Baca Online Twilight part 21
21. TELEPON
AKU bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini ketika aku terbangun. Aku tahu siang dan malamku
perlahan-lahan terbalik. Aku berbaring di tempat tidur dan mendengarkan suara Alice dan Jasper yang pelan dari ruangan lain. Kenyataan bahwa suara mereka cukup keras untuk bisa kudengar sangatlah aneh. Aku berguling hingga kakiku menyentuh lantai, lalu tertatih-tatih menuju ruang tamu.
Jam di TV menunjukkan baru lewat pukul dua pagi. Alice dan Jasper duduk di sofa, Alice membuat sketsa
sementara Jasper mengintip dari bahunya. Mereka tidak mendongak ketika aku masuk, terlalu asyik memerhatikan gambar yang dibuat Alice. Aku berjinjit ke sisi Jasper untuk mengintip.
"Apakah dia melihat sesuatu yang baru?" aku bertanya pelan pada Jasper.
“Ya. Sesuatu membawa James kembali ke ruangan ber-VCR, hanya saja kali ini keadaannya terang.”
Aku melihat Alice menggambar ruang persegi dengan balok-balok berwarna gelap pada langit-langitnya yang
rendah. Dinding-dindingnya berpanel kayu, agak terlalu gelap, ketinggalan zaman. Lantainya diselimuti karpet
berpola warna gelap. Di dinding sebelah selatan ada jendela besar. Di ambang terbuka di dinding sebelah barat ada ruang tamu. Satu sisi ambang itu terbuat dari batu— perapian dari batu cokelat yang terbuka ke dua ruangan itu. TV dan VCR ditaruh di aras lemari pajang kayu yang kelewat kecil di sudut barat daya ruangan. Sofa panjang kuno terletak di depan TV, meja ramu yang bundar berdiri di depannya.
"Teleponnya di sebelah sana," bisikku, sambil menunjuk. Dua pasang mata yang abadi menatapku.
"Itu rumah ibuku."
Alice telah bangkit dari sofa, telepon di tangan, menekan nomor. Aku menatap gambar ruang keluarga rumah ibuku yang amat tepat itu. Tidak seperti biasa Jasper mendekatiku. Dengan lembut ia menyentuh bahuku, dan
kontak fisik itu sepertinya dilakukan untuk membuat kemampuannya menenangkan lebih kuat lagi. Kepanikanku tetap samar, tidak fokus.
Bibir Alice bergetar akibat kecepatan ucapannya, suara dengung pelan itu mustahil ditangkap. Aku tak bisa
berkonsentrasi.
AKU bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini ketika aku terbangun. Aku tahu siang dan malamku
perlahan-lahan terbalik. Aku berbaring di tempat tidur dan mendengarkan suara Alice dan Jasper yang pelan dari ruangan lain. Kenyataan bahwa suara mereka cukup keras untuk bisa kudengar sangatlah aneh. Aku berguling hingga kakiku menyentuh lantai, lalu tertatih-tatih menuju ruang tamu.
Jam di TV menunjukkan baru lewat pukul dua pagi. Alice dan Jasper duduk di sofa, Alice membuat sketsa
sementara Jasper mengintip dari bahunya. Mereka tidak mendongak ketika aku masuk, terlalu asyik memerhatikan gambar yang dibuat Alice. Aku berjinjit ke sisi Jasper untuk mengintip.
"Apakah dia melihat sesuatu yang baru?" aku bertanya pelan pada Jasper.
“Ya. Sesuatu membawa James kembali ke ruangan ber-VCR, hanya saja kali ini keadaannya terang.”
Aku melihat Alice menggambar ruang persegi dengan balok-balok berwarna gelap pada langit-langitnya yang
rendah. Dinding-dindingnya berpanel kayu, agak terlalu gelap, ketinggalan zaman. Lantainya diselimuti karpet
berpola warna gelap. Di dinding sebelah selatan ada jendela besar. Di ambang terbuka di dinding sebelah barat ada ruang tamu. Satu sisi ambang itu terbuat dari batu— perapian dari batu cokelat yang terbuka ke dua ruangan itu. TV dan VCR ditaruh di aras lemari pajang kayu yang kelewat kecil di sudut barat daya ruangan. Sofa panjang kuno terletak di depan TV, meja ramu yang bundar berdiri di depannya.
"Teleponnya di sebelah sana," bisikku, sambil menunjuk. Dua pasang mata yang abadi menatapku.
"Itu rumah ibuku."
Alice telah bangkit dari sofa, telepon di tangan, menekan nomor. Aku menatap gambar ruang keluarga rumah ibuku yang amat tepat itu. Tidak seperti biasa Jasper mendekatiku. Dengan lembut ia menyentuh bahuku, dan
kontak fisik itu sepertinya dilakukan untuk membuat kemampuannya menenangkan lebih kuat lagi. Kepanikanku tetap samar, tidak fokus.
Bibir Alice bergetar akibat kecepatan ucapannya, suara dengung pelan itu mustahil ditangkap. Aku tak bisa
berkonsentrasi.
“Bella," kata Alice. Aku menatapnya hampa.
“Bella, Edward akan datang menjemputmu. Dia, Emmett, dan Carlisle akan membawamu ke suatu tempat,
menyembunyikanmu untuk sementara waktu."
“Edward akan datang?" Kata-kata itu bagaikan pelampung penyelamat, menjaga kepalaku tetap terapung.
“Ya, dia akan naik penerbangan pertama dari Seattle.
Kita akan menemuinya di bandara, dan kau akan pergi bersamanya.”
"Tapi ibuku... dia ke sini untuk mengincar ibuku, Alice!"
Terlepas dari kemampuan Jasper, kepanikan terdengar jelas dalam suaraku.
"Jasper dan aku akan tinggal sampai ibumu aman."
"Aku tak bisa menang, Alice. Kau tak bisa menjaga semua orang yang kukenal selamanya. Tidakkah kau
mengerti apa yang dilakukannya? Dia sama sekali tidak memburuku. Dia akan menemukan seseorang dia akan
melukai orang yang kucintai... Alice. aku tak bisa—"
"Kami akan menangkapnya, Bella," ia meyakinkanku.
"Dan bagaimana kalau kau terluka, Alice? Kaupikir aku bisa menerimanya? Kaupikir hanya keluarga manusiaku
yang bisa digunakannya untuk menyakitiku?"
Alice menatap Jasper penuh arti. Kabut tebal kelelahan menyapuku, dan mataku terpejam tanpa bisa kukendalikan. Pikiranku mencoba melawan kabut itu, menyadari apa yang sedang terjadi. Aku memaksa membuka mataku dan berdiri, menjauhkan diri dari tangan Jasper.
"Aku tak ingin tidur lagi," bentakku.
Aku berjalan ke kamar dan menutup pintu, sebenarnya membantingnya, supaya bisa mengeluarkan semua
perasaanku tanpa ada yang melihat. Kali ini Alice tidak mengikutiku. Selama tiga setengah jam aku menatap
dinding meringkuk, bergoyang-goyang. Pikiranku berputarputar, mencoba mencari cara untuk keluar dari mimpi
buruk ini. Tak ada jalan keluar, tak ada kompromi. Aku hanya bisa melihat satu-satunya akhir yang menghadang
masa depanku. Satu-satunya pertanyaan adalah, berapa banyak lagi orang yang harus terluka sebelum aku
mencapainya. Satu-satunya penghiburan, satu-satunya harapan yang tersisa adalah aku akan segera bertemu Edward. Barangkah, kalau bisa melihat wajahnya lagi, aku juga bisa melihat pemecahan masalah yang tak terlihat olehku sekarang.
Ketika telepon berbunyi aku kembali ke ruang depan, merasa sedikit malu dengan sikapku. Kuharap aku tak
menyinggung perasaan mereka, bahwa mereka tahu betapa aku bersyukur atas pengorbanan yang mereka lakukan untukku.
Alice berbicara sangat cepat seperti biasa, tapi yang menarik perhatianku adalah, untuk pertama kalinya Jasper
tak ada di ruangan itu. Aku melihat jam—pukul 05.30.
"Mereka baru saja lepas landas," Alice memberitahu.
"Mereka akan mendarat pukul 09.45." Hanya beberapa jam lagi sebelum Edward tiba di sini.
"Di mana Jasper?"
"Dia pergi untuk check out"
"Kalian tidak menginap di sini?"
"Tidak, kami akan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah ibumu.”
Perutku melilit mendengar kata-katanya. Tapi telepon berbunyi lagi, mengalihkan perhatianku.
Alice tampak terkejut, tapi aku telah melangkah maju, menggapai telepon sambil berharap-harap cemas.
"Halo?" sapa Alice. "Tidak, dia ada di sini." Ia menyodorkan teleponnya padaku. Ibumu, katanya tanpa
suara.
"Halo?"
“Bella? Bella?" Itu suara ibuku, dalam nada familier yang telah kudengar ribuan kali pada masa kecilku, setiap kali aku berjalan terlalu dekat dengan tepian trotoar atau menghilang dari pandangannya ketika berada di keramaian. Suaranya panik. Aku mendesah. Aku telah menduganya, meskipun aku telah berusaha sebisa mungkin agar pesanku tidak mengagetkan tanpa mencurangi urgensinya.
"Tenang, Mom." kataku dengan suaraku yang paling menenangkan, seraya berjalan pelan menjauhi Alice. Aku
tak yakin apakah aku bisa berbohong dengan meyakinkan sementara matanya mengawasiku. "Semua baik-baik saja, oke? Beri aku waktu satu menit dan aku akan menjelaskan semuanya, aku janji."
Aku diam, terkejut karena ia belum menyela kata-kataku.
"Mom?"
"Berhati-hatilah, jangan katakan apa-apa sebelum aku menyuruhmu." Suara yang kudengar sekarang terdengar
sama asing dan mengejutkannya. Itu suara tenor laki-laki, suara yang amat menyenangkan dan umum—jenis suara yang menjadi narator pada iklan mobil mewah. Ia berbicara sangat cepat.
"Nah, aku tak perlu melukai ibumu, jadi tolong lakukan seperti yang kuperintahkan, maka dia akan baik-baik saja."
Ia berhenti sebentar sementara aku mendengarkan dalam keheningan mencekam. "Bagus sekali," ia memujiku.
"Sekarang ulangi kata-kataku, dan cobalah mengatakannya sewajar mungkin. Tolong katakan. Tidak, Mom, tetaplah di tempatmu.'"
"Tidak, Mom, tetaplah di tempatmu." Suaraku tak lebih dari bisikan.
“Bisa kulihat ini bakalan sulit." Suara itu terdengar senang masih ringan dan ramah. "Kenapa kau tidak pergi
ke ruangan lain sekarang sehingga wajahmu tidak mengacaukan segalanya? Tak ada alasan ibumu untuk menderita. Sambil berjalan, tolong katakan, 'Mom, tolong dengarkan aku.' Katakan sekarang."
"Mom, tolong dengarkan aku," aku memohon. Aku berjalan sangat pelan ke kamar tidur, merasakan tatapan
waswas Alice di belakangku. Aku menutup pintu, berusaha berpikir jernih dalam ketakutan yang mencengkeram
benakku.
“Nah bagus, kau sendirian? Jawab saja ya atau tidak."
"Ya."
"Tapi mereka masih bisa mendengarmu. Aku yakin itu."
"Ya."
"Baik, kalau begitu," suara menyenangkan itu melanjutkan, "katakan,'Mom, percayalah padaku.'"
"Mom, percayalah padaku."
"Ini berjalan lebih baik dari yang kuperkirakan. Aku sedang bersiap-siap menunggu, tapi ibumu tiba lebih awal.
Lebih mudah begini, ya kan? Tidak terlalu menegangkan, kau jadi tidak terlalu khawatir."
Aku menunggu.
“Bella, Edward akan datang menjemputmu. Dia, Emmett, dan Carlisle akan membawamu ke suatu tempat,
menyembunyikanmu untuk sementara waktu."
“Edward akan datang?" Kata-kata itu bagaikan pelampung penyelamat, menjaga kepalaku tetap terapung.
“Ya, dia akan naik penerbangan pertama dari Seattle.
Kita akan menemuinya di bandara, dan kau akan pergi bersamanya.”
"Tapi ibuku... dia ke sini untuk mengincar ibuku, Alice!"
Terlepas dari kemampuan Jasper, kepanikan terdengar jelas dalam suaraku.
"Jasper dan aku akan tinggal sampai ibumu aman."
"Aku tak bisa menang, Alice. Kau tak bisa menjaga semua orang yang kukenal selamanya. Tidakkah kau
mengerti apa yang dilakukannya? Dia sama sekali tidak memburuku. Dia akan menemukan seseorang dia akan
melukai orang yang kucintai... Alice. aku tak bisa—"
"Kami akan menangkapnya, Bella," ia meyakinkanku.
"Dan bagaimana kalau kau terluka, Alice? Kaupikir aku bisa menerimanya? Kaupikir hanya keluarga manusiaku
yang bisa digunakannya untuk menyakitiku?"
Alice menatap Jasper penuh arti. Kabut tebal kelelahan menyapuku, dan mataku terpejam tanpa bisa kukendalikan. Pikiranku mencoba melawan kabut itu, menyadari apa yang sedang terjadi. Aku memaksa membuka mataku dan berdiri, menjauhkan diri dari tangan Jasper.
"Aku tak ingin tidur lagi," bentakku.
Aku berjalan ke kamar dan menutup pintu, sebenarnya membantingnya, supaya bisa mengeluarkan semua
perasaanku tanpa ada yang melihat. Kali ini Alice tidak mengikutiku. Selama tiga setengah jam aku menatap
dinding meringkuk, bergoyang-goyang. Pikiranku berputarputar, mencoba mencari cara untuk keluar dari mimpi
buruk ini. Tak ada jalan keluar, tak ada kompromi. Aku hanya bisa melihat satu-satunya akhir yang menghadang
masa depanku. Satu-satunya pertanyaan adalah, berapa banyak lagi orang yang harus terluka sebelum aku
mencapainya. Satu-satunya penghiburan, satu-satunya harapan yang tersisa adalah aku akan segera bertemu Edward. Barangkah, kalau bisa melihat wajahnya lagi, aku juga bisa melihat pemecahan masalah yang tak terlihat olehku sekarang.
Ketika telepon berbunyi aku kembali ke ruang depan, merasa sedikit malu dengan sikapku. Kuharap aku tak
menyinggung perasaan mereka, bahwa mereka tahu betapa aku bersyukur atas pengorbanan yang mereka lakukan untukku.
Alice berbicara sangat cepat seperti biasa, tapi yang menarik perhatianku adalah, untuk pertama kalinya Jasper
tak ada di ruangan itu. Aku melihat jam—pukul 05.30.
"Mereka baru saja lepas landas," Alice memberitahu.
"Mereka akan mendarat pukul 09.45." Hanya beberapa jam lagi sebelum Edward tiba di sini.
"Di mana Jasper?"
"Dia pergi untuk check out"
"Kalian tidak menginap di sini?"
"Tidak, kami akan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah ibumu.”
Perutku melilit mendengar kata-katanya. Tapi telepon berbunyi lagi, mengalihkan perhatianku.
Alice tampak terkejut, tapi aku telah melangkah maju, menggapai telepon sambil berharap-harap cemas.
"Halo?" sapa Alice. "Tidak, dia ada di sini." Ia menyodorkan teleponnya padaku. Ibumu, katanya tanpa
suara.
"Halo?"
“Bella? Bella?" Itu suara ibuku, dalam nada familier yang telah kudengar ribuan kali pada masa kecilku, setiap kali aku berjalan terlalu dekat dengan tepian trotoar atau menghilang dari pandangannya ketika berada di keramaian. Suaranya panik. Aku mendesah. Aku telah menduganya, meskipun aku telah berusaha sebisa mungkin agar pesanku tidak mengagetkan tanpa mencurangi urgensinya.
"Tenang, Mom." kataku dengan suaraku yang paling menenangkan, seraya berjalan pelan menjauhi Alice. Aku
tak yakin apakah aku bisa berbohong dengan meyakinkan sementara matanya mengawasiku. "Semua baik-baik saja, oke? Beri aku waktu satu menit dan aku akan menjelaskan semuanya, aku janji."
Aku diam, terkejut karena ia belum menyela kata-kataku.
"Mom?"
"Berhati-hatilah, jangan katakan apa-apa sebelum aku menyuruhmu." Suara yang kudengar sekarang terdengar
sama asing dan mengejutkannya. Itu suara tenor laki-laki, suara yang amat menyenangkan dan umum—jenis suara yang menjadi narator pada iklan mobil mewah. Ia berbicara sangat cepat.
"Nah, aku tak perlu melukai ibumu, jadi tolong lakukan seperti yang kuperintahkan, maka dia akan baik-baik saja."
Ia berhenti sebentar sementara aku mendengarkan dalam keheningan mencekam. "Bagus sekali," ia memujiku.
"Sekarang ulangi kata-kataku, dan cobalah mengatakannya sewajar mungkin. Tolong katakan. Tidak, Mom, tetaplah di tempatmu.'"
"Tidak, Mom, tetaplah di tempatmu." Suaraku tak lebih dari bisikan.
“Bisa kulihat ini bakalan sulit." Suara itu terdengar senang masih ringan dan ramah. "Kenapa kau tidak pergi
ke ruangan lain sekarang sehingga wajahmu tidak mengacaukan segalanya? Tak ada alasan ibumu untuk menderita. Sambil berjalan, tolong katakan, 'Mom, tolong dengarkan aku.' Katakan sekarang."
"Mom, tolong dengarkan aku," aku memohon. Aku berjalan sangat pelan ke kamar tidur, merasakan tatapan
waswas Alice di belakangku. Aku menutup pintu, berusaha berpikir jernih dalam ketakutan yang mencengkeram
benakku.
“Nah bagus, kau sendirian? Jawab saja ya atau tidak."
"Ya."
"Tapi mereka masih bisa mendengarmu. Aku yakin itu."
"Ya."
"Baik, kalau begitu," suara menyenangkan itu melanjutkan, "katakan,'Mom, percayalah padaku.'"
"Mom, percayalah padaku."
"Ini berjalan lebih baik dari yang kuperkirakan. Aku sedang bersiap-siap menunggu, tapi ibumu tiba lebih awal.
Lebih mudah begini, ya kan? Tidak terlalu menegangkan, kau jadi tidak terlalu khawatir."
Aku menunggu.
"Sekarang aku mau kau mendengarkan dengan sangat saksama. Aku ingin
kau meninggalkan teman-temanmu;
menurutmu, kau bisa melakukannya? Jawab ya atau tidak."
"Tidak."
“Aku menyesal mendengarnya. Aku berharap kau bisa lebih kreatif lagi dari itu. Menurutmu, apakah kau bisa
melarikan diri dari mereka bila nyawa ibumu bergantung pada hal itu? Jawab ya atau tidak."
Entah bagaimana, harus ada cara. Aku ingat kami akan pergi ke bandara. Sky Harbor International Airport: penuh sesak, sangat memusingkan...
“Ya."
“Itu lebih baik. Aku yakin takkan mudah, tapi seandainya aku mendapat sedikit saja petunjuk bahwa kau
bersama seseorang, well, itu akan sangat buruk bagi ibumu.”
Suara ramah itu mengancam. “Saat ini kau pasti sudah mengetahui cukup banyak tentang kami hingga menyadari betapa aku bisa tahu jika kau mencoba mengajak seseorang bersamamu. Dan betapa singkatnya waktu yang kubutuhkan untuk membereskan ibumu bila diperlukan. Kau mengerti? Jawab ya atau tidak."
"Ya." Suaraku parau.
"Bagus sekali. Bella. Sekarang inilah yang harus kaulakukan Aku ingin kau pergi ke rumah ibumu. Di
sebelah telepon ada sebuah nomor. Teleponlah, dan aku akan memberitahumu ke mana kau harus pergi
selanjutnya." Aku sudah tahu ke mana aku akan pergi, dan di mana ini akan berakhir. Tapi aku akan mengikuti setiap perintahnya dengan tepat. "Bisakah kau melakukannya? Jawab ya atau tidak."
"Ya."
"Sebelum siang kumohon. Bella. Waktuku tidak banyak," katanya sopan.
"Di mana Phil?" aku langsung bertanya.
"Ah, hati-hati. Bella. Kumohon, tunggu sampai aku menyuruhmu bicara.' Aku menunggu.
"Ini penting nah, jangan buat teman-temanmu curiga ketika kau kembali pada mereka. Bilang ibumu menelepon
dan kau sudah membujuknya agar tidak pulang ke rumah untuk sementara waktu. Sekarang ulangi kata-kataku,
'Terima kasih, Mom.' Katakan sekarang."
"Terima kasih, Mom." Air mataku menetes. Aku
mencoba menahannya.
“Katakan, ‘Aku mencintaimu, Mom, sampai ketemu.’ Katakan sekarang."
"Aku mencintaimu, Mom." Suaraku terdengar dalam.
“Sampai ketemu," aku berjanji.
“Selamat tinggal Bella. Aku menanti-nantikan bertemu denganmu lagi.” Ia menutup telepon.
Aku menempelkan telepon di telingaku. Sendi-sendiku kaku karena rasa takut yang amat sangat – aku tak dapat
meregang jemariku untuk melepaskan telepon itu. Aku tahu aku harus berfikir, tapi kepalaku dipenuhi
suara panik ibuku. Detik demi detik berlalu saat aku berjuang mengendalikan diri. Perlahan, amat perlahan, pikiranku mulai menembus dinding sakit. Menyusun rencana. Karena sekarang aku hanya punya satu pilihan: pergi ke ruang cermin dan mati.
Aku tak memiliki jaminan, tak ada yang bisa kuberikan agar ibuku tetap hidup. Aku hanya bisa berharap James
akan merasa puas karena memenangkan permainan, bahwa mengalahkan Edward cukup baginya. Keputusasaan
mencengkeramku; tak ada cara untuk bernegosiasi, tak ada yang bisa kutawarkan atau kupertahankan yang bisa
memengaruhinya. Tapi aku masih tidak punya pilihan. Aku harus mencoba.
Aku mengesampingkan ketakutanku sebisa mungkin. Keputusanku sudah bulat. Tak ada gunanya membuangbuang waktu meratapi hasil akhirnya. Aku harus berpikir dengan baik, karena Alice dan Jasper menungguku, dan menghindari mereka adalah sangat penting sekaligus sangat mustahil.
Tiba-tiba aku bersyukur Jasper sedang keluar. Seandainya ia berada di sini dan merasakan kesedihanku
selama lima menit terakhir ini, bagaimana aku bisa mencegah mereka agar tidak curiga? Aku kembali menelan
ketakutan dan kekhawatiranku, mencoba mengenyahkannya. Aku tidak boleh takut sekarang. Aku tak tahu kapan Jasper akan kembali. Aku berkonsentrasi pada rencana melarikan diri. Aku harus berharap pengenalanku akan kondisi bandara bakal membantuku. Entah bagaimana, aku harus bisa menjauhkan Alice...
Aku tahu Alice berada di ruangan lain menungguku, penasaran. Tapi aku harus membereskan satu hal lagi
sendirian sebelum Jasper kembali.
Aku harus menerima kenyataan bahwa aku takkan bertemu Edward lagi, takkan ada pertemuan terakhir
sebelum aku ke ruangan cermin. Aku akan menyakitinya, dan aku tak bisa mengucapkan selamat tinggal. Kubiarkan gelombang penyiksaan menyapu diriku sebentar. Kemudian aku mengesampingkannya juga, dan pergi menemui Alice. Satu-satunya ekspresi yang bisa kuperlihatkan adalah muram. Aku melihatnya waswas, dan aku tidak menunggunya bertanya. Aku hanya punya satu skenario dan sekarang aku takkan bisa berimprovisasi.
"Ibuku khawatir, dia ingin pulang. Tapi tenang saja, aku berhasil meyakinkannya untuk tetap di sana." Suaraku
lemas.
"Kami akan memastikan dia baik-baik saja. Bella, jangan khawatir."
Aku berpaling; aku tak bisa membiarkannya melihat wajahku.
Mataku tertuju pada lembaran kosong memo hotel di meja. Perlahan-lahan aku menghampirinya, sebuah rencana mulai tersusun di benakku. Di sana juga ada amplop. Bagus.
"Alice," kataku pelan, tanpa berbalik, menjaga suaraku tetap tenang. "Kalau aku menulis surat untuk ibuku,
maukah kau memberikannya padanya? Maksudku, meninggalkan suratnya di rumahnya?"
"Tentu saja. Bella." Suaranya terdengar hati-hati. Ia bisa melihat kegelisahanku. Aku harus lebih bisa menguasai
emosiku. Aku masuk lagi ke kamar, dan berlutut di sebelah meja kecil di sisi tempat tidur untuk menulis surat.
"Edward," tulisku. Tanganku gemetaran, tulisanku nyaris tak terbaca.
Aku mencintaimu. Aku sangat menyesal. Ia menyandera ibuku, dan aku harus berusaha. Aku tahu ini mungkin tak berhasil. Ku teramat menyesal. Jangan marah pada Alice dan Jasper. Kalau aku bisa kabur dari pengawasan mereka, itu namanya mukjizat. Sampaikan rasa terima kasihku pada mereka. Terutama pada Alice, kumohon.
Dan kumohon dengan sangat jangan mengejarnya. Kurasa, itulah yang ia inginkan. Aku takkan tahan bila ada
yang harus menderita karena aku, apalagi kau. Kumohon, hanya ini yang bisa kuminta darimu saat ini. Demi aku. Aku mencintaimu. Maafkan aku. Bella.
Kulipat surat itu dengan'hati-hati, dan memasukkannya ke amplop. Akhirnya Edward toh akan menemukannya
juga. Aku hanya berharap ia mengerti, dan mau mendengarku sekali ini saja. Kemudian dengan hati-hati kututup hatiku.
menurutmu, kau bisa melakukannya? Jawab ya atau tidak."
"Tidak."
“Aku menyesal mendengarnya. Aku berharap kau bisa lebih kreatif lagi dari itu. Menurutmu, apakah kau bisa
melarikan diri dari mereka bila nyawa ibumu bergantung pada hal itu? Jawab ya atau tidak."
Entah bagaimana, harus ada cara. Aku ingat kami akan pergi ke bandara. Sky Harbor International Airport: penuh sesak, sangat memusingkan...
“Ya."
“Itu lebih baik. Aku yakin takkan mudah, tapi seandainya aku mendapat sedikit saja petunjuk bahwa kau
bersama seseorang, well, itu akan sangat buruk bagi ibumu.”
Suara ramah itu mengancam. “Saat ini kau pasti sudah mengetahui cukup banyak tentang kami hingga menyadari betapa aku bisa tahu jika kau mencoba mengajak seseorang bersamamu. Dan betapa singkatnya waktu yang kubutuhkan untuk membereskan ibumu bila diperlukan. Kau mengerti? Jawab ya atau tidak."
"Ya." Suaraku parau.
"Bagus sekali. Bella. Sekarang inilah yang harus kaulakukan Aku ingin kau pergi ke rumah ibumu. Di
sebelah telepon ada sebuah nomor. Teleponlah, dan aku akan memberitahumu ke mana kau harus pergi
selanjutnya." Aku sudah tahu ke mana aku akan pergi, dan di mana ini akan berakhir. Tapi aku akan mengikuti setiap perintahnya dengan tepat. "Bisakah kau melakukannya? Jawab ya atau tidak."
"Ya."
"Sebelum siang kumohon. Bella. Waktuku tidak banyak," katanya sopan.
"Di mana Phil?" aku langsung bertanya.
"Ah, hati-hati. Bella. Kumohon, tunggu sampai aku menyuruhmu bicara.' Aku menunggu.
"Ini penting nah, jangan buat teman-temanmu curiga ketika kau kembali pada mereka. Bilang ibumu menelepon
dan kau sudah membujuknya agar tidak pulang ke rumah untuk sementara waktu. Sekarang ulangi kata-kataku,
'Terima kasih, Mom.' Katakan sekarang."
"Terima kasih, Mom." Air mataku menetes. Aku
mencoba menahannya.
“Katakan, ‘Aku mencintaimu, Mom, sampai ketemu.’ Katakan sekarang."
"Aku mencintaimu, Mom." Suaraku terdengar dalam.
“Sampai ketemu," aku berjanji.
“Selamat tinggal Bella. Aku menanti-nantikan bertemu denganmu lagi.” Ia menutup telepon.
Aku menempelkan telepon di telingaku. Sendi-sendiku kaku karena rasa takut yang amat sangat – aku tak dapat
meregang jemariku untuk melepaskan telepon itu. Aku tahu aku harus berfikir, tapi kepalaku dipenuhi
suara panik ibuku. Detik demi detik berlalu saat aku berjuang mengendalikan diri. Perlahan, amat perlahan, pikiranku mulai menembus dinding sakit. Menyusun rencana. Karena sekarang aku hanya punya satu pilihan: pergi ke ruang cermin dan mati.
Aku tak memiliki jaminan, tak ada yang bisa kuberikan agar ibuku tetap hidup. Aku hanya bisa berharap James
akan merasa puas karena memenangkan permainan, bahwa mengalahkan Edward cukup baginya. Keputusasaan
mencengkeramku; tak ada cara untuk bernegosiasi, tak ada yang bisa kutawarkan atau kupertahankan yang bisa
memengaruhinya. Tapi aku masih tidak punya pilihan. Aku harus mencoba.
Aku mengesampingkan ketakutanku sebisa mungkin. Keputusanku sudah bulat. Tak ada gunanya membuangbuang waktu meratapi hasil akhirnya. Aku harus berpikir dengan baik, karena Alice dan Jasper menungguku, dan menghindari mereka adalah sangat penting sekaligus sangat mustahil.
Tiba-tiba aku bersyukur Jasper sedang keluar. Seandainya ia berada di sini dan merasakan kesedihanku
selama lima menit terakhir ini, bagaimana aku bisa mencegah mereka agar tidak curiga? Aku kembali menelan
ketakutan dan kekhawatiranku, mencoba mengenyahkannya. Aku tidak boleh takut sekarang. Aku tak tahu kapan Jasper akan kembali. Aku berkonsentrasi pada rencana melarikan diri. Aku harus berharap pengenalanku akan kondisi bandara bakal membantuku. Entah bagaimana, aku harus bisa menjauhkan Alice...
Aku tahu Alice berada di ruangan lain menungguku, penasaran. Tapi aku harus membereskan satu hal lagi
sendirian sebelum Jasper kembali.
Aku harus menerima kenyataan bahwa aku takkan bertemu Edward lagi, takkan ada pertemuan terakhir
sebelum aku ke ruangan cermin. Aku akan menyakitinya, dan aku tak bisa mengucapkan selamat tinggal. Kubiarkan gelombang penyiksaan menyapu diriku sebentar. Kemudian aku mengesampingkannya juga, dan pergi menemui Alice. Satu-satunya ekspresi yang bisa kuperlihatkan adalah muram. Aku melihatnya waswas, dan aku tidak menunggunya bertanya. Aku hanya punya satu skenario dan sekarang aku takkan bisa berimprovisasi.
"Ibuku khawatir, dia ingin pulang. Tapi tenang saja, aku berhasil meyakinkannya untuk tetap di sana." Suaraku
lemas.
"Kami akan memastikan dia baik-baik saja. Bella, jangan khawatir."
Aku berpaling; aku tak bisa membiarkannya melihat wajahku.
Mataku tertuju pada lembaran kosong memo hotel di meja. Perlahan-lahan aku menghampirinya, sebuah rencana mulai tersusun di benakku. Di sana juga ada amplop. Bagus.
"Alice," kataku pelan, tanpa berbalik, menjaga suaraku tetap tenang. "Kalau aku menulis surat untuk ibuku,
maukah kau memberikannya padanya? Maksudku, meninggalkan suratnya di rumahnya?"
"Tentu saja. Bella." Suaranya terdengar hati-hati. Ia bisa melihat kegelisahanku. Aku harus lebih bisa menguasai
emosiku. Aku masuk lagi ke kamar, dan berlutut di sebelah meja kecil di sisi tempat tidur untuk menulis surat.
"Edward," tulisku. Tanganku gemetaran, tulisanku nyaris tak terbaca.
Aku mencintaimu. Aku sangat menyesal. Ia menyandera ibuku, dan aku harus berusaha. Aku tahu ini mungkin tak berhasil. Ku teramat menyesal. Jangan marah pada Alice dan Jasper. Kalau aku bisa kabur dari pengawasan mereka, itu namanya mukjizat. Sampaikan rasa terima kasihku pada mereka. Terutama pada Alice, kumohon.
Dan kumohon dengan sangat jangan mengejarnya. Kurasa, itulah yang ia inginkan. Aku takkan tahan bila ada
yang harus menderita karena aku, apalagi kau. Kumohon, hanya ini yang bisa kuminta darimu saat ini. Demi aku. Aku mencintaimu. Maafkan aku. Bella.
Kulipat surat itu dengan'hati-hati, dan memasukkannya ke amplop. Akhirnya Edward toh akan menemukannya
juga. Aku hanya berharap ia mengerti, dan mau mendengarku sekali ini saja. Kemudian dengan hati-hati kututup hatiku.
0 komentar:
Post a Comment