Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Adib, H., S.Ag., M.Si.
Disusun Oleh:
Syafiun Niam ( 091311042 )
Mita Lia Sofiana ( 131311115 )
Zahrotu Millah ( 131311117 )
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) WALISONGO Semarang
2014
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah sebagai suatu system pemerintahan di indonesia yang desentralistis bukan merupakan hal yang baru. Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya sudah diatur pada UUD 1945. Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi daerah belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan reformasi berlangsung dan pemerintahan Suharto jatuh, wacana untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan UUD No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi perubahan paradigm, yaitu dari pemerintah sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif dilaksanakan setelah dua tahun sejak ditetapkannya.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian otonomi daerah ?
b. Bagaimanakah sejarah otonomi daerah di Indonesia ?
c. Bagaimana hubungan otonomi daerah dengan pilkada langsung ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Menurut kamus besar bahasa indonesia, otonomi adalah pemerintahan sendiri, dalam kaitannya dengan daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagi ‘mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya’. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan perbuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (eksternal intervention).[2]
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Desentralisasi sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah:
“Desentralisasi terkait dengan masalah perlimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.”[3]
Selain itu, otonomi daerah dapat pula diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusanpemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[4]
Pengertian otonomi (desentralisasi) menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseoran atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Kemudian pengertian desentralisasi menurut Rondinelli yakni transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian pemerintahan pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba.[5]
B. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. periode berlakunya Undang-Undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintahan yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undng-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam Undang-Undang ini terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kebupaten atau kota besar, dan desa atau kota kecil.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.[6]
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU No. 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil danseluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang Undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun dan baru diganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 tahun1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu yakni lengsernya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah ; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan ekspisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desetralisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No.22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-Undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.[7]
C.
Hubungan Otonomi Daerah dengan Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lazim disebut dengan pilkada baik dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati merupakan perwujudan pengembalian hak-hak rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan pilkada langsung tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom. Sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden (eksekutif) dan anggota DPD, DPR, dan DPRD (legislatif). Pilkada lansung merupakan instrumen politik yang sangat strategis untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah.
Penyelenggaraan pilkada harus memenuhi beberapa kriteria:[8]
1. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum
Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
3. Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap waga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia
Dalam memberikan suaranya pemilih dijamin, dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun serta dengan jalan apapun.
5. Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon atau peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada setiap pemilih dan calon peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia:[9]
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa hubungan antara pra-kondisi demokrasi dan efektivitas pemilihan yang terbentuk tidak bersifat linear, melainkan hubungan timbal balik.
Pilkada langsung memiliki kelebihan-kelebihan, di antaranya:
1. Kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat.
2. Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai politik yang mencalonkannya.
3. Sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas publik.
4. Pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.
5. Membangun stabilitas politik dan mencegah separatisme.
6. Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat.
Namun demikian, pilkada langsung tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Adapun kelemahan dari adanya pilkada langsung adalah:
1. Dana yang dibutuhkan.
2. Membuka kemungkinan konflik elit dan masa.
3. Aktifitas rakyat terganggu.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Otonomi adalah pemerintahan sendiri, dalam kaitannya dengan daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Undang-Undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam Undang-Undang ini terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kebupaten atau kota besar, dan desa atau kota kecil. Penyelenggaraan pilkada harus memenuhi beberapa kriteria:Langsung,Umum,Bebas, Rahasia, Jujur, Adil
b. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspirasi dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2003.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 2005.
Haris, Syamsuddin (Ed). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. 2005.
Hidayat, Komaruddin dan Azyumardi Azra. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. disunting oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Handayani Ningrum, Pelayanan Pemerintah Daerah dalam Arti Luas,http://merakyat.com/nasional/opini-nasional/1859-pelayanan-pemerintah-daerah-dalam-arti-luas , diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:23.
Nurdiansah, Bambang. http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html . diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:28.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 805.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 150.
[3] Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, disunting oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, (Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 149.
[4] Handayani Ningrum, Pelayanan Pemerintah Daerah dalam Arti Luas,http://merakyat.com/nasional/opini-nasional/1859-pelayanan-pemerintah-daerah-dalam-arti-luas , diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:23.
[5] Op.cit., hlm.150-151.
[7] Op.cit., hlm. 152-154.
[8] Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, disunting oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, (Cet: III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 164.
[9]Bambang Nurdiansah, http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/otonomi-daerah-dan-pilkada-langsung.html . diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 14:28.
0 komentar:
Post a Comment