September 01, 2014

Baca Online Twilight part 19

19. PERPISAHAN
CHARLIE menungguku. Semua lampu di rumah menyala. Pikiranku kosong ketika aku mencoba
memikirkan cara agar ia mau membiarkanku pergi. Ini tidak bakal menyenangkan. Perlahan Edward menepikan Jeep, memarkirnya tepat di belakang trukku. Mereka bertiga sangat waspada, duduk tegak di kursi mereka, mendengarkan setiap suara di hutan, mengamati setiap bayangan, menghirup setiap aroma, mencari sesuatu yang tidak pada tempatnya. Mesin dimatikan, dan aku duduk tidak bergerak ketika mereka terus mendengarkan.
“Dia tidak di sini," kata Edward tegang. "Ayo."
Emmett meraih ke sisiku untuk membantuku melepaskan sabuk pengaman. "Jangan khawatir. Bella,"
katanya pelan namun ceria, "kami akan membereskan semuanya di sini dalam waktu singkat."
Aku merasakan mataku berkaca-kaca saat memandang Emmet. Aku nyaris tak mengenalnya, namun
bagaimanapun juga, tidak mengetahui kapan aku bisa bertemu lagi dengannya setelah malam ini, membuatku
sedih. Aku tahu ini hanyalah rasa perpisahan yang harus kutahankan selama satu jam ke depan, dan pikiran itu
membuat air mataku mulai turun.
"Alice, Emmert." Suara Edward memerintah. Mereka menyelinap tanpa suara menembus kegelapan, langsung
menghilang. Edward membukakan pintuku dan memegang tanganku, kemudian menarikku ke dalam pelukannya yang melindungi. Ia mengantarku dengan cepat ke rumah, matanya selalu menjelajahi kegelapan malam.
"Lima belas menit," ia mengingatkan dengan berbisik.
"Aku bisa melakukannya," isakku. Air mata memberiku inspirasi.
Aku berhenti di teras dan menggenggam wajahnya dengan kedua tanganku. Aku menatap matanya lekat-lekat.
"Aku mencintaimu," kataku, suaraku pelan dan dalam.
"Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli apa yang terjadi sekarang."
"Takkan terjadi apa-apa padamu, Bella," katanya, sama tajamnya.
"Jalankan saja rencananya, oke? Jaga Charlie untukku. Dia takkan terlalu menyukaiku lagi setelah ini, dan aku
ingin punya kesempatan untuk meminta maaf nantinya."
"Masuklah, Bella. Kita harus bergegas." Suaranya mendesak.
"Satu lagi," aku berbisik penuh hasrat. "Jangan dengarkan kata-kataku malam ini." Ia mencondongkan
tubuhnya, jadi yang perlu kulakukan hanya berjingkat untuk mencium bibirnya yang beku dan terkejut sekuat
mungkin. Kemudian aku berbalik dan menendang pintu hingga terbuka.
"Pergilah, Edward!" aku berteriak padanya, berlari masuk dan membanting pintu hingga tertutup di hadapan
wajahnya yang masih terkejut.
“Bella?” Charlie sedang bersantai di ruang tamu, dan sekarang ia bangkit berdiri.
“Jangan ganggu aku!" aku berteriak padanya, air mataku mengalir deras sekarang. Aku berlari menaiki tangga
menuju kamar, membanting pintu dan menguncinya. Aku berlari ke tempat tidur, mengempaskan diri di lantai untuk mengambil tasku. Aku langsung mengulurkan tangan ke bawah kasur dan pengambil kaus kaki usang tempatku menyimpan uangku. Charlie menggedor-gedor pintu kamar.
"Bella, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?" Suaranya
waswas.
"Aku mau pulang," aku berteriak, memberi tekanan pada kata yang tepat.
"Apakah dia melukaimu?" suaranya hampir marah.
"Tidak!" jeritku. Aku berbalik ke lemari pakaian, dan Edward sudah ada di sana, tanpa suara meraup asal-asalan
pakaianku, lalu melemparkannya padaku.
"Apakah dia mencampakkanmu?" Charlie benar-benar bingung.
“Tidak!" aku berteriak, agak terengah-engah saat menjejalkan semuanya ke dalam tas. Edward melempar
beberapa helai pakaian lagi padaku. Sekarang tasnya sudah lumayan penuh.
"Apa yang terjadi, Bella?" seru Charlie dari balik pintu sambil menggedor-gedor lagi.
“Aku mencampakkannya!" aku balas berteriak, sambil menarik resleting tasku. Tangan Edward yang sedang tidak melakukan apa-apa mendorong tanganku dan menutup ritsleting itu dengan mulus. Dengan hati-hati ia menaruh talinya di bahuku.
“Aku akan menunggu di truk – pergi!” ia berbisik, dan mendorong ke pintu. Ia menghilang lewat jendela.
Aku membuka pintu dan menghambur melewati Charlie berjuang keras membawa tasku yang berat menuruni
tangga.
"Apa yang terjadi?" ia berteriak. Ia berada tepat di belakang ku. "Kupikir kau menyukainya."
Ia menangkap sikuku ketika kami sampai di dapur. Meskipun ia masih bingung cengkeramannya kuat.
Ia memutar rubuhku menghadapnya, dan aku bisa melihat ekspresi di wajahnya, bahwa ia tidak berniat
membiarkanku pergi. Aku hanya bisa memikirkan satu cara untuk melepaskan diri, dan ini akan sangat melukai hatinya hingga aku membenci diriku sendiri bahkan ketika memikirkannya. Tapi aku tak punya waktu, dan aku harus memikirkan keselamatannya. Aku menatap geram pada ayahku, air mata kembalimenggenangi mataku memikirkan apa yang akan segera kulakukan.
"Aku memang menyukainya—itulah masalahnya. Aku tak bisa melakukan ini lagi! Aku tak bisa tinggal di sini lebih lama lagi! Aku tak mau terjebak di kota tolol dan membosankan ini seperti Mom! Aku tidak akan membuat kesalahan bodoh yang sama seperti yang dilakukan Mom.
Aku benci—aku tak bisa tinggal di sini lebih lama lagi!" Ia melepaskan lenganku seolah-olah aku telah
menyetrumnya. Aku berpaling dari wajahnya yang terkejut dan terluka, lalu bergegas ke pintu.
"Bells, kau tak bisa pergi sekarang. Sudah malam," bisiknya di belakangku.
Aku tidak menoleh. "Aku akan tidur di truk bila mengantuk."
"Tunggu satu minggu lagi," ia memohon, masih terkejut setengah mati. "Renee akan kembali pada saat itu."
Ini benar-benar membuatku kesal. "Apa?" Charlie melanjutkan dengan bersemangat, hampir meracau lega ketika melihat keraguanku. "Dia menelepon ketika kau sedang keluar. Kehidupannya di Florida tidak
berjalan baik, dan kalau Phil tidak mendapatkan kontrak hingga akhir pekan, mereka akan kembali ke Arizona.
Asisten pelatih Side-winders bilang mungkin mereka masih punya posisi sementara untuknya."
Aku menggeleng, berusaha mengumpulkan pikiranku yang sekarang berantakan. Setiap detik yang berlalu akan
semakin membahayakan nyawa Charlie.
"Aku punya kunci," gumamku, memutar kenop pintu. Ia berdiri terlalu dekat, satu tangannya terulur ke arahku,
wajahnya syok. Aku tak bisa membuang waktu dan berdebat dengannya lagi. Aku harus membuatnya lebih
sakit lagi.
"Biarkan aku pergi, Charlie." Aku mengulangi kata-kata terakhir ibuku ketika ia melewati pintu yang sama ini
bertahun-tahun yang lalu. Aku mengucapkannya semarah mungkin, lalu membuka pintu, dan mengempaskannya.
"Semuanya kacau, oke? Aku sungguh, sungguh membenci Forks!"
Ucapanku yang jahat berhasil—Charlie bergeming di ambang pintu, terpana, sementara aku berlari menembus
malam. Aku amat sangat ketakutan berada di pekarangan yang kosong. Aku berlari seperti kerasukan menuju trukku, membayangkan bayangan gelap di belakangku. Kulempar tasku ke jok dan menarik pintunya hingga terbuka. Kuncinya sudah menggantung di lubang starter.
“Besok aku akan menelepon!" aku berteriak, berharap melebihi apa pun bahwa aku bisa menjelaskan semua ini
padanya saat itu, namun sadar aku takkan pernah sanggup. Kunyalakan mesin truk dan melesat meninggalkan halaman rumah. Edward meraih tanganku.
"Menepi," katanya begitu rumahku, dan Charlie, telah lenyap di belakang kami.
"Aku bisa mengemudi," kataku di balik air mata yang mengalir ke pipi.
Tahu-tahu tangannya yang panjang mencengkeram pinggangku, dan kakinya mendorong kakiku hingga lepas
dari pedal gas. Ia menarikku ke pangkuannya, melepaskan tanganku dari kemudi, dan tiba-tiba saja ia sudah berpindah ke jok pengemudi. Trukku tidak oleng sedikit pun.
"Kau takkan bisa menemukan rumahnya," ia menjelaskan.
Tiba-tiba lampu-lampu menyorot terang di belakang kami. Aku memandang lewat kaca belakang, mataku
membelalak ketakutan.
"Itu cuma Alice," ia menenangkanku. Ia memegang tanganku lagi.
Benakku dipenuhi sosok Charlie yang berdiri di ambang pintu. "Si pemburu?"
"Dia mendengar akhir sandiwaramu," kata Edward geram.
"Charlie?" tanyaku ngeri.
"Si pemburu mengikuti kita. Sekarang dia berlari di belakang kita."
Tubuhku langsung membeku. "Bisakah kita meninggalkannya?"
"Tidak." Tapi Edward mempercepat laju truk sambil berbicara. Mesin truk menggeram.
Rencanaku tiba-tiba tidak terasa brilian lagi. Aku menoleh ke belakang menatap lampu mobil Alice
ketika truk bergetar dan bayangan gelap meluncur di luar jendela. Darahku bergejolak sesaat sebelum Edward membekap mulutku.
"Itu Emmett!
Ia melepaskan tangannya dari mulutku, dan memeluk pinggangku.
"Semuanya baik-baik saja, Bella," ia berjanji. "Kau akan aman.”
Kami melesat melewati kota yang sepi, menuju jalan tol utara.
"Aku tak tahu kau masih begitu bosan dengan kehidupan kota kecil," katanya berbasa-basi, dan aku tahu ia berusaha mengalihkan perhatianku. "Sepertinya kau menyesuaikan diri dengan cukup baik—terutama akhir-akhir ini. Barangkali aku hanya menyanjung diriku sendiri karena telah membuat hidupmu jauh lebih menarik."
"Aku benar-benar bukan anak yang baik," aku mengaku, mengabaikan usahanya mengalihkan perhatianku, sambil menunduk memandangi lutut. "Itu tadi hal yang sama yang diucapkan ibuku saat dia meninggalkan Dad. Bisa dibilang itu sangat kejam dan tidak adil."
"Jangan khawatir. Dia akan memaafkanmu." Ia tersenyum sedikit, meskipun matanya tidak.
Aku menatapnya putus asa, dan ia melihat kepanikan di mataku.
“Bella, semuanya akan baik-baik saja."
“Tapi tidak akan baik-baik saja saat aku tidak bersamamu," bisikku.
“Kita akan bersama-sama lagi dalam beberapa hari," kitanya seraya mempererat pelukannya. "Jangan lupa, ini
idemu."
“Ini ide terbaik—tentu saja ini ideku." Senyumnya pucat dan langsung lenyap.
"Kenapa ini terjadi?" tanyaku, suaraku melengking
“Kenapa aku?" Ia menatap marah ke jalanan di depan kami. "Ini salahkuaku bodoh sekali mengeksposmu seperti itu." Kemarahan
dalam suaranya ditujukan pada dirinya sendiri.
"Bukan itu maksudku," aku berkeras. "Aku ada di sana, memangnya kenapa? Kehadiranku tidak mengganggu dua yang lain. Kenapa si James ini memutuskan ingin membunuhku. Ada orang di mana-mana, kenapa aku?" Ia
ragu-ragu, berpikir sebelum menjawab.
"Aku mendengarkan pikirannya malam ini," ia memulai dengan suara pelan. "Aku tak yakin ada yang bisa
kulakukan untuk menghindari ini, begitu dia melihatmu. Sebagian adalah salahmu." Suaranya masam. "Seandainya aromamu tidak begitu menggiurkan, dia mungkin saja tidak terusik. Tapi ketika aku membelamu..., Well, itu membuat segalanya tambah parah. Dia tidak terbiasa dikecewakan, tak peduli betapa tidak pentingnya objek itu. Dia menganggap dirinya pemburu, bukan yang lain. Eksistensinya hanya melulu mengenai berburu, dan baginya tantangan adalah satu-satunya hal yang penting. Tiba-tiba kita mempersembahkan tantangan yang indah di hadapannya—satu klan besar yang terdiri atas pejuang tangguh semua bersatu melindungi satu elemen yang lemah. Kau takkan percaya betapa gembiranya dia sekarang. Ini permainan favoritnya, dan kita baru saja
menjadikannya permainan paling menarik baginya." Suaranya penuh kejijikan. Ia berhenti sebentar.
"Tapi seandainya aku tidak membelamu, dia bisa saja membunuhmu saat itu juga," katanya sangat putus asa.
"Kupikir... aromaku tidak sama bagi yang lain... tidak seperti bagimu," kataku ragu-ragu.
“Memang tidak. Tapi bukan berarti kau bukan godaan bagi mereka. Seandainya kau telah menarik perhatian si
pemburu – atau salah satu dari mereka – dengan cara yang sama seperti terhadapku, pertarungan akan terjadi saat itu juga.”
Aku bergidik ngeri.
“Kurasa aku tak punya pilihan lain kecuali membunuhnya sekarang," gumamnya. "Carlisle takkan
menyukainya."
“Aku bisa mendengar suara ban melintasi jembatan, meskipun aku tak bisa melihat sungainya di kegelapan. Aku
tahu kami semakin dekat. Aku harus bertanya sekarang.

"Bagaimana kau membunuh vampir?"
Ia melirikku dengan tatapan yang tak bisa kutebak dan suaranya mendadak parau. "Satu-satunya yang bisa
memastikan kematiannya adalah dengan menghancurkannya berkeping-keping lalu membakarnya."
"Dua vampir lainnya, apakah mereka akan ikut bertarung dengannya?"
"Yang perempuan ya. Aku tak yakin dengan Laurent. Mereka tidak punya ikatan kuat—dia bersama mereka
hanya demi kemudahan. James mempermalukannya ketika berada di padang rumput..."
“Tapi James dan wanita itu—mereka akan mencoba membunuhmu?" tanyaku, suaraku gemetar.
“Bella, jangan berani-berani membuang waktumu untuk mengkhawatirkan aku. Satu-satunya yang harus
kaupikirkan adalah menjaga dirimu sendiri tetap aman dan – kumohon, kumohon – usahakanlah jangan ceroboh.”
“Apakah dia masih mengikuti?"
“Ya. Meskipun begitu dia takkan menyerang rumah kami. Tidak malam ini.”
Edward membelok ke jalanan yang tak terlihat. Alice mengikuti di belakang.
Kami langsung menuju rumah. Lampu-lampu di dalam menyala terang, tapi nyaris tak dapat menguraikan
kegelapan hutan yang rapat. Emmett telah membukakan pintuku sebelum truk berhenti; ia menarikku dari jok,
meletakkanku bagai bola rugby di dadanya yang bidang, dan membawaku berlari melewati pintu.
Kami menghambur ke ruangan putih yang luas Edward dan Alice berada di sisi kami. Semua ada di sana; mereka bangkit berdiri begini mendengar kami mendekat. Laurent berdiri di tengah mereka. Aku bisa mendengar geraman pelan Emmet saat ia mendudukkanku di sisi Edward.
"Dia mengikuti kami," ungkap Edward, menatap galak pada Laurent.
Wajah Laurent tampak muram. "Aku sudah mengkhawatirkan hal itu."
Alice bergerak anggun ke sisi Jasper dan berbisik di telinganya; bibirnya bergetar cepat mengucapkan sesuatu
yang tak terdengar. Mereka menaiki tangga bersama-sama. Rosalie mengamati mereka, kemudian bergerak cepat ke sisi Emmett. Matanya yang indah penuh cinta dan—ketika beralih enggan menatapku—tampak marah.
"Apa yang akan dilakukannya?" Carlisle bertanya kepada Laurent dengan nada waswas.
"Maafkan aku," jawabnya. "Aku khawatir, ketika anak laki-lakimu tadi membelanya, itu justru memicunya.
"Bisakah kau menghentikannya?"
Laurent menggeleng. "Tak ada yang bisa menghentikan James begitu dia sudah mulai."
“Kami akan menghentikannya," Emmett berjanji. Tak ada keraguan di balik maksud perkataannya.
“Kau takkan bisa menaklukkannya. Aku tak pernah melihat kekuatan seperti yang dimilikinya selama tiga ratus
tahun kehidupanku. Dia sangat mematikan. Itu sebabnya aku bergabung dalam kelompoknya."
Kelompoknya tentu saja, pikirku. Pertunjukan soal siapa sang pemimpin di lapangan tadi hanya pura-pura.
Laurent menggeleng. Ia melirikku, bingung, kemudian kembali menatap Carlisle. "Kau yakin ini layak?"
Geraman marah Edward menggema di seluruh ruangan; Laurent langsung ciut.
Carlisle menatap Laurent dingin. "Aku khawatir kau harus menentukan pilihan."
Laurent mengerti. Ia menimbang-nimbang sebentar. Ia menatap satu per satu setiap wajah di sana, dan akhirnya
menyapu seluruh ruangan yang terang itu.
"Aku tertarik pada kehidupan yang kauciptakan di sini. Tapi aku takkan terlibat dalam urusan ini. Aku sama sekali tidak membenci kalian, tapi aku tidak akan menentang James. Kurasa aku akan menuju utara—menemui klan yang ada di Denali." Ia ragu-ragu. "Jangan remehkan James. Dia memiliki pemikiran yang brilian dan indra yang tak ada tandingannya. Dia sama nyamannya berada dalam dunia manusia seperti kalian, dan dia tidak akan
mendatangi kalian dengan terang-terangan... Aku minta maaf atas apa yang terjadi di sini. Aku sungguh menyesal."
Ia membungkuk, tapi aku melihatnya melirik bingung lagi ke arahku.
“Pergilah dalam damai," ujar Carlisle dengan nada formal.
Laurent kembali memandang sekelilingnya untuk waktu yang lama, kemudian bergegas keluar. Keheningan hanya bertahan sebentar.
"Seberapa dekat?" Carlisle menatap Edward.
Esme sudah bergerak; tangannya menekan tombol tak kasat mara di dinding, dan dengan suara menderu, daun
jendela baja besar mulai menutupi dinding kaca. Aku memandang terkesima.
"Sekitar tiga mil dari sungai; dia sedang memutar untuk menemui si wanita.”
"Apa rencananya?"
"Kita akan mengalihkan perhatiannya, kemudian Jasper dan Alice akan membawanya ke selatan."
"Lalu?"
Nada suara Edward terdengar mematikan. "Begitu Bella aman dari bahaya, kita akan memburu James."
"Kurasa tak ada pilihan lain," Carlisle menimpali, wajahnya kelam. Edward berbalik menghadap Rosalie.
"Bawa Bella ke atas dan tukarlah pakaian kalian," perintah Edward. Rosalie balas menatapnya dengan tatapan
marah dan tak percaya.
"Kenapa aku harus melakukannya?" desisnya.
"Memangnya dia siapaku? Dia hanya membawa sial—bahaya yang kaupilih untuk kita semua." Aku tersentak mendengar kebengisan dalam suaranya.
"Rose...," gumam Emmett, sambil meletakkan satu tangan di bahunya. Rosalie menepisnya. Tapi aku mengamati Edward dengan hati-hati, teringat temperamennya yang meledak-ledak, mengkhawatirkan
reaksinya. Ia membuatku terkejut. Ia berpaling dari Rosalie seolaholah ia tak pernah mengatakan apa-apa, seolah ia tidak ada.
“Esme?" tanyanya tenang.
“Tentu saja," gumam Esme.
Tak sampai sedetik Esme sudah berada di sisiku, mengayunkan tubuhku dengan mudah kemudian
menggendongku, dan melompati anak tangga sebelum aku menyadarinya.
"Apa yang kita lakukan?" tanyaku terengah-engah saat ia menurunkanku di ruangan yang gelap entah di mana di lantai dua.
"Berusaha mengaburkan aromamu. Tidak akan bertahan lama, tapi mungkin bisa membantumu melarikan diri." Aku bisa mendengar suara pakaiannya berjatuhan di lantai.
"Kurasa pakaian Anda takkan muat..." aku ragu, tapi tangan-tangannya langsung melepaskan T-shirt-ku. Aku
bergegas melepaskan jinsku. Ia memberi sesuatu padaku, rasanya seperti kaus. Aku berjuang memasukkan tanganku ke lubang yang tepat. Begitu aku selesai, ia menyerahkan celana panjangnya. Aku mengenakannya, tapi tak bisa mengeluarkan kakiku; terlalu panjang. Dengan mahir ia menggulung ujung lipatannya beberapa kali hingga aku bisa berdiri. Entah bagaimana ia sudah mengenakan pakaianku.
Ia menarikku kembali ke tangga, ke tempat Alice berdiri sambil membawa tas kulit kecil. Mereka masing-masing memegang sikuku dan setengah mengangkatku ketika melayang menuruni tangga.
Sepertinya segala sesuatu di bawah telah beres saat kami pergi tadi. Edward dan Emmett sudah siap berangkat,
Emmett menyampirkan ransel yang kelihatan berat di bahunya. Carlisle menyerahkan sesuatu yang kecil kepada
Esme. Ia berbalik dan menyerahkan benda yang sama kepada Alice— Ponsel mungil berwarna perak.
“Esme dan Rosalie akan membawa trukmu, Bella." Ia memberitahu saat melewatiku. Aku mengangguk, melirik
cemas ke arah Rosalie. Ia sedang menatap geram ke arah Carlisle.
"Alice. Jasper—kalian bawa Mercedes-nya. Warna gelapnya akan berguna bagi kalian ketika berada di Selatan."
Mereka juga mengangguk.
"Kami naik Jeep."
Aku terkejut mengetahui Carlisle berniat pergi bersama Edward. Tiba-tiba aku menyadari, dengan ngeri, bahwa mereka akan ikut meramaikan perburuan.
"Alice," Carlisle bertanya, "apakah mereka akan memakan umpannya?"
Semua memerhatikan Alice ketika ia memejamkan mata dan bergeming.
Akhirnya matanya membuka. "James akan memburumu. Si wanita akan mengikuti truk. Kita seharusnya bisa pergi setelah itu." Suaranya yakin.
"Ayo kita pergi." Carlisle berjalan menuju dapur. Tapi Edward serta-merta telah berdiri di sisiku. Ia menangkapku dalam genggamannya yang kuat, memelukku erat-erat. Ia sepertinya tidak menyadari keluarganya memerhatikan saat ia meraih wajahku dan mendekatkannya ke wajahnya, mengangkat tubuhku dari lantai. Dalam waktu sekejap bibirnya yang dingin dan keras mencium bibirku. Kemudian semuanya selesai. Ia menurunkanku kembali ke lantai, masih memegangi wajahku, matanya yang indah membara menatapku.
Sorot matanya berubah hampa, mematikan, ketika ia berpaling dariku.
Dan mereka pun pergi. Kami berdiri di sana, yang lain memalingkan pandangan dariku saat air mata mulai menetes tanpa suara di wajahku. Keheningan terus berlanjut, kemudian ponsel Esme bergetar. Ia langsung mendengarkan.
"Sekarang" katanya. Rosalie berjalan sambil mengentakkan kaki menuju pintu depan tanpa melihat lagi
ke arahku, tapi Esme menyentuh pipiku ketika melewatiku.
“Jaga dirimu." Bisikannya menggema di belakang mereka saat mereka menyelinap keluar. Aku mendengar
suara trukku menderu, lalu lenyap. Jasper dan Alice menunggu. Ponsel Alice sepertinya sudah menempel di telinganya sebelum sempat bergetar.
"Edward bilang si wanita membuntuti Esme. Aku akan ambil mobil." Ia lenyap ke dalam kegelapan seperti ketika Edward pergi. Jasper dan aku berpandang-pandangan. Ia berdiri agak jauh di pintu masuk... berhati-hati.
"Kau salah, kau tahu itu," katanya pelan.
"Apa?" aku terkesiap.
"Aku bisa merasakan apa yang kaurasakan sekarang—dan kau memang layak."
"Tidak," gumamku. "Kalau terjadi sesuatu pada mereka,pengorbanan mereka bakal sia-sia."
“Kau keliru," ia mengulanginya, tersenyum ramah padaku.
Aku tak mendengar apa-apa, tapi kemudian Alice melangkah melalui pintu depan dan menghampiriku
dengan tangan terentang.
"Bolehkah?" tanyanya.
“Kau yang pertama meminta izin." Aku tersenyum pahit. Tangannya yang ramping mengangkatku semudah
yang dilakukan Emmett, memelukku dengan sikap melindungi, kemudian kami terbang melewati pintu,
meninggalkan cahaya terang di belakang kami.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates