Baca Online Twilight part 14
14. TEKAD YANG KUAT MENGALAHKAN SEGALA HAMBATAN FISIK
HARUS kuakui ia bisa mengemudi dengan baik saat ia menjaga kecepatannya tetap wajar. Seperti banyak hal, tampaknya itu mudah baginya. Meskipun ia nyaris tidak melihat jalanan, ban trukku tak pernah keluar satu senti pun dari batas jalur. Ia mengemudi dengan satu tangan, tangan yang lain menggenggam tanganku yang bersandar di kursi. Kadang-kadang ia memandang matahari yang mulai terbenam, kadang-kadang menatapku—wajahku, rambutku yang berkibaran dari jendela yang terbuka, tangan kami yang bertaut.
Ia menyetel saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu lama, dan ikut menyanyikan lagu yang tak pernah kudengar. Ia hafal setiap barisnya.
"Kau suka musik '50-an?" tanyaku.
"Musik'50-an bagus. Jauh lebih bagus daripada musik '60-an, atau 70-an, uhh!" Ia bergidik. "Delapan puluhan masih bisa diterima."
HARUS kuakui ia bisa mengemudi dengan baik saat ia menjaga kecepatannya tetap wajar. Seperti banyak hal, tampaknya itu mudah baginya. Meskipun ia nyaris tidak melihat jalanan, ban trukku tak pernah keluar satu senti pun dari batas jalur. Ia mengemudi dengan satu tangan, tangan yang lain menggenggam tanganku yang bersandar di kursi. Kadang-kadang ia memandang matahari yang mulai terbenam, kadang-kadang menatapku—wajahku, rambutku yang berkibaran dari jendela yang terbuka, tangan kami yang bertaut.
Ia menyetel saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu lama, dan ikut menyanyikan lagu yang tak pernah kudengar. Ia hafal setiap barisnya.
"Kau suka musik '50-an?" tanyaku.
"Musik'50-an bagus. Jauh lebih bagus daripada musik '60-an, atau 70-an, uhh!" Ia bergidik. "Delapan puluhan masih bisa diterima."
“Apa kau akan pernah
memberitahuku berapa usiamu?" tanyaku, ragu-ragu, tak ingin merusak selera
humornya yang ceria.
"Apakah itu sangat penting?” Untungnya senyumnya tetap mengembang.
"Tidak juga, tapi aku masih bertanya-tanya..." aku nyengir.
"Misteri tak terpecahkan selalu bisa membuatmu terjaga sepanjang
malam."
"Aku membayangkan apakah itu akan membuatmu kecewa," ia bergumam pada
dirinya sendiri. Ia memandang matahari; menit demi menit berlalu.
"Coba saja," kataku akhirnya.
Ia mendesah, kemudian menatap mataku, seolah-olah benar-benar melupakan jalanan
selama beberapa saat. Apa pun yang dilihatnya pasti telah membangkitkan keberaniannya.
Ia melihat ke arah matahari—cahaya benda langit bundar yang terbenam itu
membuat kulitnya bercahaya dalam kilauan butir-butir kemerahan—lalu berkata,
"Aku lahir di Chicago tahun 1901." Ia berhenti sejenak dan melirikku
dari sudut matanya. Dengan hati-hati kujaga wajahku tetap tenang, sabar
menantikan penjelasan selanjutnya. Ia tersenyum simpul dan melanjutkan, "Carlisle
menemukanku di rumah sakit pada tahun 1918. Usiaku tujuh belas saat itu,
sekarat akibat flu Spanyol." Ia mendengarku terkesiap, meski bagiku
sendiri nyaris tak terdengar. Ia menunduk menatap mataku lagi.
"Aku tak mengingatnya dengan baik—sudah lama sekali, dan ingatan manusia memudar."
Sesaat ia larut dalam
ingatannya sebelum melanjutkan lagi, "Tapi aku ingat bagaimana rasanya, ketika
Carlisle menyelamatkanku. Bukan hal mudah, bukan sesuatu yang bisa
kaulupakan."
“Orangtuamu?"
"Mereka telah meninggal lebih dulu akibat penyakit itu. Aku sebatang kara.
Itu sebabnya dia memilihku. Di tengahtengah kekacauan bencana epidemik itu, tak
seorang pun bakal menyadari bahwa aku menghilang.
"Bagaimana dia... menyelamatkanmu?”
Beberapa detik berlalu sebelum ia menyahut. Sepertinya ia memilih kata-katanya
dengan hati-hati
"Sulit. Tak banyak dari kami memiliki kendali diri yang diperlukan untuk
menyelesaikannya. Tapi Carlisle selalu menjadi yang paling manusiawi, yang
paling berbelas kasih di antara kami.... Kurasa kau tak bisa menemukan yang setara
dengannya sepanjang sejarah." Ia terdiam. "Bagiku, rasanya amat,
sangat menyakitkan.”
Dari garis bibirnya aku tahu ia tidak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai
masalah ini. Kutekan rasa penasaranku, meskipun nyaris tak mungkin. Banyak yang
perlu kupikirkan mengenai hal ini, hal-hal yang baru saja muncul dalam benakku.
Tak diragukan lagi benaknya yang berputar cepat telah mengetahui setiap aspek
yang tidak kumengerti. Suaranya yang lembut membuyarkan lamunanku.
"Kesendirianlah yang menggerakkannya. Biasanya itulah alasan di balik pilihan
tersebut. Aku adalah yang pertama dalam keluarga Carlisle, meski tak lama
setelah itu dia menemukan Esme. Dia terjatuh dari tebing. Mereka langsung
membawanya ke kamar mayat di rumah sakit, meski entah bagaimana jantungnya
masih berdenyut."
"Kalau begitu kau harus dalam kondisi sekarat untuk menjadi...” Kami tak
pernah mengucapkan kata itu, dan aku tak dapat mengucapkannya sekarang.
"Tidak, itu hanya Carlisle. Dia takkan pernah melakukannya pada orang yang
memiliki pilihan lain."
Rasa hormat yang sangat dalam terpancar dalam suaranya setiap kali ia
membicarakan orang yang menjadi figur ayah baginya itu. "Meski begitu, katanya
lebih mudah bila aliran darahnya lemah," lanjutnya. Ia memandang jalanan
yang sekarang telah menggelap, dan aku bisa merasakan topik ini telah berakhir.
"Emmett dan Rosalie?"
"Carlisle membawa Rosalie ke keluarga kami setelah Esme. Lama setelahnya barulah
aku menyadari bahwa dia berharap Rosalie akan menjadi seseorang bagiku seperti Esme
baginya—Carlisle berhati-hati dengan pikirannya yang menyangkut diriku." Ia
memutar bola matanya. "Tapi Rosalie tak pernah lebih daripada seorang adik.
Dua tahun kemudian dia menemukan Emmett. Rosalie sedang berburu—waktu itu kami
sedang di Appalachia—dan mendapati seekor beruang nyaris menghabisi Emmett. Rosalie
membawanya kepada Carlisle, menempuh jarak lebih dari seratus mil, khawatir dia
tak dapat melakukannya sendiri. Aku hanya menduga-duga bagaimana sulitnya perjalanan
itu baginya." Ia menatapku dalam-dalam, dan mengangkat tangan kami, masih
terjalin, lalu mengusap pipiku dengan punggung tangannya.
"Tapi dia berhasil," aku mendorongnya, berpaling dari keindahan
matanya yang tak tertahankan.
"Ya," gumamnya. "Dia melihat sesuatu di wajah Emmett yang
membuatnya cukup kuat. Dan sejak itu mereka selalu bersama-sama. Kadang-kadang
mereka tinggal terpisah dari kami, sebagai suami-istri. Semakin muda umur yang
kami pilih sebagai identitas kami, semakin lama kami bisa tinggal di mana pun.
Forks kelihatannya sempurna, jadi kami semua mendaftar di SMA." Ia
tertawa. "Kurasa kita harus menghadiri pernikahan mereka dalam beberapa
tahun lagi.”
"Alice dan Jasper?"
"Alice dan Jasper dua makhluk yang sangar langka. Mereka mengembangkan
kesadaran, begitu kami menyebutnya, tanpa bimbingan dari luar. Jasper berasal dari
keluarga... lain, jenis keluarga yang sangat berbeda. Dia tertekan, dan
akhirnya memilih mengembara sendirian. Alice menemukannya. Seperti aku, Alice
memiliki bakat khusus di atas dan melampaui rata-rata jenis kami.”
"Sungguh?" selaku, terkesima. "Tapi karamu, kau satusatunya yang
bisa mendengarkan pikiran orang lain."
"Memang benar. Alice mengetahui hal lain. Dia melihat hal-hal—hal-hal yang
mungkin terjadi, hal-hal yang akan datang. Tapi itu sangat subjektif. Masa
depan tidak terukir di atas batu. Segala sesuatu berubah."
Rahangnya mengeras ketika mengatakan itu, dan matanya tertuju padaku, lalu
berlalu begitu cepat sehingga aku tak yakin bahwa aku hanya mengkhayalkannya.
"Hal-hal apa yang dilihatnya?"
"Dia melihat Jasper dan tahu dia mencari dirinya bahkan sebelum Jasper
sendiri mengetahui hal itu. Dia melihat Carlisle dan keluarga kami, dan mereka
datang bersama-sama menemui kami. Alice paling sensitif terhadap makhluk
bukan-manusia. Dia selalu melihat, contohnya, ketika kelompok lain jenis kami
mendekat. Dan ancaman apa pun yang mungkin ditimbulkan."
"Apakah jenis kalian... ada banyak?" Aku terkejut.
Berapa banyakkah dari mereka yang bisa berjalan di antara manusia tanpa
terdeteksi?
"Tidak, tidak banyak. Tapi kebanyakan tidak akan menetap di satu tempat.
Hanya yang seperti kami, yang telah berhenti memburu kalian manusia"-ia
mengerling licik padaku—"bisa hidup bersama manusia selama apa pun.
Kami hanya menemukan seperti kami, di desa kecil di Alaska. Kami hidup bersama
untuk waktu yang lama, tapi jumlah kami terlalu banyak sehingga manusia mulai menyadari
keberadaan kami. Jenis seperti kami yang hidup... secara berbeda cenderung
berkumpul bersama.
"Dan yang lain?"
"Kebanyakan berpindah-pindah. Dari waktu ke waktu kami hidup seperti itu.
Seperti yang lainnya, kebiasaan ini mulai membosankan. Kadang-kadang kami
bertemu yang lain, karena kebanyakan dari kami lebih menyukai daerah
Utara."
"Kenapa begitu?" Kami telah sampai di depan rumahku sekarang, dan ia mematikan
truk. Suasana sangat tenang dan gelap; tak ada bulan. Lampu teras mati, jadi
aku tahu ayahku belum pulang.
"Kau memerhatikan sore tadi?" godanya. "Kaupikir aku bisa
berjalan bebas di jalanan di bawah sinar matahari tanpamenyebabkan kecelakaan lalu
lintas? Ada alasan mengapakami memilih Semenanjung Olympic, salah satu tempat
di dunia dengan sinar matahari paling sedikit. Rasanya menyenangkan bisa keluar
di siang hari. Kau takkan percaya betapa membosankannya malam setelah delapan puluh
tahun yang aneh."
“Jadi dari situkah asal-muasal legenda itu?"
"Barangkali."
“Dan Alice berasal dari keluarga yang lain, seperti Jasper?"
“Tidak, dan itu adalah misteri. Alice tidak ingat kehidupan manusianya sama
sekali. Dan dia tidak tahu siapa yang menciptakannya. Dia terbangun sendirian.
Siapa pun yang menciptakannya telah meninggalkannya, dan tak satu pun dari kami
mengerti kenapa, atau bagaimana orang itu bisa melakukannya. Seandainya Alice
tidak memiliki indra istimewa itu, seandainya dia tidak melihat Jasper dan Carlisle
dan tahu suatu hari nanti dia akan menjadi salah satu dari kami, dia barangkali
bisa berubah jahat."
Banyak sekali yang harus dipikirkan, banyak sekali yang masih ingin kutanyakan.
Tapi yang membuatku teramat malu, perutku keroncongan. Aku begitu terkesima
sehingga bahkan tidak sadar diriku kelaparan. Sekarang aku sadar bahwa aku
sangat kelaparan.
"Maaf, aku membuatmu terlambat makan malam."
“Aku baik-baik saja, sungguh."
“Aku tak pernah menghabiskan begitu banyak waktu bersama seseorang yang perlu
makan. Aku lupa.”
"Aku ingin bersamamu." Lebih mudah mengatakannya dalam kegelapan, mengetahui
bagaimana suaraku bisa mengkhianatiku dan kecanduanku akan dirinya terdengar sangat
nyata.
"Tidak bisakah aku masuk?" tanyanya.
"Kau mau?" Aku tak bisa membayangkannya, makhluk bagai dewa ini duduk
di kursi dapur ayahku yang jelek.
“Ya, kalau tidak merepotkan." Aku mendengar pintunya menutup pelan, dan
nyaris saat itu juga ia telah berada di samping pintuku, membukakannya untukku.
“Sangat manusiawi," aku memujinya.
“Jelas kebiasaan itu muncul lagi." Ia berjalan di sisiku dalam kegelapan
malam, begitu diamnya sehingga aku harus terus-menerus melirik ke arahnya untuk
memastikan ia masih di sana. Dalam gelap ia tampak jauh lebih normal. Masih
pucat, ketampanannya masih bagai ilusi, tapi bukan lagi makhluk kemilau di bawah
sinar matahari seperti sore tadi.
Ia menggapai pintu di depanku dan membukakannya untukku. Aku berhenti di
tengah-tengah pintu.
"Pintunya tak terkunci?"
"Bukan, aku menggunakan kunci di bawah daun pintu."
Aku melangkah masuk, menyalakan lampu teras, dan berbalik menghadapnya dengan
alis terangkat. Aku yakin tak pernah menggunakan kunci itu di hadapannya.
“Aku penasaran denganmu."
"Kau memata-mataiku?" Entah bagaimana aku tak bisa membuat suaraku terdengar
marah. Aku tersanjung.
Ia kelihatan tidak menyesal. "Apa lagi yang bisa dilakukan pada malam hari?"
Untuk sementara aku mengabaikannya dan menyusuri lorong menuju dapur. Ia sudah
di sana, sama sekali tak perlu diarahkan. Ia duduk di kursi yang sama dengan
yang kubayangkan akan didudukinya. Ketampanannya membuat dapur bersinar-sinar.
Lama baru aku bisa berpaling. Aku berkonsentrasi menyiapkan makan malamku, mengambil
lasagna sisa semalam dari dapur, menempatkan sebagian di piring, kemudian
memanaskannya di microwave. Piringnya berputar, menyebarkan aroma tomat dan
oregano ke seluruh dapur. Aku tetap menatap piring ketika bicara.
“Seberapa sering?" tanyaku kasual.
“Hmmm?" Ia terdengar seolah-olah aku telah menariknya keluar dari
lamunannya.
Aku masih tidak berpaling. "Seberapa sering kau datang kemari?"
“Aku datang ke sini hampir setiap malam."
Aku berputar, terperangah. "Kenapa?"
“Kau menarik ketika sedang tidur." Nada suaranya datar. “Kau
mengigau."
“Tidak!" sahurku menahan napas, wajahku memanas hingga ke garis rambut.
Aku meraih meja dapur untuk menjaga keseimbangan. Aku tahu aku suka mengigau ketika
tidur, tentu saja; ibuku selalu menggodaku soal ini. Meski begitu aku tidak
menyangka aku perlu mengkhawatirkannya di sini.
Ekspresinya langsung berubah kecewa. "Apa kau sangat marah padaku?"
"Tergantung!” Aku merasa dan terdengar seolah kehabisan napas.
Ia menanti.
"Pada?" desaknya.
"Apa yang kaudengar!" erangku.
Saat itu juga, tanpa suara, ia sudah pindah ke sisiku, tangannya meraih
tanganku dengan hati-hati.
"Jangan sedih!" ia memohon. Ia menurunkan wajahnya hingga sejajar
dengan mataku, kemudian menatapnya. Aku merasa malu. Aku mencoba memalingkan
wajah.
"Kau merindukan ibumu," bisiknya. "Kau mengkhawatirkannya. Dan
ketika hujan turun, suaranya membuatmu gelisah. Kau juga sering mengigau
tentang rumahmu, tapi sekarang sudah jauh berkurang. Kau pernah mengatakan
sekali, 'Terlalu hijau?'” Ia tertawa lembut, berharap aku bisa melihatnya, dan
tidak membuatku tersinggung lagi.
"Ada lagi?" desakku.
Ia tahu maksudku. "Kau memanggil namaku," ia mengakui.
Aku mendesah kalah. "Sering?"
"Seberapa sering yang kaumaksud dengan ‘sering’, tepatnya?"
"Oh tidak!" Kepalaku terkulai.
Ia menarikku lembut ke dadanya. Gerakannya sangat alami.
"Jangan malu," ia berbisik di telingaku. "Seandainya bisa bermimpi,
aku pasti akan memimpikanmu. Dan aku tidak merasa malu.”
Kemudian kami mendengar suara ban mobil melintasi jalanan, melihat lampu sorotnya
menyinari jendela depan, terus ke lorong menuju ke kami. Tubuhku kaku dalam pelukannya.
"Haruskah ayahmu tahu aku di sini?" tanyanya.
"Aku tidak yakin..." Aku memikirkannya dengan cepat.
"Kalau begitu lain waktu saja..."
Dan aku pun sendirian.
"Edward!" desisku tertahan.
Aku mendengar suara tawa yang samar, lalu lenyap. Terdengar suara Dad membuka
kunci pintu.
"Bella?" panggilnya. Sebelumnya hal ini menggangguku, siapa lagi yang
ada di rumah kalau bukan aku? Tapi tibatiba saja ia tidak kelihatan kelewat
menyebalkan.
"Di sini." Kuharap ia tidak mendengar nada histeris dalam suaraku. Aku
mengambil makan malamku dari microwave dan duduk di meja ketika ia masuk.
Langkah kakinya terdengar berisik setelah aku melewatkan seharian bersama Edward.
“Maukah kau mengambilkan lasagna untukku juga? Aku lelah sekali." Ia
menginjak bagian tumit sepatunya untuk melepaskannya, sambil berpegangan dengan
sandaran kursi yang tadi diduduki Edward. Aku membawa makananku, mengunyahnya
sambil mengambilkan makan malamnya. Aku kepedasan. Kutuangkan dua gelas susu
sementara memanaskan lasagna Charlie, dan meminum susuku untuk menghilangkan
pedas.
Ketika aku meletakkan gelasku, susunya bergetar. Aku baru menyadari tanganku
gemetaran. Charlie duduk di kursi, dan perbedaan antara dirinya dan orang yang
duduk di sana sebelum dia, benar-benar menggelikan.
“Terima kasih." sahutnya ketika aku menghidangkan makanannya di meja.
"Bagaimana harimu?" tanyaku, buru-buru. Aku ingin sekal, pergi ke
kamar.
"Bagus. Acara memancingnya biasa saja... kau? Apakah semua yang ingin kaukerjakan
akhirnya selesai?"
"Tidak juga—cuaca di luar terlalu bagus untuk dibiarkan begitu saja."
Aku menyuap lasagna-ku lagi.
"Hari ini memang bagus," timpalnya. Betapa ironisnya, pikirku.
Begitu lasagna-ku habis, aku mengangkat gelasku dan menandaskan susu yang
tersisa.
Charlie membuatku kaget karena ternyata ia memerhatikan. "Sedang
terburu-buru?"
"Yeah, aku lelah. Aku mau tidur lebih cepat."
"Kau kelihatan agak tegang," ujarnya. Mengapa, oh, mengapa ia harus
begitu perhatian malam ini?
"Masa sih?" Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku langsung mencuci
piring dan menempatkannya terbalik di pengering.
“Ini hari Sabtu," sahutnya menerawang. Aku tak menjawab.
“Tak ada rencana malam ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak, Dad, aku hanya mau tidur."
“Tak satu pun cowok di kota ini sesuai tipemu, ya?" Ia curiga, tapi berusaha
terdengar biasa saja.
“Tidak, belum ada cowok yang menarik perhatianku." Aku berhati-hati agar
tidak terlalu menekankan kata cowok dalam usahaku bersikap jujur pada Charlie.
"Kupikir Mike Newton itu... katamu dia ramah."
“Dia hanya teman, Dad.”
“Wol, lagi pula kau terlalu baik untuk mereka semua. Tunggu sampai kuliah nanti,
kalau mau mencari teman istimewa.” Impian setiap ayah adalah putri mereka akan meninggalkan
rumah sebelum masalah hormon bermunculan.
“Sepertinya ide bagus," aku menimpali sambil menaiki tangga.
“Selamat malam, Sayang," ujarnya. Tak diragukan lagi ia akan memasang
telinga semalaman, menungguku mengendap-endap meninggalkan rumah.
"Sampai besok pagi, Dad." Sampai nanti malam ketika kau
mengendap-endap ke kamarku tengah malam nanti untuk memeriksaku.
Aku berusaha agar langkahku sepelan dan selelah mungkin ketika menaiki tangga
menuju kamar. Kututup pintunya cukup keras untuk didengarnya, kemudian berlari dengan
berjingkat menuju jendela. Aku membukanya dan melongok ke luar menembus malam.
Mataku mencari-cari dalam kegelapan, ke bayangan pepohonan yang tak dapat ditembus.
"Edward?" bisikku, merasa benar-benar tolol. Suara tawa pelan menyambut
dari belakangku. "Ya?" Aku berbalik, salah satu tanganku melayang ke
leher karena terkejut. Ia berbaring, tersenyum lebar di tempat tidurku, tangannya
menyilang di belakang kepala, kakinya berayunayun di ujung tempat tidur,
posisinya sangat santai.
“Oh!" aku mendesah, jatuh lemas ke lantai.
“Maafkan aku.” Ia mengatupkan bibirnya erat-erat, berusaha menyembunyikan
perasaan gelinya.
“Beri aku waktu sebentar untuk menenangkan jantungku.”
Perlahan-lahan ia bangkit duduk, supaya tidak mengejutkanku lagi. Kemudian ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan menautkan lengannya yang panjang, mengangkatku,
memegang pangkal lenganku seolah aku anak kecil. Ia mendudukkanku tempat tidur
di sebelahnya.
"Kenapa kau tidak duduk saja denganku?" ia menyarankan, meletakkan
tangannya yang dingin ditanganku. "Bagaimana jantungmu?"
"Kau saja yang bilang—aku yakin kau mendengarnya lebih baik dariku."
Kurasakan tawanya yang pelan menggetarkan tempat tidur. Sesaat kami duduk diam
di sana, sama-sama mendengarkan detak jantungku melambat. Aku berpikir tentang
keberadaan Edward di kamarku sementara ayahku ada di rumah.
"Bolehkah aku meminta waktu sebentar untuk menjadi manusia?' pintaku.
"Tentu." Ia menggerakkan tangan menyuruhku melakukannya.
"Diam di situ," kataku, mencoba tampak galak.
“Ya, Ma'am.” Dan ia berpura-pura seperti patung di ujung tempat tidurku.
Aku melompat, memungut piamaku dari lantai dan tas perlengkapan mandiku dari
meja. Aku membiarkan lampu tidak menyala, meluncur keluar, kemudian menutup
pintu. Aku bisa mendengar suara TV menggema hingga ke atas. Aku membanting
pintu kamar mandi keras-keras, supaya Charlie tidak naik mencariku.
Aku bermaksud buru-buru. Kugosok gigiku keras-keras, berusaha menyeluruh
sekaligus cepat, menyingkirkan sisasisa lasagna. Tapi air panas dari pancuran
tak bisa mengalir cepat. Siramannya melemaskan otot-otot punggungku, menenangkan
denyut nadiku. Aroma khas sampoku membuatku merasa aku mungkin saja orang yang
sama seperti tadi pagi. Aku mencoba tidak memikirkan Edward, yang sedang duduk
di kamarku, menunggu, karena kalau begitu aku harus mengulangi proses
menenangkan diri dari awal lagi. Akhirnya aku tak bisa menunda lagi. Kumatikan keran
air, handukan sekenanya, terburu-buru lagi. Kukenakan T-shirt lusuhku dan
celana joging abu-abuku.
Terlambat untuk menyesal karena tidak membawa piyama sutra Victoria Secret yang
diberikan ibuku pada ulang tahunku dua tahun lalu, yang masih ada label
harganya dan tersimpan di suatu tempat di lemari pakaianku di rumah. Kukeringkan
rambutku lagi dengan handuk, kemudian menyisirnya cepat-cepat. Kulempar
handuknya ke keranjang, lalu melempar sikat dan pasta gigi ke tasku. Kemudian
aku meluncur turun supaya Charlie bisa melihatku mengenakan piama dan habis
mandi.
"Selamat malam, Dad."
"Selamat malam, Bella." Ia tampak terkejut dengan kemunculanku. Barangkali
itu akan mencegahnya memeriksaku malam ini.
Aku menaiki anak tangga dua-dua, berusaha tetap tenang, dan meluncur ke kamar,
menutup pintu rapat-rapat. Edward tak bergerak sedikit pun dari posisi semula,
bagai ukiran Adonis yang bertengger di selimutku yang lusuh. Aku tersenyum dan
bibirnya bergerak-gerak, patungnya menjadi hidup.
Matanya mengamanku, rambutku yang basah. T-Shirt yang sudah berlubang-lubang.
Salah satu alisnya terangkat.
"Bagus." Aku nyengir.
"Sungguh, pakaian itu tampak bagus padamu."
“Terima kasih." bisikku. Aku kembali ke sisinya, duduk menyilangkan kaki
di sebelahnya. Aku memandang garisgaris lantai kayu kamarku.
"Untuk apa kau mandi dan sebagainya itu?"
"Charlie pikir, aku bakal menyelinap keluar."
"Oh." Ia memikirkannya. “Kenapa?" Seolah-olah ia tidak dapat
membaca pikiran Charlie lebih jelas daripada yang kuduga.
"Sepertinya aku tampak agak terlalu bersemangat." Ia mengangkat
daguku, mengamati wajahku.
"Sebenarnya kau tampak hangat sekali."
Perlahan-lahan ia menundukkan wajahnya ke wajahku, meletakkan pipinya yang dingin
ke kulitku. Aku sama sekali tak bergerak.
"Mmmmmm...," desahnya.
Saat ia menyentuhku, sangat sulit untuk memikirkan pertanyaan yang masuk akal.
Saat konsentrasiku buyar, butuh beberapa menit bagiku untuk memulai. "Sepertinya...
sekarang lebih mudah bagimu berada di dekatku."
"Begitukah yang kaulihat?" gumamnya, hidungnya meluncur ke sudut rahangku.
Aku merasakan tangannya, lebih ringan dari sayap ngengat, menyibak rambut basahku
ke belakang sehingga bibirnya bisa menyentuh lekukan di bawah daun telingaku.
"Amat sangat lebih mudah," kataku mencoba mengembuskan napas. °
"Hmm."
"Jadi, aku bertanya-tanya...” aku memulai lagi, tapi jarijarinya perlahan
menelusuri tulang selangkaku, dan aku kehilangan akal sehatku.
"Ya?" desahnya.
"Kenapa," suaraku bergetar, membuatku malu, "seperti itu
menurutmu?"
Kurasakan getaran napasnya di leherku saat ia tertawa.
"Tekad yang kuat mengalahkan segala hambatan fisik."
Aku menarik diri; dan ia membeku—dan aku tak lagi mendengar suara napasnya.
Sesaat kami bertatapan dengan hati-hati, kemudian, bersamaan dengan rahangnya
yang mulai rileks, ekspresinya tampak bingung.
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"Tidak—justru sebaliknya. Kau membuatku sinting," paparku.
Ia memikirkannya sebentar, dan ketika berbicara ia terdengar senang.
"Benarkah?" Senyum kemenangan perlahan menyinari wajahnya.
"Kau mau tepukan tangan?" tanyaku sinis. Ia nyengir.
"Aku hanya terkejut," ia menjelaskan. "Selama kurang lebih seratus
tahun terakhir," suaranya menggoda, "aku tak pernah membayangkan
sesuatu seperti ini. Aku tak percaya akan pernah menemukan seseorang dengan
siapa aku ingin menghabiskan waktuku... bukan dalam artian seorang adik. Dan
menemukan, meskipun semuanya baru bagiku, bahwa aku bisa mengendalikan diriku
saat... bersamamu...."
"Kau bisa melakukan apa saja," ujarku. Ia mengangkat bahu, menerima
pujianku, dan kami tertawa pelan.
"Tapi kenapa sekarang bisa begitu mudah?" desakku.
"Sore tadi..."
"Ini tidak mudah,” desahnya. "Tapi sore tadi. Aku masih... ragu.
Maafkan aku soal itu, benar-benar tak termaafkan bersikap seperti itu.”
“Tidak tak termaafkan,” sergahku.
"Terima kasih.” Ia tersenyum. "Kau tahu," lanjutnya, sekarang
menunduk, "aku tidak yakin apakah aku cukup
kuat..." Ia mengangkat satu tanganku dan menempelkannya lembut ke
wajahnya. "Selain kemungkinan aku dapat... menaklukkan"—ia menghirup
aroma pergelangan tanganku—"aku juga rapuh. Sampai aku memutuskan diriku
memang cukup kuat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan aku akan... bahwa aku
dapat..." Aku tak pernah melihatnya kesulitan menemukan katakata.
Begitu... manusiawi.
"Jadi sekarang tidak ada kemungkinan?"
"Tekad yang kuat mengalahkan segala hambatan fisik," ulangnya,
tersenyum, giginya tampak berkilau bahkan dalam kegelapan.
"Wow, itu tadi mudah," sahutku. Ia mengedikkan kepala dan tertawa,
sepelan bisikan, namun tetap bersemangat.
"Mudah bagimu!" ralatnya, menyentuh hidungku dengan ujung jarinya.
Lalu wajahnya tiba-tiba serius. "Aku berusaha," bisiknya, suaranya
sedih. "Kalau nanti segalanya jadi kelewat berat, aku cukup yakin akan
bisa pergi.”
Aku menatapnya marah. Aku tidak suka membicarakan kepergian.
"Dan akan lebih sulit besok,” lanjutnya. “Aku menyimpan aroma tubuhmu di
kepalaku seharian, dan aku jadi luar biasa kebal terhadapnya. Seandainya aku
jauh darimu selama apa pun aku harus mengulang semuanya lagi. Tapi aku tidak benar-benar
dari awal, kurasa.”
"Kalau begitu jangan pergi," timpalku, tak mampu menyembunyikan
hasrat dalam suaraku.
"Setuju," balasnya, wajahnya berubah menjadi senyuman lembut.
"Kemarikan borgolnya—aku adalah tawananmu."
Tapi tangannya yang panjang membentuk borgol di sekeliling pergelangan tanganku
saat mengatakannya. Ia mengeluarkan tawa merdunya yang pelan. Malam ini ia lebih
banyak tertawa daripada seluruh waktu yang kuhabiskan dengannya sebelumnya.
"Kau tampak lebih... ceria dari biasanya," kataku. "Aku belum
pernah melihatmu seperti ini sebelumnya."
"Bukankah seharusnya seperti ini?" Ia tersenyum.
"Keindahan cinta pertama, dan semuanya. Bukankah mengagumkan, perbedaan
antara membaca sesuatu, melihatnya di gambar, dan merasakannya sendiri?"
“Sangat berbeda," timpalku. "Lebih kuat daripada yang pernah
kubayangkan."
"Contohnya"—kata-katanya lebih mengalir sekarang, aku sampai harus berkonsentrasi
untuk menangkap semuanya— "perasaan cemburu. Aku telah membacanya ratusan
kali, melihatnya dimainkan aktor dalam ribuan pertunjukan dan film. Aku yakin
telah memahaminya dengan jelas. Tapi toh itu mengejutkanku..." Ia
meringis.
"Kau ingat waktu Mike mengajak mu pergi ke pesta dansa?" Aku
mengangguk, meski aku mengingat hari itu untuk alasan berbeda. "Hari itu
kau mulai berbicara lagi denganku."
"Aku terkejut karena kemarahan, nyaris murka, yang kurasakan—awalnya aku
tak menyadarinya. Aku bahkan lebih jengkel daripada sebelumnya karena tak bisa mengetahui
apa yang kaupikirkan, mengapa kau menolaknya. Apakah itu hanya semata-mata demi
persahabatanmu dengan Jessica? Apakah ada orang lain? Aku tahu bagaimanapun
juga aku tak punya hak untuk memedulikannya. Aku berusaha untuk tidak peduli. "Lalu
semuanya mulai jelas," ia tergelak. Aku menatapnya jengkel dalam gelap.
"Aku menunggu, kelewat ingin mendengar apa yang akan kaukatakan pada
mereka, untuk mengamati ekspresimu. Aku tak bisa menyangkali perasaan lega yang
kurasakan saat menyaksikan wajahmu yang kesal. Tapi aku tak bisa yakin.
"Itu adalah malam pertama aku datang ke sini. Sambil melihatmu tidur, aku
bergumul semalaman antara apa yang kutahu benar; bermoral, etis, dengan apa
yang kuinginkan. Aku tahu seandainya aku terus mengabaikanmu sebagaimana
seharusnya, atau seandainya aku pergi selama beberapa tahun, sampai kau pergi
dari sini, suatu hari kelak kau akan mengatakan ya kepada Mike, atau seseorang seperti
dia. Dan pemikiran itu membuatku marah."
“Kemudian," ia berbisik, "ketika kau tidur, kau menyebut namaku. Kau
menyebutnya begitu jelas, hingga awalnya kukira kau terbangun. Tapi kau
bergulak-gulik gelisah, dan menggumamkan namaku sekali lagi, lalu mendesah.
Perasaan yang menyelimutiku kemudian adalah perasaan takut, bahagia. Dan aku
pun tahu, aku tak bisa mengabaikanmu lebih lama lagi.” ia terdiam sebentar, barangkali
mendengarkan jantungku yang tiba-tiba berdebar-debar.
“Tapi kecemburuan... adalah hal aneh. Jauh lebih kuat dari pada yang kukira. Dan
tidak masuk akal! Baru saja, ketika Charlie menanyakan soal si brengsek Mike
Newton itu...” Ia menggelengkan kepala keras-keras.
"Aku seharusnya tahu kau pasti menguping," gerutuku.
"Tentu saja."
"Dan itu membuatmu cemburu, benarkah?"
"Semua ini baru bagiku; kau membangkitkan sisi manusia dalam diriku, dan
segalanya terasa lebih kuat karena ini baru."
"Yang benar saja," godaku, "itu tidak ada apa-apanya, mengingat
aku harus mendengar bahwa Rosalie—Rosalie, penjelmaan kecantikan yang murni, Rosalie—sebenarnya
tercipta untukmu. Emmett atau tanpa Emmett, bagaimana aku bisa bersaing dengan
kenyataan itu?"
"Tidak ada persaingan." Giginya berkilauan. Ia menarik tanganku ke
punggungnya, membawaku ke dadanya. Aku diam sebisa mungkin, bahkan bernapas dengan
hati-hati.
"Aku tahu tidak ada persaingan," gumamku di kulitnya yang dingin.
"Itulah masalahnya."
"Tentu saja Rosalie memang cantik dengan caranya sendiri, tapi bahkan seandainya
dia bukan seperti adik bagiku, bahkan seandainya Emmett tidak bersamanya, dia takkan
pernah memiliki sepersepuluh, tidak, seperseratus daya tarikmu terhadapku."
Ia serius sekarang, tulus.
"Selama hampir sembilan puluh tahun aku hidup bersama jenisku sendiri, dan
jenis kalian... selama itu aku berpikir bahwa aku sempurna di dalam diriku
sendiri, sama sekali tak menyadari apa yang kucari. Dan tidak menemukan apa pun,
karena kau belum dilahirkan."
"Kedengarannya tidak adil," bisikku, wajahku masih rebah di dadanya,
mendengarkan irama napasnya. “Aku sama sekali tak perlu menunggu. Mengapa
bagiku semudah itu?"
"Kau benar," timpalnya senang. "Aku harus membuatnya lebih sulit
bagimu, sudah pasti." Ia melepaskan salah tangannya. melepaskan
pergelangan tanganku, hanya untuk memindahkannya dengan pelan ke tangannya yang
lain. Ia membelai lembut rambut basahku, dan ujung kepala sampai ke pinggang.
“Kau hanya perlu membahayakan hidupmu sedap detik yang kauhabiskan bersamaku,
dan tentu saja itu tidak terlalu banyak. Kau hanya perlu berpaling dari alam,
dari kemanusiaan... seberapa besar harga yang harus kaubayar?"
"Sangat sedikit—aku tak merasa dirugikan untuk apa pun."
"Belum." Dan sekonyong-konyong suaranya dipenuhi kesedihan yang
purba.
Aku berusaha menarik diri untuk memandang wajahnya, tapi tangannya mengunci pergelangan
tanganku sangat erat.
"Apa—" aku mulai bertanya, tapi tubuhnya menegang. Aku membeku, namun
tiba-tiba ia melepaskan tanganku, lalu menghilang. Aku nyaris jatuh
terjerembab.
"Berbaringlah!" desisnya. Aku tak bisa mengatakan dari mana datangnya
suara itu dalam kegelapan.
Aku berguling di bawah selimutku, meringkuk miring, seperti biasanya aku tidur.
Aku mendengar pintu terkuak saat Charlie mengintip ke dalam, memastikan aku
berada di tempat seharusnya. Napasku teratur, aku sengaja melebihlebihkannya. Saru
menit yang panjang berlalu. Aku mendengarkan, tak yakin apakah aku mendengar
pintunya menutup lagi. Kemudian lengan Edward yang sejuk memelukku di bawah selimut,
bibirnya di telingaku.
"Kau aktris yang payah-bisa kubilang karier seperti itu tidak cocok
untukmu."
"Sialan." gumamku. Jantungku berdebar kencang. Ia menggumamkan lagu
yang tidak kukenal; kedengarannya seperti lagu nina bobo.
Ia berhenti. "Haruskah aku meninabobokanmu hingga kau tidur?"
"Yang benar saja," aku tertawa. "Seolah-olah aku bisa tidur saja
sementara kau di sini!"
"Kau melakukannya setiap saat," ia mengingatkanku.
"Tapi aku tidak tahu kau ada di sini," balasku dingin.
"Jadi kalau kau tidak ingin tidur...," ujarnya, mengabaikan kekesalanku.
Napasku tertahan.
"Kalau aku tidak ingin tidur...?"
Ia tergelak. "Kalau begitu apa yang ingin kaulakukan?" Mula-mula aku
tak bisa menjawab.
"Aku tidak tahu," jawabku akhirnya.
"Katakan kalau kau sudah memutuskannya." Aku bisa merasakan napasnya
yang sejuk di leherku, merasakan hidungnya meluncur sepanjang rahangku, menghirup
napas.
"Kupikir kau sudah kebal?"
"Hanya karena aku menolak anggur, tidak berarti aku tak bisa menghargai
aromanya," bisiknya. "Aromamu seperti bunga, mirip lavender... atau
freesia" ujarnya.
"Menggiurkan.”
"Ya, ini hari libur ketika aku tidak membuat seseorang memberitahuku
betapa lezat aromaku."
Ia tergelak, lalu mendesah.
"Aku telah memutuskan apa yang ingin kulakukan," aku memberitahunya.
"Aku mau mendengar lebih banyak tentang mu."
"Tanyakan apa saja."
Aku memilah pertanyaanku hingga yang paling penting.
"Kenapa kau melakukannya?" kataku. "Aku masih tidak mengerti
bagaimana kau bisa begitu kuat menyangkal dirimu... yang sebenarnya, tolong
jangan salah mengerti, tentu saja aku senang kau melakukannya. Aku hanya tidak mengerti
kenapa kau mau melakukannya sejak awal."
Ia sempat ragu sebelum menjawab. “Itu pertanyaan bagus, dan kau bukan yang
pertama menanyakannya. Yang lainnya— mayoritas jenis kami yang cukup puas
dengan kelompok kami—mereka, juga, bertanya-tanya bagaimana cara kami hidup.
Tapi dengar, hanya karena kami telah... mendapatkan satu kemampuan... tak
berarti kami tidak bisa memilih untuk mengendalikannya—untuk menaklukkan batasan
takdir yang tak diinginkan oleh satu pun dari kami. Untuk berusaha sebisa
mungkin mempertahankan sisi kemanusiaan apa pun yang kami miliki."
Aku berbaring tak bergerak, terpukau dalam keheningan.
"Apakah kau tertidur?" ia berbisik setelah beberapa menit.
"Tidak."
"Cuma itu yang membuatmu penasaran?"
Aku memutar bola mataku. "Tidak juga."
"Apa lagi yang ingin kauketahui?"
"Kenapa kau bisa membaca pikiran—kenapa hanya kau? Dan Alice melibat masa
depan... kenapa itu terjadi?"
Aku merasakannya mengangkat bahu dalam kegelapan.
“Kami tidak benar-benar tahu. Carlisle punya teori... dia yakin kami semua
membawa karakteristik manusia kami yang paling kuat ke kehidupan berikutnya,
dan karakteristik itu menjadi lebih kuat – seperti pikiran dan indra kami. Menurut
dia, aku pasti telah menjadi sangat peka terhadap pikiran orang-orang di
sekitarku. Dan bahwa Alice memiliki indra keenam, di mana pun dia berada."
“Apa yang dibawa Carlisle dan lainnya ke kehidupan mereka berikutnya?:
“Carlisle membawa kebaikan hatinya. Esme membawa kemampuannya untuk mencintai
sepenuh hati. Emmett membawa kekuatannya, Rosalie... keteguhannya. Atau kau bisa
menyebutnya sifat keras kepala," ia tergelak. "Jasper sangat menarik.
Dia cukup memiliki karisma dalam kehidupan awalnya, mampu memengaruhi
orang-orang di sekitarnya untuk melihat lewat sudut pandangnya. Sekarang dia
mampu memanipulasi emosi orang-orang di sekelilingnya—menenangkan seruangan
penuh orang yang sedang marah, contohnya, atau di sisi lain membuat kerumunan
orang yang letih jadi bersemangat. Karunia yang sangat unik."
Aku membayangkan kemustahilan yang digambarkannya, mencoba memahaminya. Ia
menunggu dengan sabar sementara aku berpikir.
"Jadi, dari mana ini semua bermula? Maksudku, Carlisle mengubahmu, dan
seseorang pasti juga telah mengubahnya, dan seterusnya..."
"Well, dari mana asalmu? Evolusi? Penciptaan? Tidak mungkinkah kami berkembang
dengan cara yang sama seperti spesies lainnya, entah itu pemangsa atau mangsanya?
Atau kalau kau tidak percaya dunia ini mungkin saja terjadi dengan sendirinya,
yang mana aku sendiri sulit memercayainya, apakah begitu sulit untuk memercayai
bahwa kekuatan yang sama yang menciptakan angelfish juga hiu, bayi anjing laut,
dan paus pembunuh, juga bisa menciptakan kedua jenis kita?”
"Biar kuluruskan—aku bayi anjing lautnya, kan?”
"Benar." Ia tertawa, dan sesuatu menyentuh rambutku— bibirnya?
Aku ingin berbalik menghadapnya, untuk memastikan apakah benar bibirnya yang
menyentuh rambutku. Tapi aku harus bersikap tenang: aku tak ingin membuat ini
lebih sulit baginya daripada sekarang.
“Kau sudah siap tidur?" tanyanya, menyela keheningan singkat di antara
kami. "Atau kau punya pertanyaan lagi?"
"Hanya sejuta atau dua.”
"Kita memiliki hari esok, dan hari berikutnya lagi, dan selanjutnya...” ia
mengingatkanku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya.
"Kau yakin tidak akan menghilang besok pagi?" Aku menginginkan kepastian.
"Lagi pula, kau ini makhluk legenda."
"Aku takkan meninggalkanmu." Suaranya memancarkan kesungguhan.
"Kalau begitu, satu lagi malam ini..." Dan aku pun merona. Kegelapan
sama sekali tidak membantu—aku yakin ia bisa merasakan kehangatan kulitku yang
tiba-tiba.
"Apa itu?"
"Tidak, lupakan. Aku berubah pikiran."
"Bella, kau bisa bertanya apa pun padaku."
Aku tak menyahut, dan ia mengerang.
“Aku terus berpikir, akan lebih tidak membuat frustrasi bila tidak mendengar
pikiranmu. Tapi kenyataannya justru makin parah dan lebih parah lagi."
“Aku senang kau tak dapat membaca pikiranku. Sudah cukup buruk bahwa kau
menguping saat aku mengigau."
"Please?" Suaranya begitu membujuk, begitu mustahil untuk kutolak.
Aku menggeleng.
"Kalau kau tidak bilang padaku, aku hanya tingga menyimpulkan itu sesuatu
yang lebih buruk dari seharusnya,” ancamnya licik. “Please?” lagi-lagi, suara
bujuk rayu itu.
“Well,” aku memulainya, senang ia tidak bisa melihat wajahku
"Ya?"
"Katamu Rosalie dan Emmett akan segera menikah...
Apakah... pernikahan itu... sama seperti pernikahan manusia?"
Ia tertawa terbahak sekarang, menangkap maksudku. "Apakah itu arah
pembicaraanmu?" Aku gelisah, tak mampu menjawab.
"Ya, kurasa kurang-lebih sama," katanya. "Sudah kubilang
kebanyakan hasrat manusia ada dalam diri kami, hanya saja tersembunyi di balik
hasrat yang lebih kuat lagi."
Aku hanya bisa menggumamkan "Oh."
"Apakah ada maksud di balik rasa penasaranmu?"
"Well, aku memang membayangkan... kau dan aku... suatu hari..."Ia
langsung berubah serius, aku bisa mengatakannya dari tubuhnya yang mendadak
kaku. Aku juga membeku, bereaksi dengan sendirinya.
"Aku tidak berpikir itu... itu... akan mungkin bagi kita."
“Karena itu akan sangat sulit bagimu, seandainya kita... sedekat itu?"
"Itu jelas masalah. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Kau sangat lembut dan
rapuh. Aku harus memperhitungkan setiap tindakanku setiap kali kita
bersama-sama, supaya aku tak melukaimu. Aku bisa membunuhmu dengan sangat mudah,
Bella, hanya dengan tidak sengaja." Suaranya hanya tinggal gumaman. Ia
menggerakkan telapak tangannya yang dingin dan menaruhnya di pipiku.
"Kalau aku terlalu gegabah... seandainya satu detik saja aku tak cukup
memerhatikan, aku bisa saja mengulurkan tanganku, maksudnya ingin menyentuh
wajahmu namun malah menghancurkan tengkorakmu karena khilaf. Kau tak tahu betapa
sangat rapuhnya dirimu. Aku takkan sanggup kehilangan kendali apa pun saat aku
bersamamu.” Ia menungguku bereaksi, dan semakin waswas saat aku tetap diam.
“Kau takut?" tanyanya.
Aku menunggu sebentar sebelum menjawab, sehingga ucapanku jujur. "Tidak,
aku baik-baik saja." Ia seperti berpikir selama sesaat. "Meski
begitu, sekarang aku penasaran," katanya, suaranya kembali ringan.
"Kau sudah pernah.." ia sengaja tidak menyelesaikan ucapannya. “Tentu
saja belum." Wajahku memerah. "Sudah kubilang aku belum pernah merasa
seperti ini terhadap orang lain, sedikit pun tidak."
"Aku tahu. Hanya saja aku tahu pikiran orang lain. Aku tahu cinta dan
nafsu tidak selalu sejalan."
"Bagiku ya. Paling tidak sekarang keduanya nyata bagiku," aku
mendesah.
"Bagus. Setidaknya kita punya persamaan." Ia terdengar puas.
"Naluri manusiamu...," aku memulai. Ia menanti. "Well, apakah
kau menganggapku menarik dari segi itu, sama sekali?"
Ia tertawa dan dengan lembut mengusap-usap rambutku yang hampir kering.
"Aku mungkin bukan manusia, tapi aku laki-laki," ia meyakinkanku.
Aku menguap tanpa sengaja.
“Aku telah menjawab pertanyaanmu, sekarang kau harus tidur," ia
bersikeras.
"Aku tak yakin apakah aku bisa."
“Kau mau aku pergi?"
"Tidak!" seruku terlalu lantang. Ia tertawa, kemudian mulai
menggumamkan senandung yang sama lagi, nina bobo yang asing, suara malaikat,
lembut di telingaku. Lebih letih daripada yang kusadari, lelah karena tekanan mental
dan emosi yang tak pernah kurasakan sebelumnya, aku tertidur dalam pelukan
tangannya yang dingin.
0 komentar:
Post a Comment