Baca Online Twilight part 13
13. PENGAKUAN
MELIHAT Edward di bawah sinar matahari sungguh membuatku terpesona. Aku takkan
pernah terbiasa dengannya, meskipun aku telah memandanginya seharian ini.
Kulitnya, putih meski agak memerah sepulang berburu kemarin, tampak kemilau,
seolah-olah ribuan berlian mungil tertanam di bawah permukaan kulitnya. Ia berbaring
tak bergerak di rerumputan, kausnya tersingkap dan memamerkan dada bidangnya
yang bercahaya, lengannya yang telanjang juga berkilauan. Kelopak matanya yang
keunguan dan berbinar terpejam, meski tentu saja ia tidak tertidur. Patung yang
sempurna, terukir dari bebatuan entah apa namanya, halus bagai pualam, berkilauan
bagai kristal.
Terkadang bibirnya bergerak-gerak, begitu cepat hingga seperti gemetar. Tapi
ketika kutanya, katanya ia sedang bernyanyi untuk dirinya sendiri: terlalu
pelan untuk bisa kudengar. Aku juga menikmati sinar matahari, meskipun udara tidak
cukup kering bagiku. Aku ingin berbaring, seperti yang dilakukannya, dan
membiarkan matahari menghangatkan wajahku. Tapi toh aku hanya duduk memeluk
kakiku, dagu kuletakkan di lutut, tak ingin berpaling dari wajahnya. Angin
bertiup pelan. Membelai rambutku dan rerumputan yang menari-nari di selatar
tubuh.
Edward yang tak bergerak. Padang rumput yang awalnya sangat mengagumkan bagiku,
kini tampak pudar di samping keberadaan Edward yang bersinar cemerlang. Dengan
ragu-ragu, selalu khawatir, bahkan sekarang, bahwa ia akan menghilang bagai
halusinasi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan... kuulurkan satu jariku dan kuelus
punggung tangannya yang berkilauan, yang berada di dekatku. Aku kembali mengagumi
tekstur kulitnya yang sempurna, halus bagai satin, dingin seperti batu. Ketika
aku memandangnya lagi matanya terbuka, mengamanku. Hari ini warnanya cokelat keemasan,
lebih ringan dan hangat setelah berburu. Senyumnya dengan cepat mengembang di sudut
bibirnya yang tak bercela.
"Aku tidak membuatmu takut, kan?" guraunya, tapi aku bisa mendengar
rasa penasaran yang sesungguhnya dalam suara lembutnya.
"Tak lebih dari biasanya."
Ia tersenyum lebih lebar; giginya mengilap di bawah sinar matahari. Aku
beringsut mendekat, sekarang mengulurkan tangan untuk menyusuri lekuk lengan
bawahnya dengan ujung jari. Jemariku gemetaran, dan aku tahu ini pun takkan
luput dari perhatiannya.
“Kau keberatan?" tanyaku, karena ia sudah memejamkan mata lagi.
“Tidak," katanya tanpa membuka mata "Kau tak dapat membayangkan bagaimana
rasanya." Ia mendesah.
Dengan lembut tanganku menyusuri otot lengannya yang sempurna, mengikuti jejak
samar nadinya yang kebiruan menuju lipatan sikunya. Dengan tangan lain, aku meraih
dan membalikkan tangannya. Menyadari apa yang kuinginkan, ia membalikkan tangan
dengan cepat, gerakannya membuatku terkesiap. Aku terkejut, sesaat jarijariku membeku
di lengannya.
"Maaf," gumamnya. Aku mendongak tepat saat matanya yang berwarna emas
menutup lagi. "Terlalu mudah menjadi diriku sendiri ketika
bersamamu."
Kuangkat tangannya, membolak-balikkannya sambil mengamati matahari yang
menyinari telapak tangannya. Kudekatkan tangannya ke wajahku, mencoba melihat
sisi kulitnya yang tersembunyi.
"Katakan apa yang kaupikirkan," bisiknya. Aku melihat dan
mendapatinya menatapku, mendadak begitu lekat.
"Masih tidak biasa untukku, untuk tidak mengetahui."
"Kau tahu, kita semua merasa seperti itu setiap saat."
"Hidup ini sulit." Apakah aku hanya membayangkan nada sesal dalam
suaranya? "Tapi kau tidak memberitahuku."
"Aku sedang berharap dapat mengetahui apa yang kaupikirkan...,"
ujarku ragu-ragu.
"Dan?"
"Aku berharap dapat memercayai bahwa dirimu nyata. Dan aku berharap aku
tidak takut."
"Aku tidak ingin kau takut." Suaranya menggumam lembut Aku mendengar
apa yang tak sanggup dikatakannya sejujurnya, bahwa aku tak perlu takut, bahwa
tak ada yang perlu ditakuti.
"Well, bukan rasa takut itu yang kumaksud, meskipun jelas itu sesuatu yang
perlu dipikirkan."
Semua berlangsung begini cepat hingga aku tidak melihat gerakannya, sekarang ia
setengah duduk, bertopang pada lengan kanannya, telapak tangan kirinya masih
dalam genggamanku. Wajah malaikatnya hanya beberapa senti dariku. Aku mungkin
saja—seharusnya—menjauh dari kedekatannya yang tak disangka-sangka, tapi aku
tak bisa bergerak. Matanya yang keemasan memesonaku.
"Lalu apa yang kautakutkan?" bisiknya sungguhsungguh. Tapi aku tak
bisa menjawab. Seperti yang pernah kualami sebelumnya, aku mencium napas
sejuknya di wajahku. Manis, nikmat, aroma yang membuatku meneteskan air liur.
Tidak seperti apa pun di dunia ini. Secara naluriah, tanpa berpikir, aku
mendekat padanya, menghirupnya. Dan ia menghilang, melepaskan tangannya dariku.
Ketika akhirnya mataku bisa melihat dengan fokus, ia berada enam meter dariku, berdiri
di ujung padang rumput kecil ini, di bawah bayangan gelap pohon fir raksasa. Ia
menatapku, matanya tampak kelam dalam bayangan itu, ekspresinya tak dapat
kutebak.
Aku bisa merasakan kekecewaan dan perasaan syok terpancar di wajahku. Tanganku
yang kosong bagai tersengat.
“Maafkan... aku..., Edward," bisikku. Aku tahu ia bisa mendengarnya.
“Beri aku waktu sebentar," sahutnya, cukup lantang untuk bisa didengar
telingaku yang tidak terlalu peka. Aku duduk diam tak bergerak.
Setelah sepuluh detik yang terasa sangat lama, ia berjalan kembali ke arahku,
pelan untuk ukurannya. Ia berhenti, masih beberapa meter jauhnya, dan duduk
anggun di tanah, kakinya menyilang. Tak sekali pun ia pernah melepaskan pandangannya
dariku. Ia menghela napas panjang dua kali, lalu senyum menyesal.
“Aku sangat menyesal," ujarnya ragu. "Apakah kau bisa mengerti
maksudku, kalau kubilang aku hanya manusia?"
Aku mengangguk sekali, tak bisa tersenyum mendengar gurauannya. Adrenalin memompa
deras di nadiku ketika pemahamanku akan bahaya pelan-pelan muncul. Ia dapat menciumnya
dari tempatnya duduk sekarang. Senyumnya berubah mengejek.
"Aku predator terbaik di dunia, bukankah begitu? Segala sesuatu tentang
diriku mengundangmu mendekat—suaraku, wajahku, bahkan aromaku. Seperti aku
membutuhkannya saja!" Tak disangka-sangka ia sudah bangkit berdiri, pergi,
langsung lenyap dari pandangan, dan muncul kembali di bawah pohon yang sama
seperti sebelumnya, setelah mengelilingi padang rumput hanya dalam setengah
detik.
"Seperti kau bisa kabur dariku saja," ia tertawa getir.
Ia mengulurkan satu tangannya, dan tanpa kesulitan mematahkan dahan yang sangat
tebal dari batang pohonnya, hingga menimbulkan bunyi patahan yang mengerikan.
Beberapa saat ia menimbang-nimbangnya dengan tangannya, lalu melemparnya begitu
cepat, mengempaskannya ke pohon besar lain. Pohon itu bergoyang dan bergetar. Lalu
ia sudah berada di hadapanku lagi, setengah meter dariku, kaku bagai batu.
“Seperti kau bisa melawanku saja." katanya lembut. Aku duduk tak bergerak,
merasa lebih takut padanya dari pada selama ini. Aku tak pernah melihatnya
begitu bebas di balik penyamarannya yang sempurna. Ia tak pernah benarbenar lebih
tidak manusiawi... atau lebih menawan. Dengan wajah pucat dan mata membelalak,
aku duduk bagai burung siap dimangsa ular. Matanya yang indah seolah
berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-luap. Lalu, ketika detik demi
detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya perlahan berganti menjadi
kesedihan yang purba.
"Jangan takut," gumamnya, suara lembutnya tak disengaja terdengar
menggoda. "Aku berjanji...," ujarnya ragu. "Aku bersumpah tidak
akan menyakitimu." Ia kelihatan lebih ingin meyakinkan dirinya sendiri
daripada aku.
"Jangan takut," bisiknya lagi sambil mendekat, dengan amat perlahan.
Ia duduk luwes, dengan gerakan tak bergegas yang disengaja, hingga wajah kami
sejajar, hanya terpisah tiga puluh senti.
"Kumohon maafkan aku," pintanya. "Aku bisa mengendalikan diri. Kau
membuatku tak berdaya. Tapi sekarang aku dalam keadaan sangat terkendali."
Ia menunggu, tapi aku masih tak sanggup bicara. "Sejujurnya, hari ini aku
tidak merasa haus." Ia mengedipkan mata.
Mendengar itu aku harus tertawa, meski suara tawaku gemetar dan tertahan.
“Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya lembut, perlahan dan hati-hati
mengulurkan tangannya yang bak pualam dan kembali menggenggam tanganku. Aku
memandang tangannya yang dingin dan halus, lalu matanya. Mata itu lembut, penuh
penyesalan. Aku kembali menatap tangannya, kemudian dengan sengaja menelusuri garis
tangannya dengan ujung jariku. Aku memandangnya dan tersenyum gugup.
Senyuman balasannya sungguh memesona. “Jadi, tadi kita sampai di mana, sebelum
aku bersikap kasar,” tanyanya dengan aksen tempo dulu yang lembut.
“Sejujurnya, aku tidak bisa mengingatnya." Ia tersenyum, tapi wajahnya
tampak malu. "Kurasa kita sedang membicarakan kenapa kau merasa takut, di
samping alasan yang sudah jelas."
"Oh, benar."
"Jadi?"
Aku menunduk menatap tangannya, dan dengan lembut menggerak-gerakkan tanganku
di telapak tangannya yang berkilauan. Detik demi detik pun berlalu.
"Betapa mudahnya aku marah," desahnya. Aku menatap matanya, dengan
cepat memahami bahwa setiap kejadian ini adalah hal baru baginya, juga bagiku.
Dan terlepas dari begitu banyaknya hal tak terpahami yang dialaminya bertahun-tahun,
ini juga masih sama sulitnya baginya. Kubesarkan hatiku melihat kenyataan ini.
"Aku takut... karena, untuk, Well, alasan yang jelas, aku tak bisa terus
di dekatmu. Dan aku takut keinginan untuk terus bersamamu lebih kuat daripada
seharusnya." Aku menunduk menatap tangan-tangannya ketika mengatakan semua
itu. Sulit bagiku untuk menyatakannya secara gamblang.
"Ya," timpalnya pelan. "Jelas, itu sesuatu yang perlu ditakutkan.
Keinginan untuk bersamaku. Itu sungguh bukan ke inginanmu yang terbaik."
Aku cemberut.
"Aku seharusnya pergi sejak lama," desahnya. "Aku seharusnya
pergi sekarang. Tapi aku tak tahu apakah aku bisa."
"Aku tidak ingin kau pergi," gumamku sedih, seraya menunduk lagi.
“Itulah sebabnya aku harus pergi. Tapi jangan khawatir. Pada dasarnya aku
makhluk egois. Aku terlalu menginginkan kehadiranmu untuk melakukan apa yang
seharusnya kulakukan."
"Aku senang."
"Jangan!" Ia menarik tangannya, kali ini lebih lembut; suaranya lebih
parau daripada biasanya. Parau untuk ukurannya, tapi toh tetap masih lebih
indah daripada suara manusia mana pun. Sulit rasanya untuk mengikutinya— perubahan
suasana hatinya yang tiba-tiba selalu membuatku terlambat memahami situasi, dan
bingung.
"Bukan hanya keberadaanmu yang kuinginkan! Jangan pernah lupakan itu.
Jangan pernah lupa aku lebih berbahaya bagimu daripada bagi orang lain."
Ia berhenti, dan aku melihatnya diam-diam memandang ke dalam hutan. Aku
berpikir sesaat.
"Sepertinya aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kaumaksud—terutama
bagian terakhir," kataku.
Ia kembali menatapku dan tersenyum, belum apa-apa suasana harinya lagi-lagi
berubah.
“Bagaimana aku menjelaskannya?" godanya. "Tanpa membuatmu takut
lagi... hmmmm." Tanpa terlihat memikirkannya, ia meletakkan tangannya dalam
genggamanku; dan aku menggenggamnya erat-erat dengan kedua tanganku. Ia
memandang tangan kami.
"Kehangatan ini luar biasa menyenangkan." Ia mendesah. Sesaat berlalu
saat ia mengumpulkan pikirannya.
“Kau tahu bagaimana orang-orang menikmati rasa yang berbeda-beda?" ia
memulai. "Beberapa orang menyukai es krim cokelat, yang lain memilih
stroberi?"
Aku mengangguk.
"Maaf aku menggunakan makanan sebagai perumpamaan aku tak tahu cara lain
untuk menjelaskannya." Aku tersenyum. Ia balas tersenyum menyesal. "Kau
tahu, setiap orang punya aroma berbeda, inti berbeda. Bila kau mengunci seorang
peminum dalam ruangan penuh bir basi, dia akan dengan senang meminumnya. Tapi
dia bisa menolaknya, kalau ia memang ingin, kalau ia bukan peminum lagi.
Sekarang misalnya kautaruh sebotol brendi berumur ratusan tahun di ruangan itu,
cognac langka terbaik—dan memenuhi ruangan itu dengan aromanya yang
hangat—menurutmu, apa yang akan dilakukannya?"
Kami duduk diam, saling menatap—mencoba membaca pikiran satu sama lain. Dialah
yang akhirnya mengakhiri keheningan itu.
"Barangkali itu bukan perbandingan yang tepat. Barangkali terlalu mudah
untuk menolak brendi. Mungkin aku harus mengganti si peminum dengan pencandu
heroin."
"Jadi maksudmu, aku semacam heroin bagimu?" godaku, berusaha
mencairkan suasana.
Ia langsung tersenyum, sepertinya menghargai usahaku.
"Ya, kau adalah heroin bagiku."
"Apakah itu sering terjadi?" tanyaku. Ia memandang melampaui puncak
pohon, memikirkan jawabannya.
"Aku membicarakan hal ini dengan saudara-saudara lakilakiku." Ia
masih memandang kejauhan. "Bagi Jasper, kalian manusia kurang-lebih sama.
Dialah yang terakhir bergabung dalam keluarga kami. Sulit baginya untuk sama sekali
berpantang. Dia tak punya waktu untuk menumbuhkan kepekaan untuk membedakan
aroma, juga rasa." Ia memandangku, raut wajahnya menyesal.
"Maaf,” katanya.
"Aku tak keberatan. Kumohon jangan khawatir kau akan membuatku tersinggung,
atau takut, atau apa pun. Begitulah caramu berpikir. Aku bisa mengerti, atau setidaknya
mencoba. Jelaskan saja sebisamu."
Ia menghela napas dalam-dalam dan kembali menatap langit.
"Jadi, Jasper tak yakin apakah dia pernah menemukan seseorang yang
sama"—ia ragu, mencari-cari kara yang tepat—"menariknya seperti kau
bagiku. Yang membuatku tidak menggunakan akal sehat. Emmett, boleh dibilang sudah
lebih lama bersama kami, jadi dia mengerti maksudku. Dia mengatakan sudah dua
kali mengalaminya, yang kedua lebih kuat daripada yang pertama."
"Dan kau?"
"Tidak pernah."
Kata itu melayang sesaat di sana, dalam embusan angin yang hangat.
"Apa yang dilakukan Emmett?" tanyaku memecah keheningan.
Pertanyaan yang salah. Wajahnya menjadi gelap, tangannya mengepal dalam
genggamanku. Ia membuang muka. Aku menunggu, tapi ia takkan menjawab.
"Kurasa aku tahu," kataku akhirnya.
Ia melirik; wajahnya muram, memohon.
"Bahkan yang terkuat di antara kita pun pernah khilaf, bukan begitu?"
“Apa yang kauminta dariku? Izinku?" Suaraku lebih tajam daripada yang kuinginkan.
Aku mencoba membuat suaraku lebih ramah – aku bisa menebak harga yang harus dibayarnya
karena telah bersikap jujur. "Maksudku, apakah tidak ada harapan lagi?”
Betapa tenangnya aku membahas kematianku sendiri!
"Tidak, tidak!" Ia langsung menyesal. "Tentu saja ada harapan!
Maksudku, tentu saja aku tidak akan..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya,
matanya nanar menatapku.
"Kisah kita berbeda. Emmett... dia tidak mengenal kedua gadis itu, mereka
hanya kebetulan berpapasan dengannya. Kejadiannya sudah lama sekali, dan dia
tidak... setangkas dan sehati-hati sekarang."
Ia terdiam dan mengamanku lekat-lekat ketika aku merenungkannya.
"Jadi kalau kita bertemu... oh, di lorong gelap atau apa...” Nyaliku ciut.
"Aku harus mengerahkan segenap kemampuan agar tidak melompat ke tengah
kelas penuh murid dan—"
Sekonyong-konyong ia berhenti, memalingkan wajah.
"Ketika kau berjalan melewatiku, aku bisa saja menghancurkan semua yang
Carlisle bangun untuk kami, saat itu juga. Seandainya aku tidak menyangkal rasa
hausku sejak, yah, bertahun-tahun yang lalu, aku takkan sanggup menghentikan
diriku sendiri." Ia berhenti, memandang geram pepohonan.
Ia memandangku muram, kami mengingat saat-saat itu.
"Kau pasti menduga aku kerasukan."
"Aku tidak mengerti alasannya. Bagaimana kau bisa membenciku secepat
itu..."
"Bagiku rasanya kau seperti semacam roh jahat yang di kirim langsung dari
nerakaku sendiri untuk menghancurkanku. Aroma yang menguar dari kulitmu... Kupikir
akan membuatku gila pada hari pertama itu. Dalam satu jam itu aku memikirkan seratus
cara berbeda untuk memancingmu keluar dari ruangan itu bersamaku, agar aku bisa
berdua saja denganmu. Dan aku terus melawan keinginan itu, memikirkan
keluargaku, apa yang akan menimpa mereka akibat kebodohanku Aku harus pergi, menghilang,
sebelum aku mengucapkan, kata-kata yang bisa membuatmu mengikutiku..."
Ia menatap ekspresiku yang gentar ketika mencoba memahami ingatannya yang
pahit. Matanya yang keemasan membara di balik bulu matanya, menghipnotis dan
mematikan.
"Kau pasti datang," ujarnya.
Aku mencoba berkata dengan tenang, "Tak diragukan lagi."
Dahinya mengerut ketika ia menatap tanganku, membebaskanku dari kekuatan
tatapannya. "Kemudian, ketika aku sia-sia berusaha mengatur jadwalku agar
bisa menghindarimu, kau ada di sana—di ruangan kecil hangat itu, begitu dekat,
aroma tubuhmu membuatku sinting. Saat itu aku nyaris menculikmu. Hanya ada satu
manusia lemah di sana—sangat mudah untuk diatasi."
Tubuhku gemetar di bawah hangatnya matahari, ingatanku diperbarui lewat
matanya, hanya saja sekarang aku menyadari bahayanya. Miss Cope yang malang;
aku bergidik lagi mengingat betapa aku nyaris menjadi penyebab kematiannya.
"Tapi aku menolaknya. Aku tidak tahu bagaimana. Aku memaksa diriku agar
tidak menunggumu, tidak mengikutimu dari sekolah. Bagiku di luar lebih mudah, karena
di sana aku tak bisa mencium aromamu. Aku bisa berpikir dengan jernih, membuat
keputusan yang tepat. Aku meninggalkan yang lain di dekat rumah—aku kelewat
malu memberitahu mereka betapa lemahnya diriku, mereka hanya tahu ada sesuatu
yang sangat salah—lalu aku pergi menemui Carlisle, di rumah sakit, untuk
memberitahunya aku akan pergi." Aku menatapnya terpana.
“Aku bertukar mobil dengannya—bahan bakar mobilnya penuh dan aku tak ingin
berhenti. Aku tidak berani pulang menemui Esme. Dia tidak akan tinggal diam
sampai mengetahui apa yang terjadi. Dia akan mencoba meyakinkanku bahwa itu
tidak penting...
"Keesokan paginya aku sudah berada di Alaska." Ia terdengar malu,
seolah-olah mengakui betapa pengecut dirinya. "Dua hari aku di sana,
bersama beberapa kenalan lama... tapi aku rindu rumah. Aku benci karena telah mengecewakan
Esme, dan yang lainnya, keluarga adopsiku.
Dalam udara bersih pegunungan, sulit memercayai betapa sangat menggodanya dirimu.
Aku meyakinkan diriku sendiri, bahwa melarikan diri menunjukkan betapa lemah diriku.
Sebelumnya aku juga pernah menghadapi cobaan, tidak sebesar ini, dekat pun tidak,
tapi aku kuat. Siapa kau ini, gadis kecil tak penting"—tiba-tiba ia
nyengir—"yang mengusirku dari tempat yang ingin kutinggali? Jadi aku pun kembali..."
Pandangannya menerawang.
Aku tak sanggup berkata-kata. “Aku melakukan tindakan pencegahan, berburu,
makan lebih banyak daripada biasa sebelum bertemu lagi denganmu. Aku yakin aku
cukup kuat untuk memperlakukanmu seperti manusia lainnya. Aku sombong mengenai
hal ini.
“Kenyataan bahwa aku tak dapat membaca pikiranmu untuk mengetahui reaksimu
terhadapku benar-benar menggangguku. Aku tak terbiasa melakukannya lewat perantara,
mendengarkan pikiranmu melalui pikiran Jessica... pikirannya tidak terlalu
orisinal, dan sangat mengganggu harus merendahkan diri seperti itu. Lagi pula aku
tidak tahu apakah kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu. Sangat menyebalkan.”
Ia Cemberut mengingatnya.
"Aku ingin kau melupakan sikapku pada hari pertama itu, bila mungkin, jadi
aku mencoba berbicara denganmu seperti yang akan kulakukan dengan siapa pun.
Sebenarnya aku sangat ingin, aku berharap dapat menguraikan sebagian pikiranmu.
Tapi kau terlalu menarik, aku mendapati diriku tertawan dalam ekspresimu... dan
sesekali kau mengibasngibaskan tangan atau rambutmu, dan aroma yang menguar
membuatku terkesima lagi...
"Tentu saja, kemudian kau nyaris mati tepat di hadapanku. Baru setelahnya
aku menemukan alasan yang sangat tepat mengapa aku beraksi saat itu—karena jika
aku tidak menyelamatkanmu, jika darahmu tercecer di sana di depanku, kurasa aku
takkan bisa menghentikan diriku mengungkapkan siapa diri kami sebenarnya. Tapi
aku baru memikirkan alasan itu setelahnya. Saat itu, yang bisa kupikirkan
hanya, 'Jangan dia.'"
Ia memejamkan mata, larut dalam pengakuannya yang menyiksa. Aku mendengarkan,
lebih antusias daripada rasional. Akal sehatku mengingatkan seharusnya aku
takut. Tapi sebagai ganti aku lega akhirnya bisa mengerti. Aku sangat
bersimpati atas penderitaannya, bahkan sekarang, ketika ia mengakui hasratnya
untuk menghabisi nyawaku. Akhirnya aku bisa bicara, meski suaraku samar-samar.
"Di rumah sakit?" Matanya berkilat-kilat menatapku. "Aku kaget.
Aku tak percaya aku telah membahayakan diri kami, menaruh diriku dalam kuasamu—dirimu,
dari semua orang yang ada. Seolah-olah aku memerlukan alasan lain untuk membunuhmu."
Kami beringsut menjauh ketika kata itu terucap. "Tapi efeknya justru
kebalikannya," ia bergegas melanjutkan. "Aku bertengkar dengan
Rosalie, Emmett, dan Jasper ketika mereka bilang sekaranglah waktunya...pertengkaran
terburuk kami. Carlisle membelaku, begitu juga Alice." Ia meringis ketika
menyebut nama itu. Aku tak bisa menebak alasannya. "Esme menyuruhku
melakukan apa saja yang harus kulakukan untuk tetap tinggal." Ia menggeleng
tulus.
"Sepanjang keesokan harinya, aku membaca pikiran setiap orang yang
berbicara denganmu, dan aku terkejut kau memegang kata-katamu. Aku sama sekali
tidak memahami dirimu. Tapi aku tahu aku tak bisa terlibat lebih jauh lagi denganmu.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauhimu. Dan setiap hari aroma kulitmu,
napasmu, rambutmu... memukulku sama kerasnya seperti hari pertama."
Mata kami kembali bertemu, dan aku terkejut melihat betapa lembut tatapannya.
"Karenanya," lanjutnya, "akan lebih baik jika aku mengungkapkan
siapa kami pada saat pertama itu, daripada sekarang, di sini—tanpa saksi dan
apa pun yang bisa menghentikanku—seandainya aku akan menyakitimu."
Cukup manusiawi bagiku untuk bertanya, "Kenapa?"
"Isabella." Ia mengucapkan nama lengkapku dengan hati-hati, kemudian
mengacak-acak rambutku dengan tangannya. Sentuhan ringannya membuat sekujur
tubuhku tegang. "Bella, aku takkan bisa memaafkan diriku jika aku sampai
menyakitimu. Kau tak tahu betapa itu menyiksaku."
Ia menunduk, kembali malu-malu. "Bayangan dirimu, kaku, putih, dingin...
tak bisa melihatmu merona lagi, tak bisa melihat kelebatan intuisi di matamu
ketika mengetahui kepura-puraanku... rasanya tak tertahankan." Ia
menatapku dengan matanya yang indah, namun tersiksa. "Kau yang terpenting
bagiku sekarang. Terpenting bagiku sampai kapan pun.”
Kepalaku berputar karena betapa cepatnya pembicaraan kami berubah-ubah. Dari
topik menyenangkan tentang kematianku sekonyong-konyong kami mengungkapkan perasaan
kami. Ia menunggu, dan meskipun aku menunduk mengamati tangan kami aku tahu
matanya yang keemasan mengawasiku.
"Kau sudah tahu bagaimana perasaanku, tentu saja,” kataku akhirnya
"Aku ada di sini... yang secara kasar berarti aku lebih baik mati daripada
harus menjauh darimu."
Wajahku muram. "Bodohnya aku."
"Kau memang bodoh," ia menimpaliku sambil tertawa.
Tatapan kami bertemu, dan aku ikut tertawa. Kami samasama menertawakan kebodohan
dan kemustahilan situasi itu.
"Jadi singa jatuh cinta pada domba... ," gumamnya. Aku berpaling
menyembunyikan mataku sementara hatiku senang mendengar kata-kata itu.
"Domba bodoh," desahku.
"Singa masokistik menjijikkan." Lama sekali ia memandang hutan yang
gelap , dan aku bertanya-tanya ke mana pikirannya telah membawanya.
"Kenapa... ?” aku memulai, kemudian berhenti, tak yakin bagaimana
meneruskannya. Ia memandangku dan tersenyum; sinar matahari membuat wajah dan
giginya berkilauan.
"Ya?"
“Katakan padaku kenapa kau lari dariku sebelumnya."
Senyumnya memudar. "Kau tahu kenapa."
"Tidak, maksudku, tepatnya apa salahku? Aku harus berjaga-jaga, tahu, jadi
sebaiknya aku mulai belajar apa yang tidak seharusnya kulakukan. Ini,
contohnya"—aku membelai punggung tangannya – “sepertinya tidak
masalah."
Ia tersenyum lagi. "Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Bella. Itu
salahku."
"Tapi aku ingin membantu, kalau bisa, agar ini tidak lebih sulit lagi
bagimu."
"Wol..." Sesaat ia memikirkannya. “Masalahnya kau begitu dekat.
Kebanyakan manusia dengan sendirinya menjauhi kami mundur karena keanehan
kami... Aku tidak berharap kau akan sedekat ini. Dan aroma lebermu.” Ia berhenti
sesaat, melihat apakah ia membuatku marah.
"Baik kalau begitu," kataku bergurau, mencoba mencairkan suasana yang
tiba-tiba tegang. Aku melipat daguku. "Aku takkan memperlihatkan
leherku."
Berhasil; ia tertawa. "Tidak, sungguh, lebih pada kejutannya daripada yang
lainnya."
Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan lembut di leherku.
Aku duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang dingin bagai peringatan alami— peringatan
yang menyuruhku untuk takut. Namun tak ada rasa takut dalam diriku. Bagaimanapun
yang ada justru perasaan lain...
"Lihat, kan," katanya. "Benar-benar tidak apa-apa."
Darahku mengalir deras, dan aku berharap bisa memperlambatnya, sadar ini pasti
membuat segalanya lebih sulit—detak jantung dalam nadiku. Pasti ia bisa mendengarnya.
“Rona pipimu cantik," gumamnya. Dengan lembut ia membebaskan tangannya yang
lain. Tanganku jatuh lunglai di pangkuan. Dengan lembut ia membelai pipiku,
lalu memegang wajahku di antara sepasang tangan pualamnya.
“Jangan bergerak," bisiknya, seolah aku belum membeku saja.
Perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dariku, ia mencondongkan wajah ke arahku.
Lalu tiba-tiba, namun dengan teramat lembut, ia menempelkan pipinya yang dingin
di relung leherku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bila menginginkannya. Aku
mendengarkan suara napasnya yang teratur, mengawasi bagaimana matahari dan
angin bermain-main di rambutnya yang perunggu, lebih manusiawi daripada bagian
dirinya yang lain.
Dengan kelambatan disengaja, tangan-tangannya meluncur menuruni leherku. Aku
gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi tangannya tidak berhenti ketika
dengan lembut beralih ke bahuku, kemudian berhenti. Wajahnya bergeser ke
samping, hidungnya menyusuri tulang selangkaku. Ia berhenti, salah satu sisi
wajahnya menempel lembut di dadaku.
Mendengarkan detak jantungku. "Ah," desahnya.
Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi berjam-jam.
Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak bergerak atau bicara lagi
ketika memegangku. Aku tahu kapan pun ini bisa jadi kelewat berlebihan, dan
hidupku bisa berakhir—begitu cepat hingga aku bahkan mungkin takkan
menyadarinya. Dan aku tak bisa membuat diriku ketakutan. Aku tak bisa
memikirkan apa pun, kecuali bahwa ia sedang menyentuhku. Kemudian, terlalu
cepat, ia melepaskanku.
Sorot matanya damai. “Tidak akan sesulit itu lagi," katanya puas.
"Apakah sulit sekali bagimu?"
"Tak seburuk yang kubayangkan. Kau?"
"Tidak, itu tidak buruk... bagiku."
Ia tersenyum mendengar nada suaraku. "Kau tahu maksudku."
Aku tersenyum.
"Kemarilah." Ia meraih tanganku dan menaruhnya di pipinya "Bisa
kaurasakan hangatnya?"
Kulitnya yang biasanya dingin nyaris hangat. Tapi aku nyaris tidak memerhatikan,
berhubung aku sedang menyentuh wajahnya, sesuatu yang selalu kuimpikan sejak hari
pertama aku melihatnya.
"Jangan bergerak," bisikku.
Tak ada yang bisa setenang Edward. Ia memejamkan mata dan diam tak bergerak
bagai batu, sebuah ukiran dalam genggamanku. Aku bergerak bahkan lebih pelan
daripadanya, berhatihati agar tidak membuat gerakan yang tidak diinginkan. Kubelai
pipinya, dengan lembut mengusap kelopak matanya, bayangan keunguan di bawah
matanya. Kutelusuri bentuk hidungnya yang sempurna, kemudian, dengan sangat
berhati-hati kutelusuri bibirnya yang tak bercela. Bibirnya membuka di bawah
tanganku, dan aku bisa merasakan embusan napasnya yang sejuk di ujung jemariku.
Aku ingin mencondongkan tubuh, menghirup aromanya. Jadi kujatuhkan tanganku dan
menjauh, tak ingin mendorongnya terlalu jauh.
Ia membuka mata, dan keduanya tampak kelaparan. Bukan dengan cara yang
membuatku takut, tapi yang membuat otot perutku tegang dan jantungku
berdebar-debar lagi.
"Kuharap," bisiknya, "kuharap kau bisa merasakan... kesulitan...
kebingungan... yang kurasakan. Agar kau mengerti.”
Ia mengulurkan tangannya ke rambutku, kemudian dengan hati-hati mengusap
wajahku.
“Katakan padaku," desahku.
"Kurasa aku tidak bisa. Sudah kubilang, di lain sisi, rasa lapar–haus
—yang menjadikanku makhluk tercela, kurasakan padamu. Dan kurasa kau bisa
memahami itu. Meskipun" – ia setengah tersenyum – “berhubung kau tidak
kecanduan obat-obat terlarang barangkali kau tak bisa mengerti sepenuhnya.”
"Tapi..." Jemarinya menyentuh lembut bibirku, membuatku gemetaran
lagi. "Ada hasrat lain. Hasrat yang tak bisa kumengerti, sesuatu yang
asing bagiku."
"Aku mungkin mengerti itu lebih baik dari yang kausangka.”
"Aku tak terbiasa merasa begitu manusiawi. Apakah rasanya selalu seperti
ini?
"Bagiku?" aku berhenti. "Tidak, tidak pernah. Tidak pernah
sebelumnya."
Ia menggenggam tanganku di antara kedua tangannya. Begitu rapuh dalam kekuatan
baja yang dimilikinya.
"Aku tak tahu bagaimana caranya dekat denganmu," ia mengaku. "Aku
tak tahu apakah aku bisa."
Dengan sangat perlahan kucondongkan tubuhku, mengingatkannya lewat tatapanku.
Kutempelkan pipiku di dadanya yang keras. Aku hanya bisa mendengar desah
napasnya, tak ada yang lain.
"Ini sudah cukup," desahku, memejamkan mata.
Dengan gerakan yang amat manusiawi ia memelukku dan menekankan wajahnya di
rambutku.
“Untuk urusan ini kau lebih baik daripada yang kausangka," sahutku.
“Aku punya naluri manusia—naluri itu mungkin saja terkubur dalam-dalam, tapi
masih ada."
Lama sekali kami duduk seperti itu; aku bertanya-tanya mungkinkah ia sama enggannya
untuk bergerak seperti
halnya diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya mulai memudar, bayangan hutan mulai
menyentuh kami, dan aku pun mendesah.
"Kau harus pergi."
"Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku."
"Sudah jelas." Aku bisa mendengar senyuman dalam perkataannya.
Ia meraih bahuku, dan aku menatap wajahnya.
"Bisakah aku memperlihatkanmu sesuatu?" pintanya, kegembiraan tiba-tiba
menyala-nyala di matanya.
"Memperlihatkan apa?"
"Akan kuperlihatkan bagaimana aku berjalan-jalan di hutan." Ia
mengamati ekspresiku. "Jangan khawatir, kau
akan sangat aman, dan kita akan tiba di trukmu lebih cepat dari pada yang
kaubayangkan." Bibirnya menyunggingkan senyum yang begitu indah hingga
jantungku nyaris berhenti berdetak.
"Apakah kau akan berubah menjadi kelelawar?" tanyaku hati-hati.
Ia tertawa, lebih keras daripada yang pernah kudengar.
"Seolah-olah aku belum pernah mendengar yang satu itu saja!"
"Benar, aku yakin kau sering mendengarnya."
"Ayo, pengecut kecilku, naik ke punggungku."
Aku menunggu untuk meyakinkan apakah ia bergurau, tapi tampaknya ia bersungguh-sungguh.
Ia tersenyum melihat keraguanku, lalu mengulurkan tangan meraihku. Jantungku
bereaksi; meskipun tak bisa mendengar pikiranku, ia tetap bisa mengetahuinya lewat
detak jantungku. Kemudian ia mengayunkanku ke punggungnyatanpa aku perlu
bersusah-payah. Setelah itu aku mengaitkan tangan dan kakiku di tubuhnya begitu
erat hingga bisa membuat orang biasa tersedak. Rasanya seperti memeluk batu.
“Aku agak lebih berat daripada tas ranselmu," aku mengingatkannya.
“Hah!" dengusnya. Aku nyaris bisa mendengar ia memutar bola matanya. Aku
tak pernah melihatnya begitu bersemangat sebelumnya. Ia membuatku terkejut
ketika sekonyong-konyong ia meraih tanganku, menekankan telapak tanganku ke wajahnya,
dan menghirupnya dalam-dalam.
"Selalu lebih mudah daripada sebelumnya" gumamnya.
Kemudian ia berlari. Jika sebelumnya keberadaannya pernah membuatku mengkhawatirkan
kematian, itu tak sebanding dengan yang kurasakan saat ini.
Ia menerobos kegelapan hutan yang lebat bagai peluru, bagai hantu. Tak ada suara,
tak ada bukti ia memijakkan kakinya di tanah. Irama napasnya tak pernah
berubah, tidak menunjukkan bahwa ia mengerahkan segenap tenaga. Tapi pepohonan
di sekitar kami berkelebat sangat cepat, selalu luput menyentuh kami. Aku
terlalu takut untuk memejamkan mata, meskipun hawa hutan yang sejuk menyapu
wajahku dan membakarnya. Aku merasa seolah-olah dengan bodoh menjulurkan kepala
ke luar jendela pesawat yang sedang mengudara. Dan untuk pertama kali dalam
hidupku, aku merasa mabuk.
Kemudian selesai. Kami mendaki berjam-jam tadi pagi untuk mencapai padang
rumput Edward, dan sekarang, dalam hitungan menit, kami sudah sampai lagi di
truk.
“Asyik, bukan?" Suaranya meninggi, senang. Ia berdiri tak bergerak,
menungguku turun. Aku mencobanya, tapi otot-ototku kaku. Lengan dan kakiku
tetap mengunci tubuhnya sementara kepalaku berputar-putar dan membuatku tidak
nyaman.
“Bella?" panggilnya, sekarang terdengar waswas.
“Rasanya aku perlu berbaring," aku menahan napas.
"Oh, maaf." Ia menungguku, tapi aku masih tetap tak bisa bergerak.
"Sepertinya aku perlu bantuan,” ujarku.
Ia tertawa pelan, dan dengan lembut melepaskan cengkeramanku di lehernya.
Kupasrahkan diriku. Kemudian ia menarikku menghadapnya, menggendongku seolah
aku kanak-kanak. Ia memelukku sebentar, lalu hatihati menurunkanku ke atas
hamparan pakis.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
Aku tidak yakin apa yang kurasakan saat kepalaku berputar cepat sekali.
"Rasanya pusing."
"Letakkan kepalamu di antara kedua lututmu." Aku mencobanya, dan
lumayan membantu. Aku bernapas pelan, menjaga kepalaku tetap tenang. Aku merasakan
ia duduk di sisiku. Waktu berlalu, dan akhirnya aku dapat mengangkat kepala.
Telingaku berdenging.
"Kurasa itu bukan gagasan yang bagus," gumamnya.
Aku mencoba bersikap positif, namun suaraku lemah.
"Tidak, itu tadi sangat menarik."
"Hah! Wajahmu sepucat hantu begitu—oh bukan, kau sepucat aku!"
“Seharusnya tadi aku memejamkan mata." Lain kali ingat itu."
"Lain kali!" erangku.
Ia tertawa. Suasana hatinya masih bagus.
“Tukang pamer," gumamku.
“Buka matamu, Bella," ujarnya pelan.
Dan di sanalah dia, wajahnya sangat dekat denganku. Ketampanannya
memukauku—terlalu berlebihan, kelebihan yang belum bisa membuatku terbiasa.
“Aku sedang berpikir, ketika aku berlari...” Ia terdiam.
"Kuharap bukan tentang tidak menabrak pepohonan."
"Bella kau lucu." ia tergelak. "Berlari adalah sesuatu yang alami,
bukan sesuatu yang harus kupikirkan."
"Tukang pamer," gumamku lagi. Ia tersenyum.
"Bukan," lanjutnya, "aku berpikir ada sesuatu yang ingin kucoba."
Dan ia memegangi wajahku dengan tangannya lagi. Aku tak bisa bernapas. Ia
ragu-ragu—tidak seperti biasanya, seperti cara manusia.
Bukan seperti pria yang ragu-ragu sebelum mencium wanita, untuk mengira-ngira
bagaimana reaksinya, untuk
melihat bagaimana wanita itu menerimanya. Barangkali ia ingin mengulur-ulur waktu,
saat penantian yang tepat terkadang lebih baik daripada ciuman itu sendiri. Edward
ragu untuk menguji dirinya sendiri, untuk mengetahui apakah ini aman, untuk
memastikan dirinya masih dapat mengendalikan hasratnya. Kemudian bibir pualamnya
yang dingin menekan lembut bibirku.
Tapi kami sama sekali tidak siap dengan reaksiku. Darahku mendidih dan membara
di bibirku. Napasku terengah-engah. Jemariku meremas rambutnya, mencengkeram
tubuhnya di tubuhku. Bibirku membuka saat kuhirup aroma tubuhnya yang keras. Tiba-tiba
kurasakan ia mematung di bawah bibirku. Dengan lembut dan tegas tangannya
mendorong wajahku. Aku membuka mata dan melihat ekspresinya yang waspada.
“Ups," desahku.
"Itu namanya melecehkan."
Tatapannya liar, rahangnya menegang, meski begitu artikulasinya tetap sempurna.
Ia memegang wajahku hanya beberapa senti dari wajahnya. Aku terpana dibuatnya.
"Haruskah aku... ?" Aku mencoba menahan diri, memberinya sedikit
ruang. Tangannya tidak mengizinkanku bergerak sedikit pun.
"Tidak, aku bisa menolerirnya. Tolong tunggu sebentar."
Suaranya sopan, terkendali. Aku terus menatap matanya, memerhatikan hasrat yang
berkobar-kobar di dalamnya mulai memudar dan melembut.
Kemudian ia tersenyum, dan senyumnya tak disangka-sangka nakal.
"Nah," katanya, jelas puas dengan dirinya sendiri.
"Bisa ditolerir?" tanyaku.
Ia tertawa keras. "Aku lebih kuat daripada yang kuduga. Senang
mengetahuinya."
"Kuharap aku bisa mengatakan yang sama. Maafkan aku.''
"Kau toh hanya manusia biasa."
"Terima kasih banyak," sahutku getir.
Dalam satu gerakan luwes dan cepat ia sudah berdiri. Ia mengulurkan tangan
padaku, gerakan yang tak kusangkasangka. Aku begitu terbiasa berhati-hati agar
kami tak bersentuhan. Kugenggam tangannya yang dingin, memerlukannya lebih dari
dugaanku. Keseimbanganku belum kembali sepenuhnya.
"Apa kau masih mau pingsan akibat lari kita tadi? Atau karena ciumanku
yang menghanyutkan?" Betapa ceria, betapa manusianya dia ketika sedang
tertawa sekarang ini, wajah malaikatnya tampak tenang. Ia adalah Edward yang berbeda
dari yang kukenal. Dan aku merasa lebih tergilagila padanya. Akan menyakitkan
bila harus berpisah darinya sekarang.
“Aku tidak yakin, aku masih pening," akhirnya aku berhasil menyahut.
"Kurasa gabungan keduanya."
"Kurasa kau harus membiarkanku mengemudi." "Kau gila ya?"
protesku.
"Aku bisa mengemudi lebih baik darimu bahkan pada hari terbaikmu."
godanya. "Refleksmu jauh lebih lambat."
"Aku yakin itu benar, tapi kurasa keberanianku, atau trukku, bisa
menerimanya.”
"Percayalah, Bella, sedikit saja."
Kuselipkan tanganku di saku celana, menggenggam kunci mobilku erat-erat.
“Tidak. Tidak sedikit pun."
Alisnya terangkat tak percaya. Aku mulai mengitarinya, menuju sisi pengemudi.
Ia mungkin membiarkanku lewat kalau saja aku tidak terhuyung. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, ia mungkin tidak akan membiarkanku lewat sama sekali.
Lengannya menciptakan perangkap tak tertembus di sekeliling pinggangku.
"Bella, aku telah mengerahkan segenap usaha yang kubisa untuk menjagamu
tetap hidup. Aku takkan membiarkanmu mengemudi ketika berjalan lurus pun kau tak
bisa. Lagi pula, seorang teman takkan membiarkan temannya mengemudi dalam
keadaan mabuk," kutipnya sambil tergelak. Aku bisa mencium aroma manis
yang tak tertahankan dari dadanya.
"Mabuk?" timpalku keberatan.
“Kau mabuk oleh kehadiranku." Ia memamerkan senyumnya yang menggoda lagi.
"Aku tak bisa menyangkal yang satu itu," desahku. Tak ada jalan
keluar, aku tak bisa menolaknya untuk apa pun.
Aku mengangkat kunci trukku tinggi-tinggi dan menjatuhkannya, mengamati
tangannya berkelebat bagai kilat dan menyambarnya tanpa suara. "Santai
saja—trukku sudah cukup tua.”
"Sangat masuk akal," timpalnya.
"Dan apakah kau sama sekali tidak terpengaruh?” tanyaku jengkel.
"Oleh kehadiranku?"
Lagi-lagi ekspresinya yang mudah berubah berganti lagi menjadi lembut dan hangat.
Awalnya ia tidak menjawab hanya menundukkan wajahnya ke arahku, dan mengusapkan
bibirnya perlahan sepanjang rahangku, mulai dari telinga ke dagu, berulang-ulang.
Aku gemetaran.
"Bagaimanapun," akhirnya ia bergumam, "refleksku lebih baik.
0 komentar:
Post a Comment