasih."
Selama beberapa menit kami makan dalam diam. Namun diam yang nyaman. Tak
satu pun dari kami terusik keheningan itu. Dalam beberapa hal, kami sangat
cocok hidup bersama.
"Jadi. bagaimana sekolahmu? Apa kau sudah dapat teman baru?" Dad berkata
setelah mengulur waktu.
"Well, aku mengambil beberapa kelas bersama cewek bernama Jessica.
Saat makan siang, aku duduk bersama teman-temannya. Lalu ada cowok, Mike, yang
sangat bersahabat. Semuanya kelihatan lumayan baik." Dengan satu
pengecualian mencolok.
"Itu pasti Mike Newton. Anak baik—keluarganya baik.
Ayahnya memiliki toko perlengkapan olahraga di luar kota. Karena banyak
backpaeker yang datang ke sini, dia cukup berhasil."
"Apa kau mengenal keluarga Cullen?" tanyaku raguragu.
"Keluarga dr. Cullen? Tentu. Dr. Cullen orang hebat."
"Mereka... anak-anaknya... agak berbeda. Sepertinya mereka tidak bisa
beradaptasi dengan baik di sekolah."
Charlie mengejutkanku karena ekspresinya tampak marah.
"Orang-orang di kota ini," gumamnya. "Dr. Cullen ahli bedah
genius dan dia bisa saja memilih bekerja di rumah sakit mana pun di dunia ini,
dengan gaji sepuluh kali lipat daripada yang didapatnya di sini,"
lanjutnya, suaranya makin keras.
“Kita beruntung memilikinya—beruntung istrinya mau tinggal di kota kecil.
Dia aset bagi komunitas kita, dan perilaku anak-anak mereka baik dan sopan. Aku
memang pernah ragu ketika mereka pertama pindah ke sini, dengan anak-anak
remaja adopsi itu. Kupikir mereka akan menimbulkan masalah. Tapi mereka sangat
dewasa—aku belum mendapat satu masalah pun dari mereka. Sesuatu yang belum
pernah dilakukan anak-anak yang orangtuanya telah tinggal di sini selama beberapa
generasi. Dan keluarga itu hidup seperti keluarga biasa—pergi kemping setiap
dua akhir pekan sekali... Tapi hanya karena mereka pendatang baru, lalu orang-orang
menggunjingkan mereka."
Itu ucapan terpanjang yang pernah kudengar dari Charlie. Ia pasti tidak menyukai
apa pun yang dikatakan orang-orang.
Aku mundur sedikit. "Bagiku mereka sepertinya cukup ramah. Hanya saja
kulihat mereka sepertinya menyendiri. Mereka sangat menarik," tambahku.
"Kau harus bertemu dr. Cullen," kata Charlie tertawa.
"Untunglah pernikahannya bahagia. Banyak perawat di rumah sakit sulit
berkonsentrasi bila dia berada di sekitar mereka."
Kami kembali terdiam ketika selesai makan. Charlie membersihkan meja sementara
aku mencuci piring. Ia kembali menonton TV, dan setelah selesai mencuci piring—di
sini tidak ada mesin pencuci piring—dengan enggan aku naik untuk mengerjakan PR
matematika-ku. Aku bisa merasakan sebuah tradisi ketika mengerjakannya. Malam
itu suasana tenang. Aku tertidur dengan cepat, kelelahan.
Sisa minggu itu berlangsung membosankan. Aku terbiasa dengan rutinitas
kelasku. Pada hari Jumat aku sudah bisa mengenali wajah, kalaupun bukan nama,
hampir semua murid di sekolah. Di gimnasium anak-anak di timku sudah paham
untuk tidak mengoper bola padaku dan tidak buru-buru melangkah di depanku kalau
tim lain mencoba memanfaatkan kelemahanku. Dengan senang hati aku menyingkir
dari mereka.
Edward Cullen tidak kembali ke sekolah. Setiap hari, dengan waswas aku
memerhatikan sampai seluruh keluarga Cullen memasuki kafetaria tanpanya. Setelah
itu baru aku bisa santai dan ikut nimbrung dalam pembicaraan makan siang. Sering
kali obrolan kami adalah mengenai perjalanan menuju La Push Ocean Park dua minggu
mendatang yang diprakarsai Mike. Aku diajak, dan telah setuju untuk ikut. Bukan
karena ingin, tapi lebih karena tidak enak menolaknya. Pantai seharusnya panas dan
kering.
Hari Jumat dengan nyaman aku memasuki kelas Biologiku, tak lagi mengkhawatirkan Edward. Yang
kutahu, ia telah meninggalkan sekolah. Aku berusaha tidak memikirkannya, tapi aku tak bisa benar-benar menekan kekhawatiran bahwa akulah yang bertanggung jawab atas absennya Edward. Memang konyol sih. Akhir pekan pertamaku di Forks berlalu tanpa insiden. Charlie, yang tidak terbiasa menghabiskan waktu di rumah yang biasanya kosong memilih bekerja sepanjang akhir pekan. Aku membersihkan rumah, mengerjakan PR, dan menulis e-mail yang lebih ceria untuk ibuku.
Hari Sabtu aku pergi ke perpustakaan, tapi berhubung koleksinya sangat sedikit,
aku tidak jadi membuat kartu anggota; aku harus membuat jadwal untuk segera
mengunjungi Olympia atau Seattle dan menemukan toko buku yang bagus di sana. Iseng
aku membayangkan seberapa jauh jarak tempuh truk ini... dan bergidik
memikirkannya.
Sepanjang akhir pekan hujan gerimis, tenang sehingga aku bisa tidur
nyenyak. Hari Senin orang-orang menyapaku di parkiran. Aku tidak tahu nama mereka
masing-masing tapi aku balas melambai dan tersenyum pada semuanya. Pagi ini
cuaca lebih dingin, tapi untungnya tidak hujan. Di kelas bahasa Inggris,
seperti biasa Mike duduk di sebelahku. Ada ulangan mendadak mengenai Wuthering
Heights. Sejujurnya, ulangan itu sangat mudah. Secara keseluruhan aku merasa
jauh lebih nyaman daripada yang kusangka bakal kurasakan pada titik ini.
Lebih nyaman dari yang pernah kuperkirakan. Ketika kami berjalan keluar
kelas, udara dipenuhi butiran putih yang berputar-putar. Aku bisa mendengar orang-orang
berteriak kesenangan. Angin menerpa pipi dan hidungku.
"Wow," kata Mike. "Salju."
Aku memandang butiran kapas kecil yang mulai menggunung di sepanjang jalan
setapak dan berputar-putar di wajahku.
"Uuuh." Salju. Hilang sudah hari baikku. Mike tampak terkejut.
"Tidakkah kau suka salju?"
"Tidak. Itu berarti terlalu dingin untuk hujan." Jelas.
"Selain itu, kupikir seharusnya salju turun dalam kepingan—tahu kan,
masing-masing bentuknya unik dan sebagainya. Ini sih hanya kelihatan seperti
ujung cotton bud"
"Kau pernah melihat salju tidak sih?" tanyanya heran.
"Tentu saja pernah." Aku terdiam. "Di TV.”
Mike tertawa. Lalu bola salju besar dan lembut menghantam bagian belakang kepalanya.
Kami berbalik untuk melihat dari mana asalnya. Aku curiga itu perbuatan Eric,
yang berjalan menjauh memunggungi kami—dan bukannya menuju kelasnya. Sepertinya
Mike memiliki dugaan yang sama. Ia membungkuk dan mulai membentuk bola putih.
"Kita ketemu lagi saat makan siang oke?" aku berkata sambil terus
berjalan. "Begitu orang-orang mulai melemparkan bola-bola basah itu, aku
langsung masuk."
Mike hanya mengangguk, matanya tertuju pada sosok Eric yang semakin
menjauh. Sepagian itu semua orang membicarakan salju dengan perasaan senang;
rupanya ini salju pertama di tahun baru. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tentu
saja lebih kering daripada hujan—sampai saljunya mencair di kaus kakimu. Aku
berjalan waspada menuju kafetaria bersama Jessica seusai kelas bahasa Spanyol.
Bola-bola salju melesat di mana-mana. Aku memegang binder di tanganku, siap menggunakannya
sebagai pelindung bila diperlukan. Jessica menganggapku konyol, tapi sesuatu
pada ekspresiku menahannya untuk tidak melemparkan bola salju ke arahku.
Mike menghampiri ketika kami sampai ke pintu. Ia tertawa, gumpalan es meleleh
di rambutnya. Ia dan Jessica bicara penuh semangat tentang perang salju ketika
kami antre membeli makanan. Di luar kebiasaan aku memandang sekilas ke meja di
pojok. Lalu aku berdiri mematung. Ada lima orang di meja itu. Jessica menarik
lenganku.
"Halo? Bella? Kau mau apa?"
Aku menunduk; telingaku panas. Aku tak punya alasan untuk merasa malu, aku
mengingatkan diriku sendiri. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah.
"Bella kenapa sih?" Mike bertanya pada Jessica.
"Tidak apa-apa," jawabku. "Hari ini aku minum soda saja.”
Aku berjalan pelan ke ujung antrean. "Kau tidak lapar?" tanya
Jessica.
"Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan,” kataku, mataku
masih tertuju ke lantai.
Aku menunggu Mike dan Jessica mengambil makanan mereka, lalu mengikuti
mereka ke meja, mataku menatap ke bawah. Aku menghirup sodaku pelan-pelan,
perutku keroncongan. Dua kali Mike menanyakan keadaanku, dengan kekhawatiran
yang sebenarnya tidak perlu.
Kukatakan aku baik-baik saja, tapi dalam hati berpikir apakah sebaiknya aku
bersandiwara saja dan menyembunyikan diri di UKS selama satu jam ke depan. Konyol.
Aku seharusnya tak perlu melarikan diri. Aku memutuskan untuk melirik sekali
lagi ke meja tempat keluarga Cullen berada. Kalau ia menatapku, aku akan bolos
kelas Biologi, seperti pengecut. Aku terus menunduk dan mengintip sekilas dari
balik bulu mataku. Tak satu pun dari mereka melihat ke arahku. Aku sedikit
mengangkat kepala.
Mereka sedang tertawa. Edward, Jasper, dan Emmett, rambut mereka berlumur
salju yang meleleh. Alice dan Rosalie menjauhkan diri ketika Emmett mengibaskan
rambutnya yang basah ke arah mereka. Mereka menikmati hari bersalju, seperti
anak-anak lainnya—hanya saja mereka lebih mirip adegan film ketimbang kami. Tapi
terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada sesuatu yang berbeda, dan aku tak
dapat mengatakan dengan pasti apa itu. Aku mengamati Edward dengan sangat
saksama.
Warna kulitnya sudah tidak terlalu pucat—barangkali memerah akibat
perang-perangan salju—lingkaran di bawah matanya juga sudah tidak terlalu
kentara. Tapi ada sesuatu. Aku memikirkannya lagi sambil memandangi mereka, berusaha
menemukan perubahan itu.
“Kau sedang menatap apa, Bella?" Jessica membuyarkan lamunanku, matanya
mengikuti arah pandanganku. Pada saat bersamaan mata Edward bersirobok dengan
mataku. Aku menunduk, kubiarkan rambutku terurai menutupi wajah. Meski begitu
aku yakin, saat sekilas mata kami beradu pandang itu, ia tidak terlihat kasar
atau tak bersahabat seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Iahanya
kelihatan penasaran, seperti tidak puas.
"Edward Cullen menatapmu," Jessica berbisik di telingaku sambil
cekikikan.
"Dia tidak kelihatan marah, ya kan?" Aku tak bisa menahan diri.
"Tidak," kata Jessica, terdengar bingung dengan pertanyaanku.
"Apakah seharusnya dia marah?"
"Sepertinya dia tidak suka padaku," kataku jujur. Aku masih
gelisah. Kutelungkupkan kepalaku di tangan.
"Keluarga Cullen tidak menyukai siapa pun... Well, mereka memang tidak
memedulikan siapa-siapa. Tapi dia masih memandangimu."
"Sudah, jangan dilihat lagi," desisku. Jessica mendengus, tapi ia
toh mengalihkan pandangan.
Kuangkat kepalaku sedikit untuk memastikan, dan bermaksud mengancamnya
kalau ia menolak.
Lalu Mike menyela kami—ia merencanakan perang salju di lapangan parkir seusai
jam sekolah dan ingin kami bergabung. Dengan penuh semangat Jessica
menyetujuinya. Dari caranya menatap Mike, aku ragu ia akan menolak apa pun yang
disarankan cowok itu. Aku diam saja. Aku harus bersembunyi di gimnasium sampai
lapangan parkir sepi. Selama sisa waktu makan siang dengan sangat hati-hati kuarahkan
pandanganku ke mejaku sendiri. Kuputuskan untuk melaksanakan ideku tadi.
Berhubung ia tidak kelihatan marah, aku akan ikut pelajaran Biologi. Perutku sedikit
mulas ketika membayangkan akan duduk bersebelahan lagi dengannya. Aku
benar-benar tak ingin berjalan ke kelas bareng Mike seperti biasa—sepertinya ia
sasaran empuk para pelempar bola salju—tapi ketika kami berjalan menuju kelas,
semua orang kecuali aku serempak mengeluh. Hujan turun,
membuat salju di sepanjang jalan setapak mencair. Aku menaikkan tudung jaket, menyembunyikan perasaan senangku. Artinya aku bebas, bisa langsung pulang setelah kelas Olahraga.
membuat salju di sepanjang jalan setapak mencair. Aku menaikkan tudung jaket, menyembunyikan perasaan senangku. Artinya aku bebas, bisa langsung pulang setelah kelas Olahraga.
Mike terus mencerocos, dan mengeluh sepanjang perjalanan menuju gedung
empat. Begitu tiba di kelas, aku lega karena mejaku masih kosong. Mr. Banner
sedang berjalan mengelilingi kelas, membagikan mikroskop dan sekotak slide
untuk masingmasing meja. Selama beberapa menit pelajaran belum juga dimulai,
dan ruangan langsung bergema dengan anak-anak yang mengobrol.
Aku terus menjauhkan pandangan dari pintu, iseng-iseng menggambari sampul
buku catatanku. Aku mendengar sangat jelas ketika kursi di sebelahku bergeser,
tapi mataku tetap terarah pada gambarku.
"Halo," kudengar suara merdu dan tenang.
Aku mendongak, terkejut karena Edward-lah yang sedang berbicara padaku. Ia
duduk sejauh mungkin hingga ke ujung meja, tapi kursinya diarahkan padaku. Air
menetes dari rambutnya, berantakan—meski begitu ia terlihat seperti baru saja
selesai syuting iklan gel rambut. Wajahnya yang memesona tampak bersahabat,
senyum tipis mengembang di bibirnya yang sempurna. Tapi matanya tampak
hati-hati.
"Namaku Edward Cullen," lanjutnya. "Aku tidak sempat memperkenalkan
diri minggu lalu. Kau pasti Bella Swan."
Saking bingungnya, kepalaku sampai pusing. Apakah aku selama ini berkhayal?
Sekarang ia sangat sopan. Aku harus bicara; ia menunggu. Tapi aku tak bisa
mengatakan apa pun yang wajar.
“B-bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku terbata-bata. Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan.
"Oh, kurasa semua orang tahu namamu. Seluruh kota telah menanti-nantikan kedatanganmu.”
“B-bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku terbata-bata. Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan.
"Oh, kurasa semua orang tahu namamu. Seluruh kota telah menanti-nantikan kedatanganmu.”
Aku nyengir. Sudah kuduga jawabannya akan seperti ini.
"Tidak" bantahku bodoh. "Maksudku, kenapa kau memanggilku
Bella?" Ia tampak bingung. "Kau mau dipanggil Isabella?"
"Tidak, aku lebih suka Bella," kataku. "Tapi kupikir Charlie—maksudku
ayahku—pasti memanggilku Isabella di belakangku—pasti itulah yang diketahui
orang-orang di sini," aku mencoba menjelaskan, benar-benar merasa seperti
orang bodoh.
"Oh." Ia tidak meneruskan. Aku memalingkan wajah malu-malu.
Untungnya Mr. Banner memulai pelajaran saat itu juga. Aku mencoba berkonsentrasi
mendengarkan saat ia menjelaskan tentang percobaan yang akan kami lakukan hari
ini. Slide di kotak tak dapat digunakan. Bersama partner masing-masing, kami
harus memisahkan slide akar bawang merah menjadi tahapan mitosis yang mereka representasikan
dan memberi label sesuai identitas mereka.
Kami tidak diperbolehkan membaca buku. Dalam dua puluh menit ia akan berkeliling
untuk melihat siapa yang melakukannya dengan benar.
"Mulai," perintahnya.
"Kau duluan, partner?" tanya Edward. Aku mengangkat kepala dan
kulihat ia tersenyum lebar begitu menawannya sampai-sampai aku hanya
memandanginya seperti orang idiot.
"Atau aku bisa memulainya kalau kau mau." Senyum itu memudar;
jelas ia mengira aku tidak kompeten melakukannya.
"Tidak," kataku, wajahku merah padam. "Aku akan
memulainya."
Aku memamerkan kemampuanku, hanya sedikit. Aku pernah melakukan percobaan
ini, dan tahu apa yang kucari.
Seharusnya mudah. Aku menaruh slide pertama di bawah mikroskop dan langsung
menyesuaikan pembesarannya menjadi 40X. Kupelajari slide-nya sebentar. Aku
yakin dengan pengamatanku. "Profase."
"Boleh aku melihatnya?" pintanya ketika aku mulai memindahkan
slide-nya. Edward mencoba menghentikannya dengan memegang tanganku.
Jari-jarinya dingin bagai es, seolah ia baru saja menggenggam tumpukan salju
sebelum kelas dimulai. Tapi bukan itu yang membuatku buru-buru menarik tangan. Ketika
ia menyentuhku, jarinya menyengatku bagai aliran listrik.
"Maaf," gumamnya pelan, langsung menarik tangannya. Bagaimanapun,
ia tetap meraih mikroskop. Meski masih kaget, aku memerhatikannya mengamati
slide lebih cepat daripada yang kulakukan tadi.
"Profase," ia setuju, dan menuliskannya dengan rapi pada halaman
pertama lembar kerja kami. Ia langsung mengganti slide pertama dengan yang
kedua, lalu melihatnya sepintas lalu.
“Anafase," gumamnya, sambil menulis. Aku berusaha terdengar tak peduli.
"Boleh kulihat?" Ia tertawa mengejek, dan mendorong mikroskop ke
arahku.
Aku mengamati lewat lubang mikroskop dengan penasaran, dan merasa kecewa
karena dugaanku salah. Sial, ia benar.
“Slide tiga?" Kuulurkan tanganku tanpa memandangnya. Ia menyerahkannya
padaku; sepertinya berhati-hati agar tidak menyentuhku lagi. Aku berusaha
mengenalinya secepat aku bisa.
“Interfase." Aku mengoper mikroskop sebelum ia memintanya. Ia mengintip
sebentar, lalu menuliskannya.
Aku bisa saja menuliskannya ketika ia sedang mengamati, tapi tulisannya
yang jelas dan rapi membuatku minder. Aku tak ingin merusak lembar kerja kami
dengan tulisan cakar
ayamku.
ayamku.
Kami selesai duluan. Aku bisa melihat Mike dan partnernya membandingkan dua
slide lagi dan lagi, dan kelompok lain membuka buku di bawah meja. Aku tak
punya pilihan lain kecuali memandangnya. Aku mendongak, dan ia sedang
menatapku, pandangan frustrasi dan misterius yang sama. Tiba-tiba aku menemukan
perbedaan yang tak terkatakan selama ini di wajahnya.
"Kau memakai lensa kontak, ya?" kataku tanpa berpikir. Ia tampak
bingung dengan pertanyaanku yang tak terduga itu.
"Tidak."
"Oh," gumamku. "Kupikir ada yang berbeda dengan matamu.”
Ia mengangkat bahu dan memalingkan wajah. Sebenarnya aku yakin ada sesuatu
yang berbeda. Aku
ingat jelas warna hitam kelam matanya ketika terakhir kali melihatnya—warna itu sangat kontras dengan kulit pucat dan rambutnya yang cokelat kemerahan. Hari ini warna matanya benar-benar berbeda: cokelat kekuningan yang aneh, lebih gelap dari mentega, tapi dengan nuansa keemasan yang sama. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu, kecuali ia berbohong tentang lensa kontaknya. Atau barangkali Forks membuatku sinting dalam artian sebenarnya.
ingat jelas warna hitam kelam matanya ketika terakhir kali melihatnya—warna itu sangat kontras dengan kulit pucat dan rambutnya yang cokelat kemerahan. Hari ini warna matanya benar-benar berbeda: cokelat kekuningan yang aneh, lebih gelap dari mentega, tapi dengan nuansa keemasan yang sama. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu, kecuali ia berbohong tentang lensa kontaknya. Atau barangkali Forks membuatku sinting dalam artian sebenarnya.
Aku menunduk. Tangannya mengepal lagi. Lalu Mr. Banner menghampiri meja kami,
untuk melihat mengapa kami tak melakukan apa-apa. Ia melihat dari balik bahu,
menatap percobaan yang sudah selesai, lalu melihat lebih serius untuk memeriksa
jawaban kami.
"Jadi, Edward, tidakkah kaupikir Isabella perlu diberi kesempatan
menggunakan mikroskop?" tanya
Mr. Banner.
"Bella," Edward meralat ucapan Mr. Banner.
"Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima slide itu." Sekarang
Mr. Banner menatapku; ekspresinya skeptis.
"Apa kau pernah melakukan percobaan ini sebelumnya?" tanyanya.
Aku tersenyum malu-malu. "Tidak dengan akar bawang merah."
"Whitefish blastula?”
"Yeah."
Mr. Banner mengangguk. "Apa kau masuk kelas khusus di Phoenix?"
"Ya."
"Well" katanya setelah beberapa saat. "Kupikir kalian cocok
menjadi partner." Ia menggumamkan sesuatu lagi sambil berlalu. Setelah ia pergi,
aku mulai mencoret-coret buku catatanku.
"Sayang sekali turun salju, ya kan?" Edward bertanya. Aku punya
perasaan ia terpaksa bercakap-cakap denganku. Ketakutan kembali menyelimutiku.
Seolah-olah ia telah mendengar percakapanku dengan Jessica saat makan siang tadi
dan berusaha membuktikan aku salah.
“Tidak juga," jawabku jujur, dan bukannya berpura-pura normal seperti
yang lain. Aku masih berusaha menyingkirkan kecurigaan yang tolol ini, dan aku
tak bisa berkonsentrasi.
“Kau tidak suka dingin." Itu bukan pertanyaan.
"Atau basah." "Forks pasti bukan tempat menyenangkan
bagimu," ujarnya melamun.
"Kau tak tahu bagaimana rasanya." gumamku dingin. Ia tampak
terpesona oleh perkataanku, entah untuk alasan apa, aku tak bisa membayangkannya.
Wajahnya tampak sangat putus asa hingga aku berusaha untuk tidak memandangnya
melebihi batas kesopanan seharusnya.
"Lalu kenapa kau datang ke sini?" Tak seorang pun menanyakan itu
padaku—tidak blakblakan
seperti dirinya, begitu menuntut jawaban.
"Jawabannya— rumit."
"Rasanya aku bisa mengerti," desaknya.
Lama aku diam, lalu membuat kesalahan dengan beradu pandang dengannya. Mata
keemasannya yang gelap membuatku bingung dan aku menjawab tanpa berpikir.
"Ibuku menikah lagi," kataku.
"Itu tidak terdengar terlalu rumit," bantahnya, tapi tibatiba ia
terlihat bersimpati. "Kapan itu terjadi?"
“September lalu." Suaraku terdengar sedih, bahkan untukku sendiri.
“September lalu." Suaraku terdengar sedih, bahkan untukku sendiri.
“Dan kau tak menyukainya," Edward mencoba menebak, suaranya masih
ramah.
"Tidak, Phil baik. Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik."
"Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?"
Aku tak bisa mengerti ketertarikannya, tapi ia terus menatapku dengan pandangan
menusuk, seolah kisah hidupku yang membosankan entah mengapa sangat penting.
"Phil sering bepergian. Dia pemain bola." Aku setengah tersenyum.
"Apakah dia terkenal?" tanyanya, balas tersenyum.
"Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal. Benar-benar liga kecil. Dia
sering berpindah-pindah."
"Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya dia bisa bepergian dengannya."
Lagi-lagi ia melontarkan dugaan, bukan pertanyaan.
Dahiku mengerut. "Tidak, dia tidak mengirimku ke sini. Aku sendiri
yang mau."
Alisnya bertaut. "Aku tak mengerti," katanya, dan ia tampak
bingung tanpa sebab mendengar kenyataan ini.
Aku menghela napas. Kenapa aku menjelaskan semua ini padanya? Ia terus
menatapku penasaran.
"Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil. Ini
membuatnya tidak bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu
yang lebih berkualitas bersama Charlie." Suaraku terdengar muram ketika
selesai bercerita.
"Tapi sekarang kau tidak bahagia," ujarnya.
"Terus?" tantangku.
"Itu tidak adil." Ia mengangkat bahu, namun tatapannya masih
tajam.
Aku tertawa sinis. "Tidakkah ada yang pernah memberitahumu? Hidup
tidak adil."
"Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat sebelum ini,"
timpalnya datar.
"Ya sudah, itu saja," kataku, bertanya-tanya kenapa ia masih
memandangiku seperti itu.
Tatapannya berubah menilai. "Kau pandai berpurapura,” katanya pelan.
"Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kauperlihatkan
pada orang lain."
Aku nyengir, menahan keinginan untuk menjulurkan lidahku seperti anak lima
tahun, lalu memalingkan wajah.
"Apa aku salah?" Aku mencoba mengabaikannya.
"Kurasa tidak." gumamnya puas.
"Kenapa ini penting buatmu?" tanyaku jengkel. Aku terus
menghindari pandangannya, mengawasi Mr. Banner yang sedang berkeliling.
"Pertanyaan yang sangat bagus,” ujarnya, teramat pelan hingga kupikir
ia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Bagaimanapun setelah hening sebentar aku memutuskan itu satu-satunya
jawaban yang bisa kudapat. Aku menghela napas, memandang marah ke papan tulis.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Edward. Ia terdengar senang.
Aku memandangnya tanpa berpikir... dan sekali lagi mengatakan yang
sebenarnya. "Tidak juga. Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku
sangat mudah ditebak—ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Wajahku
merengut.
"Kebalikannya, aku malah sulit menebakmu." Terlepas dari semua
yang kukatakan dan diduganya, ia terdengar bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang,” balasku.
"Biasanya." Ia tersenyum lebar, memamerkan sederet gigi putih
yang sempurna.
Mr. Banner menyuruh murid-murid tenang, dan aku berbalik lega untuk
mendengarkan. Aku tak percaya telah menceritakan kehidupanku yang membosankan
pada cowok aneh namun tampan ini, yang mungkin membenciku atau tidak. Ia tampak
menikmati percakapan kami, tapi sekarang bisa kulihat, dari sudut mataku, bahwa
ia menjauh lagi dariku, tangannya dengan tegang mencengkeram ujung meja.
Aku berusaha terlihat menyimak ketika Mr. Banner menjelaskan dengan
menggunakan transparasi OHP, tentang apa yang telah kulihat tanpa kesulitan
lewat mikroskop. Tapi aku tak bisa mengumpulkan pikiranku. Ketika bel akhirnya
berbunyi, Edward langsung meninggal kan kelas dengan gerakan anggun seperti
yang dilakukannya Senin lalu. Dan seperti Senin lalu, aku
memandangi kepergiannya dengan terkagum-kagum. Mike dengan cepat melompat ke sisiku dan merapikan buku-bukuku. Aku membayangkannya dengan ekor bergoyang-goyang.
memandangi kepergiannya dengan terkagum-kagum. Mike dengan cepat melompat ke sisiku dan merapikan buku-bukuku. Aku membayangkannya dengan ekor bergoyang-goyang.
"Itu buruk sekali," erangnya. "Semua isi slide itu mirip.
Kau beruntung berpasangan dengan Cullen." "Gampang saja buatku,"
kataku, terkejut mendengar ucapannya. Aku langsung menyesal. "Aku pernah melakukan
percobaan ini, itu saja," lanjutku sebelum perasaannya terluka.
"Cullen tampak cukup ramah hari ini," ia berkomentar ketika kami
mengenakan jas hujan. Mike tidak tampak senang.
Aku berusaha terdengar kasual. "Aku bertanya-tanya apa yang terjadi
padanya Senin lalu."
Aku tak sanggup menyimak celotehan Mike sepanjang perjalanan menuju gimnasium,
dan pelajaran Olahraga tidak terlalu menarik perhatianku. Mike satu tim
denganku hari ini. Ia mau berbaik hati menggantikan posisiku sekaligus menjalankan
posisinya, sehingga lamunanku hanya terusik ketika aku mendapat giliran
melakukan serve. Anggota timku dengan hati-hati menghindar setiap kali
giliranku tiba.
giliranku tiba.
Hujan hanya rintik-rintik ketika aku berjalan ke lapangan parkir, tapi aku
merasa lebih gembira setelah berada di trukku yang kering. Kunyalakan mesin
penghangat, sekali ini tak memedulikan suara mesin yang meraung-raung. Aku membuka
jaket, melepas tudungnya, dan menggeraikan rambut lembabku agar mengering dalam
perjalanan pulang. Aku memandang sekelilingku memastikan tak ada siapasiapa.
Saat itulah aku menangkap sosok pucat yang diam tak bergerak itu. Edward Cullen
sedang bersandar di pintu depan Volvo, yang jaraknya tiga mobil dariku, matanya
menatapku lekat-lekat. Aku langsung mengalihkan pandangan dan memundurkan truk,
begitu terburu-buru hingga nyaris menabrak sebuah Toyota Corolla berkarat. Toyota
itu beruntung, aku menginjak rem tepat pada waktunya. Trukku jenis penghancur.
Aku menarik napas panjang, masih melihat ke sisi lain mobil, dan berhati-hati mundur
lagi, kali ini lebih baik. Aku memandang lurus ke depan ketika melewati Volvo
itu, namun sekilas aku bersumpah melihatnya tertawa.
0 komentar:
Post a Comment