November 02, 2014

A Walk To Remember part 1

BAB  1

PADA tahun 1958, Beaufort, North Carolina, yang terletak di pesisir dekat Morehead City, sama seperti kebanyakan kota kecil di daerah selatan lainnya. Tempat dengan kelembapan udara yang begitu tinggi di musim panas sehingga berjalan ke luar rumah untuk mengambil surat saja akan membuat seseorang merasa seakan perlu mandi. Anak-anak berkeliaran sambil bertelanjang kaki mulai dari bulan April sampai Oktober di bawah pohon-pohon oak yang dilapisi lumut Spanyol. Orang-orang melambai dari mobil mereka setiap kali melihat seseorang di jalan, kenal ataupun tidak. Udara menebarkan aroma pohon pinus, garam, dan laut yang begitu unik bagi penduduk Carolina.
Bagi kebanyakan orang, memancing ikan di Pamlico Sound atau menangkap kepiting di Sungai Neuse adalah semacam gaya hidup, dan kapal-kapal dalam keadaan tertambat setiap kali kau melihat Terusan Antarpantai. Hanya ada tiga stasiun televisi, meskipun televisi bukanlah barang penting bagi kami yang dibesarkan di sini. Kehidupan kami lebih terpusat pada gereja, yang di dalam kota saja jumlahnya ada delapan belas. Di antaranya Fellowship Hall Christian Church, Church of the Forgiven People, Church of Sunday Atonement, dan tentu saja beberapa gereja Baptis. Ketika aku tumbuh dewasa, gereja inilah yang paling populer. Bisa dikatakan bahwa hampir di setiap sudut kota berdiri sebuah gereja Baptis, meskipun masing-masing beranggapan memiliki kelebihan daripada yang lain. Ada berbagai macam gereja Baptis—Freewill Baptis, Southern Baptists, Congregational Baptists, Missionary Baptists, Independent Baptists… bisa kaubayangkan, kan?
Di masa itu, peristiwa besar tahunan disponsori oleh gereja Baptis di pusat kota—Southern Baptists—bekerja sama dengan SMU setempat. Setiap tahun diselenggarakan acara drama Natal di Beaufort Playhouse, yang sebenarnya merupakan karya yang ditulis oleh Hegbert Sullivan, pendeta yang telah mengabdi di gereja itu sejak Nabi Musa membelah Laut Merah. Oke, mungkin ia tidak setua itu, namun cukup tua sehingga kita nyaris dapat melihat sampai ke balik kulitnya. Kesannya seperti dingin dan tembus cahaya—anak-anak berani bersumpah bisa melihat darahnya mengalir melalui pembuluh-pembuluh darahnya—dan rambutnya seputih kelinci seperti yang kaulihat di toko-toko hewan peliharaan sekitar hari Paskah.
Pokoknya, ia menulis drama berjudul The Christmas Angel, karena ia tidak ingin terus-menerus menampilkan karya klasik Charles Dickens, A Christmas Carol. Dalam pandangannya, tokoh Scrooge adalah seorang kafir, yang mengalami pertobatan hanya karena ia melihat hantu, bukan malaikat—lagi pula, siapa bilang hantu-hantu itu dikirim oleh Tuhan? Dan siapa yang bisa menjamin bahwa ia tidak akan kembali ke cara lamanya yang tidak terpuji, karena hantu-hantu itu tidak secara langsung dikirim oleh surga? Akhir kisah drama itu juga tidak menyatakannya secara gamblang—karena itu menyangkut soal iman—sedangkan Hegbert tidak mempercayai hantu yang tidak betul-betul dikirim oleh Tuhan, dan baginya justru di sinilah permasalahannya. Beberapa tahun yang lalu ia telah mengubah bagian akhirnya—akhir berdasarkan versinya sendiri, lengkap dengan tokoh si Scrooge tua yang kemudian menjadi pengkhotbah, yang
melakukan ziarah ke Jerusalem ke tempat Yesus pernah mengajar para ahli Taurat. Hasilnya ternyata kurang meyakinkan—bahkan di mata jemaatnya, yang duduk di antara penonton dengan tercengang—sementara koran-koran berkomentar, “Meskipun cukup menarik, tetap saja bukan pertunjukan yang sudah kita kenal dan sukai…”
Karena itulah Hegbert memutuskan untuk mencoba menulis dramanya sendiri. Ia telah menulis khotbahnya sendiri selama ini. Harus kuakui bahwa beberapa di antaranya memang menarik, terutama saat ia berbicara tentang “kemurkaan Tuhan yang akan menimpa para pezina” dan berbagai topik bagus lainnya. Aku berani mengatakan bahwa darahnya mendidih saat ia berbicara tentang para pezina. Topik itulah yang kami jadikan bahan hiburan tentang dia. Ketika usiaku masih lebih muda, aku dan teman-temanku biasa bersembunyi di belakang pohon-pohon dan berteriak, “Hegbert tukang zina!” setiap kali kami melihatnya lewat di jalan, dan kami akan cekikikan seperti orang tolol, seakan kami orang-orang paling lucu di muka bumi ini.
Hegbert tua akan berhenti melangkah dan daun telinganya akan berdiri tegak—aku berani sumpah, telinganya benar-benar bergerak—kemudian wajahnya akan berubah jadi merah padam, seakan ia baru minum bensin, dan urat-urat hijau di lehernya akan mulai bertonjolan seperti Sungai Amazon dalam peta-peta majalah National Geographic. Ia melirik ke sana kemari, matanya menyipit sambil mencari kami, dan setelah itu, secara mendadak wajahnya menjadi pucat lagi, kembali licin seperti kulit ikan, persis di hadapan kami. Wow, betul-betul sesuatu yang asyik untuk dilihat.
Kami bersembunyi di belakang pohon sementara Hegbert (orangtua mana yang tega menamai anaknya Hegbert?) berdiri di sana, menunggu kami menyerahkan diri, seakan ia mengira bahwa kami akan sebegitu bodohnya. Kami membekap mulut dengan dua tangan untuk menahan tawa, namun entah bagaimana caranya ia selalu dapat menemukan kami. Ia akan menoleh ke sana kemari dan setelah itu memusatkan tatapannya yang tajam ke arah kami, menembus batang pohon. “Aku tahu kau di sana. Landon Carter,” ia akan berseru, “dan Tuhan juga tahu.” Hegbert membiarkan kata-katanya merasuk sebentar dan akhirnya ia melanjutkan langkahnya. Pada khotbahnya di hari Minggu berikutnya ia akan menatap kami dan mengatakan sesuatu seperti “Tuhan sangat menyayangi anak-anak, tapi anak-anak seharusnya juga layak untuk disayangi.” Dan kami duduk melorot di tempat duduk kami, bukan karena malu, tapi menyembunyikan keinginan kami untuk cekikikan lagi. Sebenarnya aneh bila Hegbert tidak bisa memahami kami, mengingat ia sendiri juga punya anak. Memang sih anaknya seorang anak perempuan. Tapi mengenai ini akan kita bicarakan nanti.
Pokoknya, seperti yang sudah kukatakan, Hegbert menulis The Christmas Angel dan memutuskan untuk menjadikannya sebagai drama Natal. Ceritanya sebetulnya tidak jelek dan sempat mengejutkan semua orang ketika pertama kali dipentaskan. Inti ceritanya tentang seorang pria yang ditinggal mati istrinya beberapa tahun yang lalu. Pria ini bernama Tom Thornton, dulunya sangat religius, namun imannya goyah setelah istrinya meninggal dalam persalinan. Ia membesarkan anak perempuannya seorang diri, tapi ia bukanlah ayah yang hebat. Untuk hadiah Natal, putri kecilnya cuma menginginkan kotak musik istimewa dengan ukiran malaikat di atasnya, yang gambarnya telah digunting putrinya itu dari sebuah buku katalog tua. Si ayah menghabiskan banyak waktu dan berusaha keras mencari kotak musik itu, tapi ia tidak berhasil menemukannya. Sampai Malam Natal tiba pun ia masih terus mencari. Saat sedang menjelajahi toko demi toko, ia berpapasan dengan wanita aneh yang tidak ia kenal sebelumnya. Wanita tersebut berjanji akan membantunya mencarikan hadiah itu untuk putrinya. Tapi, sebelumnya, mereka membantu seorang tunawisma (omong-omong, pada masa itu mereka disebut gelandangan), setelah itu mereka mampir di panti asuhan untuk menengok beberapa anak, dan kemudian mengunjungi seorang wanita tua yang kesepian dan ingin ditemani pada Malam Natal. Saat itulah wanita misterius tadi menanyakan pada Tom Thornton apa yang diinginkannya untuk Hari Natal, dan ia mengatakan bahwa ia ingin istrinya kembali. Wanita itu membawanya ke air mancur di kota dan mengatakan padanya untuk melihat ke dalam air dan ia akan menemukan apa yang sedang ia cari. Ketika melihat ke dalam air, ia melihat wajah putri kecilnya. Hatinya langsung luluh, dan ia menangis di tempat itu. Sementara ia menangis, wanita misterius itu menghilang, dan Tom Thornton berusaha mencarinya namun tidak dapat menemukannya. Akhirnya ia pulang, sambil merenungkan kembali apa yang baru saja dialaminya. Ia memasuki kamar putrinya, dan menyaksikan sosok yang sedang tertidur lelap itu membuatnya sadar bahwa putrinya adalah segala yang masih ia miliki dari istrinya. Ia mulai menangis lagi karena tahu bahwa selama ini ia bukan ayah yang cukup baik bagi anaknya. Keesokan paginya, secara ajaib, kotak musik itu ada di bawah Pohon Natal mereka, dan gambar malaikat yang terukir di atasnya ternyata betul-betul mirip wanita yang ditemuinya pada malam sebelumnya.
Tidak terlalu buruk sebetulnya. Kenyataannya, banyak orang menangis bercucuran air mata setiap kali mereka menontonnya. Karcisnya selalu habis terjual di setiap pementasan. Karena demikian populernya, Hegbert akhirnya memindahkan pertunjukannya dari gereja ke Beaufort Playhouse, yang menyediakan lebih banyak tempat duduk. Pada saat aku kelas 3 SMU, pertunjukannya sudah diselenggarakan dua kali dan tetap selalu ramai, yang merupakan suatu prestasi tersendiri, mengingat siapa yang tampil dalam pertunjukan ini.
Hegbert ingin anak-anak muda yang berperan dalam drama itu—para siswa SMU, bukan anggota grup teater. Kurasa ia menganggap itu sebagai suatu pengalaman belajar yang baik sebelum para siswa memasuki perguruan tinggi dan berhadapan langsung dengan para pezina. Hegbert memang orang yang selalu berusaha melindungi kita dari berbagai godaan. Ia ingin kita tahu bahwa Tuhan ada di atas sana mengawasi kita, bahkan di saat kita sedang berada jauh dari rumah, dan jika kau percaya pada Tuhan, akhirnya semua akan terselesaikan dengan baik. Suatu pelajaran yang pada akhirnya kupelajari juga, meskipun bukan Hegbert yang mengajarkannya padaku.
Seperti yang sudah kuceritakan, Beaufort adalah kota yang berciri khas daerah selatan, meskipun mempunyai kisah sejarah yang menarik. Blackbeard, si bajak laut, pernah memiliki rumah di sini, dan kapalnya, Queen Anne’s Revenge, katanya terkubur di suatu tempat dalam pasir tidak jauh dari pantai. Belum lama ini beberapa ahli arkeologi atau kelautan atau entah siapa yang suka mencari hal-hal seperti itu mengatakan bahwa mereka telah menemukan kapal itu. Tapi sejauh ini tak seorang pun merasa betul-betul yakin, mengingat kapal itu sudah karam lebih dari 250 tahun. Lagi pula, kita kan tidak bisa mengecek kapal itu melalui STNK-nya. Kota Beaufort sudah ada sebelum tahun 1950-an, meskipun masih belum bisa disebut kota metropolitan atau apalah namanya. Beaufort memang, dan selalu akan, menjadi kota kecil. Tapi ketika aku tumbuh dewasa, Beaufort ternyata mendapat tempat di peta. Untuk jelasnya, distrik wilayah kongres yang mencakup kota Beaufort meliputi seluruh bagian timur negara bagian—dengan luas sekitar dua puluh lima ribu mil persegi—dan hampir tidak ada sebuah kota pun yang berpenduduk lebih daripada 25.000 jiwa. Bahkan dibandingkan dengan kota-kota itu, Beaufort masih dianggap kecil. Seluruh bagian timur dari Raleigh dan utara dari Wilmington, terus sampai ke perbatasan daerah Virginia, merupakan distrik yang diwakili oleh ayahku.
Kurasa kau pernah mendengar namanya. Ia memang tokoh legendaris, bahkan sampai sekarang. Namanya Worth Carter, dan selama hampir tiga puluh tahun menduduki jabatan
sebagai anggota kongres. Slogannya setiap dua tahun sekali selama musim kampanye adalah “Worth Carter mewakili—,” dan seseorang diharapkan mengisinya dengan nama kota tempat ia tinggal. Aku masih ingat bagaimana aku dan Mom harus memperlihatkan kepada orang-orang bahwa ayahku adalah pria yang mencintai keluarganya setiap kali kami melakukan perjalanan. Kami akan melihat stiker-stiker itu di bumper mobil, dengan isian nama-nama seperti Otway, Chocawinity, atau Seven Springs. Di zaman sekarang hal-hal seperti itu dianggap basi, tapi dulu itu cara yang cukup canggih untuk publisitas. Kurasa kalau ia mencoba melakukan itu sekarang, pihak oposisinya akan menyelipkan segala macam ungkapan kotor di bagian yang kosong itu, tapi kami tidak pernah melihat itu sekali pun. Oke, mungkin satu kali. Seorang petani dari Duplin County pernah membubuhkan kata shit di bagian kosong itu, dan ketika ibuku melihatnya, ia menutup mataku dan mengucapkan sebuah doa pendek untuk memohon maaf bagi bajingan tidak terpelajar yang malang itu. Ibuku tidak mengucapkan persis begitu, tapi intinya seperti itu.
Jadi ayahku, Mr. Congressman, adalah tokoh masyarakat, dan semua orang tahu itu, termasuk si tua Hegbert. Nah, mereka berdua tidak merasa cocok satu sama lain, sama sekali tidak. Meskipun ayahku selalu pergi ke gereja Hegbert setiap kali ia ada di rumah, dan sejujurnya ayahku jarang sekali berada di rumah. Selain percaya bahwa para pezina ditakdirkan untuk membersihkan WC di neraka, Hegbert juga percaya bahwa komunisme merupakan “suatu penyakit yang menyeret umat manusia menuju alam kebatilan”. Meskipun penggunaan kata itu kurang tepat—aku tidak dapat menemukan padanannya di dalam kamus mana pun—jemaatnya toh mengerti apa yang ia maksud. Mereka juga tahu bahwa Hegbert sedang mengarahkan kata-katanya secara khusus pada ayahku, yang akan duduk dengan mata terpejam dan pura-pura tidak mendengar. Ayahku merupakan salah satu anggota komite Parlemen yang bertugas mengawasi infiltrasi “pengaruh Merah” ke dalam semua aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang pertahanan nasional, pendidikan tinggi, dan bahkan dalam perkebunan tembakau. Kalau harus ingat bahwa kejadian ini berlangsung selama masa perang dingin, ketegangan-ketegangan terasa semakin meningkat, dan orang-orang di North Carolina membutuhkan sesuatu untuk meredakannya. Secara konsisten ayahku terus mencari fakta, yang dianggap tidak relevan oleh orang-orang seperti Hegbert.
Sesudahnya, setelah ayahku pulang dari gereja, ia akan mengatakan sesuatu seperti “Pendeta Sullivan sedikit aneh hari ini. Aku harap kalian menangkap bagian dari Alkitab tentang Yesus yang berbicara mengenai kaum miskin…”Ya, Dad…
Ayahku memang berusaha meredakan berbagai situasi setiap kali ada kesempatan. Kurasa karena itulah ia bisa bercokol begitu lama di Kongres. Ia bisa mencium bayi paling jelek dalam sejarah umat manusia dan masih bisa menemukan sesuatu yang simpatik untuk diucapkan. “Dia anak yang tenang sekali,” akan dikatakannya jika si bayi mempunyai kepala yang besar, atau “Aku yakin dia gadis kecil yang paling manis di dunia ini,” kalau si bayi memiliki tanda lahir yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Pernah seorang wanita muncul dengan seorang bocah di atas kursi roda. Ayahku menoleh ke arah anak itu dan berkata, “Aku berani taruhan sepuluh lawan satu bahwa kau anak yang paling pintar di kelasmu.” Dan nyatanya memang begitu! Yeah, ayahku memang hebat sekali dalam hal-hal seperti itu. Ia selalu bisa mengatasi situasinya dengan cara yang terbaik. Dan ia bukanlah orang jahat, terutama kalau kau mempertimbangkan fakta bahwa ia tidak pernah memukulku atau semacamnya.
Tapi ia tidak menemaniku saat aku tumbuh dewasa. Aku tidak suka mengatakannya karena belakangan ini orang-orang cenderung menyatakan hal-hal seperti itu bahkan di saat orangtua mereka dulu ada di sana menemani mereka dan menggunakannya sebagai alasan untuk perilaku
mereka. Ayahku… ia tidak mencintaiku… karena itulah aku menjadi penari telanjang dan tampil dalam The Jerry Springer Show… Aku tidak menjadikannya alasan yang menjadikanku pribadi seperti sekarang ini, aku cuma menyatakannya sebagai suatu fakta. Ayahku biasa pergi selama sembilan bulan dalam setahun, tinggal di apartemen di Washington, D.C., sekitar lima ratus kilometer dari tempat kami. Ibuku tidak ikut bersamanya karena ayah dan ibuku ingin aku dibesarkan “dengan cara yang sama seperti mereka”.
Tentu saja, kakekku selalu mengajak ayahku berburu dan memancing, mengajarkannya main bola, menghadiri pesta-pesta ulang tahun ayahku, semua hal kecil yang kalau dikumpulkan menjadi berarti sebelum memasuki usia dewasa. Ayahku, di lain pihak, adalah sosok yang asing, seseorang yang nyaris tidak kukenal. Sampai umur lima tahun, aku mengira bahwa semua ayah tinggal di suatu tempat. Baru setelah sahabatku, Eric Hunter, bertanya padaku sewaktu TK siapa pria yang muncul di rumahku pada malam sebelumnya, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres mengenai keadaanku.
“Dia ayahku,” sahutku bangga.
“Oh,” ujar Eric sambil memeriksa isi kotak makan siangku untuk mencari cokelat Milky Way-ku, “Aku tidak tahu kau punya ayah.”
Ucapan itu terasa seperti tamparan telak di wajahku. Jadi, aku dibesarkan oleh ibuku. Ia wanita yang baik, manis, dan lembut, jenis ibu yang diimpikan oleh hampir setiap orang. Namun ia bukan, dan tidak akan pernah bisa menjadi panutan pria dalam hidupku. Kenyataan itu, ditambah dengan buyarnya ilusiku mengenai ayahku di saat aku tumbuh dewasa, membuatku menjadi pemberontak, bahkan di usia yang sangat muda. Sebaiknya aku ingatkan padamu bahwa kenakalanku tidak bersifat jahat. Aku dan teman-temanku akan menyelinap keluar malam-malam dan sekali-sekali menyabuni kaca-kaca mobil atau makan kacang rebus di taman pemakaman di belakang gereja, tapi di tahun lima puluhan hal-hal seperti itulah yang akan membuat para orangtua lain menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik kepada anak-anak mereka, “Kau jangan seperti si Carter. Sebentar lagi dia pasti akan masuk penjara.”
Aku. Si berandal. Hanya karena makan kacang rebus di taman pemakaman. Coba bayangkan.
Singkat cerita, ayahku dan Hegbert tidak cocok satu sama lain, tapi bukan hanya karena pandangan politik mereka yang berbeda. Tidak, sepertinya ayahku dan Hegbert sudah saling mengenal sejak lama. Usia Hegbert sekitar dua puluh tahun lebih tua daripada ayahku, dan sebelum ia menjadi pendeta, ia pernah bekerja untuk kakekku. Kakekku—meskipun ia menghabiskan banyak waktu bersama ayahku—adalah seorang bajingan. Omong-omong, dialah yang menjadikan keluarga kami kaya-raya, tapi aku tidak ingin kau membayangkan dirinya sebagai orang yang banting tulang mati-matian dalam bekerja, dan memupuk kekayaannya perlahan-lahan. Kakekku jauh lebih lihai daripada itu. Caranya mengumpulkan uang amat sederhana—ia memulai usahanya sebagai penyelundup minuman keras, yang menimbun kekayaannya selama masa berlakunya Undang-undang Larangan Perdagangan Minuman Keras dengan memasok rum dari Kuba. Selanjutnya ia mulai membeli tanah dan menyewa buruh tani bagi hasil untuk mengolahnya. Ia memungut sembilan puluh persen dari uang yang dihasilkan oleh para petani untuk panen tembakau mereka, dan meminjamkan uang di saat mereka membutuhkan dengan bunga yang amat tinggi. Tentu saja, ia tidak pernah berniat menagih uangnya—hanya ia akan menyita tanah atau peralatan apa pun yang kebetulan mereka miliki. Setelah itu, mengikuti apa yang ia sebut sebagai “saat penuh inspirasinya”, ia membuka bank dengan nama Carter Banking and Loan. Satu-satunya bank lain dalam radius dua county secara misterius terbakar habis, dan tidak pernah dibuka kembali karena dampak Depresi. Meskipun
semua orang tahu apa yang sesungguhnya terjadi, tak pernah ada orang yang berkomentar karena takut akan akibatnya. Ketakutan yang ternyata memang bukan tidak beralasan. Bank itu bukan satu-satunya bangunan yang terbakar secara misterius.
Ia mengenakan bunga pinjaman yang luar biasa besar. Perlahan-lahan ia mulai menguasai lebih banyak tanah dan properti lain saat semakin banyak orang tidak bisa membayar utang. Saat Depresi mencapai puncaknya, ia menyita puluhan kegiatan usaha di seluruh pelosok daerah dengan tetap mempertahankan si pemilik usaha untuk melanjutkan usahanya dengan gaji ala kadarnya, karena para pengusaha itu juga sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Ia menjanjikan pada mereka bahwa begitu situasi ekonomi membaik, ia akan menjual bisnis mereka kembali pada mereka, dan orang-orang biasanya selalu mempercayai ucapannya.
Namun, tak pernah sekali pun ia memegang janjinya. Pada akhirnya ia menguasai kegiatan perekonomian di wilayah itu, dan menyalahgunakan kekuasaannya dengan segala cara.
Sebetulnya aku ingin mengatakan bahwa pada akhirnya ia menemui ajalnya dengan cara yang mengenaskan, namun kenyataannya tidak demikian. Ia meninggal di usia tua selagi tidur bersama wanita simpanannya di atas kapal pesiarnya di perairan Kepulauan Cayman. Ia hidup lebih lama daripada kedua istri dan putra tunggalnya. Suatu akhir yang luar biasa bagi orang seperti dia, bukan? Berdasarkan pengalaman aku tahu hidup ini memang tidak pernah adil. Pelajaran di sekolah berbeda dengan pelajaran dalam kehidupan nyata.
Tapi kembali ke cerita kita… Begitu Hegbert menyadari bahwa kakekku seorang bajingan, ia berhenti bekerja dan masuk sekolah teologi. Setelah itu ia kembali ke Beaufort dan mulai menjadi pendeta di gereja yang selalu kami datangi. Ia melewatkan tahun-tahun pertamanya dengan menyempurnakan khotbah bulanannya yang berapi-api mengenai dampak keserakahan, yang menyita hampir seluruh waktunya untuk hal-hal yang lain. Ia berusia empat puluh tiga tahun ketika menikah, dan berusia lima puluh lima tahun ketika putrinya, Jamie Sullivan, lahir. Istrinya, yang bertubuh mungil dan lebih muda dua puluh tahun daripada Hegbert, mengalami enam kali keguguran sebelum Jamie lahir dan akhirnya meninggal dalam persalinan, membuat Hegbert terpaksa membesarkan putrinya seorang diri.
Begitulah latar belakang di balik kisah drama itu. Orang-orang mengenal ceritanya bahkan sebelum drama itu dipentaskan untuk pertama kali. Cerita itu merupakan salah satu cerita yang biasa dibicarakan orang setiap kali Hegbert akan membaptis seorang bayi atau memimpin suatu upacara pemakaman. Semua tahu ceritanya, dan kurasa karena itulah begitu banyak orang terharu saat menyaksikan drama Natal itu. Mereka tahu kisah itu berdasarkan kisah nyata, sehingga memberi arti khusus di dalamnya.
Jamie Sullivan duduk di kelas 3 SMU, sama seperti aku, dan ia sudah terpilih untuk berperan sebagai malaikat—orang lain jelas tak punya peluang untuk peran itu. Tentu saja, hal ini menjadikan drama kali ini menjadi ekstra spesial tahun itu. Sesuatu yang sangat akbar, mungkin paling akbar—setidaknya dalam pandangan Miss Garber. Sebagai guru drama, ia sudah amat antusias menanggapi berbagai kemungkinan sejak pertama kali aku duduk di kelasnya.
Aku sama sekali tidak berencana untuk mengambil pelajaran drama tahun itu. Sungguh! Tapi pilihannya cuma itu atau kimia II. Tadinya kukira ini kelas yang enteng, terutama dibandingkan dengan pilihanku yang lain. Tidak ada makalah, tidak ada ujian, tidak ada tabel di mana aku harus menghafalkan proton dan neutron serta mengombinasikan unsur dalam berbagai rumus… mana mungkin ada pilihan yang lebih baik bagi seorang siswa SMU? Sepertinya asyik sekali, dan ketika mendaftarkan diri, aku membayangkan diriku akan tidur sepanjang pelajaran itu, yang mengingat kegiatan makan kacang malam-malamku, menjadi amat relevan.
Pada hari pertama aku menjadi salah satu yang terakhir masuk kelas, persis hanya beberapa detik sebelum bel berbunyi, dan langsung duduk di deretan belakang. Miss Garber sedang memunggungi kelas, sibuk menulis namanya dalam huruf-huruf yang besar dan melingkar, seakan kami tidak tahu siapa dia. Semua tahu siapa dia—rasanya tidak mungkin tidak. Postur tubuhnya besar, tingginya paling tidak 180 cm, dengan rambut merah menyala dan kulit pucat yang menampakkan bintik-bintik di usianya yang menjelang empat puluh itu. Ia juga kelebihan berat—mungkin beratnya lebih dari seratus kilo—dan ia senang memakai gaun-gaun longgar bercorak bunga. Ia mengenakan kaca mata tebal, berbingkai tanduk berwarna gelap, dan ia menyapa semua orang dengan, “Haloooooo,” sambil seperti melantunkan suku kata yang terakhir. Miss Garber memang unik, itu pasti, dan ia masih lajang, yang menjadikan situasinya semakin mengenaskan. Seorang pria, berapa pun usianya, mau tidak mau akan merasa kasihan pada wanita seperti dia.
Di bawah namanya ia menulis beberapa tujuan yang ingin dicapainya untuk tahun itu. Nomor satu adalah “Percaya diri”, disusul “Sadar diri” dan yang ketiga, “Kepuasan diri”. Miss Garber memang ahli dalam soal yang menyangkut “diri”, yang menurut teori psikoterapi membuatnya berada di luar lingkup, meskipun ia mungkin tidak menyadarinya pada waktu itu. Miss Garber memang seorang perintis dalam bidang itu. Mungkin itu berhubungan dengan penampilannya, mungkin ia cuma berusaha untuk merasa lebih baik mengenai dirinya sendiri.
Tapi aku tidak yakin. Baru setelah pelajaran dimulai aku menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Meskipun Beaufort High School tidak besar, aku tahu bahwa perbandingan antara siswa laki-laki dan perempuan adalah lima puluh banding lima puluh. Karena itulah aku terkejut bahwa murid di kelas ini sedikitnya sembilan puluh persen perempuan. Hanya ada satu siswa laki-laki lain di kelas itu, yang menurutku adalah hal positif, dan untuk sesaat perasaan “bersiap-siaplah, ini aku datang” melanda diriku. Cewek, cewek, cewek… pikirku. Cewek di mana-mana dan tidak ada ujian.
Oke, jadi aku bukan orang yang berpikir jauh ke depan. Miss Garber mulai berbicara tentang drama Natal dan mengatakan pada semua siswa bahwa Jamie Sullivan akan menjadi malaikat tahun itu. Miss Garber mulai bertepuk tangan—ia juga anggota gereja—dan banyak yang berpendapat bahwa ia sedang naksir Hegbert. Saat pertama kali mendengar gosip itu, yang terlintas dalam benakku adalah untuk mereka sudah terlalu tua untuk punya anak, seandainya saja mereka sampai menikah. Bayangkan—transparan dengan bintik-bintik? Pemikiran tentang hal itu saja sudah cukup untuk membuat orang mendiring, tapi tentu saja tak seorang pun mengatakan apa-apa tentang itu, setidaknya dalam batas pendengaran Miss Garber dan Hegbert. Gosip adalah satu hal, tapi gosip yang menyakitkan adalah hal yang sangat berbeda, bahkan di SMU pun kami tidak sekejam itu.
Miss Garber masih bertepuk tangan, sendirian selama beberapa saat, sampai kami semua akhirnya ikut bertepuk tangan, karena jelas itulah yang diinginkannya. “Berdirilah, Jamie,” ujarnya. Jamie berdiri dan menoleh ke sana kemari, dan Miss Garber mulai bertepuk tangan dengan lebih bersemangat, seakan ia sedang berdiri menyambut kehadiran seorang bintang film ternama.
Jamie Sullivan memang gadis yang baik. Ia memang benar-benar baik. Beaufort kota kecil, sehingga hanya memiliki sebuah sekolah dasar. Karena itulah kami duduk di kelas-kelas yang sama seumur hidup kami, dan aku akan berbohong kalau mengatakan bahwa aku tidak pernah berbicara dengannya. Sekali, di kelas dua, ia duduk di sampingku selama setahun penuh, dan kami kadang-kadang mengobrol, meskipun itu tidak berarti bahwa aku menghabiskan banyak waktu bersamanya dalam waktu senggangku. Dengan siapa aku bergaul di sekolah merupakan satu hal; dengan siapa aku bergaul setelah sekolah benar-benar berbeda, dan nama Jamie tidak pernah tercantum di dalam agenda pergaulanku.
Itu tidak berarti bahwa Jamie tidak menarik—jangan salah sangka. Ia sama sekali tidak jelek atau semacamnya. Untungnya ia mewarisi penampilan ibunya, yang lumayan cantik berdasarkan foto-foto yang pernah aku lihat, terutama mengingat siapa yang dinikahinya. Namun Jamie juga tidak bisa kuanggap menarik. Selain kenyataan bahwa ia bertubuh kurus, dengan rambut pirang madu, dan mata biru lembut, sering kali ia kelihatan… sederhana, itu pun kalau kau secara kebetulan memperhatikannya. Jamie tidak begitu peduli mengenai penampilan luar, karena ia selalu mencari hal-hal seperti “kecantikan yang terpancar dari dalam”, dan kurasa karena itulah ia tampak apa adanya. Selama aku mengenalnya—dan ingat, aku mengenalnya sudah sejak lama sekali—rambutnya selalu disanggul ke atas, mirip perawan tua, tanpa sedikit pun makeup di wajahnya. Ditambah dengan cardigan cokelat dan rok kotak-kotak, ia selalu tampak seakan sedang melamar pekerjaan sebagai pustakawan. Kami dulu menganggap itu hanya suatu fase, dan pada akhirnya Jamie akan melewatinya, namun kenyataannya tidak begitu. Bahakn selama tiga tahun pertama kami di SMU, ia tidak berubah sama sekali. Satu-satunya yang berubah hanyalah ukuran pakaiannya.
Bukan hanya penampilan Jamie yang membuatnya berbeda; tapi juga caranya bersikap. Jamie tidak pernah melewatkan waktunya dengan nongkrong di Cecil’s Diner atau pergi berpesta menginap bersama gadis-gadis lain, dan setahuku ia tidak pernah punya pacar seumur hidupnya. Si tua Hegbert mungkin akan mendapat serangan jantung kalau Jamie sampai punya pacar. Namun jika entah ada angin apa yang menyebabkan Hegbert mengizinkan putrinya punya pacar, hal itu tetap tidak ada bedanya. Jamie selalu membawa Alkitab ke mana pun ia pergi, dan jika bukan penampilannya atau Hegbert yang membuat anak laki-laki menjauh, penyebabnya pastilah Alkitab itu. Oke, aku menyukai Alkitab seperti kebanyakan anak lelaki remaja pada umumnya, namun Jamie sepertinya menikmatinya dengan cara yang sama sekali asing bagiku. Ia tidak hanya mengikuti pendalaman Alkitab selama masa liburan bulan Agustus, tapi juga membaca Alkitab selama istirahat makan siang di sekolah. Menurut pendapatku ini tidak normal, bahkan untuk putri seorang pendeta sekalipun. Di lihat dari sudut mana pun, membaca Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus tidak mungkin lebih menyenangkan daripada merayu cewek, kalau kau mengerti maksudku.
Namun keanehan Jamie tidak sampai di situ saja. Berkat kebiasaannya membaca Alkitab, atau mungkin karena pengaruh Hegbert, Jamie meyakini pentingnya menolong orang lain, dan itulah yang dilakukannya. Aku tahu ia menjadi relawan di panti asuhan di Morehead City, tapi untuk Jamie itu saja tidak cukup. Ia selalu ikut serta dalam kegiatan pengumpulan dana, membantu semua orang mulai dari kegiatan Pramuka sampai pemilihan Putri Indian. Aku juga tahu ketika Jamie berusia empat belas tahun, ia melewatkan sebagian liburan musim panasnya dengan mengecat bagian luar rumah seorang tetangga yang sudah tua.
Jamie adalah gadis yang akan mencabuti ilalang di kebun seseorang tanpa diminta atau membantu anak-anak menyeberangi jalan. Ia akan menabung uang sakunya untuk membeli sebuah bola basket baru untuk anak-anak yatim piatu, atau memasukkan uangnya ke dalam keranjang kolekte gereja pada hari Minggu.
Dengan kata lain, ia adalah tipe gadis yang akan membuat kami semua tampak buruk. Setiap kali ia melirik ke arahku, mau tidak mau aku akan merasa bersalah, bahkan di saat aku tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Jamie juga tidak hanya membatasi perbuatan baiknya kepada manusia. Seandainya ia berpapasan dengan seekor binatang yang terluka, ia juga akan berusaha menolong. Cerpelai, tupai, anjing, kucing, katak… baginya tidak ada bedanya. Dr. Rawlings, si dokter hewan, akan langsung mengenalinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya begitu melihat Jamie berjalan menuju ruang prakteknya sambil membawa sebuah kardus yang berisi seekor binatang. Ia akan melepaskan kaca matanya dan membersihkannya dengan sapu tangan, sementara Jamie menjelaskan bagaimana cara ia menemukan makhluk malang itu dan apa yang telah menimpanya. “Ia ditabrak mobil, Dr. Rawlings. Kurasa sudah merupakan rencana Tuhan agar aku menemukannya dan berusaha untuk menyelamatkannya. Anda mau membantuku, kan?”
Dengan Jamie, segalanya merupakan rencana Tuhan. Itu merupakan suatu hal lagi. Ia selalu menyebut rencana Tuhan setiap kali kau berbicara dengannya, tidak peduli apa pun topiknya. Pertandingan baseball batal karena turun hujan? Tentunya sudah rencana Tuhan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang lebih buruk lagi. Ulangan mendadak trigonometri sehingga seluruh kelas mendapat nilai jelek? Tentunya rencana Tuhan untuk memberikan tantangan pada kita. Kau mengerti maksudku, kan?
Kemudian, tentu saja, masih ada kendala lain berupa Hegbert, yang tidak membantunya sama sekali. Posisinya sebagai putri seorang pendeta bukan hal yang mudah, namun ia membuatnya menjadi sesuatu yang sangat wajar dalam hidup ini, dan ia merasa amat beruntung diberkati dengan cara itu. Jamie biasa berkata, “Aku begitu beruntung memiliki ayah seperti ayahku.” Setiap kali ia mengatakan itu, kami semua hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati kami bertanya dari planet manakah ia sebetulnya berasal.
Namun, di samping semua ini, hal yang paling membuatku kesal mengenai dirinya adalah kenyataan bahwa ia selalu tampak begitu ceria, tidak peduli apa pun yang terjadi di sekitarnya. Aku berani bersumpah, gadis itu tidak pernah mengucapkan sesuatu yang buruk mengenai apa pun atau siapa pun, bahkan kepada kami yang tidak selalu begitu baik padanya. Ia akan bersenandung sendiri saat berjalan, melambai ke arah orang-orang yang tidak dikenalnya yang kebetulan lewat dengan mobil mereka. Kadang-kadang ibu-ibu akan lari ke luar rumah untuk menawarkan roti buah padanya setelah mereka memanggangnya seharian atau limun di saat matahari bersinar terik. Sepertinya semua orang dewasa di kota ini menyayanginya. “Ia gadis yang begitu manis,” puji mereka setiap kali nama Jamie muncul dalam percakapan. “Dunia ini akan jadi tempat yang lebih baik kalau ada lebih banyak orang seperti dia.”
Namun aku dan teman-temanku tidak melihatnya seperti itu. Dalam pandangan kami, seorang Jamie Sullivan sudah cukup banyak. Aku sedang memikirkan semua ini sementara Jamie berdiri di hadapan kami pada hari pertama di kelas drama itu, dan kuakui bahwa aku tidak merasa begitu tertarik untuk melihatnya. Namun anehnya, ketika Jamie berbalik ke arah kami, aku langsung terkejut, seakan aku duduk di atas kabel listrik yang terbuka atau semacamnya. Ia memakai rok kotak-kotak dengan blus putih di balik cardigan cokelat yang sama seperti yang biasa kulihat jutaan kali, namun ada dua buah gundukan baru di dadanya yang tidak bisa disembunyikan oleh cardigannya. Aku berani sumpah gundukan itu tidak ada di sana sekitar tiga bulan sebelumnya. Ia tidak pernah memakai makeup dan masih tidak memakainya, namun kulitnya tampak segar, mungkin setelah mengikuti pendalaman Alkitab, dan untuk pertama kalinya ia tampak—hampir cantik. Tentu saja, aku langsung menyisihkan pikiran itu dari kepalaku. Namun saat ia melayangkan pandangan ke sekelilingnya, ia berhenti sebentar dan tersenyum padaku, jelas-jelas senang melihatku ada di kelas itu. Lama setelah itu aku baru tahu apa alasannya.




BAB 2

SETELAH lulus SMU aku berencana untuk kuliah di University of North Carolina di Chapel Hill. Ayahku ingin aku kuliah di Harvard atau Princeton seperti beberapa putra anggota kongres lain, namun nilai-nilaiku tidak memungkinkan. Bukan berarti aku siswa yang bodoh. Aku cuma tidak memusatkan perhatian pada pelajaran, sehingga nilai-nilaiku tidak cukup bagus untuk bisa masuk Ivy League. Semasa SMU hampir bisa dipastikan aku akan diterima di UNC, yang merupakan almamater ayahku, tempat ia bisa menggunakan pengaruhnya. Selama salah satu akhir minggunya di rumah, ayahku menyinggung soal rencana untuk mendaftarkanku lebih dulu. Aku baru saja melewati minggu pertamaku di sekolah dan kami sedang duduk bersama untuk makan malam. Ayahku sedang di rumah selama tiga hari dalam rangka Hari Buruh.
“Kurasa sebaiknya kau mencalonkan diri untuk menjadi ketua organisasi siswa,” usulnya, “Kau akan lulus bulan Juni, dan menurutku itu bagus untuk catatanmu. Omong-omong, ibumu juga berpendapat sama.”
Ibuku mengangguk sambil mengunyah sesendok kacang polong. Biasanya ia tidak berkata banyak saat ayahku sedang bicara, meskipun ia mengedipkan matanya ke arahku. Kadang-kadang aku merasa ibuku senang melihat hatiku meringis, meskipun ia seorang ibu yang manis.
“Rasanya aku tidak punya peluang untuk menang,” ujarku. Meskipun aku mungkin anak terkaya di sekolah, aku sama sekali bukan yang paling populer. Kehormatan itu milik Eric Hunter, sahabatku. Ia dapat melempar bola baseball dengan kecepatan sekitar 140 km per jam, dan sebagai gelandang ia membawa tim football kami ke peringkat nasional. Ia memang hebat. Bahkan namanya kedengaran keren.
“Tentu saja kau bisa menang,” tukas ayahku. “Keluarga Carter selalu menang.”
Itu salah satu alasan lain mengapa aku begitu enggan melewatkan waktu bersama ayahku. Selama beberapa kesempatan yang teramat langka ia berada di rumah, aku merasa ia ingin membentukku menjadi versi miniatur dari dirinya sendiri. Mengingat bahwa aku tumbuh dewasa lebih banyak tanpa kehadirannya, aku jadi kesal saat ia sedang ada di rumah. Ini merupakan perbincangan pertama kami setelah sekian minggu. Ia jarang sekali berbicara denganku lewat telepon.
“Tapi bagaimana kalau aku tidak mau?”
Ayahku meletakkan garpunya, sepotong daging masih menempel di bagian ujungnya. Ia menatapku dengan marah, memancarkan peringatan. Ayahku mengenakan setelan jas meskipun suhu di dalam rumah lebih dari tiga puluh derajat Celcius, dan itu membuat penampilannya semakin menakutkan. Omong-omong, ayahku selalu memakai setelan jas.
“Menurutku,” ujarnya perlahan, “itu merupakan ide yang bagus.”
Aku tahu jika ia berbicara seperti itu berarti masalahnya sudah selesai. Memang begitulah situasinya di dalam keluargaku. Ucapan ayahku adalah hukum. Namun kenyataannya, bahkan setelah aku menyetujuinya, aku tidak ingin melakukannya. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku dengan menghadiri pertemuan-pertemuan dengan para guru setelah jam sekolah— setelah jam sekolah!—setiap minggu selama seluruh sisa tahun itu, memikirkan tema-tema untuk acara dansa sekolah atau mencoba memutuskan warna-warna yang akan dipakai dalam kegiatan parade. Memang hanya itulah yang biasanya dilakukan oleh para ketua organisasi sekolah, setidaknya di zaman aku duduk di SMU. Bukan berarti bahwa para siswa memiliki mandat untuk benar-benar mengambil keputusan mengenai sesuatu yang berarti.
Tapi sekali lagi, aku tahu bahwa ayahku benar. Kalau aku ingin diterima di UNC, aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bermain football atau basket, aku tidak menguasai alat musik, aku bukan anggota dalam klub catur atau klub boling atau klub lainnya. Aku tidak menonjol dalam pelajaran—sialan, aku tidak menonjol dalam bidang apa pun. Dengan putus asa, aku mulai menuliskan apa yang dapat kulakukan, tapi terus terang, ternyata tidak banyak. Aku bisa mengikat delapan buah simpul yang berbeda, aku bisa berjalan tanpa alas kaki di atas aspal panas lebih jauh dari siapa pun yang kukenal, aku bisa mengimbang sebatang pensil secara vertikal di atas jariku selama tiga puluh detik… namun kurasa hal-hal seperti itu tidak akan dianggap relevan dalam formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi. Jadi aku berbaring di tempat tidur sepanjang malam, sementara perlahan-lahan menyadari bahwa aku adalah pecundang. Trims, Dad.
Keesokan paginya aku pergi ke kantor kepala sekolah untuk mendaftarkan namaku sebagai kandidat. Ada dua orang lain yang juga mencalonkan diri—John Foreman dan Maggie Brown. Aku langsung tahu John tidak memiliki banyak peluang. Ia tipe orang yang akan menjumput benang dari pakaianmu saat berbicara, tapi John siswa yang baik. Ia duduk di barisan paling depan dan mengangkat tangannya setiap kali guru mengajukan pertanyaan. Kalau ia mendapat kesempatan untuk menjawab, ia hampir selalu memberikan jawaban yang benar, dan setelah itu ia akan menggerakkan kepalanya ke sana kemari dengan ekspresi sombong di wajahnya, seakan telah membuktikan betapa ia lebih cerdas dibandingkan dengan siswa-siswa lain di kelas itu. Eric dan aku biasanya melemparkan bola-bola kertas ke arahnya di saat guru sedang memunggungi kami. Lain halnya dengan Maggie Brown. Ia juga murid yang baik. Ia duduk di dalam organisasi siswa selama tiga tahun pertamanya dan pernah menjadi wakil ketua pada tahun sebelumnya. Satu-satunya penghalang baginya adalah fakta bahwa penampilannya tidak begitu menarik, dan bobotnya naik sepuluh kilogram musim panas itu. Aku tahu bahwa tak seorang cowok pun akan bersedia memberikan suaranya pada Maggie.
Setelah melihat situasinya, aku merasa bahwa aku mungkin memiliki peluang. Seluruh masa depanku menjadi taruhannya sekarang, karena itulah aku mulai menyusun strategi. Eric adalah orang pertama yang mendukungku.
“Oke, aku akan mengupayakan agar semua anggota timku memberikan suaranya padamu, itu bukan masalah. Kalau itu memang yang kauinginkan.”
“Bagaimana dengan pacar-pacar mereka?” tanyaku.
Bisa dibilang itulah inti kampanyeku. Tentu saja, aku menghadiri acara debat yang memang menjadi keharusan dan membagi-bagi selebaran berisi “Apa yang akan kulakukan kalau aku terpilih” tapi akhirnya Eric Hunter-lah yang sepertinya menempatkan aku dalam posisi yang kuinginkan. Beaufort High School hanya memiliki sekitar empat ratus siswa, sehingga memperoleh suara dari para atlet ternyata amat menentukan, dan kebanyakan dari mereka tidak peduli sebetulnya siapa yang mereka pilih. Akhirnya semua berjalan persis seperti yang kurencanakan. Aku terpilih sebagai ketua organisasi siswa berdasarkan pengumpulan suara terbanyak. Tak terbayangkan olehku masalah apa yang kemudian harus aku hadapi. * * *
Ketika di kelas 1 SMU aku pernah dekat dengan seorang gadis bernama Angela Clark. Ia menjadi pacar pertamaku, meskipun hanya untuk beberapa bulan. Tepat sebelum liburan musim panas, ia mencampakkanku demi cowok bernama Lew yang berusia dua puluh tahun dan bekerja sebagai montir di bengkel ayahnya sendiri. Menurut pendapatku, keunggulan Lew adalah ia memiliki mobil yang betul-betul keren. Ia selalu memakai kaus putih dengan sebungkus rokok Camel di lipatan lengan kausnya, dan ia akan bersandar di kap mobil Thunderbird-nya, sambil melirik ke sana kemari,
dan melontarkan ucapan semacam “Halo, Cantik” setiap kali seorang gadis lewat. Ia memang seorang penakluk, kalau kau mengerti maksudku.
Singkat cerita, pesta dansa homecoming hampir tiba, dan aku belum punya kencan gara-gara situasiku dengan Angela. Semua yang punya jabatan dalam organisasi sekolah harus hadir—itu suatu keharusan. Aku harus membantu menghias ruang olahraga dan membersihkannya pada hari berikutnya—lagi pula, biasanya acara seperti itu amat menyenangkan. Aku menelepon beberapa gadis yang kukenal, tapi mereka sudah punya kencan, jadi aku menelepon beberapa gadis lagi. Menjelang minggu terakhir pilihan menjadi semakin sedikit. Sisanya tinggal gadis yang berkaca mata tebal atau yang bicaranya gagap.
Beaufort memang tidak pernah jadi sarang gadis-gadis cantik, tapi aku harus pergi dengan seseorang. Aku tidak ingin pergi ke pesta itu tanpa teman kencan—apa kata orang nanti? Aku akan jadi satu-satunya ketua organisasi siswa yang pernah hadir dalam pesta dansa homecoming sendirian. Akhirnya aku akan jadi cowok yang menyendoki minuman punch atau membersihkan muntahan di kamar mandi sepanjang malam. Itu yang biasanya dilakukan oleh mereka yang tidak punya kencan.
Aku semakin panik, dan mengeluarkan buku tahunan sekolah tahun sebelumnya lalu mulai membalik halaman-halamannya satu per satu, mencari entah siapa yang mungkin masih belum punya kencan. Mula-mula aku memeriksa halaman yang memuat nama-nama siswa kelas 3. Meskipun kebanyakan sudah masuk perguruan tinggi, sebagian masih tinggal di kota. Meskipun aku merasa peluangku tidak terlalu besar, aku tetal menelepon mereka. Benar saja, apa yang kukhawatirkan jadi kenyataan. Aku tidak dapat menemukan seorang pun, setidaknya seseorang yang mau pergi denganku. Aku mulai jadi ahli dalam mengatasi penolakan, meskipun itu bukan sesuatu yang membanggakan untuk diceritakan kepada cucu-cucuku kelak. Ibuku tahu apa yang sedang kualami, dan akhirnya ia datang ke kamarku dan duduk di sampingku di atas tempat tidur.
“Kalau kau tidak punya kencan, aku bersedia menemanimu,” usulnya.
“Trims, Mom,” ujarku sedih.
Ketika ibuku meninggalkan kamarku, aku merasa lebih tidak keruan daripada sebelumnya. Bahkan ibuku merasa aku tidak bisa mengajak seorang pun. Jika aku datang dengan ibuku? Wah, lebih baik aku bunuh diri saja.
Sebenarnya masih ada orang lain yang juga senasib denganku. Carey Dennison telah terpilih menjadi bendahara, dan ia juga masih belum punya kencan. Carey termasuk cowok yang membuat tak seorang pun ingin menghabiskan waktu dengannya, dan satu-satunya alasan sampai ia terpilih hanya karena ia tidak punya saingan. Tanpa saingan pun ia terpilih dengan suara pas-pasan. Ia bermain tuba dalam marching band, dan tubuhnya sama sekali tidak proporsional. Seakan pertumbuhannya terhenti di tengah jalan saat melewati masa pubernya. Ia memiliki perut yang besar, serta tangan dan kaki yang krus, seperti makhluk Hoo dalam Hooville, kau mengerti maksudku, kan? Ia juga berbicara dalam nada tinggi—kurasa ini yang membuatnya begitu andal
dalam memainkan tuba—dan ia tidak pernah berhenti memberondong orang dengan pertanyaan-pertanyaannya. “Kau pergi ke mana akhir pekan kemarin? Menyenangkan, ya? Kau sempat berkenalan dengan cewek?” Ia bahkan tidak akan memberikan kesempatan padamu untuk menjawab, sementara ia akan terus bergerak sehingga kau terpaksa mengikutinya. Aku berani sumpah bahwa ia mungkin orang paling menyebalkan yang pernah kukenal. Kalau aku tidak punya kencan, ia akan berdiri di dekatku sepanjang malam, memberondongku dengan berbagai pertanyaan seperti jaksa penuntut menanyai terdakwa.
Jadi aku terus membalik-balik halaman yang membuat foto siswa kelas 1, sampai aku melihat foto Jamie Sullivan. Aku berhenti sebentar, kemudian membalik halaman itu, sambil mengutuk diriku sendiri karena berani mempertimbangkannya. Aku melewatkan satu jam berikutnya dengan mencari seseorang yang bertampang lumayan, namun perlahan-lahan aku menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di situ. Akhirnya aku membalik halaman itu dan kembali mengamati foto Jamie sekali lagi. Ia tidak jelek, kataku dalam hati, bahkan termasuk manis. Mungkin ia akan mengatakan ya, pikirku….
Aku menutup buku tahunan itu. Jamie Sullivan? Putri Hegbert? Tidak bisa. Tidak mungkin. Teman-temanku akan memanggangku hidup-hidup.
Tapi dibandingkan dengan mengencani ibumu sendiri atau membersihkan muntahan atau bahkan, amit-amit… Carey Dennison? Aku menghabiskan siswa malam itu dengan memperdebatkan pro dan kontra dilema yang kuhadapi. Percayalah, aku sudah mempertimbangkannya bolak-balik, dan pada akhirnya pilihanku jelas. Aku harus mengajak Jamie ke pesta dansa itu, dan aku mulai mondar-mandir di kamarku, memikirkan cara terbaik untuk mengajaknya.
Pada saat itulah terlintas sesuatu yang amat mencemaskan, sesuatu yang betul-betul menakutkan. Tiba-tiba aku sadar, Carey Dennison mungkin sedang melakukan apa yang sedang kulakukan sekarang. Mungkin ia juga sedang melihat-lihat isi buku tahunan! Carey memang aneh, tapi ia juga bukan orang yang suka membersihkan muntahan. Kalau kau pernah melihat ibunya, kau akan mengerti bahwa pilihannya bahkan lebih mengenaskan daripada pilihanku. Bagaimana kalau ia mengajak Jamie duluan? Jamie tidak akan menolaknya, dan secara realistis gadis itu merupakan satu-satunya peluang yang masih ia miliki. Tak seorang pun selain Jamie yang rela terperangkap bersamanya. Jamie selalu mau membantu semua manusia—ia memang semacam dewi yang memperlakukan semua orang sederajat. Ia mungkin mau mendengarkan suara melengking Carey, melihat kebaikan yang terpancar dari dalam hati cowok itu dan menerima semua kekurangannya.
Jadi aku duduk di dalam kamarku, cemas membayangkan kemungkinan bahwa Jamie bisa saja tidak bisa pergi bersamaku ke pesta dansa itu. Aku hampir tidak tidur semalaman, yang harus kuakui merupakan hal teraneh yang pernah kualami. Kurasa tak seorang pun pernah merasa begitu cemas karena ingin mengajak Jamie pergi sebelumnya.
Aku memutuskan untuk mengajaknya pada kesempatan pertama yang kumiliki pagi itu, mumpung aku masih punya keberanian, namun Jamie ternyata tidak ada di sekolah. Kurasa ia sedang bersama para anak yatim piatu di Morehead City, sebagaimana yang biasa dilakukannya tiap bulan. Beberapa di antara kami pernah mencoba membolos dengan menggunakan alasan itu, namun Jamie satu-satunya yang mendapat izin untuk itu. Kepala Sekolah tahu bahwa Jamie akan membacakan cerita untuk anak-anak itu, melakukan pekerjaan tangan, atau sekadar bermain dengan mereka. Ia tidak akan menyelinap ke pantai atau nongkrong di Cecil’s Diner atau entah apalah. Membayangkannya saja sudah tidak masuk di akal.
“Kau sudah punya kencan?” tanya Eric padaku sewaktu pergantian mata pelajaran. Padahal ia tahu aku belum punya kencan. Meskipun Eric sahabat terbaikku, kadang-kadang ia masih suka mengejekku.
“Belum,” sahutku, “tapi aku sedang berusaha.”
Di ujung lorong, Carey Dennison sedang mengambil sesuatu dari dalam locker-nya. Aku berani sumpah ia melirik tajam ke arahku di saat ia mengira aku tidak melihat.
Begitulah situasinya hari itu. Menit demi menit berlalu dengan lambat selama mata pelajaran terakhir. Aku punya rencana—kalau Carey dan aku keluar pada waktu yang sama, aku akan bisa sampai di rumah Jamie duluan, mengingat kaki-kaki Carey yang kurus. Aku mulai membesarkan hatiku, dan begitu bel berbunyi, aku segera berlari secepat-cepatnya meninggalkan sekolah. Aku mulai lelah setelah berlari sekitar seratus meter, dan rasanya ada bagian tubuhku yang kejang. Tak lama kemudian aku hanya bisa berjalan, namun kejang itu semakin terasa, sehingga aku terpaksa membungkuk dan memegangi pinggangku sambil terus berjalan. Aku tampak seperti si Bongkok dari Notre Dame yang menyusuri jalan di Beaufort dengan terengah-engah.
Aku bahkan merasa mendengar lengkingan tinggi suara tawa Carey di belakangku. Aku menoleh sambil mencengkeram ulu hatiku untuk menahan sakit, namun aku tidak dapat melihatnya. Mungkin ia memotong jalan lewat kebun belakang seseorang! Carey memang bajingan licik. Kau tidak bisa mempercayainya bahkan untuk sesaat.
Dengan terhuyung-huyung aku mempercepat langkahku, dan tak lama kemudian aku tiba di jalan tempat tinggal Jamie. Pada saat itu aku sudah bermandi keringat—kemejaku basah kuyup—dan aku masih terengah-engah kehabisan napas. Aku sampai di depan pintu rumah Jamie, berhenti sebentar untuk mengatur napas, dan akhirnya mengetuk pintu. Meskipun aku sudah bergegas ke rumahnya, sisi pesimis dari diriku membuatku berasumsi bahwa Carey-lah yang akan membukakan pintu itu. Aku mulai membayangkan Carey tersenyum padaku dengan wajah penuh kemenangan, yang seakan berkata, “Sori, Bung, kau terlambat.”
Tapi ternyata bukan Carey yang membuka pintu, melainkan Jamie, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat gadis itu tampak seperti orang biasa. Jamie mengenakan celana jins dan blus berwarna merah. Meskipun rambutnya masih disanggul ke atas, tampangnya lebih santai daripada biasanya. Aku sadar bahwa sebetulnya Jamie bisa tampak lebih manis kalau ia mau.
“Landon,” sapanya sambil membiarkan pintu dalam keadaan terbuka, “ini kejutan!” Jamie memang selalu senang melihat siapa pun, termasuk aku, meskipun aku merasa bahwa kehadiranku membuatnya tercengang. “Sepertinya kau baru selesai berolahraga,” katanya.
“Tidak juga,” ujarku berbohong sambil menghapus keringat di alisku. Untung kejangnya sudah mulai berkurang.
“Kemejamu basah kuyup.”
“Oh, ini?” Aku memperhatikan kemejaku. “Tidak apa-apa. Kadang-kadang keringatku berlebihan.”
“Mungkin kau harus memeriksakan diri ke dokter.”
“Aku tidak apa-apa, aku yakin.”
“Aku tetap akan mendoakanmu,” ujarnya sambil tersenyum. Jamie selalu berdoa untuk seseorang.
Tidak ada salahnya kalau aku menjadi salah satu di antaranya.
“Trims,” sahutku.
Ia melihat ke bawah dan menggerakkan kakinya sebentar. “Sebenarnya aku ingin mengajakmu masuk, tapi ayahku sedang tidak ada di rumah, dan ia tidak mengizinkan anak laki-laki masuk ke rumah kalau ia tidak ada.”
“Oh,” sahutku dengan suara sedih, “tidak apa-apa. Kita bisa berbicara di sini.” Kalau bisa memilih, aku lebih suka melakukannya di dalam.
“Kau mau minum limun sementara kita duduk-duduk?” tanyanya. “Aku baru saja membuatnya.”
“Aku suka limun,” ujarku.
“Aku akan segera kembali.” Ia masuk ke dalam rumah, tapi tetap embiarkan pintunya terbuka, dan aku melihat isi rumahnya sekilas. Rumahnya kecil tapi rapi, dengan piano di satu sisi dan sofa di sisi lainnya. Sebuah kipas angin kecil diletakkan di pojok. Di atas meja terdapat beberapa buku dengan judul-judul seperti Listening to Jesus dan Faith is the Answer. Alkitab-nya juga ada di situ, dan terbuka pada bagian Lukas.
Beberapa saat kemudian Jamie muncul dengan membawa limun, dan kami lalu duduk di dua buah kursi yang terletak di pojok teras. Aku tahu Jamie dan ayahnya sering duduk-duduk di teras ini pada malam hari karena kadang-kadang aku melewati rumah mereka. Begitu kami duduk, aku melihat Mrs. Hastings, tetangga Jamie yang tinggal di seberang jalan, melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Jamie membalas lambaiannya sementara aku menggeser kursiku sedemikian rupa agar Mrs. Hastings tidak dapat melihat wajahku. Meskipun aku akan mengajak Jamie pergi ke pesta dansa homecoming itu, aku tidak mau seorang pun—bahkan Mrs. Hastings—melihatku di situ apalagi kalau Jamie sudah menerima ajakan Carey. Pergi ke pesta dengan Jamie tidak sama dengan ditolak oleh Jamie karena ia sudah menerima ajakan cowok seperti Carey.
“Apa yang sedang kaulakukan?” tanya Jamie. “Kau memindahkan kursimu ke bagian yang kena sinar matahari.”
“Aku suka matahari,” sahutku. Tapi apa yang dikatakan Jamie memang benar. Seketika aku bisa merasakan sengatan sinar matahari menembus kemejaku dan membuatku berkeringat lagi.
“Kalau itu yang kauinginkan,” ujarnya sambil tersenyum. “Oke, apa yang ingin kaubicarakan denganku?”
Jamie mengangkat tangannya dan mulai membenahi rambutnya. Menurutku, tidak ada perubahan pada rambutnya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba memantapkan diri, namun tidak berhasil memaksa diriku untuk segera memulainya.
Aku mulai berkata, “Ehm, kau pergi ke panti asuhan hari ini?”
Jamie menatapku dengan heran. “Tidak. Aku dan ayahku tadi ke dokter.”
“Ayahmu sehat?”
Jamie tersenyum. “Sehat.”
Aku mengangguk dan melayangkan pandanganku ke seberang jalan. Mrs. Hastings sudah masuk ke rumah, dan aku tidak melihat seorang pun di sekitar tempat itu. Situasi akhirnya aman, namun aku masih belum merasa siap.
“Hari yang indah sekali,” kataku, mengulur waktu.
“Ya, betul.”
“Dan hangat.”
“Itu karena kau duduk di tempat yang panas.”
Aku melihat sekelilingku, merasa semakin tertekan. “Aku berani taruhan tidak ada segumpal awan
pun di langit.”
Kali ini Jamie tidak menjawab, dan kami duduk dalam keheningan selama beberapa saat.
“Landon,” kata Jamie akhirnya, “kau tidak datang kemari untuk bicara tentang cuaca, kan?” “Sebetulnya tidak.”
“Lalu kenapa kau kemari?”
Saat untuk bicara jujur akhirnya tiba, lalu aku berdeham, “Begini… aku ingin tahu apakah kau akan pergi ke pesta dansa homecoming nanti.”
“Oh,” jawab Jamie. Nadanya meninggalkan kesan seakan ia tidak menyadari bahwa hal-hal seperti itu mungkin bisa terjadi. Aku mengubah posisi dudukku dan menantikan jawabannya.
“Sebenarnya aku tidak berencana untuk pergi,” kata Jamie akhirnya.
“Tapi kalau ada yang mengajakmu pergi, kau mau?”
Jamie terdiam beberapa saat sebelum menjawab.
“Aku belum tahu,” sahutnya, setelah berpikir beberapa saat. “Kurasa aku mungkin akan pergi, kalau kesempatan itu ada. Aku belum pernah pergi ke pesta dansa homecoming.”
“Acaranya menyenangkan,” ujarku cepat. “Tidak terlalu menyenangkan, tapi menyenangkan.” Terutama dibandingkan dengan pilihanku yang lain, tambahku dalam hati. Ia tersenyum mendengar jawabanku. “Aku tentu harus membicarakannya dengan ayahku lebih dulu. Kalau ia mengizinkan, kurasa aku bisa pergi.”
Seekor burung yang bertengger di pohon dekat teras itu mulai berkicau ramai, seakan ia tahu tidak seharusnya aku berada di situ. Aku memusatkan seluruh perhatianku pada suara burung itu, sambil mencoba menenangkan kegelisahanku. Dua hari yang lalu sama sekali tidak akan terbayang olehku untuk mengajak Jamie, bahkan mempertimbangkannya sekalipun. Tapi tiba-tiba aku sudah di sini, mendengar suaraku sendiri sementara aku mengucapkan kata-kata ajaib itu.
“Ehm, maukah kau pergi ke pesta dansa itu bersamaku?”
Aku bisa melihat Jamie terkejut. Kurasa Jamie mengira basa-basiku sebelum ini mungkin ada hubungannya dengan orang lain yang ingin mengajak dirinya. Kadang-kadang seorang anak remaja mengirim temannya untuk “menjajaki situasi”, begitulah istilahnya, untuk menghindari kemungkinan terjadinya penolakan. Meskipun Jamie tidak seperti kebanyakan anak-anak remaja lain, aku yakin Jamie memahami konsep itu, setidaknya secara teori.
Namun bukannya langsung memberikan jawaban, Jamie malah berpaling ke arah lain selama beberapa saat. Hatiku terasa menciut karena aku merasa ia akan mengatakan tidak. Bayangan ibuku, membersihkan muntahan, dan Carey melintas di benakku, dan tiba-tiba aku menyesali caraku memperlakukan Jamie selama ini. Aku teringat saat-saat aku mengejeknya atau mengatai ayahnya seorang pezina atau sekadar menertawakannya di belakang punggungnya. Pada saat aku mulai merasa amat bersalah mengenai semua itu dan membayangkan bagaimana cara aku bisa menghindari Carey selama lima jam, Jamie menoleh dan menatapku kembali. Di wajahnya tampak seulas senyum.
“Aku mau pergi denganmu,” kata Jamie akhirnya, “dengan satu syarat.”
Aku menguatkan diri, sambil berharap syaratnya tidak terlalu berat.
“Ya?”
“Kau harus berjanji bahwa kau tidak akan jatuh cinta padaku.”
Aku tahu Jamie cuma bercanda dari caranya tertawa, dan mau tidak mau aku kemudian menghela napas lega. Kadang-kadang harus aku akui, Jamie memiliki rasa humor yang tinggi. Aku tersenyum dan memberikan janjiku padanya.



BAB 3

SEBAGAI peraturan umum, anggota gereja Southern Baptists tidak berdansa. Namun di Beaufort, peraturan itu tidak secara ketat diterapkan. Pendeta sebelum Hegbert—jangan tanya padaku siapa namanya—memberikan semacam kelonggaran mengenai pesta dansa sekolah selama acara itu masih diawasi orangtua atau guru. Hal ini kemudian menjadi semacam tradisi. Sewaktu Hegbert menjadi pendeta,sudah terlambat untuk melakukan perubahan lagi. Bisa dibilang Jamie adalah satu-satunya yang belum pernah pergi ke pesta dansa sekolah, dan sejujurnya aku tidak tahu apakah Jamie bahkan tahu bagaimana caranya berdansa.
Harus kuakui bahwa aku juga sempat waswas mengenai pakaian yang akan dikenakannya, meskipun itu bukan sesuatu yang bisa kukatakan padanya. Kalau Jamie pergi ke gereja—mengikuti dorongan Hegbert—ia biasanya mengenakan sweter tua dan rok kotak-kotak yang selalu kami lihat di sekolah setiap hari, namun acara dansa homecoming seharusnya menjadi kesempatan yang istimewa. Hampir semua anak perempuan membeli gaun baru dan anak laki-laki mengenakan setelan jas, dan tahun ini kami akan mengundang fotografer untuk memotret kami. Aku tahu Jamie tidak akan membeli gaun baru karena ia bukan dari keluarga berada. Pendeta bukanlah profesi yang menghasilkan banyak uang, tapi mencari uang tentu saja bukan tujuan para pendeta. Sasaran mereka adalah mencapai sesuatu yang lebih luhur.
Namun aku juga tidak ingin Jamie mengenakan sesuatu yang biasa ia kenakan ke sekolah setiap hari. Bukan untuk aku pribadi sebetulnya—aku tidak sekejam itu kok—tapi lebih untuk menanggapi apa yang mungkin dikatakan orang lain. Aku tidak ingin orang-orang mengejeknya atau menertawakannya.
Berita baiknya, kalaupun ada berita baik, adalah Eric tidak terlalu mengejekku mengenai Jamie karena ia sendiri sedang sibuk memikirkan teman kencannya. Ia akan mengajak Margaret Hays, yang merupakan ketua pemandu sorak di sekolah kami. Margaret bukan termasuk gadis cerdas, tapi ia punya kelebihan dalam caranya sendiri. Kelebihan yang kumaksud adalah kakinya yang indah. Eric mengusulkan agar kami kencan berempat, namun aku menolak karena aku tidak mau mengambil risiko Eric meledek Jamie atau semacamnya. Eric memang teman yang baik, meskipun kadang-kadang suka jail, terutama setelah ia habis menenggak beberapa gelas bourbon.
Hari pesta dansa itu diselenggarakan ternyata amat menyibukkan bagiku. Aku melewatkan hampir seluruh sore itu dengan membantu menghias ruang olahraga, dan aku harus ke rumah Jamie sekitar setengah jam lebih awal karena ayahnya ingin berbicara denganku, meskipun aku tidak tahu untuk apa. Jamie telah menyampaikan pesan ayahnya padaku kemarin, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku merasa antusias menantikan pertemuan itu.
Kurasa Hegbert akan berbicara tentang godaan serta jalan iblis yang dapat membawa kita ke sana. Namun, kalau ia menyinggung soal perzinaan, aku yakin aku akan langsung pingsan tepat di hadapannya. Sepanjang hari aku berdoa dengan harapan agar menemukan cara untuk mengelak pertemuan ini, namun aku tidak yakin Tuhan akan mengabulkan permohonanku ini, mengingat kelakuanku di masa lalu. Aku benar-benar cemas memikirkan apa yang bakal terjadi.
Setelah mandi aku mengenakan setelan jas terbaikku, mampir di toko bunga untuk mengambil korsase Jamie, kemudian menuju rumahnya. Ibuku telah mengizinkanku untuk memakai mobilnya, dan aku memarkirnya persis di jalan depan rumah Jamie. Malam belum tiba, karena itu suasananya masih terang saat aku sampai di sana, dan aku mulai melangkah menyusuri jalan setapak menuju pintu rumahnya. Aku mengetuk pintu dan menunggu sebentar, kemudian mengetuk lagi. Dari balik pintu aku mendengar Hegbert berseru, “Iya, sebentar.” Meskipun sebetulnya Hegbert tidak buru-buru melakukan itu.
Aku pasti berdiri di sana selama dua menit atau lebih, mengawasi pintu, lekuk-lekuknya, retak-retak kecil di kusen jendelanya. Di sampingku terlihat kursi-kursi yang diduduki Jamie dan aku beberapa hari yang lalu. Kursi yang dulu kududuki masih menghadap ke arah yang berlawanan. Tampaknya mereka belum duduk di sana dalam beberapa hari terakhir ini.
Akhirnya pintu itu perlahan-lahan terbuka. Cahaya yang berasal dari lampu di dalam rumah membuat wajah Hegbert tampak sedikit lebih gelap. Sinarnya membias memantul di rambutnya. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, Hegbert memang sudah tua. Tujuh puluh dua tahun menurut perhitunganku. Baru kali inilah aku melihatnya dari dekat, dan aku bisa melihat semua kerutan yang ada di wajahnya. Kulitnya memang transparan, malah lebih daripada yang kubayangkan.
“Halo, Pendeta,” sapaku, sambil berusaha mengusir kegelisahanku. “Aku kemari untuk mengajak
Jamie ke pesta dansa homecoming.”
“Tentu saja,” ujarnya. “Tapi sebelumnya, aku ingin berbicara denganmu.”
“Baik, Sir, karena itulah aku datang lebih awal.”
“Masuklah.”
Di gereja Hegbert selalu berpakaian amat rapi, namun sekarang ia tampak seperti petani, dengan kaus dan overall. Ia mempersilakanku duduk di kursi kayu yang ia bawa dari dapur. “Maafkan aku karena tidak langsung membuka pintu. Aku sedang menyusun khotbah untuk besok,” ujarnya.
Aku duduk.
“Tak apa-apa, Sir.” Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya kau memang harus memanggilnya “Sir”. Pembawaannya membuat Hegbert layak menyandang sebutan itu.
“Oke, kalau begitu, sekarang coba ceritakan sesuatu mengenai dirimu.”Aku merasa permintaannya cukup aneh, mengingat bahwa ia sudah mengenal aku dan keluargaku sejak lama. Selain itu, ia juga yang membaptisku, dan ia selalu melihatku di gereja setiap hari Minggu, sejak aku masih bayi.
“Well, Sir,” aku mulai bicara, tanpa tahu apa sesungguhnya yang akan kukatakan. “Aku menjadi ketua organisasi sekolah. Aku tidak tahu apakah Jamie sudah menceritakannya kepada Anda.”
Ia mengangguk. “Jamie sudah menceritakannya. Teruskan.”
“Dan… ehm, kuharap aku bisa masuk University of North Carolina musim gugur yang akan datang.
Aku sudah menerima formulir pendaftarannya.”
Hegbert mengangguk lagi. “Masih ada lagi?”
Aku harus mengakui bahwa aku sudah kehabisan bahan setelah itu. Sebagian dari diriku ingin meraih sebatang pensil yang terletak di ujung meja dan mengimbangkannya di atas jariku, untuk memberikan peragaan selama tiga puluh detik padanya, namun Hegbert tidak termasuk orang yang akan menghargai hal semacam itu.
“Kurasa tidak ada lagi, Sir.”
“Apakah kau keberatan kalau aku mengajukan pertanyaan padamu?”
“Tidak, Sir.”
Ia menatapku sejenak, seakan sedang mempertimbangkannya kembali.
“Kenapa kau mengajak putriku ke pesta dansa?” tanya Hegbert akhirnya.
Aku tercengang, dan aku tahu ekspresiku menunjukkannya dengan jelas.
“Aku tidak mengerti maksud Anda, Sir.”
“Kau tidak merencanakan sesuatu untuk… mempermalukannya, kan?”
“Tidak, Sir,” sahutku cepat. Aku terkejut menanggapi tuduhan itu. “Sama sekali tidak. Aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku, dan aku mengajaknya. Sesederhana itu.”
“Kau tidak berencana untuk berbuat jail?”
“Tidak, Sir. Aku tidak punya niat untuk berbuat itu padanya…”
Tanya-jawab ini masih terus berlangsung selama beberapa menit—interogasinya mengenai tujuanku yang sebenarnya—tapi untungnya Jamie muncul, dan kami semua menoleh ke arah Jamie pada waktu yang bersamaan. Akhirnya Hegbert menyudahi percakapan itu, dan aku menghela napas lega. Jamie mengenakan rok biru dan blus putih yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Untungnya ia menyimpan sweternya di dalam lemari. Harus kuakui bahwa penampilannya tidak buruk, meskipun aku tahu bahwa penampilannya masih terlalu sederhana dibandingkan dengan gadis-gadis lain di pesta itu. Seperti biasa, rambutnya disanggul ke atas. Kupikir akan lebih baik jika ia membiarkan rambutnya tergerai, namun aku tidak akan mengatakan hal itu padanya. Jamie tampak seperti… ehm, Jamie tampak seperti biasanya, tapi setidaknya ia tidak berencana untuk membawa Alkitab-nya. Keterlaluan kiranya kalau itu sampai terjadi.
“Kau sedang menyiksa Landon, ya?” kata Jamie riang pada ayahnya.
“Kami cuma mengobrol,” kataku dengan cepat sebelum Hegbert sempat menanggapi. Entah mengapa aku merasa bahwa ia belum memberitahu Jamie orang seperti apa aku ini menurut penilaiannya, dan kurasa sekarang bukanlah waktu yang tepat.
“Mungkin kita sebaiknya berangkat sekarang,” ujar Jamie selang beberapa saat. Sepertinya ia merasakan ketegangan dalam ruangan itu. Jamie menghampiri ayahnya dan mencium pipinya.
“Jangan bekerja sampai larut malam, ya?”
“Ya,” sahut Hegbert. Bahkan dengan aku berada di ruangan itu, aku dapat merasakan bahwa Hegbert sungguh-sungguh mencintai putrinya dan tidak segan untuk memperlihatkan perasaannya. Masalahnya adalah bagaimana perasaannya terhadapku.
Kami pamit, dan aku menyerahkan korsase pada Jamie saat berjalan menuju mobil, dan kukatakan padanya bahwa aku akan menunjukkan cara memasang korsase itu sesudah berada di dalam mobil. Aku membukakan pintu baginya, mengitari mobil dan melangkah masuk. Dalam waktu yang singkat, Jamie sudah menyematkan bunganya.
“Aku tidak setolol itu, tahu. Aku tahu bagaimana caranya memasang korsase.”
Aku menghidupkan mesin mobil dan langsung meluncur ke sekolah, sementara percakapanku dengan Hegbert tadi terlintas dalam benakku.
“Ayahku tidak terlalu menyukaimu,” ujarnya seakan dapat membaca isi pikiranku.
Aku mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
“Ia menganggapmu tidak bertanggung jawab.”
Aku mengangguk lagi.
“Ia juga tidak menyukai ayahmu.”
“Aku mengangguk sekali lagi.
“Dan keluargamu.”
Aku mengerti maksudnya.
“Kau tahu apa yang kupikirkan?” tanya Jamie tiba-tiba.
“Tidak juga.” Aku sudah merasa tertekan pada saat itu.
“Menurutku semua ini merupakan bagian dari rencana Tuhan. Menurutmu apa pesan yang hendak
disampaikan-Nya?”
Wah, mulai lagi nih, kataku dalam hati.
Jika kau mau tahu yang sebenarnya, aku tidak yakin apakah malam itu bisa jadi lebih buruk lagi. Hampir semua temanku berusaha menjaga jarak, dan Jamie tidak punya banyak teman. Karena itu kami melewatkan hampir sepanjang waktu berdua. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa kehadiranku bukanlah keharusan. Mereka sudah mengubah peraturan demi Carey yang tidak punya teman kencan, dan itu membuatku merasa semakin tidak keruan begitu mengetahuinya. Tapi karena apa yang sudah dikatakan ayah Jamie kepadaku, agak sulit bagiku sekarang untuk mengantarnya pulang lebih awal, bukan?
Lagi pula, kelihatannya Jamie menikmati pesta dansa ini, bahkan aku dapat melihatnya dengan jelas. Ia menyukai dekorasi yang kupasang, ia menyukai musiknya, ia menyukai segala yang berhubungan dengan pesta dansa itu. Ia terus mengatakan padaku betapa menyenangkan segalanya. Ia juga bertanya apakah aku kelak bersedia membantunya menghias gereja untuk salah satu acara pertemuan mereka. Aku cuma bisa bergumam bahwa ia bisa meneleponku untuk itu. Meskipun aku mengatakannya tanpa rasa antusias, Jamie tetap mengucapkan terima kasih atas perhatianku. Sejujurnya, aku merasa putus asa selama satu jam pertama, meskipun Jamie tampak tidak menyadarinya.
Jamie harus pulang sebelum pukul sebelas, satu jam sebelum pesta dansa itu berakhir, yang membuat situasinya menjadi lebih mudah bagiku untuk diatasi. Begitu musik mulai mengalun, kami turun ke lantai dansa, dan ternyata Jamie lumayan bisa berdansa, meskipun baru kali inilah ia berdansa.
Jamie mengikuti langkah-langkahku dengan cukup andal selama sekitar beberapa lagu. Setelah itu kami duduk dan mulai mengobrol. Tentu saja, Jamie melontarkan kata-kata seperti “iman” dan “kebahagiaan” bahkan “penebusan dosa”. Ia juga bercerita tentang membantu para anak yatim-piatu dan menolong makhluk-makhluk malang yang terluka di jalan, tapi nadanya begitu ceria, sehingga sulit rasanya untuk tetap merasa sedih.
Sebenarnya keadaanku tidak terlalu buruk pada awalnya, dan tidak seburuk bayanganku. Baru setelah Lew dan Angela muncul segalanya benar-benar mulai kacau.
Mereka datang beberapa menit setelah kami duduk. Lew mengenakan kaus konyolnya, sebungkus rokok Camel yang diselipkan di lipatan lengannya, dan memakai gel rambut hingga berkilat. Angela bergelayut pada Lew sejak awal, dan tidak diperlukan seorang jenius untuk tahu bahwa Angela sudah minum beberapa gelas minuman keras sebelum tiba di situ. Gaunnya benar-benar gemerlap—ibunya bekerja di salon dan selalu mengikuti perkembangan mode—dan aku melihat bahwa Angela telah memulai kebiasaan yang sedang tren di antara wanita muda waktu itu, yaitu mengunyah permen karet. Ia tampak giat sekali, nyaris seperti seekor sapi yang sedang memamah biak.
Si Lew menuang minuman beralkohol ke wadah minuman punch, sehingga beberapa orang mulai mabuk. Begitu para guru tahu, punch bercampur alkohol itu sudah hampir habis dan mata sebagian orang mulai berkabut.
Ketika Angela menenggak habis isi gelasnya yang kedua, aku tahu bahwa sebaiknya aku mengawasi gadis itu. Meskipun ia sudah memutuskan hubungan kami, aku tidak ingin sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi atas dirinya. Angela adalah gadis pertama yang pernah kucium secara french kiss.
Meskipun gigi kami berbenturan sangat keras ketika pertama kali kami berciuman, sampai mataku berkunang-kunang dan aku harus minum aspirin begitu sampai di rumah, aku tetap masih punya perasaan terhadapnya.
Jadi aku sedang duduk bersama Jamie, nyaris tidak mendengar saat ia menceritakan hikmah dari pendalaman Alkitab, sewaktu Lew memergokiku mengawasi Angela melalui sudut mataku. Dalam suatu gerakan cepat ia merangkul pinggang Angela dan menariknya ke arah meja kami, sambil memandangku dengan tatapan mengancam. Kau tentu mengerti apa yang kumaksud.
“Kau sedang memandangi gadisku?” gertaknya.
“Tidak.”
“Iya, memang,” ujar Angela, dalam nada yang tidak jelas. “Dari tadi ia memandangiku. Ini mantan pacarku, yang pernah kuceritakan padamu.”
Mata Lew menyipit, persis seperti yang biasa dilakukan Hegbert. Rupanya seperti itulah pengaruhku terhadap banyak orang.
“Jadi kau orangnya,” ujarnya sambil menyeringai.
Aku memang bukan tukang berkelahi. Sekali-kalinya aku terlibat dalam suatu perkelahian adalah ketika aku duduk di kelas tiga SD, aku langsung menangis bahkan sebelum lawanku memukul. Biasanya aku tidak menemui banyak kesulitan dalam menghindari konflik seperti ini karena sifatku yang cenderung pasif. Selain itu, tak seorang pun akan mencari gara-gara denganku di saat aku sedang bersama Eric. Tapi Eric sedang berada entah di mana bersama Margaret, mungkin sedang berduaan di satu tempat.
“Aku tidak memandanginya,” kataku akhirnya, “dan aku tidak tahu apa yang sudah ia katakan
padamu, tapi aku tidak yakin itu betul.”
Mata Lew semakin menyipit. “Kau menyebut Angela tukang bohong?” bentaknya. Ups.
Kurasa Lew sudah berniat memukulku saat itu juga, namun tiba-tiba Jamie muncul untuk menengahi situasi.
“Apakah aku mengenalmu?” tanya Jamie dalam nada ceria, sambil menatap langsung mata Lew. Kadang-kadang Jamie sepertinya tidak memperhatikan situasi yang sebenarnya terjadi di sekelilingnya. “Tunggu dulu—ya, aku tahu siapa kau. Kau bekerja di bengkel di pusat kota. Nama ayahmu Joe, dan nenekmu tinggal di Foster Road, dekat persimpangan rel kereta api.”
Wajah Lew tampak bingung, seakan ia sedang berusaha menyelesaikan permainan puzzle yang terdiri atas terlalu banyak kepingan.
“Dari mana kau tahu semua itu? Apakah ia juga menceritakan semua itu padamu?”
“Tidak,” sahut Jamie, “yang benar saja.” Ia tertawa sendiri. Hanya Jamie yang bisa melihat kelucuan di saat seperti ini. “Aku pernah melihat fotomu di rumah nenekmu. Aku sedang lewat, dan ia membutuhkan bantuan untuk membawa masuk belanjaannya. Fotomu dipajang di atas perapian.”
Lew menatap Jamie seakan melihat ada tangkai jagung yang tumbuh keluar dari telinganya.
Sementara itu Jamie mengipasi dirinya dengan tangan. “Kami sedang duduk untuk mengambil napas setelah berdansa tadi. Memang panas sekali, ya. Kalian mau bergabung dengan kami? Ada kursi kosong. Aku akan senang mendengar tentang keadaan nenekmu.”
Nadanya terkesan begitu ceria, sehingga Lew tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tidak seperti kami yang sudah terbiasa akan hal-hal seperti ini, Lew belum pernah berhadapan langsung dengan orang seperti Jamie. Untuk sesaat ia hanya diam terpaku, sambil mencoba memutuskan apakah akan menghajar cowok dengan teman kencan yang sudah pernah membantu neneknya ini. Kalau ini sudah terdengar membingungkan bagimu, bayangkan bagaimana efeknya terhadap otak si Lew yang sudah terpolusi bensin.
Akhirnya ia mengeluyur pergi tanpa menjawab, sambil membawa Angela bersamanya. Sepertinya Angela sudah lupa bagaimana semua ini berawal, akibat terlalu banyak minuman yang ditenggaknya. Jamie dan aku mengawasi kepergiannya, dan setelah mereka berada dalam jarak yang cukup jauh, aku mengembuskan napasku. Sebelumnya aku bahkan tidak menyadari bahwa selama ini aku menahan napasku.
“Terima kasih,” gumamku malu-malu, begitu menyadari bahwa Jamie—Jamie!—yang telah
menyelamatkanku agar tidak dipukuli habis-habisan.
Jamie menatapku heran. “Untuk apa?” tanyanya, dan ketika aku tidak merinci secara khusus duduk perkaranya, ia langsung melanjutkan kembali uraiannya mengenai kelas pendalaman Alkitab itu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Namun kali ini aku mendengarkan ceritanya, setidaknya dengan satu telinga. Paling tidak itulah yang bisa kulakukan setelah ia menyelamatkanku.
Ternyata tadi bukanlah pertemuan kami yang terakhir dengan Lew maupun Angela untuk malam itu. Dua gelas punch yang diminum Angela tadi akhirnya membuatnya muntah di kamar kecil. Lew, yang cuma banyak lagak, segera pergi begitu mendengar suara muntah-muntahnya, dengan menyelinap keluar melalui jalan masuk yang dilaluinya tadi, dan setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Seperti sudah ditakdirkan, Jamie-lah yang menemukan Angela di kamar kecil, dan jelas keadaan Angela tidak begitu baik ketika itu. Satu-satunya pilihan adalah membersihkannya dan mengantarnya pulang sebelum guru-guru memergokinya. Mabuk merupakan pelanggaran serius ketika itu, dan Angela bisa diskors atau bahkan dikeluarkan, kalau sampai ketahuan.
Sama seperti aku, Jamie juga tidak ingin itu sampai terjadi, meskipun aku mungkin akan berpikiran lain kalau kautanyakan itu padaku sebelumnya, karena Angela masih di bawah umur dan melakukan pelanggaran hukum. Selain itu Angela juga telah melanggar salah satu norma perilaku ajaran Hegbert. Hegbert akan mengerutkan alisnya melihat pelanggaran hukum dan mabuk-mabukan. Meskipun itu belum separah perzinaan, kami semua tahu bahwa ia akan menganggap itu pelanggaran serius, dan kami yakin Jamie juga memiliki pandangan yang sama. Mungkin memang begitu, namun nalurinya untuk menolong ternyata lebih dominan. Mungkin saat melihat Angela, ia langsung teringat pada “makhluk malang yang terluka” atau semacamnya dan langsung turun tangan.
Aku pergi dan menemukan Eric di bawah bangku penonton di ruang olahraga, dan ia bersedia berjaga di dekat pintu kamar kecil sementara Jamie dan aku masuk untuk membersihkan di dalam. Angela memang luar biasa. Muntahannya tercecer di mana-mana, kecuali di dalam kloset. Di tembok, di lantai, di wastafel—bahkan di langit-langit, tapi jangan tanya padaku bagaimana ia melakukannya. Jadi aku berada di dalam kamar kecil, merangkak di lantai, membersihkan muntahan di pesta dansa homecoming dalam setelan jas biruku yang terbaik, situasi yang justru sebenarnya ingin kuhindari. Dan Jamie, teman kencanku, juga sedang merangkak, melakukan hal yang sama.
Aku nyaris bisa mendengar lengkingan suara tawa Carey yang menyebalkan di kejauhan.
Akhirnya kami keluar dengan menyelinap melalui pintu belakang ruang olahraga, sambil memastikan Angela tetap tegak dengan berjalan dipapah oleh kami di kedua sisinya. Ia terus bertanya di mana Lew, tapi Jamie mengatakan padanya agar tidak usah khawatir. Jamie memiliki kemampuan untuk menenangkan Angela saat berbicara dengannya, meskipun Angela sudah setengah sadar. Aku bahkan tidak yakin ia tahu siapa yang sedang berbicara padanya. Kami mendudukkan Angela di kursi belakang mobilku, dan langsung tak sadarkan diri di sana. Sialnya Angela masih sempat muntah sekali lagi di lantai mobil sebelum pingsan. Baunya begitu menyengat sehingga kami terpaksa membuka jendela mobil agar tidak mual, sementara perjalanan menuju rumah Angela jadi terasa ekstra lama. Ibunya membuka pintu, menatap putrinya sekilas, kemudian membawanya masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tidak ada ucapan terima kasih. Kurasa ia malu, dan selain itu tidak ada yang perlu kami sampaikan padanya. Situasinya sudah cukup jelas.
Sudah pukul 22.45 saat kami selesai mengantar Angela pulang, dan aku langsung meluncur ke rumah Jamie. Aku betul-betul cemas begitu sampai di sana karena penampilan dan bau Jamie yang tidak keruan, dan diam-diam aku berdoa semoga Hegbert sudah tidur. Aku tidak ingin terpaksa harus menjelaskan semua ini padanya. Oh, Hegbert mungkin mau mendengarkan Jamie kalau ia yang menjelaskan pada ayahnya, namun hati kecilku mengatakan bahwa Hegbert pasti akan menemukan cara untuk menyalahkanku.
Aku mengantar Jamie sampai ke depan pintu rumahnya, dan kami berdiri di luar di bawah penerangan lampu teras. Jamie bersedekap dan tersenyum, ekspresi wajahnya seakan menunjukkan bahwa ia baru pulang dari berjalan-jalan dan menikmati keindahan suasana malam.
“Kumohon jangan kauceritakan ini pada ayahmu,” kataku.
“Tidak akan,” sahutnya. Ia masih tersenyum dan akhirnya menoleh ke arahku. “Aku senang sekali malam ini. Terima kasih telah mengajakku ke pesta dansa itu.”
Jamie berdiri di hadapanku, berlumuran muntahan, dan mengucapkan terima kasih yang tulus padaku atas malam ini. Kadang-kadang Jamie Sullivan bisa membuat orang tidak habis pikir terhadapnya.



BAB 4

DUA minggu setelah pesta dansa homecoming itu, kehidupanku boleh dibilang mulai kembali normal. Ayahku telah kembali ke Washington, D.C., yang menjadikan keadaan di rumah jauh lebih menyenangkan, terutama karena aku bisa menyelinap keluar lewat jendela lagi dan menyusup ke pemakaman. Aku tidak tahu mengapa tempat itu sangat menarik bagi kami. Mungkin ada hubungannya dengan nisan, mungkin karena sejauh ini batu nisan merupakan tempat yang nyaman untuk diduduki.
Kami biasa duduk di kapling kecil tempat keluarga Preston dimakamkan sekiar seratus tahun lalu. Ada delapan batu nisan di sana, semua disusun dalam suatu lingkaran, sehingga memudahkan pengoperan kacang rebus di antara kami. Pernah suatu kali aku dan teman-temanku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang keluarga Preston, dan kami pergi ke perpustakaan untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang pernah ditulis mengenai mereka. Maksudku, jika kau akan menduduki batu nisan seseorang, ada baiknya kau tahu sesuatu mengenai orang itu, kan?
Ternyata kisah tentang keluarga itu tidak ada dalam catatan sejarah, meskipun kami menemukan sedikit informasi yang lumayan menarik. Percaya tidak? Henry Preston, si ayah, adalah penebang pohon berlengan satu. Kabarnya ia bisa merobohkan sebatang pohon secepat orang yang memiliki dua lengan. Ide penebang pohon berlengan satu itu cukup sensasional, karena itu kami sering membicarakannya. Kami sering bertanya-tanya apa lagi yang bisa dilakukannya hanya dengan sebuah lengan, dan kami akan mendiskusikan selama berjam-jam seberapa cepatnya ia bisa melempar bola baseball atau apakah ia mampu berenang melintasi Terusan Antarpantai. Aku tahu obrolan kami memang tidak berbobot, namun aku menikmatinya.
Eric dan aku di sana pada suatu malam Sabtu bersama beberapa teman lain, menikmati kacang rebus sambil mengobrol tentang Henry Preston, ketika Eric menanyakan padaku tentang “kencanku” dengan Jamie Sullivan. Eric dan aku memang jarang bertemu sejak pesta dansa homecoming itu karena musim pertandingan football sudah dimulai. Selama beberapa akhir pekan belakangan ini Eric sering ke luar kota bersama timnya.
“Biasa saja,” sahutku, sambil mengangkat bahu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk bersikap tidak peduli.
Eric menyikut rusukku dengan maksud untuk bergurau, namun aku menggerutu kesakitan. Eric setidaknya lebih berat 15 kilogram daripada aku.
“Apakah kau menciumnya saat pamitan?”
“Tidak.”
Ia meminum langsung dari kaleng Budweisernya saat aku menjawab. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi Eric tidak pernah sulit membeli bir, padahal itu aneh, karena semua orang di kota tahu berapa usia Eric yang sesungguhnya.
Ia menyeka bibirnya dengan punggung tangannya, sambil melirik ke arahku.
“Tadinya kukira setelah ia membantumu membersihkan kamar kecil, paling tidak kau akan menciumnya saat pamitan.”
“Ya, tapi aku tidak melakukannya.”
“Kau tidak mencobanya?”
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Jamie bukan gadis seperti itu,” sahutku. Meskipun kami semua tahu bahwa itu benar, kesannya
seakan aku sedang membelanya.
Eric masih belum puas.
“Menurutku kau menyukainya,” ujarnya.
“Ngawur,” sahutku, dan Eric menepuk punggungku, cukup keras untuk membuatku kesakitan.
Menghabiskan waktu bersama Eric biasanya berarti tubuhku akan memar-memar pada keesokan harinya.
“Yeah, mungkin saja aku ngawur,” ujar Eric sambil mengedipkan matanya ke arahku, “tapi kau yang sedang jatuh cinta pada Jamie Sullivan.”
Aku tahu kami sedang memasuki wilayah yang berbahaya.
“Aku cuma memanfaatkannya untuk membuat Margaret terkesan,” sahutku. “Mengingat surat-surat cinta yang dikirimnya padaku belakangan ini, kurasa upayaku tidak sia-sia.”
Eric tertawa terbahak-bahak, sambil menepuk punggungku dengan keras sekali lagi.
“Kau dan Margaret—wah itu baru lucu…”
Aku tahu akhirnya aku berhasil menghindar, dan segera menarik napas lega saat percakapan beralih ke topik lain. Aku ikut nimbrung sekali-kali, tapi tidak sungguh-sungguh mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dalam benakku berkecamuk kata-kata yang baru saja diucapkan Eric.
Jamie mungkin teman kencan terbaik yang bisa kuperoleh malam itu, terutama mengingat bagaimana malam itu berakhir. Tidak banyak teman kencan—oke, tidak banyak orang, titik—yang mau melakukan apa yang telah dilakukannya. Namun kenyataan bahwa Jamie adalah teman kencan yang baik bukan berarti aku suka padanya. Aku tidak pernah berbicara dengan Jamie lagi sejak pesta dansa itu, kecuali saat aku bertemu dengannya di kelas drama, tapi itu pun hanya sebatas beberapa patah kata saja. Kalau aku memang menyukainya, aku pasti ingin mengobrol dengannya. Kalau aku menyukainya, aku akan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Kalau aku menyukainya, aku pasti ingin mengajaknya ke Cecil’s Diner untuk menikmati sekeranjang hushpuppy dan RC Cola. Tapi aku tidak ingin melakukan semua itu. Benar-benar tidak ingin melakukannya. Menurutku, aku sudah menjalani hukumanku.
Esok harinya, hari Minggu, aku sedang berada di kamarku, mengisi formulir pendaftaran UNC. Selain hasil raporku selama di SMU dan beberapa informasi pribadi, mereka juga meminta lima esai. Kalau kau bisa bertemu dengan seorang tokoh dalam sejarah, siapakah yang akan kaupilih dan apa alasanmu? Sebutkan orang yang kauanggap paling berpengaruh dalam hidupmu dan mengapa kau merasa begitu? Apa yang kaulihat dalam diri sosok idola dan apa alasanmu? Pertanyaan-pertanyaan yang mudah ditebak—guru bahsa Inggris kami sudah memberitahu apa kira-kira pertanyaan yang diajukan—dan aku sudah menyelesaikan PR sebagai jawaban atas beberapa variasi pertanyaan semacam itu di kelas bahasa Inggris.
Bahasa Inggris mungkin mata pelajaran yang paling kukuasai. Aku tidak pernah mendapat nilai yang lebih rendah daripada A sejak pertama kali sekolah, dan aku merasa bersyukur bahwa
dalam proses pendaftaran itu mereka menaruh perhatian khusus pada penulisan esai. Kalau mereka menekankan pada pelajaran matematika, aku mungkin berada dalam kesulitan. Apalagi jika dalam pelajaran aljabar ada pertanyaan tentang dua kereta api yang berangkat berselang satu jam, masing-masing dari arah yang berlawanan dengan kecepatan tujuh puluh kilometer per jam dan seterusnya. Bukan berarti aku payah dalam pelajaran matematika—biasanya paling tidak aku mendapat nilai C—tapi nilai itu juga tidak kuperoleh dengan mudah.
Aku sedang mengerjakan salah satu esaiku ketika telepon berdering. Satu-satunya pesawat telepon yang kami miliki terletak di dapur, dan aku harus lari ke bawah untuk menerimanya. Napasku terengah-engah sehingga aku tidak langsung dapat mengenali suara itu, meskipun kedengarannya seperti suara Angela. Aku langsung tersenyum sendiri. Meskipun ia sempat membuat berantakan seluruh tempat dan aku terpaksa membersihkannya, namun Angela cukup menyenangkan saat kami bersama-sama. Dan gaunnya benar-benar bagus, setidaknya selama satu jam pertama. Kupikir ia menelepon mungkin untuk mengucapkan terima kasih kepadaku dan mengajakku menikmati barbekyu dan hushpuppy atau semacamnya.
“Landon?”
“Oh, hai,” sahutku, pura-pura tidak peduli, “ada apa?”
Untuk sesaat tidak ada suara dari seberang sana.
“Apa kabar?”
Baru pada saat itulah aku tiba-tiba menyadari bahwa aku tidak sedang berbicara dengan Angela. Ternyata Jamie yang menelepon, dan aku nyaris menjatuhkan gagang telepon. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku senang mendengar suaranya, dan untuk sesaat aku penasaran siapa yang telah memberikan nomor teleponku padanya sebelum aku menyadari bahwa nomor teleponku tentu ada di catatan gereja.
“Landon?”
“Aku baik-baik saja,” akhirnya aku menjawab, masih dalam keadaan bingung.
“Kau sibuk?” tanyanya.
“Ya, begitulah.”
“Oh…,” kata Jamie, dalam nada kurang yakin. Ia terdiam lagi.
“Kenapa kau meneleponku?” tanyaku.
Ia membutuhkan beberapa waktu untuk menyatakan maksudnya.
“Ehm… aku cuma ingin tahu apakah kau bisa mampir sebentar nanti sore.”
“Mampir?”
“Ke rumahku.”
“Rumahmu?” Aku bahkan tidak mencoba untuk menyembunyikan keterkejutan dalam suaraku. Jamie
berusaha mengabaikan dan melanjutkan.
“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Aku tidak akan meminta kalau tidak betul-betul penting.”
“Kau tidak bisa mengatakannya lewat telepon?”
“Sebaiknya tidak.”
“Ehm, aku sedang mengerjakan esai untuk pendaftaran masuk perguruan tinggi sore ini,” kataku, berusaha untuk menghindar.
“Oh… oke… seperti yang kukatakan tadi, ini penting, tapi kurasa aku bisa membicarakannya denganmu pada hari Senin di sekolah…”
Saat itu aku tiba-tiba menyadari bahwa Jamie tidak akan membiarkanku lolos begitu saja, dan pada akhirnya entah bagaimana kami harus berbicara. Otakku segera memikirkan berbagai skenario yang mungkin terjadi sambil menjajaki skenario mana yang sebaiknya kupilih— berbicara dengannya di tempat yang bisa dilihat teman-temanku atau berbicara di rumahnya. Meskipun dua pilihan itu tidak ada yang bagus, sesuatu di dalam diriku mengingatkanku bahwa ia telah membantuku di saat aku benar-benar membutuhkannya. Paling tidak aku bisa mendengarkan apa yang ingin disampaikannya. Aku mungkin tidak bertanggung jawab, tapi aku orang baik yang tidak bertanggung jawab, kataku dalam hati.
Tentu saja, itu tidak berarti semua orang harus tahu mengenai hal ini.
“Jangan,” sahutku, “hari ini juga boleh…”
Kami berjanji untuk bertemu pada pukul lima, dan waktu berjalan sangat lambat sepanjang sisa sore itu hingga rasanya semakin menyiksa. Aku meninggalkan rumahku 20 menit lebih awal, agar aku punya banyak waktu untuk sampai di sana. Aku tinggal di dekat pelabuhan yang juga termasuk wilayah historis kota ini, cuma berjarak beberapa rumah dari tempat yang pernah dihuni Blackbeard, menghadap ke arah Terusan Antarpantai. Jamie tinggal di sisi kota yang lain, di seberang rel kereta api, sehingga aku membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai di sana.
Saat itu bulan November, dan udara mulai dingin. Satu hal lain yang kusukai mengenai Beaufort adalah fakta bahwa musim semi dan musim gugurnya berlangsung hampir sepanjang waktu. Memang mungkin bisa panas sekali di musim panas atau turun salju sekali dalam setiap enam tahun, dan cuaca mungkin bisa sangat dingin selama seminggu atau lebih di bulan Januari. Tapi sering kali kau hanya membutuhkan jaket tipis untuk musim dingin. Hari ini merupakan salah satu di antara hari-hari yang sempurna itu—sekitar 24 derajat Celcius tanpa segumpal awan pun di langit.
Aku sampai di rumah Jamie tepat waktu, dan langsung mengetuk pintunya. Jamie yang membuka pintu, dan aku mengintip sekilas ke dalam sehingga tahu bahwa hegbert sedang tidak ada di rumah. Cuaca tidak cukup hangat untuk minum the manis atau limun, jadi kami cuma duduk di kursi teras itu lagi tanpa minum apa-apa. Matahari mulai terbenam, dan tidak ada seorang pun di jalan. Kali ini aku tidak perlu menggeser kursiku, yang ternyata masih belum dipindahkan sejak terakhir kali aku kemari.
“Terima kasih sudah mau datang, Landon,” ujarnya. “Aku tahu kau sibuk, tapi aku menghargai kau mau meluangkan waktumu untuk melakukan ini.”
“Apa sih yang sebegitu pentingnya?” tanyaku, ingin ini selesai secepat mungkin.
Untuk pertama kali sejak aku mengenalnya, Jamie benar-benar tampak gelisah saat duduk bersamaku. Ia terus meremas-remas tangannya.
“Aku ingin meminta tolong padamu,” katanya dalam nada serius.
“Minta tolong?”
Jamie mengangguk.
Tadinya aku mengira Jamie akan meminta bantuanku untuk menghias gereja, seperti yang disinggungnya di pesta dansa. Mungkin ia membutuhkanku agar bisa meminjam mobil ibuku untuk mengangkut sesuatu ke panti asuhan. Jamie belum memiliki SIM, dan Hegbert membutuhkan mobil mereka, karena selalu ada upacara pemakaman atau entah apa yang harus dihadirinya. Namun Jamie masih butuh waktu untuk bisa mengucapkan permintaannya. Jamie menghela napas, menangkupkan kedua tangannya.
“Aku ingin menanyakan padamu apakah kau mau memerankan tokoh Tom Thornton dalam drama sekolah,” katanya.
Tom Thornton, seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, adalah pria yang mencari kotak musik untuk putrinya, yang kemudian bertemu dengan malaikat. Ia memegang peran terpenting, selain tokoh malaikat.
“Ehm… aku tidak tahu,” ujarku bingung. “Kupikir Eddie Jones yang akan menjadi Tom. Itu kan yang dikatakan oleh Miss Garber kepada kita.”
Eddie Jones amat mirip Carey Dennison. Tubuhnya kurus, dengan jerawat di seluruh wajahnya, dan tidak pernah menatap lawan bicaranya. Ia mudah gelisah, dan mengedip-ngedipkan matanya setiap kali ia merasa gelisah, dan itu terjadi sepanjang waktu. Eddie mungkin akan mengacaukan kalimat-kalimat yang semestinya diucapkan di pentas, di hadapan orang banyak. Yang lebih gawat lagi, Eddie juga gagap, dan perlu waktu lama baginya untuk bisa berbicara. Miss Garber telah memberikan peran itu kepadanya karena hanya Eddie yang menawarkan diri, namun jelas bahwa Miss Garber juga tidak ingin Eddie berperan sebagai Tom. Guru kan manusia juga, tapi ia memang tidak punya pilihan lain, karena tidak seorang pun mau mengajukan diri untuk peran itu.
“Miss Garber tidak bilang begitu sebetulnya. Miss Garber mengatakan bahwa Eddie bisa mendapat peran itu kalau tidak ada orang lain yang mau.”
“Apa tidak ada orang lain yang bisa memerankannya?”
Tapi sebenarnya memang tidak ada orang lain lagi, dan aku tahu itu. Syarat Hegbert agar hanya siswa kelas tiga yang boleh tampil membuat drama itu menjadi agak sulit dipentaskan tahun ini. Ada sekitar lima puluh siswa laki-laki di kelas tiga, dua puluh dua di antaranya bergabung dalam tim football. Karena mereka sedang bertanding untuk merebut gelar juara negara bagian, tak seorang pun di antara mereka punya waktu untuk berlatih drama. Dari sekitar tiga puluhan siswa yang tersisa, lebih dari separonya bergabung dalam band dan mereka juga harus latihan setiap pulang sekolah. Setelah dihitung, hanya ada sekitar beberapa belas orang lagi yang mungkin bisa berperan dalam drama itu.
Aku memang tidak ingin mendapat peran dalam drama itu, dan alasannya bukan hanya karena kelas drama merupakan kelas yang amat membosankan. Aku sudah mengajak Jamie ke pesta dansa homecoming, dan dengan perannya sebagai malaikat, berat rasanya bagiku untuk membayangkan bahwa aku harus melewatkan setiap soreku bersamanya selama sebulan atau mungkin lebih. Terlihat bersamanya sekali sudah cukup menghebohkan… tapi kalau setiap hari terlihat bersamanya? Apa yang akan dikatakan teman-temanku nanti?
Tetapi kenyataan bahwa ia meminta tolong padaku membuatku bisa melihat betapa penting hal ini untuknya. Jamie tidak pernah minta tolong pada siapa pun. Kurasa jauh di lubuk hatinya ia menganggap bahwa tak seorang pun mau melakukan sesuatu untuknya hanya karena siapa dirinya. Dan kenyataan itu membuatku sedih.
“Bagaimana dengan Jeff Bangert? Mungkin ia mau memerankannya,” usulku.
Jamie menggeleng. “Ia tidak bisa. Ayahnya sedang sakit, dan ia harus bekerja di toko sepulang sekolah sampai kondisi ayahnya pulih kembali.”
“Bagaimana dengan Darren Woods?”
“Lengannya patah minggu lalu ketika terpeleset di kapalnya. Lengannya sekarang digips.”
“Oh ya? Aku tidak tahu tentang itu,” kataku, sambil berusaha mengalihkan percakapan, tapi Jamie tahu apa yang sedang kulakukan.
“Aku sudah berdoa untuk itu, Landon,” ujarnya, kemudian ia menghela napas untuk kedua kalinya. “Aku betul-betul ingin drama ini istimewa pada tahun ini, bukan untukku sendiri, tapi untuk ayahku. Aku ingin menjadikannya sebagai pertunjukan yang paling berkesan. Aku tahu betapa besar artinya bagi ayahku untuk melihatku sebagai tokoh malaikatnya, karena drama ini mengingatkannya pada ibuku…” Ia terdiam sebentar, “Akan amat menyedihkan kalau drama ini gagal tahun ini, apalagi aku akan terlibat di dalamnya.”
Jamie terdiam lagi sebelum melanjutkan, suaranya menjadi lebih emosional setelah itu.
“Aku tahu Eddie akan berusaha sebaik-baiknya. Aku tidak malu bermain bersamanya dalam drama itu, sungguh. Sebetulnya Eddie baik sekali, namun ia sudah mengatakan padaku bahwa ia sedang mempertimbangkan kembali apakah ia masih mau melakukannya. Kadang-kadang teman-teman di sekolah bisa sangat… sangat… kejam, dan aku tidak mau Eddie disakiti. Tapi…” Ia menarik napasnya dalam-dalam. “Alasan sebenarnya aku meminta ini padamu adalah karena ayahku. Ia orang baik, Landon. Kalau orang-orang menertawakan kenangannya terhadap ibuku selagi aku berperan dalam drama itu… well, itu akan menghancurkan hatiku. Dengan Eddie dan aku… kau tahu apa yang akan dikatakan orang-orang nanti.”
Aku mengangguk, bibirku terkatup rapat, sadar bahwa aku akan menjadi salah satu di antara mereka yang ia maksud. Nyatanya, sejauh ini memang begitu. Jamie dan Eddie, pasangan yang penuh semangat, adalah julukan yang kami berikan kepada mereka saat Miss Garber mengumumkan bahwa mereka yang mendapat peran utama itu. Kenyataan bahwa akulah yang memulai ejekan itu membuatku merasa betul-betul tidak enak, hingga nyaris mual.
Ia duduk tegak di kursinya dan menatapku dengan sedih, seakan ia sudah tahu bahwa aku akan mengatakan tidak. Kurasa Jamie tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu.
“Aku tahu tantangan selalu menjadi bagian dari rencana Tuhan, namun aku tidak ingin percaya bahwa Tuhan itu kejam, terutama pada seseorang seperti ayahku. Ia mengabdikan hidupnya untuk Tuhan dan melayani masyarakat. Ia telah kehilangan istrinya dan terpaksa membesarkan aku sendirian. Dan aku amat mencintai ayahku untuk itu…”
Jamie memalingkan wajahnya, namun aku bisa melihat air matanya. Baru pertama kali itulah aku melihatnya menangis. Kurasa sebagian dari diriku juga ingin ikut menangis.
“Aku tidak memintamu untuk melakukan ini demi aku,” ujarnya pelan. “Sungguh! Seandainya kau menolak, aku masih tetap akan mendoakanmu. Aku berjanji. Tapi jika kau bisa melakukan perbuatan baik untuk seorang pria luar biasa yang amat berarti bagiku… Maukah kau mempertimbangkannya?”
Matanya menatapku seperti seekor anjing cocker spaniel berwajah sayu yang baru saja mengotori karpet. Aku mengalihkan pandanganku ke bawah.
“Aku tidak perlu mempertimbangkannya lagi,” kataku akhirnya. “Aku akan melakukannya.”
Aku memang tidak punya pilihan lain, bukan?


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates