September 01, 2014

Baca Online Twilight part 23

23. MALAIKAT
SAAT tak sadarkan diri, aku bermimpi. Aku melayang-layang di bawah permukaan air yang gelap, dan mendengar suara paling menyenangkan yang bisa ditangkap pikiranku—suara yang indah, membahagiakan, sekaligus mengerikan. Suara geraman lain; lebih dalam, lebih ganas, dan sarat amarah. Aku diseret naik, nyaris mencapai permukaan, oleh rasa sakit tajam yang menusuk-nusuk tanganku yang terulur, namun aku tak punya cukup tenaga untuk membuka mata. Kemudian aku tahu aku sudah mati. Karena, dari kedalaman air, aku mendengar suara malaikat memanggil namaku, memanggilku ke satu-satunya surga yang kuinginkan.
“Oh, tidak, Bella, tidak!” malaikat itu berseru putus asa.
Di belakang ratapan itu ada suara lain—keributan mengerikan yang berusaha kuhindarkan. Raungan penuh
ancaman, gelegar amarah yang mengerikan, dan lengkingan kesakitan, sekonyong-konyong pecah...
Namun aku berusaha berkonsentrasi pada suara si malaikat.
“Bella, kumohon! Bella, dengar, kumohon, kumohon, Bella, kumohon!” ia memohon.
Aku ingin mengatakan ya. Apa saja. Tapi aku tak bisa mengucapkannya.
“Carlisle!” si malaikat berseru, kesedihan mendalam memenuhi suaranya yang sempurna. “Bella, Bella, tidak, oh kumohon, tidak, tidak!” Dan si malaikat pun menangis tersedu-sedu.
Malaikat tak seharusnya menangis, itu tidak benar. Aku mencoba menemukannya, memberitahunya semua baikbaik saja, tapi airnya sangat dalam hingga menekanku, dan aku tak bisa bernapas.
Kepalaku seperti ditekan. Rasanya sakit. Kemudian, saat rasa nyeri itu menembus kegelapan dan menggapaiku, aku merasakan sakit yang lain, lebih kuat. Aku menjerit, tersengal-sengal keluar dari kolam yang gelap.
“Bella!” si malaikat berseru.
“Dia kehilangan banyak darah, tapi luka di kepalanya tidak terlalu dalam,” suara tenang itu memberitahuku.
“Hati-hati kakinya patah.”
Geram kemarahan nyata di bibir si malaikat. Aku merasakan tusukan tajam di dadaku. Ini tidak mungkin surga, ya kan? Terlalu banyak rasa sakit.
“Kurasa beberapa rusuknya juga patah,” pemilik suara merdu itu melanjutkan kata-katanya.
Tapi rasa sakit yang tajam itu telah lenyap. Ada rasa sakit baru, rasa terbakar di tanganku yang mengalahkan
semua rasa sakit yang kurasakan. Seseorang membakarku.
“Edward.” Aku mencoba memberitahunya, tapi suaraku sangat pelan dan berat. Aku tak bisa memahami diriku
sendiri.
“Bella, kau akan baik-baik saja. Kau bisa mendengarku, Bella? Aku mencintaimu.”
“Edward,” aku mencoba lagi. Suaraku sedikit lebih jelas.

“Ya, aku di sini.”
“Sakit,” rengekku.
“Aku tahu, Bella, aku tahu”—kemudian, menjauh dariku, terdengar amat sangat ketakutan—“tak bisakah kau
melakukan sesuatu?”
“Tolong ambilkan tasku... Tenangkan dirimu, Alice, itu akan membantu,” Carlisle berjanji.
“Alice?” erangku.
“Dia di sini, dia tahu di mana menemukanmu.”
“Tanganku sakit,” aku mencoba memberitahunya.
“Aku tahu, Bella. Carlisle akan memberimu sesuatu, rasa sakitnya akan berhenti.”
“Tanganku terbakar!” aku berteriak, akhirnya terbebas
dari kegelapan, mataku perlahan-lahan membuka. Aku tak dapat melihat wajah Edward, sesuatu yang gelap dan
hangat membayangi mataku. Kenapa mereka tak bisa melihat apinya dan memadamkannya?
Suaranya terdengar ngeri. “Bella?”
“Apinya! Tolong matikan apinya!” aku menjerit saat rasa panas itu membakarku. “Carlisle! Tangannya!”
“Dia menggigitnya.” Suara Carlisle tak lagi tenang melainkan terkejut. Aku mendengar Edward menghela napas ngeri.
“Edward, kau harus melakukannya.” Itu suara Alice, di dekat kepalaku, jari-jari dingin mengusap kelembaban di
kedua mataku.
“Tidak!” ia berteriak.
“Alice,” aku mengerang.
“Mungkin ada kesempatan,” kata Carlisle.
“Apa?” Edward memohon.
“Coba lihat apakah kau bisa mengisap racunnya keluar. Lukanya cukup bersih.” Saat Carlisle bicara, aku bisa
merasakan kepalaku semakin tertekan, ada yang berdenyutdenyut di kulit kepalaku. Rasa sakitnya kalah oleh rasa sakit yang ditimbulkan api itu.
“Apakah akan berhasil?” tanya Alice tegang.
“Aku tidak tahu,” sahut Carlisle. “Tapi kita harus bergegas.”
“Carlisle, aku...” Edward ragu. “Aku tak tahu apakah aku bisa melakukannya.” Ada kepedihan dalam suara
indahnya lagi.
“Itu keputusanmu, Edward, apa pun itu. Aku tak bisa menolongmu. Aku harus menghentikan perdarahannya,
kalau kau akan mengisap darah dari tangannya.”
Aku menggeliat dalam cengkeraman rasa sakit yang kuat, membuat rasa sakit di kakiku muncul kembali.
“Edward!” jeritku. Aku tahu mataku kembali terpejam. Aku membukanya, begitu putus asa ingin menemukan
wajahnya. Dan aku melihatnya. Akhirnya, aku melihat wajahnya yang sempurna memandangku, pergulatan antara kebimbangan dan kepedihan tampak nyata di sana.
“Alice, cari sesuatu untuk menahan kakinya!” Carlisle membungkuk di depanku, membereskan luka di kepalaku.
“Edward, kau harus melakukannya sekarang atau akan terlambat.”
Wajah Edward tampak lelah. Aku memerhatikan matanya saat kebimbangan itu tiba-tiba berganti menjadi
tekad yang membara. Rahangnya mengeras. Aku merasakan jemarinya yang kuat dan sejuk di tanganku yang
terbakar, menahannya. Kemudian kepalanya menunduk ke atasnya, bibirnya yang dingin menekan kulitku.
Awalnya rasa sakit itu semakin parah. Aku menjerit dan meronta dari cengkeraman sejuk yang menahanku. Aku
mendengar suara Alice, berusaha menenangkan diri. Sesuatu yang berat menekan kakiku di lantai, dan Carlisle
menahan kepalaku dengan tangannya yang keras bagai batu.
Kemudian, perlahan, saat tanganku mati rasa, aku pun tenang. Sengatan terbakar di tanganku mulai berkurang
hingga tak lagi terasa. Aku mulai sadarkan diri saat rasa sakit itu lenyap. Aku takut jatuh lagi ke dalam air yang gelap, takut akan kehilangan dirinya di kegelapan.
“Edward,” aku mencoba bicara, tapi tak dapat mendengar suaraku. Namun mereka bisa.
“Dia di sini, Bella.”
“Tinggallah, Edward, tinggallah bersamaku...”
“Ya, aku akan bersamamu.” Suaranya tegang tapi terselip nada kemenangan di sana.
Aku mendesah bahagia. Api itu lenyap, rasa sakit yang lain memudar berganti rasa kantuk yang menyelimuti
diriku.
“Sudah keluar semua?” Carlisle bertanya dari jauh.
“Darahnya bersih,” kata Edward pelan. “Aku bisa merasakan obat penghilang sakitnya.”
“Bella?” Carlisle mencoba memanggilku.
Aku berusaha menjawabnya. “Mmmm?”
“Apakah apinya sudah hilang?”
“Ya.” Desahku. “Terima kasih, Edward.”
“Aku mencintaimu,” jawabnya.
“Aku tahu,” aku menghela napas, rasanya sangat lelah.
Aku mendengar suara favoritku di dunia ini: tawa pelan Edward. Letih karena perasaan lega.
“Bella?” Carlisle bertanya lagi.
Dahiku berkerut; aku ingin tidur. “Apa?”
“Di mana ibumu?”
“Di Florida,” aku mendesah. “Dia mengelabuiku, Edward. Dia menonton video rekaman kami.” Kemarahan
dalam suaraku terdengar lemah. Tapi itu membuatku teringat.
‘Alice.” Aku mencoba membuka mata. “Alice, videonya—dia tahu tentang kau, Alice, dia tahu dari mana asalmu.” Aku bermaksud mengatakannya saat ini juga, tapi suaraku lemah. “Aku mencium bau bensin,” aku
menambahkan, tersadar dari kabut yang menggayuti pikiranku.
“Sudah saatnya memindahkannya,” kata Carlisle.
“Tidak, aku ingin tidur,” aku menolak.
“Kau bisa tidur, Sayang, aku akan menggendongmu,” Edward menenangkanku.
Dan aku pun berada dalam pelukannya, meringkuk di dadanya—melayang-layang semua sakitnya hilang.
“Sekarang tidurlah. Bella,” adalah kata-kata terakhir yang kudengar.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates