September 01, 2014

Baca Online Twilight part 18

18. PERBURUAN

MEREKA muncul satu per satu dari tepi hutan, terpisahpisah sejauh dua belas meter. Laki-laki yang pertama
muncul langsung mundur, membiarkan laki-laki yang lain berdiri di depan, menempatkan dirinya di dekat laki-laki tinggi berambut gelap yang sikapnya jelas menunjukkan dialah pemimpin mereka. Yang ketiga wanita; dari jarak ini aku hanya bisa melihat bahwa rambutnya bernuansa kemerahan yang mengagumkan.
Mereka bergerak saling mendekat sebelum dengan hatihati menghampiri keluarga Edward, memperlihatkan rasa
hormat alami sekelompok predator ketika bertemu jenisnya sendiri dalam kelompok yang lebih besar dan asing.
Ketika mereka mendekat, bisa kulihat betapa berbedanya mereka dengan keluarga Cullen. Langkah mereka pelan, anggun, langkah yang secara konstan nyaris berubah siap menerkam. Mereka berpakaian ala backpacker umumnya: jins dan atasan kasual berkancing yang terbuat dari bahan tebal dan tahan lama. Namun pakaian mereka tampak usang karena sering dipakai dan mereka bertelanjang kaki. Kedua laki-laki itu berambut cepak, rambut si wanita yang berwarna jingga terang dipenuhi dedaunan dan serpihserpihan hutan.
Mata mereka yang tajam dengan hati-hati mengamati postur Carlisle yang elegan dan sempurna. Ia berdiri diapit
Emmett dan Jasper. Para pendatang itu melangkah hati-hati menghampiri mereka, dan tanpa komunikasi yang kentara, mereka masing-masing menyesuaikan diri dan bersikap lebih santai serta berwibawa.
Laki-laki yang berdiri di depan jelas yang paling tampan, kulitnya bernuansa hijau di balik warna pucat yang sama, rambutnya hitam mengilap. Postur tubuhnya sedang, ototnya kekar tentu saja, tapi kalah jauh dari Emmett. Ia tersenyum ramah, memamerkan gigi putihnya. Si perempuan lebih liar, dengan resah ia bergantian
menatap para laki-laki di depannya serta yang berdiri di sekitarku, rambutnya yang berantakan berkibaran dalam
angin yang bertiup pelan. Posturnya sangat anggun. Lakilaki kedua berdiri diam di belakang mereka, tubuhnya lebih ramping daripada si pemimpin, rambutnya yang cokelat muda serta bagian-bagian lainnya biasa-biasa saja.
Matanya, meskipun diam, entah mengapa tampak paling waspada. Mata mereka juga berbeda. Bukan warna emas atau hitam seperti yang kuharapkan, tapi warna burgundy gelap yang keji dan mengancam.
Sambil masih tersenyum, laki-laki berambut gelap melangkah maju ke arah Carlisle.
“Kami kira kami mendengar permainan." katanya santai dengan sedikit logat Prancis. "Aku Laurent, ini Victoria dan James.” Ia menunjuk vampir-vampir di sebelahnya.
“Aku Carlisle. Ini keluargaku, Emmett dan Jasper, Rosalie, Esme dan Alice. Edward dan Bella." Ia sengaja
tidak menunjuk kami satu per satu. Aku terkejut ketika ia menyebut namaku.
“Ada ruang untuk beberapa pemain lagi?" tanya Laurent ramah.
Carlisle membalas dengan sama ramahnya.
“Sebenarnya, kami baru saja selesai. Tapi lain kali kami jelas tertarik mengajak kalian bermain. Apakah kalian
berencana tinggal lama di daerah ini?"
"Kami sedang menuju utara, tapi kami penasaran ingin melihat siapa yang ada di sekitar sini. Sudah lama kami
belum berjumpa siapa-siapa."
"Tidak, wilayah ini biasanya kosong kecuali kami dan terkadang beberapa pengunjung seperti kalian."
Suasana tegang perlahan berganti menjadi pembicaraan santai; kurasa Jasper menggunakan bakatnya yang tidak
biasa untuk mengendalikan situasi.
"Jangkauan berburu kalian mencakup mana saja?" Laurent bertanya dengan sikap santai.
Carlisle mengabaikan maksud di balik pertanyaan itu. "Di sini, di Olympic Range, di sekitar Coast Ranges untuk waktu tertentu. Kami mempunyai tempat tinggal permanen di dekat sini. Ada lagi yang menetap permanen seperti kami di dekat Denali." Laurent mengetuk-ngetukkan kakinya perlahan.
“Permanen? Bagaimana kalian mengaturnya?" Ada rasa penasaran yang murni dalam suaranya.
"Kenapa kalian tidak ikut ke rumah kami dan kita bisa mengobrol dengan nyaman?" undang Carlisle. "Ceritanya
agak panjang."
James dan Victoria bertukar pandang kaget mendengar kata ‘rumah’, tapi Laurent lebih pandai mengendalikan
ekspresinya.
"Kedengarannya sangat menarik dan bersahabat."
Senyumnya ramah. "Kami telah berburu sepanjang perjalanan dari Ontario, dan sudah lama belum sempat
membersihkan diri" Ia mengagumi penampilan Carlisle yang beradab.
"Kumohon jangan tersinggung tapi kami akan menghargai bila kalian tidak berburu di sekitar daerah ini.
Kalian mengerti, kami harus menjaga agar eksistensi kami tetap terjaga," Carlisle menjelaskan.
"Tentu saja." Laurent mengangguk. "Kami tentu tidak akan melanggar teritori kalian. Lagi pula, kami baru saja
bersantap di luar Seattle." Ia tertawa. Rasa ngeri menjalar di tulang punggungku.
"Akan kami tunjukkan jalannya kalau kalian ingin lari bersama kami—Emmett dan Alice, kalian bisa pergi
bersama Edward dan Bella ke Jeep," Carlisle menambahkan dengan tenang.
Tiga hal tampaknya terjadi secara bersamaan ketika Carlisle bicara. Rambutku berantakan ditiup angin, tubuh
Edward menegang dan laki-laki kedua, James, tiba-tiba memutar kepalanya, mengamatiku, hidungnya mengendusendus. Tubuh mereka langsung menegang ketika James maju selangkah dan siap menerkam. Edward memperlihatkan giginya, balas siap menerkam, menggeram penuh ancaman. Sama sekali bukan geraman main-main yang kudengar tadi pagi; melainkan hal paling mengerikan yang pernah kudengar. Rasa ngeri pun menjalar dari ujung rambut hingga ke ujung kakiku.
"Apa ini?" Laurent blak-blakan menunjukkan rasa terkejutnya. Baik Edward maupun James tidak mengubah
pose agresif mereka. James bergerak sedikit ke samping, dan sebagai jawabannya Edward bergeser.
“Dia bersama kami." Jawaban Carlisie yang tegas diarahkan langsung kepada James. Laurent sepertinya tidak
mencium aroma tubuhku setajam James, tapi sekarang tampaknya ia sudah menyadarinya.
"Kalian membawa snack?” tanyanya, ekspresinya keheranan saat ia melangkah enggan ke depan.
Edward menggeram bahkan lebih menakutkan lagi, bengis, bibirnya terangkat tinggi memamerkan giginya yang
berkilauan. Laurent melangkah mundur.
"Kubilang dia bersama kami," Carlisle mengulangi katakatanya dengan tegas.
"Tapi dia manusia,” protes Laurent. Ucapannya sama sekali tidak bernada agresif, semata-mata hanya terkejut.
"Ya." Emmett jelas-jelas membela Carlisle, matanya tertuju kepada James. Perlahan James menegakkan
tubuhnya, tapi tatapannya tak pernah lepas dariku, cuping hidungnya masih mengembang. Edward tetap tegang bagai singa di hadapanku
Ketika Laurent bicara, nada suaranya lembut—mencoba menenangkan permusuhan yang tiba-tiba muncul.
"Kelihatannya banyak yang harus kita pelajari tentang satu sama lain.”
"Tentu." Suara Carlisle masih tenang.
“Tapi kami ingin menerima undanganmu." Matanya bergantian menatap Carlisle dan aku. "Dan, tentu saja,
kami takkan melukai perempuan manusia ini. Seperti kataku, kami takkan berburu dalam wilayah buruanmu."
James memandang tak percaya dan kesal kepada Laurent. Sekali lagi ia bertukar pandang sekilas dengan
Victoria, yang matanya masih menatap gelisah dari satu wajah ke wajah lain.
Sesaat Carlisle mempelajari ekspresi wajah Laurent yang gamblang sebelum berbicara. "Akan kami tunjukkan
jalannya. Jasper, Rosalie, Esme?" panggilnya. Mereka mendekat, menghalangiku dari pandangan saat mereka
berkumpul. Serta-merta Alice sudah berada di sisiku, dan Emmett mundur perlahan, tatapannya terkunci pada James saat ia berjalan membelakangi kami.
"Ayo, Bella." Suara Edward pelan dan lemah.
Selama itu aku berdiri kaku tak bergerak di tempat yang sama, begitu ketakutannya hingga sama sekali tak bergerak. Edward sampai harus meraih sikuku dan menyentakku hingga aku tersadar. Alice dan Emmett berada dekat di belakang kami, menyembunyikan diriku. Aku berjalan tersandung-sandung di sebelah Edward, masih terkejut karena ngeri. Aku tak bisa mendengar apakah yang lain sudah pergi atau belum. Ketidaksabaran Edward begitu kentara ketika kami bergerak dengan kecepatan manusia menuju tepi hutan.
Sesampainya di bawah naungan pepohonan, Edward mengayunkanku ke punggungnya tanpa menghentikan
langkah. Aku berpegangan erat-erat saat ia bergerak, yang lain tak jauh darinya. Aku terus menundukkan kepala, tapi mataku yang membelalak ketakutan tak mau terpejam.
Bagai hantu mereka melesat menembus hutan yang kini kelam. Perasaan senang yang biasanya menyelimuti
Edward ketika ia berlari kini lenyap seluruhnya, digantikan amarah yang merasuki dan membuatnya bergerak lebih cepat. Bahkan denganku di punggungnya, yang lain tak bisa menduluinya.
Kami tiba di Jeep dalam waktu teramat singkat, dan Edward nyaris tidak memperlambat gerakannya ketika m,
naruhku di jok belakang.
“Pasangkan sabuk pengamannya,” ia memerintahkan Emmet, yang menyelinap masuk sebelahku.
Alice telah berada di jok depan, dan Edward menyalakan mesin Kemudian mesinnya menderu dan kami bergerak mundur, berputar menghadap jalanan yang berliku. Edward menggeramkan sesuatu yang terlalu cepat untuk kumengerti, tapi kedengarannya jelas seperti serangkaian makian.
Perjalanan yang berguncang-guncang itu jauh lebih buruk saat ini, dan kegelapan hanya membuatnya semakin
mengerikan. Emmett dan Alice memandang saksama ke luar jendela.
Kami tiba di jalan utama, dan meskipun laju kami bertambah cepat, aku bisa melihat jauh lebih baik ke mana
tujuan kami. Dan kami menuju selatan, menjauh dari Forks.
"Kita mau ke mana?" aku bertanya.
Tak ada yang menjawab. Bahkan tak seorang pun melihat ke arahku.
"Sialan, Edward! Ke mana kau membawaku?"
“Kami harus membawamu pergi dari sini—jauh sekali—sekarang." Ia tidak menoleh ke belakang, matanya terpaku ke jalan. Spidometer menunjukkan kecepatan seratus lima mil per jam.
“Kembali! Kau harus membawaku pulang!" aku berteriak. Aku memberontak, berusaha melepaskan kaitan
tolol sabuk pengaman ini.
"Emmett," kata Edward dingin.
Dan Emmet mengamankan tanganku dalam genggamannya yang kuat.
“Edward! Tidak, kau tidak boleh melakukan ini."
“Aku harus, Bella, sekarang kumohon diamlah."
“Tidak akan! Kau harus membawaku pulang—Charlie akan menelepon FBI! Mereka akan mengejar keluargamu—Carlisle dan Esme! Mereka terpaksa harus pergi, bersembunyi selamanya!"
“Tenanglah, Bella." Suaranya dingin. "Kami sudah pernah mengalami itu sebelumnya."
"Tidak demi aku, tidak akan! Kau tidak akan menghancurkan segalanya demi aku!" Aku memberontak
habis-habisan, dan sama sekali sia-sia.
Alice berbicara untuk pertama kali. "Menepilah, Edward."
Edward menatapnya marah, kemudian menambah kecepatan.
"Edward, mari kita bicarakan masalah ini."
"Kau tidak mengerti" ia mengerang frustrasi. Aku belum pernah mendengar suaranya selantang ini; begitu
memekakkan di dalam Jeep yang sempit. Jarum spidometer nyaris mendekati angka 115. "Dia pemburu, Alice, tidakkah kau melihatnya? Dia pemburu!"
Aku merasakan Emmett menegang di sebelahku, dan aku mempertanyakan reaksinya terhadap kata itu. Kata itu
memiliki arti lebih bagi mereka bertiga daripada bagiku; aku ingin memahaminya, tapi tak ada celah bagiku untuk bertanya.
“Menepilah, Edward." Nada suara Alice tenang, namun terselip wibawa di dalamnya yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Jarum spidometer bergerak melewati 120.
“Lakukan, Edward."
"Dengar, Alice. Aku melihat pikirannya. Berburu adalah hasratnya, obsesinya-dan dia menginginkan Bella, Alice—Bella, secara spesifik. Dia memulai perburuannya malam ini."
"Dia tidak tahu ke mana—"
Edward menginterupsi. "Pikirmu berapa lama waktu yang diperlukannya untuk menemukan baunya di kota?
Rencananya sudah matang bahkan sebelum Laurent bicara."
Aku terkesiap, menyadari ke mana aroma tubuhku akan membawanya. "Charlie! Kau tak bisa meninggalkannya di sana! Kau tak boleh meninggalkannya!" Aku meronta-ronta di balik ikatan sabuk.
"Dia benar," kata Alice.
Jeep sedikit melambat.
"Mari kita pertimbangkan pilihan kita sejenak," bujuk Alice.
Jeep kembali melambat, lebih drastis, dan tiba-tiba kami berhenti sambil berdecit di bahu jalan tol. Aku terdorong ke depan, lalu terempas lagi ke jok.
"Tidak ada pilihan," desis Edward.
"Aku tidak akan meninggalkan Charlie!" teriakku. Ia benar-benar mengabaikanku.
"Kita harus membawanya kembali," Emmett akhirnya bicara.
"Tidak," sahut Edward mantap.
“Dia bukan tandingan kita, Edward. Dia takkan bisa menyentuhnya."
“Dia akan menunggu."
Emmett tersenyum. "Aku juga bisa menunggu."
“Kau tidak mengerti. Sekali memutuskan untuk berburu, dia tak tergoyahkan. Kita harus membunuhnya."
Emmett kelihatannya setuju-setuju saja dengan ide itu.
"Itu sebuah pilihan."
“Dan yang perempuan. Dia bersamanya. Bila nantinya berubah menjadi perseteruan si pemimpin akan turun
tangan juga.”
“Jumlah kita cukup banyak."
“Itu pilihan lain," kata Alice pelan.
Edward berbalik padanya, murka, suaranya menggeram.
“Tidak – ada – pilihan – lain!"
Emmett dan aku memandangnya terkejut, tapi Alice kelihatan biasa-biasa saja. Keheningan berlangsung panjang sementara Edward dan Alice saling menatap.
Aku memecahkannya. "Tidakkah kalian ingin mendengar rencanaku?"
"Tidak," geram Edward. Alice memelototinya, akhirnya terpancing juga.
"Dengar," aku memohon. "Bawa aku kembali."
"Tidak," potong Edward.
Aku memandang marah dan melanjutkan. "Bawa aku kembali, aku akan bilang pada ayahku bahwa aku ingin
pulang ke Phoenix. Kukemasi barang-barangku. Kita tunggu sampai si pemburu memerhatikan, baru kita lari.
Dia akan mengikuti kita dan tidak mengganggu Charlie. Charlie takkan melaporkan keluargamu pada FBI. Lalu kau bisa membawaku ke mana pun kau mau." Mereka menatapku, terkesiap.
“Bukan ide yang buruk, sungguh." Keterkejutan Emmett jelas penghinaan.
“Bisa saja berhasil—dan kita tak bisa membiarkan ayahnya begitu saja tanpa pelindungan. Kalian tahu itu."
kata Alice
Semua menatap Edward.
“Terlalu berbahaya—aku tak menginginkannya berada dalam radius mil dari Bella."
Emmett tampak sangat percaya diri. "Edward, dia takkan bisa mengalahkan kita.”
Alice berpikir sebentar. "Aku tidak melihatnya menyerang Dia akan mencoba menunggu kita
meninggalkannya sendirian."
"Takkan perlu waktu lama baginya untuk menyadari itu takkan terjadi."
"Aku memerintahkanmu untuk membawaku pulang." Aku berusaha terdengar tegas. Edward menekan jemarinya di pelipis dan memejamkan mata.
"Kumohon," kataku, suaraku jauh lebih pelan. Ia tidak mendongak. Ketika bicara, suaranya terdengar terluka.
"Kau akan pergi malam ini, tak peduli apakah si pemburu melihat atau tidak. Katakan pada Charlie, kau tak
tahan lagi berada di Forks. Ceritakan apa saja agar dia percaya. Kemasi apa pun yang bisa kauambil, kemudian
masuk ke trukmu. Aku tak peduli apa yang dikatakannya padamu. Kau punya waktu lima belas menit. Kaudengar aku? Lima belas menit setelah kau keluar dari pintu."
Jeep menderu menyala, dan ia memutarnya, bannya berdecit- decit. Jarum spidometer mulai bergerak sesuai
kecepatan.
“Emmett?" aku bertanya, menatap lurus tanganku.
“Oh, maaf." Ia melepaskannya.
Beberapa menit berlangsung dalam keheningan, kecuali bunyi deru mesin. Lalu Edward berbicara lagi.
"Inilah yang akan kita lakukan. Sesampainya di rumah Bella, kalau si pemburu tidak ada di sana, aku akan
mengantarnya sampai ke pintu. Kemudian dia punya waktu lima belas menit." Ia menatapku geram dan kaca spion.
"Emmet kau berjaga di luar rumah. Alice, kauambil truk Bella. Aku akan berada di dalam selama dia di sana. Setelah dia keluar, kalian boleh bawa Jeep-nya pulang dan beritahu Carlisle."
"Tidak akan," Emmett menyela. "Aku ikut kau."
"Pikirkan lagi, Emmett. Aku tak tahu berapa lama aku akan pergi."
"Sampai kami tahu sejauh mana ini bakal berlangsung, aku ikut kau."
Edward mendesah. "Kalau si pemburu ada di sana," ia melanjutkan perkataannya dengan muram, "kita tidak akan berhenti."
"Kita akan sampai di sana sebelum dia," kata Alice yakin.
Edward sepertinya setuju. Apa pun masalahnya dengan Alice, sekarang ia tak meragukannya lagi.
"Apa yang akan kita lakukan dengan Jeep-nya?" Alice bertanya.
Suaranya terdengar pahit. "Kau akan membawanya pulang."
"Tidak, aku tidak mau," kata Alice tenang. Rangkaian makian yang tak terdengar itu mulai lagi.
"Kita semua takkan muat di trukku," aku berbisik. Sepertinya Edward tidak mendengarku.
"Kurasa kau harus membiarkanku pergi sendiri," aku berkata dengan suara yang bahkan lebih pelan. Ia mendengarnya.
"Bella, kumohon lakukan saja dengan caraku, sekali ini saja,” katanya, menggertakkan giginya.
"Dengar, Charlie bukan orang bodoh," protesku. "Kalau besok kau tidak tampak di kota, dia bakal curiga."
“Truk tak ada hubungannya. Kami akan memastikan dia aman. dan itulah yang terpenting."
"Lalu bagaimana dengan si pemburu ini? Dia melihat bagaimana sikapmu malam ini. Dia akan berpikir kau
bersamaku di mana pun kau berada."
Emmett melihat ke arahku, terlihat terkejut lagi.
"Edward, dengarkan dia," desaknya. "Kupikir dia benar."
"Ya, dia memang benar," Alice menimpali.
"Aku tak bisa melakukannya." Suara Edward dingin.
"Emmett juga harus tinggal," aku melanjutkan. "Dia jelas menaruh perhatian pada Emmert.”
"Apa?" Emmert berbalik padaku.
"Kau akan menjadi lawan yang sebanding baginya kalau kau tinggal," timpal Alice.
Edward menatap Alice tak percaya. "Menurutmu, aku harus membiarkan Bella pergi sendirian?"
"Tentu saja tidak," sahut Alice. "Jasper dan aku akan membawanya."
“Aku tak bisa melakukannya," Edward mengulangi katakatanya, tapi kali ini terselip nada menyerah di baliknya. Akal sehatnya mulai bekerja. Aku mencoba membujuk. "Tetaplah di sini selama seminggu—" aku melihat ekspresinya lewat kaca spion dan meralat kata-kataku "—beberapa hari. Biarkan Charlie melihat kau tidak menculikku, dan buat perburuan si James ini berantakan. Pastikan dia benar-benar kehilangan jejakku. Lalu datanglah dan temui aku. Tentu saja ambil rute memutar, kemudian Jasper dan Alice bisa pulang." Aku bisa melihat Edward mempertimbangkan ideku.
“Menemuimu di mana?"
"Phoenix." Tentu saja.
“Tidak. Dia akan mendengar bahwa itulah tempat yang akan kautuju," katanya tidak sabar.
"Dan kau akan membuatnya kelihatan seperti jebakan tentunya. Dia akan tahu kita sengaja membiarkannya
mendengar pembicaraan kita. Dia takkan pernah percaya aku sebenarnya akan pergi ke tempat yang kukatakan."
"Dia licik," Emmett tergelak.
"Dan kalau itu tidak berhasil?"
"Beberapa juta orang tinggal di Phoenix," aku memberitahunya.
"Tidak terlalu sulit mendapatkan buku telepon."
"Aku takkan pulang."
"Oh?" tanyanya, nada suaranya berbahaya.
"Aku cukup dewasa untuk punya tempat tinggal sendiri."
"Edward, kami akan menemaninya," Alice mengingatkan.
"Apa yang akan kalian lakukan di Phoenix?' ia bertanya pada Alice.
"Tetap di dalam ruangan."
"Aku sepertinya menyukainya." Emmett sedang memikirkan tentang menghabisi James, tak diragukan lagi.
"Diam, Emmett."
“Dengar, kalau kita mencoba membunuhnya sementara Bella masih di sini, kemungkinan besar akan ada yang
terluka—dia akan terluka, atau kau karena mencoba melindunginya. Nah, kalau kita menyerang saat dia sendirian...” ia tidak menyelesaikan kalimatnya, senyumnya mengembang perlahan. Aku benar. Sekarang Jeep melaju pelan saat kami memasuki kota. Meskipun ucapanku terdengar berani, bisa kurasakan bulu kudukku meremang. Aku memikirkan Charlie, sendirian di rumah, dan mencoba untuk berani.
"Bella.” Suara Edward terdengar sangat lembut. Alice dan Emmert memandang ke luar jendela. "Kalau kau
membiarkan sesuatu terjadi padamu—apa pun—aku akan menuntut tanggung jawab darimu. Kau mengerti?"
"Ya," sahutku, menelan ludah.
Ia berpaling kepada Alice. "Apakah Jasper bisa menanganinya?"
"Percayalah padanya, Edward. Dia telah bekerja dengan sangat, sangat baik, dalam segala hal."
"Bisakah kau menanganinya?" ia bertanya.
Dan si kecil Alice yang anggun menarik bibirnya lalu meringis mengerikan sambil menggeram parau. Aku langsung meringkuk ketakutan. Edward tersenyum padanya. "Tapi simpan opinimu untuk dirimu sendiri," gumamnya tiba-tiba.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates