Baca Online Twilight part 24
24. JALAN BUNTU
KETIKA terbangun aku melihat cahaya putih terang. Aku berada di ruang yang asing ruang putih. Dinding di
sebelahku tertutup tirai yang memanjang dari atas hingga bawah; di atas kepalaku, cahaya terang menyilaukan
pandangan. Aku dibaringkan di tempat tidur keras—dengan besi pengaman. Bantal-bantalnya kempis dan kasar. Ada bunyi bip yang mengganggu tak jauh dariku. Aku berharap itu artinya aku masih hidup. Kematian tak seharusnya tidak senyaman ini.
Tangan-tanganku dipenuhi slang infus, dan ada sesuatu direkatkan di wajahku, di bawah hidung. Kuangkat
tanganku untuk melepaskannya.
KETIKA terbangun aku melihat cahaya putih terang. Aku berada di ruang yang asing ruang putih. Dinding di
sebelahku tertutup tirai yang memanjang dari atas hingga bawah; di atas kepalaku, cahaya terang menyilaukan
pandangan. Aku dibaringkan di tempat tidur keras—dengan besi pengaman. Bantal-bantalnya kempis dan kasar. Ada bunyi bip yang mengganggu tak jauh dariku. Aku berharap itu artinya aku masih hidup. Kematian tak seharusnya tidak senyaman ini.
Tangan-tanganku dipenuhi slang infus, dan ada sesuatu direkatkan di wajahku, di bawah hidung. Kuangkat
tanganku untuk melepaskannya.
“Jangan, tidak boleh.” Jari-jari dingin menangkap tanganku.
“Edward?” Aku menoleh sedikit, dan wajahnya yang indah hanya beberapa senti dariku, ia meletakkan dagunya
di ujung bantal. Sekali lagi aku menyadari diriku masih hidup, kali ini dengan perasaan bersyukur dan bahagia.
“Oh, Edward, aku benar-benar menyesal!”
“Ssssttt.” Ia menyuruhku diam. “Sekarang semuanya baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi?” Aku tak bisa mengingat jelas, dan pikiranku memberontak saat mencoba mengingatnya.
“Aku nyaris terlambat. Aku bisa saja terlambat,” ia berbisik, suaranya terdengar menyesal.
“Aku bodoh sekali. Edward. Kupikir dia menyandera ibuku.”
“Dia mengelabui kita semua.”
“Aku harus menelepon Charlie dan ibuku,” samar-samar aku ingat untuk melakukannya.
“Alice sudah menelepon mereka. Renee ada di sini—well, di sini, di rumah sakit ini. Dia sedang mencari
makan.”
“Dia di sini?” Aku mencoba duduk, tapi kepalaku berputar makin menjadi, dan tangannya dengan lembut
menahanku di bantal.
“Sebentar lagi dia kembali,” Edward berjanji. “Dan kau belum boleh bergerak.”
“Tapi apa yang kaukatakan padanya?” tanyaku panik.
“Edward?” Aku menoleh sedikit, dan wajahnya yang indah hanya beberapa senti dariku, ia meletakkan dagunya
di ujung bantal. Sekali lagi aku menyadari diriku masih hidup, kali ini dengan perasaan bersyukur dan bahagia.
“Oh, Edward, aku benar-benar menyesal!”
“Ssssttt.” Ia menyuruhku diam. “Sekarang semuanya baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi?” Aku tak bisa mengingat jelas, dan pikiranku memberontak saat mencoba mengingatnya.
“Aku nyaris terlambat. Aku bisa saja terlambat,” ia berbisik, suaranya terdengar menyesal.
“Aku bodoh sekali. Edward. Kupikir dia menyandera ibuku.”
“Dia mengelabui kita semua.”
“Aku harus menelepon Charlie dan ibuku,” samar-samar aku ingat untuk melakukannya.
“Alice sudah menelepon mereka. Renee ada di sini—well, di sini, di rumah sakit ini. Dia sedang mencari
makan.”
“Dia di sini?” Aku mencoba duduk, tapi kepalaku berputar makin menjadi, dan tangannya dengan lembut
menahanku di bantal.
“Sebentar lagi dia kembali,” Edward berjanji. “Dan kau belum boleh bergerak.”
“Tapi apa yang kaukatakan padanya?” tanyaku panik.
Aku sama sekali tak ingin ditenangkan. Ibuku ada di sini dan aku sedang
dalam pemulihan setelah serangan vampir.
“Kenapa kau memberitahunya aku ada di sini?”
“Kau jatuh dari dua deret tangga lalu dari jendela.” Ia berhenti. “Harus kauakui, ini mungkin saja terjadi.”
Aku mendesah dan rasanya nyeri sekali. Aku memandangi tubuhku di balik selimut, kakiku bengkak.
“Seberapa buruk keadaanku?” aku bertanya.
“Kakimu patah, begitu juga empat rusukmu, beberapa bagian tengkorakmu retak, memar hampir di sekujur tubuh, dan kau kehilangan banyak darah. Mereka memberimutransfusi. Aku tidak menyukainya – sesaat aromamu jadi berbeda.”
“Itu pasti perubahan yang baik untukmu.”
“Tidak, aku menyukai aromamu yang asli.”
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku pelan. Ia langsung tahu maksudku.
“Aku tak yakin.” Ia memalingkan wajah dari tatapanku yang bertanya-tanya, mengangkat tanganku yang dibalut
perban dan menggenggamnya lembut dalam tangannya, berhati-hati agar tidak mengenai kabel yang terhubung
dengan salah satu monitor. Aku menunggu jawabannya dengan sabar. Ia mendesah tanpa membalas tatapanku. “Rasanya mustahil... untuk berhenti,” ia berbisik. “Mustahil. Tapi aku melakukannya.” Akhirnya ia memandangku, setengah tersenyum. “Aku harus mencintaimu.”
“Tidakkah rasaku seenak aromaku?” Aku balas tersenyum. Dan itu membuat wajahku terasa sakit.
“Lebih baik, bahkan—lebih baik daripada yang kubayangkan.”
“Maafkan aku,” ujarku menyesal. Ia menatap langit-langit. “Dari semua yang perlu
dimaafkan.”
“Apa lagi yang harus kumintai maaf?”
“Karena nyaris mengenyahkan dirimu selamanya dariku.”
“Maafkan aku,” aku meminta maaf lagi.
“Aku tahu kenapa kau melakukannya.” Suaranya menenangkan. “Tentu saja itu masih tidak masuk akal. Kau
seharusnya menungguku, seharusnya memberitahuku.”
“Kau takkan membiarkanku pergi.”
“Memang tidak.” Ia menimpali dengan geram. “Takkan kubiarkan.”
Beberapa ingatan yang sangat tak menyenangkan mulai menghantuiku. Aku merinding, kemudian meringis.
Edward langsung waswas.
“Ada apa, Bella?”
“Apa yang terjadi pada James?”
“Setelah aku menjauhkannya darimu, Emmett dan Jasper membereskannya.” Kata-katanya sarat dengan
penyesalan yang sangat dalam. Ini membingungkanku. “Aku tidak melihat Emmett dan Jasper di sana.”
“Mereka harus meninggalkan ruangan... darahmu berceceran di mana-mana.”
“Tapi kau tetap tinggal.”
“Ya, kau tetap tinggal.”
“Dan Alice dan Carlisle...?” aku bertanya-tanya.
“Mereka juga menyayangimu, kau tahu.”
Kelebatan ingatan menyakitkan dari saat terakhir aku melihat Alice, mengingatkanku akan sesuatu. “Apakah
Alice melihat rekamannya?” tanyaku waswas. “Ya.” Suaranya berubah kelam, samar-samar
menguarkan kebencian.
“Alice tak pernah mengerti, itu sebabnya dia tidak ingat.”
“Aku tahu. Dia memahaminya sekarang.” Suara Edward tenang tapi wajahnya kelam oleh amarah.
Aku mencoba meraih wajahnya dengan tanganku yang lain, tapi sesuatu menghentikanku. Aku memandang ke
bawah, melihat kantong transfusi menahan tanganku.
“Kenapa kau memberitahunya aku ada di sini?”
“Kau jatuh dari dua deret tangga lalu dari jendela.” Ia berhenti. “Harus kauakui, ini mungkin saja terjadi.”
Aku mendesah dan rasanya nyeri sekali. Aku memandangi tubuhku di balik selimut, kakiku bengkak.
“Seberapa buruk keadaanku?” aku bertanya.
“Kakimu patah, begitu juga empat rusukmu, beberapa bagian tengkorakmu retak, memar hampir di sekujur tubuh, dan kau kehilangan banyak darah. Mereka memberimutransfusi. Aku tidak menyukainya – sesaat aromamu jadi berbeda.”
“Itu pasti perubahan yang baik untukmu.”
“Tidak, aku menyukai aromamu yang asli.”
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku pelan. Ia langsung tahu maksudku.
“Aku tak yakin.” Ia memalingkan wajah dari tatapanku yang bertanya-tanya, mengangkat tanganku yang dibalut
perban dan menggenggamnya lembut dalam tangannya, berhati-hati agar tidak mengenai kabel yang terhubung
dengan salah satu monitor. Aku menunggu jawabannya dengan sabar. Ia mendesah tanpa membalas tatapanku. “Rasanya mustahil... untuk berhenti,” ia berbisik. “Mustahil. Tapi aku melakukannya.” Akhirnya ia memandangku, setengah tersenyum. “Aku harus mencintaimu.”
“Tidakkah rasaku seenak aromaku?” Aku balas tersenyum. Dan itu membuat wajahku terasa sakit.
“Lebih baik, bahkan—lebih baik daripada yang kubayangkan.”
“Maafkan aku,” ujarku menyesal. Ia menatap langit-langit. “Dari semua yang perlu
dimaafkan.”
“Apa lagi yang harus kumintai maaf?”
“Karena nyaris mengenyahkan dirimu selamanya dariku.”
“Maafkan aku,” aku meminta maaf lagi.
“Aku tahu kenapa kau melakukannya.” Suaranya menenangkan. “Tentu saja itu masih tidak masuk akal. Kau
seharusnya menungguku, seharusnya memberitahuku.”
“Kau takkan membiarkanku pergi.”
“Memang tidak.” Ia menimpali dengan geram. “Takkan kubiarkan.”
Beberapa ingatan yang sangat tak menyenangkan mulai menghantuiku. Aku merinding, kemudian meringis.
Edward langsung waswas.
“Ada apa, Bella?”
“Apa yang terjadi pada James?”
“Setelah aku menjauhkannya darimu, Emmett dan Jasper membereskannya.” Kata-katanya sarat dengan
penyesalan yang sangat dalam. Ini membingungkanku. “Aku tidak melihat Emmett dan Jasper di sana.”
“Mereka harus meninggalkan ruangan... darahmu berceceran di mana-mana.”
“Tapi kau tetap tinggal.”
“Ya, kau tetap tinggal.”
“Dan Alice dan Carlisle...?” aku bertanya-tanya.
“Mereka juga menyayangimu, kau tahu.”
Kelebatan ingatan menyakitkan dari saat terakhir aku melihat Alice, mengingatkanku akan sesuatu. “Apakah
Alice melihat rekamannya?” tanyaku waswas. “Ya.” Suaranya berubah kelam, samar-samar
menguarkan kebencian.
“Alice tak pernah mengerti, itu sebabnya dia tidak ingat.”
“Aku tahu. Dia memahaminya sekarang.” Suara Edward tenang tapi wajahnya kelam oleh amarah.
Aku mencoba meraih wajahnya dengan tanganku yang lain, tapi sesuatu menghentikanku. Aku memandang ke
bawah, melihat kantong transfusi menahan tanganku.
“Auw.” Aku meringis.
“Ada apa?” tanyanya waswas—perhatiannya teralihkan, tapi hanya sedikit. Kesedihan tak sepenuhnya memudar
dari matanya.
“Jarum,” aku menjelaskan, memalingkan pandang. Aku berkonsentrasi menatap langit-langit dan berusaha menarik napas panjang dalam-dalam dan mengabaikan nyeri di sekitar rusukku.
“Takut jarum,” ia bergumam pelan pada dirinya sendiri, sambil menggeleng. “Oh, vampir sadis yang berniat
menyiksanya sampai mati, tentu, tidak masalah, dia langsung lari menemuinya. Tapi jarum infus...”
Aku memutar bola mataku. Aku senang mengetahui setidaknya reaksi seperti ini tidak menyakitkan. Kuputuskan untuk mengubah topik.
“Kenapa kau ada di sini?” aku bertanya.
Ia menatapku, pertama bingung, kemudian kepedihan terpancar di matanya. Alisnya bertaut saat wajahnya
menekuk. “Kau ingin aku pergi?”
“Tidak!” protesku, ngeri membayangkannya. “Bukan, maksudku, kenapa ibuku pikir kau ada di sini? Aku harus
tahu apa yang harus kuceritakan saat dia kembali.”
“Oh,” kata Edward, dahinya kembali mulus bak pualam.
“Aku datang ke Phoenix untuk berbicara dari hati ke hati. Untuk meyakinkanmu agar kembali ke Forks.” Matanya yang lebar tampak jujur dan tulus, hingga aku sendiri nyaris memercayainya. “Kau setuju menemuiku, dan kau mengemudi ke hotel tempatku menginap bersama Carlisle dan Alice— tentu saja aku ke sini dengan ditemani orangtua,” ia menambahkannya lugu, “tapi kau terpeleset ketika sedang naik tangga menuju kamarku dan... well, kau tahu kelanjutannya. Tapi kau tak perlu mengingat detailnya; kau punya alasan bagus untuk tidak
mengingatnya dengan jelas.”
Aku memikirkannya beberapa saat. “Ada beberapa kekurangan dalam cerita itu. Tak ada jendela yang pecah,
misalnya.
“Tidak juga,” katanya. “Alice terlalu banyak bersenangsenang ketika menciptakan barang bukti. Semua telah
diatasi, kami membuatnya sangat meyakinkan—barangkali kau bisa menuntut hotelnya kalau mau. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun.” Ia berjanji, mengusap pipiku dengan sentuhan paling ringan. “Sekarang tugasmu hanya sembuh.”
Aku tidak terlaju tenggelam dalam rasa sakit atau pengaruh obat hingga tak bereaksi terhadap sentuhannya.
Suara bip di monitor langsung bergerak tak terkendali— sekarang bukan ia satu-satunya yang bisa mendengar irama jantungku yang mendadak liar.
“Ini bakal memalukan,” gumamku pada diri sendiri. Ia tertawa, dan tatapannya mengira-ngira. “Hmmm, aku
jadi penasaran...”
Ia mencondongkan tubuh perlahan; suara bip semakin cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Tapi
ketika akhirnya bibir kami bersentuhan, meskipun teramat lembut, bunyi bip itu mendadak berhenti.
Ia langsung tersentak, ekspresi waswasnya berubah lega saat monitor menunjukkan jantungku berdetak lagi.
“Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi denganmu daripada biasanya.” Dahinya berkerut.
“Aku belum selesai menciummu,” aku mengeluh.
“Jangan buat aku pergi menghampirimu.” Ia tersenyum, dan membungkuk untuk mencium lembut
bibirku. Monitor langsung bergerak kacau lagi. Tapi kemudian bibirnya menegang. Ia menarik diri.
“Kurasa aku mendengar ibumu,” katanya, tersenyum.
“Jangan tinggalkan aku,” aku berseru, rasa panik yang tak masuk akal merasukiku. Aku tak bisa membiarkannya pergi—ia mungkin akan menghilang dariku lagi. Sekejap ia melihat ketakutan di mataku. “Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji, sungguh-sungguh, kemudian tersenyum. “Aku akan tidur siang.”
Ia pindah dari kursi plastik keras di sampingku ke sofa recliner dari kulit sintetis warna turquoise di ujung tempat tidur, lalu berbaring dan memejamkan mata. Posisinya diam tak bergerak.
“Jangan lupa bernapas,” bisikku sinis. Ia menarik napas panjang, matanya masih terpejam.
Aku bisa mendengar ibuku sekarang. Ia sedang berbicara dengan seseorang barangkali perawat, dan ia terdengar lelah dan sedih. Ingin rasanya aku melompat dari tempat tidur dan berlari padanya, untuk menenangkannya, meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tapi keadaanku tak memungkinkan aku melompat, jadi aku menunggunya dengan tidak sabar.
Terdengar suara pintu berderit, dan ia mengintip dari sana.
“Mom!” aku berbisik, suaraku penuh sayang dan lega. Ia melihat Edward yang tertidur di sofa recliner dan berjingkat menghampiriku.
“Dia tak pernah pergi, ya kan?” gumamnya pada diri sendiri.
“Mom, aku senang sekali bertemu denganmu!” Ia membungkuk dan memelukku lembut, dan aku merasakan
air mata hangat menetes di pipiku.
“Bella, aku sedih sekali!”
“Maafkan aku, Mom. Tapi sekarang semua baik-baik saja, tidak apa-apa,” aku mencoba menenangkannya.
“Aku senang akhirnya kau tersadar.” Ia duduk di tepi tempat tidur.
Aku tiba-tiba menyadari aku tak tahu ini hari apa.
“Berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“Sekarang hari Jumat. Sayang, kau tak sadar cukup lama.”
“Jumat?” Aku terkejut. Aku mencoba mengingat hari ketika... tapi aku tak ingin memikirkannya.
“Mereka harus terus memberimu obat penenang untuk sementara waktu, Sayang—luka-lukamu parah sekali.”
“Aku tahu.” Aku bisa merasakannya.
“Kau beruntung dr. Cullen ada di sana. Dia baik, meskipun masih sangat muda. Dan dia lebih mirip model
daripada dokter...”
“Kau bertemu Carlisle?”
“Dan adik Edward, Alice. Dia gadis menyenangkan.”
“Memang,” aku menimpali sepenuh hati.
Ia menoleh ke arah Edward, yang berbaring di kursi dengan mata terpejam. “Kau tidak bilang punya temanteman yang baik di Forks.” Aku tersenyum, kemudian mengerang.
“Apa yang sakit?” Mom bertanya waswas, kembali menghadapku. Mata Edward berkilat menatapku.
“Tidak apa-apa,” aku meyakinkan mereka. “Aku hanya perlu mengingat untuk tidak bergerak.” Edward kembali
pura-pura tidur. Aku mengambil kesempatan untuk mengalihkan topik.
“Di mana Phil?” tanyaku cepat.
“Di Florida—oh, Bella! Kau takkan menyangka! Tepat sebelum berangkat, kami mendapat berita terbaik!”
“Phil mendapatkan kontrak?” aku menebaknya.
“Ya! Bagaimana kau tahu? The Suns, kau percaya?”
“Itu hebat, Mom,” kataku, berusaha terdengar bersemangat, meskipun aku tidak begitu mengerti apa
artinya itu.
“Dan kau akan sangat menyukai Jacksonville,” Mom sibuk meracau sementara aku hanya terpaku menatapnya.
“Aku sedikit khawatir saat Phil mulai membicarakan Akron, salju dan semuanya, karena kau tahu betapa aku
sangat membenci dingin, tapi sekarang Jacksonville! Matahari selalu bersinar, dan kelembabannya tak seburuk
itu. Kami menemukan rumah yang paling menggemaskan, warna kuning dengan bingkai putih, dan teras persis seperti di film-film tua, dan pohon ek raksasa, dan jaraknya hanya beberapa menit dari laut, dan kau akan memiliki kamar mandimu sendiri—“
“Mom, tunggu sebentar!” selaku. Mata Edward masih terpejam, tapi ia kelihatan terlalu tegang untuk bisa dibilang tidur. “Apa yang kaubicarakan? Aku takkan pergi ke Florida. Aku tinggal di Forks.”
“Tapi kau tak perlu lagi, dasar bodoh,” ia tertawa. “Phil bisa tinggal bersama kita lebih sering lagi sekarang... kami sudah sering membicarakannya, dan kalau dia harus melakukan perjalanan jauh, aku akan tinggal separuh waktu denganmu dan separuh lagi dengannya.”
“Mom.” Aku meragu, bertanya-tanya bagaimana bersikap diplomatis tentang hal ini. “Aku ingin tinggal di
Forks. Aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik di sekolah, dan aku punya beberapa teman cewek”—ia melirik ke arah Edward lagi saat aku mengingatkannya aku punya teman, jadi aku mencoba alasan lain—“dan Charlie membutuhkanku. Dia sebatang kara di sana, dan dia sama sekali tak bisa memasak.”
“Kau mau tinggal di Forks?” tanyanya, heran. Ide ini tak terbayangkan olehnya. Lalu matanya kembali melirik
Edward. “Kenapa?”
“Sudah kubilang–sekolah, Charlie–aduh!” Aku mengangkat bahu. Bukan ide bagus.
Tangannya bergerak ke sana kemari, mencoba menemukan bagian rubuhku yang bisa ditepuk-tepuk. Ia
menaruh tangannya di dahiku, karena bagian itu tidak diperban.
“Bella, Sayang, kau tidak menyukai Forks,” ia mengingatkanku.
“Tidak terlalu buruk, Mom.” Ia merengut, lalu memandangku dan Edward bergantian, kali ini benar-benar disengaja.
“Apakah karena anak laki-laki ini?” bisiknya.
Aku hendak berbohong tapi mata Mom mengamati wajahku, dan aku tahu ia bisa melihat jawabannya di sana.
“Dia salah satu alasannya,” aku mengakui. Tak perlu kuakui, dialah alasan terbesarku. “Apakah kau sempat
berbicara dengan Edward?” tanyaku.
“Ya.” Ia bimbang memandangi Edward yang diam tak bergerak. “Dan aku ingin bicara denganmu rentang hal ini.”
O-ow. “Tentang apa?” tanyaku.
“Kurasa anak laki-laki itu jatuh cinta padamu,” tuduhnya, berusaha menjaga suaranya tetap pelan.
“Aku juga berpikir begitu,” ujarku.
“Dan bagaimana perasaanmu padanya?” Ia tak bisa menutupi rasa penasaran dalam suaranya. Aku mendesah, memalingkan wajah. Meskipun aku sangat menyayangi ibuku, ini bukan sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya. “Aku cukup tergila-gila padanya.”
Nah—itu kedengarannya seperti sesuatu yang mungkin dikatakan seorang remaja cewek centang cowok
pertamanya.
“Well, dia kelihatan sangat baik, dan, ya Tuhanku, dia luar biasa tampan, tapi kau masih sangat muda. Bella...”
Suaranya terdengar ragu-ragu; sejauh yang bisa kuingat, inilah pertama kalinya sejak aku berusia delapan tahun ia nyaris menunjukkan otoritasnya sebagai orangtua. Aku mengenali nada masuk-akal-namun-tegas dari percakapan yang pernah kualami dengannya ketika membahas cowok.
“Aku tahu itu, Mom. Jangan khawatir. Aku Cuma naksir,” aku menenangkannya.
“Benar,” ia menimpali, langsung senang. Kemudian ia mendesah, dan dengan perasaan bersalah melirik jam bundar besar di dinding.
“Kau harus pergi?”
Ia menggigit bibir. “Phil seharusnya menelepon sebentar lagi... Aku tak tahu kau akan segera sadar...”
“Tidak apa-apa, Mom.” Aku berusaha menyembunyikan rasa legaku supaya perasaannya tidak terluka. “Aku tidak akan sendirian.”
“Aku akan segera kembali. Aku tidur di sini, kau tahu,” ujarnya, bangga pada dirinya sendiri.
“Oh, Mom, kau tak perlu melakukannya! Kau bisa tidur di rumah—aku takkan menyadarinya.” Pengaruh obat
penghilang sakit di otakku membuatku sulit berkonsentrasi sekarang, meski nyatanya aku telah tidur berhari-hari.
“Aku terlalu tegang,” ia mengakui malu-malu. “Telah terjadi tindak kejahatan di kompleks kita, dan aku tidak
suka berada di sana sendirian.”
“Kejahatan?” tanyaku kaget.
Seseorang menerobos ke studio tari di pojokan dekat rumah dan membakarnya hingga rata dengan tanah—sama
sekali tak bersisa! Dan mereka meninggalkan mobil curian tepat di halaman depan. Kau ingat dulu kau menari di sana, Sayang?”
“Aku ingat.” Aku bergidik dan meringis ngeri.
“Aku bisa tinggal. Sayang kalau kau membutuhkanku.”
“Tidak, Mom. Aku akan baik-baik saja. Edward akan menemaniku.”
Ekspresinya menunjukkan bahwa sepertinya itulah alasannya ingin tinggal. “Aku akan kembali malam ini.”
Kedengarannya itu seperti peringatan sekaligus janji, dan ia kembali menatap Edward saat mengucapkannya.
“Aku sayang kau, Mom.”
“Aku juga sayang kau. Bella. Cobalah untuk lebih berhari-hari ketika berjalan. Sayang, aku tak ingin
kehilangan dirimu.” Mata Edward tetap terpejam, tapi senyum lebar mengembang di wajahnya.
Perawat masuk untuk memeriksa semua infusku dan kabel-kabel yang menempel di rubuhku. Mom mengecup
dahiku, menepuk-nepuk tanganku yang diperban, kemudian pergi.
Perawat memeriksa catatan di monitor jantungku.
“Kau tegang Sayang? Irama jantungmu sedikit lebih tinggi di bagian ini.”
“Aku baik-baik saja,” aku meyakinkannya.
“Akan kuberitahu dokter bahwa kau sudah sadar. Dia akan ke sini sebentar lagi.”
Begitu perawat menutup pinru, Edward langsung berada di sisiku.
“Kau mencuri mobil?” Alisku terangkat.
Ia tersenyum, sama sekali tak menyesal. “Mobil bagus, lajunya sangat cepat.”
“Bagaimana tidur siangmu?” tanyaku.
“Menarik.” Matanya menyipit.
“Apa?”
Ia menunduk ketika menjawab, “Aku terkejut. Kupikir Florida... dan ibumu... Well, kupikir itulah yang
kauinginkan.” Aku menatapnya tak mengerti. “Tapi kau harus berada di dalam ruangan seharian bila berada di Florida. Kau hanya bisa keluar pada malam hari, seperti vampir sejati.” Ia nyaris tersenyum, tapi tidak juga. Lalu wajahnya serius. “Aku akan tinggal di Forks, Bella. Atau di mana pun yang keadaannya seperti di sana,” ia menjelaskan. “Di tempat aku tak bisa melukaimu lagi.”
Awalnya aku tak langsung memahaminya. Aku terus menatapnya hampa saat kata-katanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle mengerikan. Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang semakin memburu, meskipun, saat napasku semakin liar, aku merasakan nyeri di dadaku.
Ia tidak mengatakan apa-apa; ia memerhatikan wajahku dengan saksama ketika rasa sakit yang tak ada
hubungannya dengan tulang-tulang yang patah, rasa sakit yang jauh lebih parah, mengancam menghancurkanku.
Kemudian perawat lain melangkah pasti memasuki ruangan. Edward duduk tak bergerak saat perawat mengamati ekspresiku dengan pandangan terlatih, sebelum beralih ke monitor.
“Waktunya untuk obat penghilang sakit. Sayang?” tanyanya ramah, sambil menepuk-nepuk kantong infus.
“Tidak, tidak,” gumamku, berusaha menghilangkan kepedihan dari suaraku. “Aku tidak membutuhkan apaapa.”
Aku tak bisa memejamkan mata sekarang.
“Tak perlu berpura-pura berani. Sayang. Sebaiknya kautidak terlalu tegang; kau perlu beristirahat.” Ia menunggu, tapi aku hanya menggeleng.
“Baiklah,” ia mendesah. “Tekan saja tombol bantuan kalau kau sudah siap.”
Ia memandang Edward serius, dan sekali lagi melirik, waswas mesin-mesin itu, lalu pergi.
“Sssstt, Bella, tenanglah.”
“Jangan tinggalkan aku.” Aku memohon, suaraku parau
“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji. “Sekarang tenanglah sebelum aku memanggil perawat untuk
memberimu obat penenang.” Tapi jantungku tak mau tenang.
“Bella.” Ia membelai wajahku hati-hati. “Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada di sini selama kau
membutuhkanku.”
“Kau bersumpah takkan meninggalkanku?” bisikku.
Setidaknya aku mencoba mengendalikan napasku yang tersengal-sengal. Rusukku nyeri.
Ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya lebar dan
serius. “Aku bersumpah.”
Aroma napasnya menenangkan. Sepertinya meringankan rasa nyeri yang muncul ketika aku bernapas. Ia terus
menatapku sementara tubuhku pelan-pelan rileks dan suara bip mesin kembali normal. Matanya berwarna gelap, lebih mendekati hitam daripada keemasan.
“Lebih baik?” tanyanya.
“Ya,” sahutku hati-hati.
Ia menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti. Kurasa aku memilih kata “overreaction –
bereaksi berlebihan.”
“Mengapa kau bilang begitu?” aku berbisik, menjaga suaraku agar tidak gemetaran. “Apakah kau lelah
menyelamatkanku setiap saat? Kau ingin aku pergi?”
“Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Bella, tentu saja tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang saja
menyelamatkanmu—jika saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru menempatkanmu dalam bahaya...
bahwa akulah alasan kau berada di sini.”
“Ya, kaulah penyebabnya.” Aku merengut. “Alasan aku berada di sini—hidup-hidup.”
“Nyaris,” ia berbisik. “Dibalut perban dan plester dan nyaris tak bisa bergerak.”
“Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja kualami ini,” kataku, mulai jengkel. “Aku sedang
memikirkan yang lain—kau boleh pilih. Kalau bukan karena kau, aku sudah membusuk di pemakaman Forks.”
Ia meringis mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.
“Meski begitu, itu bukan yang terburuk,” ia melanjutkan berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan apa-apa.
“Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terbaring di lantai... meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat.
“Yang terburuk bukanlah berpikir bahwa aku terlambat. Bahkan bukan mendengarmu menjerit kesakitan—semua ingatan mengerikan itu akan kubawa bersamaku sepanjang masa. Bukan, yang paling parah adalah merasa... mengetahui bahwa aku tak bisa berhenti. Percaya aku sendirilah yang akan membunuhmu.”
“Tapi kau tidak membunuhku.”
“Aku bisa saja. Semudah itu.”
Aku tahu aku harus tetap tenang... tapi ia mencoba membujuk dirinya sendiri untuk meninggalkanku, dan rasa
panik mencekat paru-paruku, mencoba melepaskan diri. “Berjanjilah padaku.” Aku berbisik.
“Apa?”
“Kau tahu maksudku.” Aku mulai marah sekarang. Ia benar-benar bersikeras untuk terus berpikir negatif.
Ia mendengar perubahan pada nada suaraku.Tatapannya tajam. “Sepertinya aku tak cukup kuat untuk
berada jauh darimu, Jadi kurasa kau akan menemukan caranya... entah itu akan membunuhmu atau tidak.” Ia
menambahkan dengan kasar.
“Bagus.” Meski begitu ia tidak berjanji—fakta itu tak terlewatkan olehku. Kepanikanku nyaris tak terbendung;
tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk mengendalikan amarahku. “Kau memberitahuku
bagaimana kau berhenti... sekarang aku mau tahu kenapa,” desakku.
“Kenapa?” ulangnya hati-hati.
“Kenapa kau melakukannya. Kenapa kau tak membiarkan racunnya menyebar? Saat ini aku akan sama
seperti dirimu.”
Mata Edward sepertinya berubah hitam, dingin, dan aku ingat, ia tak ingin aku mengetahui hal seperti ini. Alice pasti terlalu disibukkan oleh hal-hal tentang dirinya yang baru diketahuinya... atau ia sangat berhati-hati dengan
pikirannya ketika berada di sekitar Edward—jelas Edward tidak tahu Alice telah memberitahuku tentang penciptaan vampir. Ia terkejut, marah. Lubang hidungnya kembangkempis, mulutnya seolah dipahat dan batu.
Ia tidak akan menjawab, itu sangat jelas.
“Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi
kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu sama lain.”
Ia melipat tangan dan meletakkannya di sisi tempat tidurku, lalu meletakkan dagunya di sana. Raut wajahnya
lembut, kemarahannya mereda. Sepertinya ia telah memutuskan ia tidak marah padaku. Kuharap aku punya
kesempatan untuk mengingatkan Alice sebelum Edward menemuinya.
“Kau telah menyelamatkanku,” katanya pelan.
“Aku tidak bisa selalu menjadi Lois Lane,” aku berkeras.
“Aku juga ingin jadi Superman.”
“Kau tidak tahu apa yang kauminta.” Suaranya lembut; ia menatap lekat-lekat ujung sarung bantal.
“Kurasa aku tahu.”
“Bella, kau tidak tahu. Aku telah melewati hampir sembilan puluh tahun memikirkan hal ini, dan aku masih
tidak yakin.”
“Apa kau berharap Carlisle tidak menyelamatkanmu?”
“Tidak, aku tidak berharap begitu.” Ia berhenti sebelum melanjutkan, “Tapi hidupku sudah berakhir. Aku tidak
menyerahkan apa pun.”
“Kaulah hidupku. Hanya kehilangan dirimu yang bisa menyakitiku.” Aku semakin baik dalam hal ini. Mudah
rasanya mengakui betapa aku membutuhkannya. Meski begitu ia sangat tenang. Yakin.
“Aku tak bisa melakukannya. Bella. Aku takkan melakukannya padamu.”
“Kenapa tidak?” Tenggorokanku tercekat dan mapanku tak selantang yang kuinginkan. “Jangan bilang padaku itu terlalu sulit untukmu! Setelah hari ini, atau kurasa beberapa hari yang lalu... setelah itu. Seharusnya bukan apa-apa.” Ia menatap geram padaku.
“Dan rasa sakitnya?” tanyanya.
Wajahku memucat. Aku tak bisa menahannya. Tapi aku berusaha menjaga ekspresiku hingga tidak kelihatan betapa jelas aku mengingat rasanya... api dalam nadiku.
“Itu masalahku.” Karaku. “Aku bisa mengatasinya.”
“Sangat mungkin untuk bersikap berani hingga pada titik keberanian itu berubah jadi kegilaan.”
“Bukan masalah. Tiga hari. Sama sekali, bukan masalah.”
Edward meringis lagi saat kata-kataku mengingatkannya bahwa aku tahu lebih banyak daripada yang mungkin
diharapkannya. Aku melihatnya berusaha menekan amarah, memerhatikan saat matanya mulai bertanya-tanya.
“Charlie?” tanyanya tiba-tiba. “Renee?”
Waktu berlalu dalam keheningan saat aku berusaha menjawab. Aku membuka mulut, tapi tak ada suara yang
keluar. Aku menutupnya lagi. Ia menunggu, kemudian ekspresinya berganti jadi kemenangan karena tahu aku
tidak mengetahui jawabannya.
“Begini saja, itu juga bukan masalah,” gumamku akhirnya; suaraku terdengar sama tidak meyakinkannya
seperti setiap kali aku berbohong. “Renee selalu membuat keputusan yang menurut dia benar—dia ingin aku
melakukan yang sama. Dan Charlie lebih fleksibel, dia terbiasa hidup sendirian. Aku tak bisa menjaga mereka
selamanya. Aku punya kehidupan sendiri yang harus kujalani.”
“Tepat sekali,” tukasnya. “Dan aku tak ingin mengakhirinya.”
“Kalau kau menungguku hingga sekarat, ada kabar baik untukmu! Aku baru saja mengalaminya!”
“Kau akan sembuh,” ia mengingatkanku.
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri, mengabaikan nyeri yang muncul karenanya. Aku
menatapnya, dan ia balas menatap. Wajahnya tidak menunjukkan kompromi.
“Tidak,” kataku pelan. “Aku takkan sembuh.”
Kerutan di dahinya semakin dalam. “Tentu saja kau akan sembuh. Paling-paling akan meninggalkan satu atau
dua bekas luka...”
“Kau keliru,” aku berkeras. “Aku bakal mati.”
“Sungguh, Bella.” Sekarang ia cemas. “Kau akan keluar dari sini beberapa hari lagi. Paling lama dua minggu.”
Aku menatapnya geram. “Aku mungkin takkan mati sekarang— tapi suatu saat. Setiap menit dalam hidupku aku
semakin dekat ke kematian. Dan aku akan menjadi tua.”
Wajahnya merengut saat ia memahami arti ucapanku. Ia menempelkan jemarinya yang panjang ke dahinya, matanya terpejam. “Itulah yang mestinya terjadi. Yang seharusnya terjadi. Yang akan terjadi seandainya aku tidak ada—dan aku seharusnya tidak ada.” Aku mendengus. Ia membuka mata, terkejut. “Itu bodoh. Itu seperti mendatangi orang yang baru menang lotere, mengambil uangnya, dan berkata, ‘Begini, kita kembali saja ke bagaimana segalanya seharusnya terjadi. Lebih baik begitu.’ Dan aku tidak memercayainya.”
“Aku bukan hadiah lotere,” geramnya.
“Benar. Kau jauh lebih baik.” Ia memutar bola matanya dan merapatkan bibirnya.
“Bella, kita tidak akan membahasnya lagi. Aku menolak mengutukmu mengalami malam tak berujung, dan inilah keputusanku.”
“Kalau kaupikir ini akhirnya, berarti kau tidak mengenalku,” aku mengingatkannya. “Kau bukan satusatunya
vampir yang kukenal.”
Matanya kembali kelam. “Alice takkan berani.” Dan untuk beberapa saat ia tampak sangat mengerikan
hingga aku tak dapat mencegah untuk memercayainya—aku tak dapat membayangkan ada orang yang cukup berani untuk membuatnya marah.
“Alice sudah melihatnya kan?” Aku mencoba menebak.
“Itu sebabnya hal-hal yang dikatakannya membuatmu marah. Dia tahu aku akan jadi seperti dirimu... suatu hari
nanti.”
“Dia keliru. Dia juga melihatmu mari. Tapi itu juga tidak terjadi.”
“Kau takkan mendapatkanku bertaruh melawan Alice.” Lama sekali kami bertatapan. Suasana hening kecuali
bunyi deru mesin bunyi bip, tetesan. Dan detak jam besar di dinding. Akhirnya ekspresinya melembut.
“Jadi bagaimana kesimpulannya?” aku bertanya-tanya.
Ia tertawa dingin. “Aku yakin itu namanya jalan buntu.” Aku mendesah. “Auw,” gumamku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya, sambil melirik tombol untuk memanggil perawat.
“Aku baik-baik saja.” Aku berbohong.
“Aku tidak percaya,” katanya lembut.
“Aku tidak mau tidur lagi.”
“Kau harus beristirahat Semua perdebatan ini tidak baik untukmu.”
“Jadi menyerahlah” aku menyarankan.
“Usaha bagus.” Ia menggapai tombol.
“Jangan!” Ia mengabaikanku
“Ya?” terdengar suara dan speaker di dinding.
“Kurasa Bella sudah siap untuk obat penghilang sakitnya,” katanya tenang tak memedulikan kekesalan yang
terpancar di wajahku.
“Aku akan menyuruh perawat ke sana” Suara itu terdengar bosan.
“Aku takkan meminumnya,” aku berjanji. Ia memandang kantong cairan di samping tempat tidurku. “Kurasa mereka takkan menyuruhmu meminum apa-apa.”
Detak jantungku mulai memburu. Ia melihat ketakutan di mataku, dan mendesah putus asa.
“Bella, kau sakit. Kau perlu tenang supaya bisa sembuh. Kau benar-benar keras kepala. Saat ini mereka tidak akan memasang jarum lagi di tubuhmu.”
“Aku tidak takut jarum,” gumamku. “Aku takut memejamkan mata.”
Kemudian ia tersenyum simpul, dan memegang wajahku dengan kedua tangannya. “Sudah kubilang, aku takkan
pergi ke mana-mana. Jangan khawatir. Selama kau senang karenanya, aku akan di sini.” Aku balas tersenyum, mengabaikan rasa sakit di pipiku.
“Itu berarti selamanya, tahu.”
“Oh, kau akan melupakannya—kau Cuma naksir aku.” Aku menggeleng tak percaya—itu membuatku pusing.
“Aku terkejut waktu Renee memercayai ucapanku itu. Aku tahu kau tahu lebih baik darinya.”
“Itulah hal terindah menjadi manusia.” Ia memberitahuku. “Segala sesuatu berubah.”
Mataku menyipit. “Jangan kelewat berharap.” Ia tertawa ketika perawat masuk sambil mengacungkan
suntikan.
“Permisi.” Katanya pada Edward
Edward bangkit dan pergi ke ujung ruangan, bersandar di dinding. Ia bersedekap dan menunggu. Aku terus
menatapnya, masih waswas. Ia menatapku tenang.
“Nah, ini obatnya, Sayang.” Perawat tersenyum saat menyuntikkan obat ke tabung infusku. “Kau akan merasa
lebih baik sekarang.”
“Terima kasih,” gumamku datar. Hanya sebentar. Aku langsung merasakan kantuk menetes-netes dalam aliran
darahku.
“Kurasa sudah bereaksi,” gumamnya, saat kelopak mataku mulai memejam.
Perawat pasti telah meninggalkan ruangan, karena sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh wajahku.
“Tinggallah.” Kata itu nyaris tak terdengar.
“Aku akan ada di sini,” ia berjanji. Suaranya indah, bagai nina bobo. “Seperti kataku, selama ini membuatmu
bahagia... selama ini adalah yang terbaik untukmu.” Aku mencoba menggerak-gerakkan kepala, tapi terlalu
berat. ‘”Tu tidak sama,” gumamku.
Ia tertawa. “Sudah, jangan khawatirkan itu, Bella. Kau bisa berdebat denganku saat kau bangun nanti.”
Kurasa aku tersenyum mendengarnya. ‘”Ke.” Aku bisa merasakan bibirnya di telingaku.
“Aku mencintaimu,” bisiknya.
“Aku juga.”
“Aku tahu,” ia tertawa pelan.
Aku menoleh sedikit... mencari. Ia tahu apa yang kucari. Bibirnya menyentuh lembut bibirku.
“Terima kasih,” desahku.
“Sama-sama.”
Aku sudah nyaris tak sadarkan diri. Tapi akumelawannya dengan sisa-sisa tenagaku. Tinggal satu lagi
yang ingin kukatakan padanya. “Edward?” aku berusaha mengucapkan namanya dengan
jelas.
“Ya?”
“Aku bertaruh memegang Alice,” gumamku. Kemudian aku pun tertidur.
“Ada apa?” tanyanya waswas—perhatiannya teralihkan, tapi hanya sedikit. Kesedihan tak sepenuhnya memudar
dari matanya.
“Jarum,” aku menjelaskan, memalingkan pandang. Aku berkonsentrasi menatap langit-langit dan berusaha menarik napas panjang dalam-dalam dan mengabaikan nyeri di sekitar rusukku.
“Takut jarum,” ia bergumam pelan pada dirinya sendiri, sambil menggeleng. “Oh, vampir sadis yang berniat
menyiksanya sampai mati, tentu, tidak masalah, dia langsung lari menemuinya. Tapi jarum infus...”
Aku memutar bola mataku. Aku senang mengetahui setidaknya reaksi seperti ini tidak menyakitkan. Kuputuskan untuk mengubah topik.
“Kenapa kau ada di sini?” aku bertanya.
Ia menatapku, pertama bingung, kemudian kepedihan terpancar di matanya. Alisnya bertaut saat wajahnya
menekuk. “Kau ingin aku pergi?”
“Tidak!” protesku, ngeri membayangkannya. “Bukan, maksudku, kenapa ibuku pikir kau ada di sini? Aku harus
tahu apa yang harus kuceritakan saat dia kembali.”
“Oh,” kata Edward, dahinya kembali mulus bak pualam.
“Aku datang ke Phoenix untuk berbicara dari hati ke hati. Untuk meyakinkanmu agar kembali ke Forks.” Matanya yang lebar tampak jujur dan tulus, hingga aku sendiri nyaris memercayainya. “Kau setuju menemuiku, dan kau mengemudi ke hotel tempatku menginap bersama Carlisle dan Alice— tentu saja aku ke sini dengan ditemani orangtua,” ia menambahkannya lugu, “tapi kau terpeleset ketika sedang naik tangga menuju kamarku dan... well, kau tahu kelanjutannya. Tapi kau tak perlu mengingat detailnya; kau punya alasan bagus untuk tidak
mengingatnya dengan jelas.”
Aku memikirkannya beberapa saat. “Ada beberapa kekurangan dalam cerita itu. Tak ada jendela yang pecah,
misalnya.
“Tidak juga,” katanya. “Alice terlalu banyak bersenangsenang ketika menciptakan barang bukti. Semua telah
diatasi, kami membuatnya sangat meyakinkan—barangkali kau bisa menuntut hotelnya kalau mau. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun.” Ia berjanji, mengusap pipiku dengan sentuhan paling ringan. “Sekarang tugasmu hanya sembuh.”
Aku tidak terlaju tenggelam dalam rasa sakit atau pengaruh obat hingga tak bereaksi terhadap sentuhannya.
Suara bip di monitor langsung bergerak tak terkendali— sekarang bukan ia satu-satunya yang bisa mendengar irama jantungku yang mendadak liar.
“Ini bakal memalukan,” gumamku pada diri sendiri. Ia tertawa, dan tatapannya mengira-ngira. “Hmmm, aku
jadi penasaran...”
Ia mencondongkan tubuh perlahan; suara bip semakin cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Tapi
ketika akhirnya bibir kami bersentuhan, meskipun teramat lembut, bunyi bip itu mendadak berhenti.
Ia langsung tersentak, ekspresi waswasnya berubah lega saat monitor menunjukkan jantungku berdetak lagi.
“Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi denganmu daripada biasanya.” Dahinya berkerut.
“Aku belum selesai menciummu,” aku mengeluh.
“Jangan buat aku pergi menghampirimu.” Ia tersenyum, dan membungkuk untuk mencium lembut
bibirku. Monitor langsung bergerak kacau lagi. Tapi kemudian bibirnya menegang. Ia menarik diri.
“Kurasa aku mendengar ibumu,” katanya, tersenyum.
“Jangan tinggalkan aku,” aku berseru, rasa panik yang tak masuk akal merasukiku. Aku tak bisa membiarkannya pergi—ia mungkin akan menghilang dariku lagi. Sekejap ia melihat ketakutan di mataku. “Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji, sungguh-sungguh, kemudian tersenyum. “Aku akan tidur siang.”
Ia pindah dari kursi plastik keras di sampingku ke sofa recliner dari kulit sintetis warna turquoise di ujung tempat tidur, lalu berbaring dan memejamkan mata. Posisinya diam tak bergerak.
“Jangan lupa bernapas,” bisikku sinis. Ia menarik napas panjang, matanya masih terpejam.
Aku bisa mendengar ibuku sekarang. Ia sedang berbicara dengan seseorang barangkali perawat, dan ia terdengar lelah dan sedih. Ingin rasanya aku melompat dari tempat tidur dan berlari padanya, untuk menenangkannya, meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tapi keadaanku tak memungkinkan aku melompat, jadi aku menunggunya dengan tidak sabar.
Terdengar suara pintu berderit, dan ia mengintip dari sana.
“Mom!” aku berbisik, suaraku penuh sayang dan lega. Ia melihat Edward yang tertidur di sofa recliner dan berjingkat menghampiriku.
“Dia tak pernah pergi, ya kan?” gumamnya pada diri sendiri.
“Mom, aku senang sekali bertemu denganmu!” Ia membungkuk dan memelukku lembut, dan aku merasakan
air mata hangat menetes di pipiku.
“Bella, aku sedih sekali!”
“Maafkan aku, Mom. Tapi sekarang semua baik-baik saja, tidak apa-apa,” aku mencoba menenangkannya.
“Aku senang akhirnya kau tersadar.” Ia duduk di tepi tempat tidur.
Aku tiba-tiba menyadari aku tak tahu ini hari apa.
“Berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“Sekarang hari Jumat. Sayang, kau tak sadar cukup lama.”
“Jumat?” Aku terkejut. Aku mencoba mengingat hari ketika... tapi aku tak ingin memikirkannya.
“Mereka harus terus memberimu obat penenang untuk sementara waktu, Sayang—luka-lukamu parah sekali.”
“Aku tahu.” Aku bisa merasakannya.
“Kau beruntung dr. Cullen ada di sana. Dia baik, meskipun masih sangat muda. Dan dia lebih mirip model
daripada dokter...”
“Kau bertemu Carlisle?”
“Dan adik Edward, Alice. Dia gadis menyenangkan.”
“Memang,” aku menimpali sepenuh hati.
Ia menoleh ke arah Edward, yang berbaring di kursi dengan mata terpejam. “Kau tidak bilang punya temanteman yang baik di Forks.” Aku tersenyum, kemudian mengerang.
“Apa yang sakit?” Mom bertanya waswas, kembali menghadapku. Mata Edward berkilat menatapku.
“Tidak apa-apa,” aku meyakinkan mereka. “Aku hanya perlu mengingat untuk tidak bergerak.” Edward kembali
pura-pura tidur. Aku mengambil kesempatan untuk mengalihkan topik.
“Di mana Phil?” tanyaku cepat.
“Di Florida—oh, Bella! Kau takkan menyangka! Tepat sebelum berangkat, kami mendapat berita terbaik!”
“Phil mendapatkan kontrak?” aku menebaknya.
“Ya! Bagaimana kau tahu? The Suns, kau percaya?”
“Itu hebat, Mom,” kataku, berusaha terdengar bersemangat, meskipun aku tidak begitu mengerti apa
artinya itu.
“Dan kau akan sangat menyukai Jacksonville,” Mom sibuk meracau sementara aku hanya terpaku menatapnya.
“Aku sedikit khawatir saat Phil mulai membicarakan Akron, salju dan semuanya, karena kau tahu betapa aku
sangat membenci dingin, tapi sekarang Jacksonville! Matahari selalu bersinar, dan kelembabannya tak seburuk
itu. Kami menemukan rumah yang paling menggemaskan, warna kuning dengan bingkai putih, dan teras persis seperti di film-film tua, dan pohon ek raksasa, dan jaraknya hanya beberapa menit dari laut, dan kau akan memiliki kamar mandimu sendiri—“
“Mom, tunggu sebentar!” selaku. Mata Edward masih terpejam, tapi ia kelihatan terlalu tegang untuk bisa dibilang tidur. “Apa yang kaubicarakan? Aku takkan pergi ke Florida. Aku tinggal di Forks.”
“Tapi kau tak perlu lagi, dasar bodoh,” ia tertawa. “Phil bisa tinggal bersama kita lebih sering lagi sekarang... kami sudah sering membicarakannya, dan kalau dia harus melakukan perjalanan jauh, aku akan tinggal separuh waktu denganmu dan separuh lagi dengannya.”
“Mom.” Aku meragu, bertanya-tanya bagaimana bersikap diplomatis tentang hal ini. “Aku ingin tinggal di
Forks. Aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik di sekolah, dan aku punya beberapa teman cewek”—ia melirik ke arah Edward lagi saat aku mengingatkannya aku punya teman, jadi aku mencoba alasan lain—“dan Charlie membutuhkanku. Dia sebatang kara di sana, dan dia sama sekali tak bisa memasak.”
“Kau mau tinggal di Forks?” tanyanya, heran. Ide ini tak terbayangkan olehnya. Lalu matanya kembali melirik
Edward. “Kenapa?”
“Sudah kubilang–sekolah, Charlie–aduh!” Aku mengangkat bahu. Bukan ide bagus.
Tangannya bergerak ke sana kemari, mencoba menemukan bagian rubuhku yang bisa ditepuk-tepuk. Ia
menaruh tangannya di dahiku, karena bagian itu tidak diperban.
“Bella, Sayang, kau tidak menyukai Forks,” ia mengingatkanku.
“Tidak terlalu buruk, Mom.” Ia merengut, lalu memandangku dan Edward bergantian, kali ini benar-benar disengaja.
“Apakah karena anak laki-laki ini?” bisiknya.
Aku hendak berbohong tapi mata Mom mengamati wajahku, dan aku tahu ia bisa melihat jawabannya di sana.
“Dia salah satu alasannya,” aku mengakui. Tak perlu kuakui, dialah alasan terbesarku. “Apakah kau sempat
berbicara dengan Edward?” tanyaku.
“Ya.” Ia bimbang memandangi Edward yang diam tak bergerak. “Dan aku ingin bicara denganmu rentang hal ini.”
O-ow. “Tentang apa?” tanyaku.
“Kurasa anak laki-laki itu jatuh cinta padamu,” tuduhnya, berusaha menjaga suaranya tetap pelan.
“Aku juga berpikir begitu,” ujarku.
“Dan bagaimana perasaanmu padanya?” Ia tak bisa menutupi rasa penasaran dalam suaranya. Aku mendesah, memalingkan wajah. Meskipun aku sangat menyayangi ibuku, ini bukan sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya. “Aku cukup tergila-gila padanya.”
Nah—itu kedengarannya seperti sesuatu yang mungkin dikatakan seorang remaja cewek centang cowok
pertamanya.
“Well, dia kelihatan sangat baik, dan, ya Tuhanku, dia luar biasa tampan, tapi kau masih sangat muda. Bella...”
Suaranya terdengar ragu-ragu; sejauh yang bisa kuingat, inilah pertama kalinya sejak aku berusia delapan tahun ia nyaris menunjukkan otoritasnya sebagai orangtua. Aku mengenali nada masuk-akal-namun-tegas dari percakapan yang pernah kualami dengannya ketika membahas cowok.
“Aku tahu itu, Mom. Jangan khawatir. Aku Cuma naksir,” aku menenangkannya.
“Benar,” ia menimpali, langsung senang. Kemudian ia mendesah, dan dengan perasaan bersalah melirik jam bundar besar di dinding.
“Kau harus pergi?”
Ia menggigit bibir. “Phil seharusnya menelepon sebentar lagi... Aku tak tahu kau akan segera sadar...”
“Tidak apa-apa, Mom.” Aku berusaha menyembunyikan rasa legaku supaya perasaannya tidak terluka. “Aku tidak akan sendirian.”
“Aku akan segera kembali. Aku tidur di sini, kau tahu,” ujarnya, bangga pada dirinya sendiri.
“Oh, Mom, kau tak perlu melakukannya! Kau bisa tidur di rumah—aku takkan menyadarinya.” Pengaruh obat
penghilang sakit di otakku membuatku sulit berkonsentrasi sekarang, meski nyatanya aku telah tidur berhari-hari.
“Aku terlalu tegang,” ia mengakui malu-malu. “Telah terjadi tindak kejahatan di kompleks kita, dan aku tidak
suka berada di sana sendirian.”
“Kejahatan?” tanyaku kaget.
Seseorang menerobos ke studio tari di pojokan dekat rumah dan membakarnya hingga rata dengan tanah—sama
sekali tak bersisa! Dan mereka meninggalkan mobil curian tepat di halaman depan. Kau ingat dulu kau menari di sana, Sayang?”
“Aku ingat.” Aku bergidik dan meringis ngeri.
“Aku bisa tinggal. Sayang kalau kau membutuhkanku.”
“Tidak, Mom. Aku akan baik-baik saja. Edward akan menemaniku.”
Ekspresinya menunjukkan bahwa sepertinya itulah alasannya ingin tinggal. “Aku akan kembali malam ini.”
Kedengarannya itu seperti peringatan sekaligus janji, dan ia kembali menatap Edward saat mengucapkannya.
“Aku sayang kau, Mom.”
“Aku juga sayang kau. Bella. Cobalah untuk lebih berhari-hari ketika berjalan. Sayang, aku tak ingin
kehilangan dirimu.” Mata Edward tetap terpejam, tapi senyum lebar mengembang di wajahnya.
Perawat masuk untuk memeriksa semua infusku dan kabel-kabel yang menempel di rubuhku. Mom mengecup
dahiku, menepuk-nepuk tanganku yang diperban, kemudian pergi.
Perawat memeriksa catatan di monitor jantungku.
“Kau tegang Sayang? Irama jantungmu sedikit lebih tinggi di bagian ini.”
“Aku baik-baik saja,” aku meyakinkannya.
“Akan kuberitahu dokter bahwa kau sudah sadar. Dia akan ke sini sebentar lagi.”
Begitu perawat menutup pinru, Edward langsung berada di sisiku.
“Kau mencuri mobil?” Alisku terangkat.
Ia tersenyum, sama sekali tak menyesal. “Mobil bagus, lajunya sangat cepat.”
“Bagaimana tidur siangmu?” tanyaku.
“Menarik.” Matanya menyipit.
“Apa?”
Ia menunduk ketika menjawab, “Aku terkejut. Kupikir Florida... dan ibumu... Well, kupikir itulah yang
kauinginkan.” Aku menatapnya tak mengerti. “Tapi kau harus berada di dalam ruangan seharian bila berada di Florida. Kau hanya bisa keluar pada malam hari, seperti vampir sejati.” Ia nyaris tersenyum, tapi tidak juga. Lalu wajahnya serius. “Aku akan tinggal di Forks, Bella. Atau di mana pun yang keadaannya seperti di sana,” ia menjelaskan. “Di tempat aku tak bisa melukaimu lagi.”
Awalnya aku tak langsung memahaminya. Aku terus menatapnya hampa saat kata-katanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle mengerikan. Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang semakin memburu, meskipun, saat napasku semakin liar, aku merasakan nyeri di dadaku.
Ia tidak mengatakan apa-apa; ia memerhatikan wajahku dengan saksama ketika rasa sakit yang tak ada
hubungannya dengan tulang-tulang yang patah, rasa sakit yang jauh lebih parah, mengancam menghancurkanku.
Kemudian perawat lain melangkah pasti memasuki ruangan. Edward duduk tak bergerak saat perawat mengamati ekspresiku dengan pandangan terlatih, sebelum beralih ke monitor.
“Waktunya untuk obat penghilang sakit. Sayang?” tanyanya ramah, sambil menepuk-nepuk kantong infus.
“Tidak, tidak,” gumamku, berusaha menghilangkan kepedihan dari suaraku. “Aku tidak membutuhkan apaapa.”
Aku tak bisa memejamkan mata sekarang.
“Tak perlu berpura-pura berani. Sayang. Sebaiknya kautidak terlalu tegang; kau perlu beristirahat.” Ia menunggu, tapi aku hanya menggeleng.
“Baiklah,” ia mendesah. “Tekan saja tombol bantuan kalau kau sudah siap.”
Ia memandang Edward serius, dan sekali lagi melirik, waswas mesin-mesin itu, lalu pergi.
“Sssstt, Bella, tenanglah.”
“Jangan tinggalkan aku.” Aku memohon, suaraku parau
“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji. “Sekarang tenanglah sebelum aku memanggil perawat untuk
memberimu obat penenang.” Tapi jantungku tak mau tenang.
“Bella.” Ia membelai wajahku hati-hati. “Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada di sini selama kau
membutuhkanku.”
“Kau bersumpah takkan meninggalkanku?” bisikku.
Setidaknya aku mencoba mengendalikan napasku yang tersengal-sengal. Rusukku nyeri.
Ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya lebar dan
serius. “Aku bersumpah.”
Aroma napasnya menenangkan. Sepertinya meringankan rasa nyeri yang muncul ketika aku bernapas. Ia terus
menatapku sementara tubuhku pelan-pelan rileks dan suara bip mesin kembali normal. Matanya berwarna gelap, lebih mendekati hitam daripada keemasan.
“Lebih baik?” tanyanya.
“Ya,” sahutku hati-hati.
Ia menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti. Kurasa aku memilih kata “overreaction –
bereaksi berlebihan.”
“Mengapa kau bilang begitu?” aku berbisik, menjaga suaraku agar tidak gemetaran. “Apakah kau lelah
menyelamatkanku setiap saat? Kau ingin aku pergi?”
“Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Bella, tentu saja tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang saja
menyelamatkanmu—jika saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru menempatkanmu dalam bahaya...
bahwa akulah alasan kau berada di sini.”
“Ya, kaulah penyebabnya.” Aku merengut. “Alasan aku berada di sini—hidup-hidup.”
“Nyaris,” ia berbisik. “Dibalut perban dan plester dan nyaris tak bisa bergerak.”
“Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja kualami ini,” kataku, mulai jengkel. “Aku sedang
memikirkan yang lain—kau boleh pilih. Kalau bukan karena kau, aku sudah membusuk di pemakaman Forks.”
Ia meringis mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.
“Meski begitu, itu bukan yang terburuk,” ia melanjutkan berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan apa-apa.
“Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terbaring di lantai... meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat.
“Yang terburuk bukanlah berpikir bahwa aku terlambat. Bahkan bukan mendengarmu menjerit kesakitan—semua ingatan mengerikan itu akan kubawa bersamaku sepanjang masa. Bukan, yang paling parah adalah merasa... mengetahui bahwa aku tak bisa berhenti. Percaya aku sendirilah yang akan membunuhmu.”
“Tapi kau tidak membunuhku.”
“Aku bisa saja. Semudah itu.”
Aku tahu aku harus tetap tenang... tapi ia mencoba membujuk dirinya sendiri untuk meninggalkanku, dan rasa
panik mencekat paru-paruku, mencoba melepaskan diri. “Berjanjilah padaku.” Aku berbisik.
“Apa?”
“Kau tahu maksudku.” Aku mulai marah sekarang. Ia benar-benar bersikeras untuk terus berpikir negatif.
Ia mendengar perubahan pada nada suaraku.Tatapannya tajam. “Sepertinya aku tak cukup kuat untuk
berada jauh darimu, Jadi kurasa kau akan menemukan caranya... entah itu akan membunuhmu atau tidak.” Ia
menambahkan dengan kasar.
“Bagus.” Meski begitu ia tidak berjanji—fakta itu tak terlewatkan olehku. Kepanikanku nyaris tak terbendung;
tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk mengendalikan amarahku. “Kau memberitahuku
bagaimana kau berhenti... sekarang aku mau tahu kenapa,” desakku.
“Kenapa?” ulangnya hati-hati.
“Kenapa kau melakukannya. Kenapa kau tak membiarkan racunnya menyebar? Saat ini aku akan sama
seperti dirimu.”
Mata Edward sepertinya berubah hitam, dingin, dan aku ingat, ia tak ingin aku mengetahui hal seperti ini. Alice pasti terlalu disibukkan oleh hal-hal tentang dirinya yang baru diketahuinya... atau ia sangat berhati-hati dengan
pikirannya ketika berada di sekitar Edward—jelas Edward tidak tahu Alice telah memberitahuku tentang penciptaan vampir. Ia terkejut, marah. Lubang hidungnya kembangkempis, mulutnya seolah dipahat dan batu.
Ia tidak akan menjawab, itu sangat jelas.
“Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi
kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu sama lain.”
Ia melipat tangan dan meletakkannya di sisi tempat tidurku, lalu meletakkan dagunya di sana. Raut wajahnya
lembut, kemarahannya mereda. Sepertinya ia telah memutuskan ia tidak marah padaku. Kuharap aku punya
kesempatan untuk mengingatkan Alice sebelum Edward menemuinya.
“Kau telah menyelamatkanku,” katanya pelan.
“Aku tidak bisa selalu menjadi Lois Lane,” aku berkeras.
“Aku juga ingin jadi Superman.”
“Kau tidak tahu apa yang kauminta.” Suaranya lembut; ia menatap lekat-lekat ujung sarung bantal.
“Kurasa aku tahu.”
“Bella, kau tidak tahu. Aku telah melewati hampir sembilan puluh tahun memikirkan hal ini, dan aku masih
tidak yakin.”
“Apa kau berharap Carlisle tidak menyelamatkanmu?”
“Tidak, aku tidak berharap begitu.” Ia berhenti sebelum melanjutkan, “Tapi hidupku sudah berakhir. Aku tidak
menyerahkan apa pun.”
“Kaulah hidupku. Hanya kehilangan dirimu yang bisa menyakitiku.” Aku semakin baik dalam hal ini. Mudah
rasanya mengakui betapa aku membutuhkannya. Meski begitu ia sangat tenang. Yakin.
“Aku tak bisa melakukannya. Bella. Aku takkan melakukannya padamu.”
“Kenapa tidak?” Tenggorokanku tercekat dan mapanku tak selantang yang kuinginkan. “Jangan bilang padaku itu terlalu sulit untukmu! Setelah hari ini, atau kurasa beberapa hari yang lalu... setelah itu. Seharusnya bukan apa-apa.” Ia menatap geram padaku.
“Dan rasa sakitnya?” tanyanya.
Wajahku memucat. Aku tak bisa menahannya. Tapi aku berusaha menjaga ekspresiku hingga tidak kelihatan betapa jelas aku mengingat rasanya... api dalam nadiku.
“Itu masalahku.” Karaku. “Aku bisa mengatasinya.”
“Sangat mungkin untuk bersikap berani hingga pada titik keberanian itu berubah jadi kegilaan.”
“Bukan masalah. Tiga hari. Sama sekali, bukan masalah.”
Edward meringis lagi saat kata-kataku mengingatkannya bahwa aku tahu lebih banyak daripada yang mungkin
diharapkannya. Aku melihatnya berusaha menekan amarah, memerhatikan saat matanya mulai bertanya-tanya.
“Charlie?” tanyanya tiba-tiba. “Renee?”
Waktu berlalu dalam keheningan saat aku berusaha menjawab. Aku membuka mulut, tapi tak ada suara yang
keluar. Aku menutupnya lagi. Ia menunggu, kemudian ekspresinya berganti jadi kemenangan karena tahu aku
tidak mengetahui jawabannya.
“Begini saja, itu juga bukan masalah,” gumamku akhirnya; suaraku terdengar sama tidak meyakinkannya
seperti setiap kali aku berbohong. “Renee selalu membuat keputusan yang menurut dia benar—dia ingin aku
melakukan yang sama. Dan Charlie lebih fleksibel, dia terbiasa hidup sendirian. Aku tak bisa menjaga mereka
selamanya. Aku punya kehidupan sendiri yang harus kujalani.”
“Tepat sekali,” tukasnya. “Dan aku tak ingin mengakhirinya.”
“Kalau kau menungguku hingga sekarat, ada kabar baik untukmu! Aku baru saja mengalaminya!”
“Kau akan sembuh,” ia mengingatkanku.
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri, mengabaikan nyeri yang muncul karenanya. Aku
menatapnya, dan ia balas menatap. Wajahnya tidak menunjukkan kompromi.
“Tidak,” kataku pelan. “Aku takkan sembuh.”
Kerutan di dahinya semakin dalam. “Tentu saja kau akan sembuh. Paling-paling akan meninggalkan satu atau
dua bekas luka...”
“Kau keliru,” aku berkeras. “Aku bakal mati.”
“Sungguh, Bella.” Sekarang ia cemas. “Kau akan keluar dari sini beberapa hari lagi. Paling lama dua minggu.”
Aku menatapnya geram. “Aku mungkin takkan mati sekarang— tapi suatu saat. Setiap menit dalam hidupku aku
semakin dekat ke kematian. Dan aku akan menjadi tua.”
Wajahnya merengut saat ia memahami arti ucapanku. Ia menempelkan jemarinya yang panjang ke dahinya, matanya terpejam. “Itulah yang mestinya terjadi. Yang seharusnya terjadi. Yang akan terjadi seandainya aku tidak ada—dan aku seharusnya tidak ada.” Aku mendengus. Ia membuka mata, terkejut. “Itu bodoh. Itu seperti mendatangi orang yang baru menang lotere, mengambil uangnya, dan berkata, ‘Begini, kita kembali saja ke bagaimana segalanya seharusnya terjadi. Lebih baik begitu.’ Dan aku tidak memercayainya.”
“Aku bukan hadiah lotere,” geramnya.
“Benar. Kau jauh lebih baik.” Ia memutar bola matanya dan merapatkan bibirnya.
“Bella, kita tidak akan membahasnya lagi. Aku menolak mengutukmu mengalami malam tak berujung, dan inilah keputusanku.”
“Kalau kaupikir ini akhirnya, berarti kau tidak mengenalku,” aku mengingatkannya. “Kau bukan satusatunya
vampir yang kukenal.”
Matanya kembali kelam. “Alice takkan berani.” Dan untuk beberapa saat ia tampak sangat mengerikan
hingga aku tak dapat mencegah untuk memercayainya—aku tak dapat membayangkan ada orang yang cukup berani untuk membuatnya marah.
“Alice sudah melihatnya kan?” Aku mencoba menebak.
“Itu sebabnya hal-hal yang dikatakannya membuatmu marah. Dia tahu aku akan jadi seperti dirimu... suatu hari
nanti.”
“Dia keliru. Dia juga melihatmu mari. Tapi itu juga tidak terjadi.”
“Kau takkan mendapatkanku bertaruh melawan Alice.” Lama sekali kami bertatapan. Suasana hening kecuali
bunyi deru mesin bunyi bip, tetesan. Dan detak jam besar di dinding. Akhirnya ekspresinya melembut.
“Jadi bagaimana kesimpulannya?” aku bertanya-tanya.
Ia tertawa dingin. “Aku yakin itu namanya jalan buntu.” Aku mendesah. “Auw,” gumamku.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya, sambil melirik tombol untuk memanggil perawat.
“Aku baik-baik saja.” Aku berbohong.
“Aku tidak percaya,” katanya lembut.
“Aku tidak mau tidur lagi.”
“Kau harus beristirahat Semua perdebatan ini tidak baik untukmu.”
“Jadi menyerahlah” aku menyarankan.
“Usaha bagus.” Ia menggapai tombol.
“Jangan!” Ia mengabaikanku
“Ya?” terdengar suara dan speaker di dinding.
“Kurasa Bella sudah siap untuk obat penghilang sakitnya,” katanya tenang tak memedulikan kekesalan yang
terpancar di wajahku.
“Aku akan menyuruh perawat ke sana” Suara itu terdengar bosan.
“Aku takkan meminumnya,” aku berjanji. Ia memandang kantong cairan di samping tempat tidurku. “Kurasa mereka takkan menyuruhmu meminum apa-apa.”
Detak jantungku mulai memburu. Ia melihat ketakutan di mataku, dan mendesah putus asa.
“Bella, kau sakit. Kau perlu tenang supaya bisa sembuh. Kau benar-benar keras kepala. Saat ini mereka tidak akan memasang jarum lagi di tubuhmu.”
“Aku tidak takut jarum,” gumamku. “Aku takut memejamkan mata.”
Kemudian ia tersenyum simpul, dan memegang wajahku dengan kedua tangannya. “Sudah kubilang, aku takkan
pergi ke mana-mana. Jangan khawatir. Selama kau senang karenanya, aku akan di sini.” Aku balas tersenyum, mengabaikan rasa sakit di pipiku.
“Itu berarti selamanya, tahu.”
“Oh, kau akan melupakannya—kau Cuma naksir aku.” Aku menggeleng tak percaya—itu membuatku pusing.
“Aku terkejut waktu Renee memercayai ucapanku itu. Aku tahu kau tahu lebih baik darinya.”
“Itulah hal terindah menjadi manusia.” Ia memberitahuku. “Segala sesuatu berubah.”
Mataku menyipit. “Jangan kelewat berharap.” Ia tertawa ketika perawat masuk sambil mengacungkan
suntikan.
“Permisi.” Katanya pada Edward
Edward bangkit dan pergi ke ujung ruangan, bersandar di dinding. Ia bersedekap dan menunggu. Aku terus
menatapnya, masih waswas. Ia menatapku tenang.
“Nah, ini obatnya, Sayang.” Perawat tersenyum saat menyuntikkan obat ke tabung infusku. “Kau akan merasa
lebih baik sekarang.”
“Terima kasih,” gumamku datar. Hanya sebentar. Aku langsung merasakan kantuk menetes-netes dalam aliran
darahku.
“Kurasa sudah bereaksi,” gumamnya, saat kelopak mataku mulai memejam.
Perawat pasti telah meninggalkan ruangan, karena sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh wajahku.
“Tinggallah.” Kata itu nyaris tak terdengar.
“Aku akan ada di sini,” ia berjanji. Suaranya indah, bagai nina bobo. “Seperti kataku, selama ini membuatmu
bahagia... selama ini adalah yang terbaik untukmu.” Aku mencoba menggerak-gerakkan kepala, tapi terlalu
berat. ‘”Tu tidak sama,” gumamku.
Ia tertawa. “Sudah, jangan khawatirkan itu, Bella. Kau bisa berdebat denganku saat kau bangun nanti.”
Kurasa aku tersenyum mendengarnya. ‘”Ke.” Aku bisa merasakan bibirnya di telingaku.
“Aku mencintaimu,” bisiknya.
“Aku juga.”
“Aku tahu,” ia tertawa pelan.
Aku menoleh sedikit... mencari. Ia tahu apa yang kucari. Bibirnya menyentuh lembut bibirku.
“Terima kasih,” desahku.
“Sama-sama.”
Aku sudah nyaris tak sadarkan diri. Tapi akumelawannya dengan sisa-sisa tenagaku. Tinggal satu lagi
yang ingin kukatakan padanya. “Edward?” aku berusaha mengucapkan namanya dengan
jelas.
“Ya?”
“Aku bertaruh memegang Alice,” gumamku. Kemudian aku pun tertidur.
0 komentar:
Post a Comment