Sejarah Hindu Budha di Indonesia
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama Hindu dan Buddha merupakan Agama
yang berasal dari negara India, yang pada perjalanannya menjadi salah satu
agama-agama terbesar pengikutnya. Secara garis besar perkembangan agama
Hindu dibedakan menjadi tiga tahap. Tahap pertama berlangsung
sekitar abad 1500-1000 SM yang dikenal dengan agama Weda. Tahap kedua
ditandai dengan munculnya agama Brahman (1000-750 SM), tahap kedua adalah zaman
agama Buddha yang berlangsung sekitar 500 SM-300 M. yang mempunyai corak berbeda
dengan agama Weda. Tahap ketiga ditandai dengan munculnya
pemikiran-pemikiran kefilsafatan yang berpusat di sekitar sungai Gangga
(750-300 M), dan tahap yang ketiga adalah apa yang dikenal dengan agama Hindu
yang berlangsung sejak 300 M. sampai sekarang.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
bagaimana sejarah masuknya agama Hindu-Budha di Indonesia khususnya di Jawa dan
bagaimana kepercayaan masyarakat pada masa itu.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
rumusan masalah dalam makalah ini antara laiN:
- Bagaimanakah sejarah masuknya agama Hindu di IndonesiA?
- Bagaimana sejarah masuknya agama Budha di Indonesia?
- Bagaimanakah sejarah masuknya agama Hindu di Jawa?
- Bagaimana sejarah masuknya agama Budha di Jawa?
- Bagaimanakah persamaan dan perbedaan agama Hindu-Budha?
- Bagaimana kebudayaan Jawa pada Masa Hindu-Budha?
PEMBAHASAN
I.
Sejarah
Masuknya Agama Hindu di Indonesia
Agama Hindu adalah agama yanglahir
dan berkembang di India. Dipandang dari sudut ethnologi (ilmu
bangsa-bangsa), penduduk India merupakan campuran antara penduduk asli yang
disebut dengan bangsa Dravida dengan suku pendatang yang berasal dari sebelah
utara, yaitu bangsa Aria yang merupakan rumpun dari Jerman yang disebut dengan Iindo
Jerman.[1]
Bangsa Aria yang memisahkan diri
dari induk bangsa nya masuk ke India antara tahun 2000-1000 sebelum Masehi.
Setelah datang ke Indi mereka menetap disekitar lembah atau Sungai Gangga yang
juga dihuni oleh penduduk asli. Bangsa Aria berkulit putih, berbadan tegap,
hidung melengkung sedikit, namun peradabannya lebih rendah dari suku Dravida.[2]
Akibat pembauran tersebut maka
terjadilah peleburan dua kebudayaan yang berbeda, yang kemudian melhirkan
kebudayaan Hindu dan nantinya melahirkan agama Hindu. Maka dengan demikian
diperoleh suatu gambaran bahwa Agama Hindu dibentuk atau dipengaruhi oleh kedua
unsur kebudayan, yang mula-mula banyak ditemui banyak perbedaan namun
lama-kelamaan melebur menjadi satu.[3]
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam
kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional tersebut menyebabkan timbulnya
percampuran budaya. Misalnya saja India, negara pertama yang memberikan
pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Para
sejarawan mengatakan bahwa banyak pendapat atau teori masuknya agama hindu di
Indonesia, antara lain:
1.
Teori
Brahman
Teori ini di kemukakan oleh J.C. Van Leur, berpendapat
bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahman. Hanya kaum
Brahmanalah yang berhak mempelajari serta mengajarkan agama Hindu karena hanya
kaum Brahmanlah yang mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum
Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau
sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.
Beliau juga mengatakan bahwa kaum Brahman sangat berperan
dalam penyebaran agama dan kebudayaan agama Hindu ke Indonesia.
2.
Teori
Ksatria
Terdapat dua pendapat mengenai teori Ksatria yang
pertama menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu
ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya
kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah
perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan
di Indonesia. Yang dikemukakan oleh F.D.K. Bosch, menyatakan bahwa adanya
raja-raja dari India yang datang menaklukan daerah-daerah tertentu di Indonesia
yang telah mengakibatkan penghinduan penduduk setempat.
3.
Teori
Wasiya
Yang dikemukakan oleh N.J. Krom, mengatakan bahwa
pengararuh Hindu masuk ke Indonesai melalui golongan pedagang dari kasta waisya
yang menetap di Indonesai dan kemudian memegang peranan penting dalam proses
penyebaran kebudayaan India termasuk agama Hindu.
4.
Teori
Sudra
Von van Faber, menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke
Indonesia dibawah oleh kasta sudra. Tujuan mereka adalah mengubah kehidupan
karena di India mereka hanya hidup sebagai pekerja kasar dan budak.
Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam
penyebaran agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara.
5.
Teori
Campuran
Teori ini beranggapan bahwa baik kaum brahmana,
ksatria, para pedagang, maupun golongan sudra bersama-sama menyebarkan agama
Hindu ke Indonesia sesuai dengan peran masing-masing.
6.
Teori
Arus Balik
Teori arus blik ini tidak hanya berlaku untuk proses
masuknya agamaHindu ke Indonesia saja melainkan untuk agama Buddha juga.
Para ahli mengatakan bahwa banyak pemuda di Indonesia yang belajar agama Hindu
dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi
yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka
kembali untuk menyebarkannya.
Sedangakan
menurut pendapat FD. K. Bosh, teori arus balik ini menekankan peranan bangsa
Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia.
Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan
atau golongan terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melakukan
proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Pertama,
proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Buddha atau para biksu, yang
menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang,
sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang
Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India.
Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan
menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India.
Dengan demikian peran aktif penyebaran budaya
India, tidak hanya orang India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu para
biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya seni Indonesia yang
sudah mendapat pengaruh India masih menunjukan ciri-ciri Indonesia.
Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran
Saiva-siddharta. Menurut aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki
golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai
dapat ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah
disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri
untuk menghindukan seseorang
Pada dasarnya teori Brahmana, Ksatria dan Waisya
memiliki kelemahan yaitu, golongan Ksatria dan Waisya tidak mengusai bahasa
Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang
dipakai dalam kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun
menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak
boleh menyebrangi laut.
Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya
proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa teori di
atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses
tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama
Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama
Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca
Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain
Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat
ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari
abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam
Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Pada umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang
menyatakan bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan
disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh
budaya India di Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah
Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai
langgam yang sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India).
Para ahli
memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau barang
persembahan untuk bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan
prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang
disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar
di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.[4]
I I.
Sejarah
Masuknya Agama Budha di Indonesia
Agama Budha lahir pada abad ke-6
sebelum Masehi di India dan didirikan oleh Siddharta Gautama.[5]
Siddharta Gautama adalah anak seorang raja yang bernama Suddhudana yang
memerintah suku Syakia, ibunya bernama Maya. Menurut para ahli, Siddharta
dilahirkan pada tahun 563 sebelum Masehi dan wafat pada tahun 483 sebelum
Masehi.[6]
Agama Budha masuk ke Indonesia dibawa oleh para
pendeta didukung dengan adanya misi Dharmadhuta, kitab suci agama
Budha ditulis dalam bahasa rakyat sehari-hari, serta dalam agama Budha tidak
mengenal sistem kasta. Para pendeta Budha masuk ke Indonesia melalui 2 jalur
lalu lintas pelayaran dan perdagangan, yaitu melalui jalan daratan dan lautan.
Jalan darat ditempuh lewat Tibet lalu masuk ke Cina bagian Barat disebut Jalur
Sutra, sedangkan jika menempuh jalur laut, persebaran agama Budha sampai ke
Cina melalui Asia Tenggara. Selanjutnya sampai ke Indonesia mereka akhirnya
bertemu dengan raja dan keluarganya serta mulai mengajarkan ajaran agama Budha,
pada akhirnya terbentuk jemaat kaum Budha. Bagi mereka yang telah mengetahui
ajaran dari pendeta India tersebut pasti ingin melihat tanah tempat asal agama
tersebut secara langsung yaitu India sehingga mereka pergi ke India dan
sekembalinya ke Indonesia mereka membawa banyak hal baru untuk selanjutnya
disampaikan pada bangsa Indonesia. Unsur India tersebut tidak secara mentah
disebarkan tetapi telah mengalami proses penggolahan dan penyesuaian.
Sehingga ajaran dan budaya Budha yang berkembang di Indonesia berbeda dengan di
India.[7]
I II.
Sejarah
Masuknya Agama Hindu di Jawa
Sejarah
mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami mutasi pertama atau indianisasi. Disini
terlihat dari asal-usul bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C.C. Berg dalam bentuk
legenda tentang seseorang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang muda putra
Brahmana yang berasal dari tanah India. Aji Saka datang ke Jawa, dan
mendapatkan sebuah negeri dengan nama Medangkamulyan, yang kini berada didaerah
Grobogan Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja pemakan daging
manusia bernama Dewata Cengkar. Aji Saka menwarkan diri untuk menjadi makanan
raja dengan syartat ia akan menerima sebidang tanah seluas destranya sebagai
ganti. Sang raja menerima tawaran tersebut, namun ternyata destra dari Aji saka
semakin lama semakin luas bahkan sampai menutupi semua wilayah kekuasaannya.
Kemudian Dewata Cengkar menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78
Masehi.
Sebagai kelanjutan dari teori mutasi tersebut perlu dicatat bahwa banyak
tempat di pulau Jawa yang menggunakan bahasa Sansekerta, yang membuktikan
adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografis India yang kramat itu.
Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya
dipinjam dari Mahabharata. Demikian pula relief Borobudur tidak dapat
ditafsirkan tanpa risalah-risalah India tentang Mahayana. Namun demikian tidak
mungkin antara Jawa dan India disamakan.[8]
III.
Sejarah
Masuknya Agama Budha di Jawa
Masuknya Agama Buddha pertama kali di Indonesia, belum jelas dan gelap,
walaupun nama pulau Jawa sebagai “Labadiu” telah dikenal oleh Ptolemi, seorang
ahli ilmu bumi di Iskandariah pada tahun 130 M. pada abad pertama masehi sudah
dikenal “Javadwipa” yang meliputi Jawa dan Sumatera sekarang. “Suvarnadwipa”
adalah nama untuk pulau Sumatra. Dapat disimpulkan bahwa sebelum abad kedua
Masehi, sudah terdapat hubungan antara India dan kepulauan Nusantara.
Kedatangan Fa-Hien pada
tahun 414 M ke pulau Jawa dalam perjalanannya pulang ke China, setelah ia
berkunjung ke India selama 6 tahun telah membuka tabir kegelapan mengenai
kehidupan beragama di pulau Jawa. Ia tinggal 5 bulan di pulau Jawa dan dalam
catatannya mengatakan bahwa banyak terdapat penganut agama brahmana yang jauh
berlainan dengan kehidupan di India, akan tetapi agama Buddha sedikit dan tidak
tertarik untuk dicatat.
Atas usaha Bhikkhu
Gunawarman pada tahun 423 M, agama Buddha berkembang di Jawa. Gunawarman adalah
putera Raja dari Khasmir (India), ia melepaskan kehidupan perumah tangga dan
menjadi Bhikkhu dan belajar ke Sri Lanka dan ke She-Po (Jawa), dan berhasil
mengembangkan agama Buddha di tanah Jawa.
V.
Persamaan dan
Perbedaan Agama Hindu dan Budha
Persamaan agama Hindu dan Budha
antara lain adalah :
a. Sama-sama tumbuh dan berkembang di India
b. Selalu berusaha untuk meletakkan dasar-dasar ajaran kebenaran dalam
kehidupan manusia di dunia ini. Di dasarkan pada ajaran agama yang
dibenarkan.
c. Tujuan untuk menyelamatkan umat manusia dari rasa kegelapan/ mengantarkan
umat manusia dapat mencapai tujuan hidupnya yaitu kesempurnaan.
Perbedaan agama Hindu
dengan Budha adalah :
HINDU
|
BUDHA
|
Muncul sebagai
perpaduan budaya bangsa Aria dan bangsa Dravida
|
Muncul sebagai hasil
pemikiran dan pencerahan yang diperoleh Sidharta dalam rangka mencari jalan
lain menuju kesempurnaan(nirwana)
|
Kitab sucinya, WEDA
|
Kitab Sucinya,
TRIPITAKA
|
Mengakui 3 dewa
tertinggi yang disebut Trimurti
|
Mengakui Sidharta
Gautama sebagai guru besar/ pemimpin agama Budha
|
Kehidupan masyarakat
dikelompokkan menjadi 4 golongan yang disebut Kasta (kedudukan seseorang
dalam masyarakat diterima secara turun-temurun/didasarkan pada keturunan).
|
Tidak diakui adanya
kasta dan memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat adalah sama.
|
Adanya pembedaan
harkat dan martabat/hak dan kewajiban seseorang
|
Tidak mengenal
pembagian hak antara pria dan wanita
|
Agama Hindu hanya
dapat dipelajari oleh kaum pendeta/Brahmana dan disebarkan/ diajarkan pada
golongan tertentu sehingga sering disebut agamanya kaum brahmana.
|
Agama Budha dapat
dipelajari dan diterima oleh semua orang tanpa memandang kasta
|
Agama Hindu hanya
bisa dipelajari dengan menggunakan bahasa Sansekerta
|
Agama Budha
disebarkan pada rakyat dengan menggunakan bahasa rakyat sehari-hari, seperti
bahasa Prakrit
|
Kesempurnaan
(Nirwana) hanya dapat dicapai dengan bantuan/bimbingan pendeta
|
Setiap orang dapat
mencapai kesempurnaan dengan usaha sendiri yaitu dengan meditasi
|
Seorang terlahir
sebagai Hindu bukan menjadi Hindu sehingga kehidupan telah ditentukan sejak
lahir.
|
Kehidupannya
ditentukan oleh darma baik yang berhasil dilakukan semasa hidup
|
Mengenal adanya
kelahiran kembali setelah kematian (reinkarnasi)
|
Tidak menenal
reinkarnasi tetapi mengenal karma
|
Dibenarkan untuk
mengadakan upacara korban
|
Tidak
dibenarkan mengadakan upacara korban
|
VI.
Kebudayaan Jawa
pada Masa Hindu-Budha
Satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan
budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha).
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya
Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah
melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga
berpengaruh terhadap sistem agama.
Pengaruh Hinduisme menumbuhkan adanya dua lapisan tradisi budaya Jawa yakni
tradisi besar yang berkembang dilingkungan istana yang halus dan tradisi kecil
atau para petani yang buta huruf yang berpusat pada religi animisme dan
dinamisme. Tradisi besar yang berkembang dilingkungan istana kerajaan yang
bersifat kehinduan laksana bukit menjulang tinggi diatas budaya sebagai
lembah-lembahnya.
Pada dasarnya budayadi masa
Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa Hindu-Budha semenjak
datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara, tradisi
yang sebagian masih dapat dilihat keberadaannya sampai sekarang. Upacara
tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa.
Di masa Majapahit para agamawan
meaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang
kebanyakan merupakan tempat pemuja leluhur raja. Kraton merelakan hasil surplus
tidak kurang dari 27 bidang tanah milik otonom (sima swatantra), antara
lain di Kwak dekat Magelang, di Yogya dan Ponorogo yang dianugerahkan kepada
rohaniawan agama Siva dan Budha untuk memohonkan kesejahteraan. Itu belum tanah
lain yang dinamakan tanah bebas (dharma lepas).[9]
Untuk menjadi drwya hyang atau bwat
hyang (pajak untuk dewata). Bila disatu pihak para raja membebaskan tanah
milik komunitas para agamawan dari pajak, maka dipihak lain mereka
memungut pajak dan menuntut kerja rodi
dari semua warga desa lainnya yang
langsung berada di bawah kekuasaannya. Keluarga raja tidak mungkin hidup
tanpa adanya pajak kerajaan (drwya aji) dan tugas-tugas wajib untuk raja (gawai
aji) yang mestinya tidak dikenakan pada sima.
Masyarakat Jawa di masa Hindu
tampaknya berlapis tiga. Pertama, terdiri dari kaum agamawan Hindu-Budha
yang memiliki tanah bebas pajak. Kedua, keluarga raja yang berkuasa atas para raka
(penguasa) lokal dengan bantuan kaumagamawan, dan yang ketiga adalah
masyarakat desa biasa yang dipungut pajak oleh raja dengan perantaraan mangilala
drwya aji atau pemanen pajak. Dengan memperbanyak jumlah sima para raja
berkepentingan menjaring dukungan agamawan, sedangkan dari sudut kekayaan
material, mereka juga berkepentingan untuk mengembangkan budidaya padi.[10]
Ritual tua lainnya di Jawa maupun
Pasundan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomis adalah upacara wiwit (permulaan
musim tanam) yang diwujudkan pada pemujaan dewi padi, Dewi Sri. Sekalipun nama
Sri berasal dari India, mitos itu terdapat diseluruh Nusantara sampai di
pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh pengaruh India. Versinnya berbeda-beda,
tetapi cerita sederhananya : Sri telah dikurbankan, dan dari berbagai bagian
tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman budidaya yang utama, termasuk padi. Pemujaan
terhadap Dewi Sri dewasa ini masih terus dilangsungkan oleh para petanindi desa
untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Do’aditujukan kepada tokoh Sri yang
menjelma menjadi padi. Jika orang ingin menuai padi yang telah menguning,
sebelunya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang
sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang. Diharapkan nantinya
sepasang pengantin padi akan mendatangkan panen yang baik. Petani akan
mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan dengan hidmat sampai
masa penebaran benih tahun berikutnya.[11]
Kebudayaan lain yang berkembang dalam masyarakat jawa
pada masa itu adalah penampilan kerucut-kerucut nasi dalam upacara keagamaan
sebagai garebeg sudah terbukti ada sejak abad ke-9. Garebeg adalah
kelanjutan dari suatu ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk
memulihkan keterpaduan kerajaan pada kesempatan itu para wakil propinsi datang
menghaturkanupeti dan rakyat bergembira ria. Upacara ini hampir sama dengan
Sekaten di alun-alun menjaga keserasian antara kerajaannya dan kosmos.
Sementara itu, warga desa juga berusaha menapai tujuan yang sama pada tingkat
yang lebih sederhana.[12]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama
Hindu- Budha berasal dari India, yang kemudian menyebar ke Asia Timur dan
Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya
sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan
dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu
lintas perdagangan dunia. Para sejarawan mengatakan bahwa banyak pendapat atau
teori masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain: teori Brahmana, Ksatria,
Wasiya, Sudra, Campuran dan Arus Balik.
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat
ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap
unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja
berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini penulis
berharap dapat memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Jawa dengan baik.
Penulis berharap makalah ini bisa menjadi bacaan dan inspirasi yang baik
khususnya mahasiswa dan kalangan akademika. Penulis menyadari makalah ini
banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran penulis harapkan untuk
memperbaiki makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono,Harun.Konsepsi tentang
Manusia dalam Kebatinan Jawa.Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.1983.
Ismawati.Budaya dan kepercayaan Jawa Pra Islam (dalam Islam dan
Kebudayaan Jawa) Yogyakarta:Gama Media 2002.
Jamil,Abdul,dkk. Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta: Gama
Media.2000.
Jirhanuddin.Perbandingan Agama
Pengantar Studi Memahami Agama-Agama.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2010.
Lombard,Denys.Nusa Jawa: Silang
Budaya. Jilid III. Jakarta: PT.Gramedia.1996.
M.Arifin.Menguak Misteri Ajaran
Agama-Agama Besar. Lihat juga Abu Ahmadi. Perbandingan Agama.
Manaf,Abdul.Sejarah Agama-Agama.Cet
II.Jakarta:Grafindo Persada.1996.
Noor,Adjiddan. Hinduisme. Banjarmasin : FU.1985.
.http://belliacantika.blogspot.com/2014/09/contoh-makalah-sejarah-agama-hindu.html. Diakses pada 5 April 2015
http://sovasakina.blogspot.com/2012/06/sejarah-indonesia-zaman-hindu-budha.html. Diakses pada 5 April 2015
[1]
Adjiddan Noor, Hinduisme, Banjarmasin : FU, 1985, hlm.1
[2]
Abdul Manaf,Sejarah Agama-Agama, Cet II, Jakarta:Grafindo Persada,1996,
hlm.8
[3]
Jirhanuddin, Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2010, hlm.63-64.
[4].http://belliacantika.blogspot.com/2014/09/contoh-makalah-sejarah-agama-hindu.html. Diakses pada 5 April 2015
[5]
M.Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, hlm.94 Lihat juga
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hlm.133.
[6]
Adjiddan Noor, Agama Buddha, Banjarmasin:FU, 1984, hlm.2.
[7]
http://sovasakina.blogspot.com/2012/06/sejarah-indonesia-zaman-hindu-budha.html
[8]
Ismawati, Budaya dan kepercayaan Jawa Pra Islam (dalam Islam dan Kebudayaan
Jawa) Yogyakarta, Gama Media 2002, hlm.11-13
[9] Lihat Negarakertagama,
pupuh 73 dan 74 (Pigeaut, Java in Fourteenth Century, jilid III,
1960, hlm.86-87. Dan khususnya pupuh 73, 2-3 dan 4.
[10]
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid III, Jakarta:
PT.Gramedia, 1996, hlm.17.
[11]
Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa, Jakarta
: Penerbit Sinar Harapan, 1983, hlm.21.
[12]
Abdul Jamil,dkk. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,
2000, hlm.14-20.
0 komentar:
Post a Comment