November 02, 2014

A Walk To Remember part 3

BAB 9

MENGATAKAN bahwa pertunjukan itu sukses besar sebetulnya sama sekali tidak berlebihan. Para penonton tertawa dan menangis, dan itu memang yang diharapkan dari mereka. Namun suasananya benar-benar istimewa berkat kehadiran Jamie—dan aku merasa para pemain lain juga sama terkejutnya seperti aku melihat penampilannya. Mereka semua menampakkan reaksi yang sama seperti aku ketika pertama kali melihatnya. Hal itu membuat seluruh pertunjukan semakin mantap di saat mereka memainkan perang masing-masing. Kami menyelesaikan pertunjukan pertama tanpa satu kendala pun, dan pada malam berikutnya malah lebih banyak lagi penonton yang datang. Bahkan Eric menghampiriku seusai pertunjukan untuk memberi selamat padaku, yang merupakan kejutan setelah apa yang dikatakannya padaku sebelumnya.
“Kalian berdua bermain bagus,” kata Eric apa adanya. “Aku bangga padamu, sobat.”
Sementara ia mengatakan itu, Miss Garber menyerukan, “Luar biasa!” kepada semua orang yang mau mendengar atau yang kebetulan lewat. Ia mengatakannya berulang-ulang, sampai kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku setelah aku berbaring di tempat tidurku malam itu. Aku mencari Jamie setelah layar diturunkan untuk terakhir kali, dan melihatnya di pojok bersama ayahnya. Hegbert tampak berlinang air mata—baru pertama kali itulah aku melihatnya menangis—Jamie berada dalam pelukannya, dan mereka berangkulan selama beberapa saat. Hegbert membelai-belai rambut putrinya sambil berbisik, “Malaikatku,” sementara Jamie memejamkan matanya. Aku bahkan merasa tenggorokanku tercekat.
Aku menyadari bahwa melakukan “sesuatu yang benar” sebetulnya bukan sesuatu yang buruk.
Setelah mereka akhirnya saling melepaskan pelukan, dengan bangga Hegbert mengingatkan Jamie untuk menemui para pemain lainnya. Jamie juga memperoleh banyak ucapan selamat dari semua yang berada di belakang layar. Jamie tahu ia telah bermain dengan baik, namun ia masih terus mengatakan pada semua orang bahwa ia tidak mengerti apa yang sebetulnya perlu diributkan. Seperti biasa wajahnya menampakkan keceriaan, tapi dengan penampilannya yang begitu cantik, kesannya menjadi berbeda. Aku berdiri di belakang, membiarkan dirinya menikmati momen itu. Aku bahkan harus mengakui bahwa ada bagian dari diriku yang merasa seperti si tua Hegbert. Mau tidak mau aku merasa bahagia melihat Jamie, dan juga bangga. Ketika akhirnya ia melihatku berdiri sendirian, Jamie meminta diri lalu berjalan menghampiriku.
Ia menengadahkan wajahnya sambil tersenyum. “Terima kasih, Landon, atas apa yang telah kaulakukan. Kau membuat ayahku bahagia sekali.”
“Sama-sama,” sahutku tulus.
Anehnya adalah, ketika ia mengatakan itu, aku menyadari bahwa ia akan pulang ke rumahnya diantar Hegbert. Untuk sekali ini aku berharap bisa punya kesempatan untuk menemaninya pulang berjalan kaki.
Hari Senin berikutnya merupakan minggu terakhir kami di sekolah sebelum Liburan Natal, dan semua kelas akan menghadapi ujian akhir. Selain itu, aku harus menyelesaikan formulir pendaftaranku untuk masuk UNC, yang selama ini tertunda gara-gara semua latihan itu. Aku sudah berencana untuk belajar keras minggu itu, kemudian membereskan tugasku untuk pendaftaran UNC pada malam hari sebelum aku tidur. Meskipun demikian, mau tidak mau aku terus teringat pada Jamie.
Transformasi yang terjadi pada diri Jamie saat pementasan itu sangat menakjubkan, dan aku menganggap hal itu menandakan perubahan dalam dirinya. Aku tidak tahu mengapa aku berpikiran seperti itu, namun itulah yang terjadi. Aku jadi tercengang ketika ia muncul pada pagi pertama itu dengan penampilannya yang lama: sweter cokelat, rambut disanggul ke atas, rok kotak-kotak, dan seterusnya.
Hanya dengan sekali lihat, mau tidak mau aku merasa kasihan padanya. Ia baru saja dianggap normal—bahkan istimewa—selama akhir pekan, atau setidaknya memberi kesan semacam itu, tapi entah mengapa Jamie membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Oh, orang-orang memang jadi lebih ramah padanya, dan mereka yang selama ini tidak pernah berbicara padanya juga ikut memuji penampilannya. Namun aku bisa langsung melihat bahwa semua ini tidak akan berlangsung selamanya. Sikap yang sudah terbentuk sejak masa kanak-kanak memang sulit diubah, dan sebagian dari diriku bertanya-tanya apakah situasinya bisa lebih buruk lagi bagi Jamie setelah ini. Kini setelah semua orang tahu bahwa ia dapat tampil normal, mereka mungkin akan bersikap lebih kejam lagi.
Ingin rasanya aku menyatakan pendapatku padanya, sungguh, namun aku berencana untuk melakukannya setelah minggu itu berakhir. Tidak hanya karena banyak yang masih harus kukerjakan, tapi aku juga ingin punya sedikit waktu untuk memikirkan cara terbaik untuk mengatakannya pada Jamie. Sejujurnya, aku masih agak merasa bersalah atas segala yang pernah kukatakan padanya sewaktu mengantarnya pulang terakhir kali, dan itu bukan hanya karena pementasan berlangsung sukse. Rasa bersalah ini muncul lebih dikarenakan oleh kenyataan bahwa selama kami saling mengenal, Jamie selalu bersikap baik, dan aku tahu bahwa akulah yang bersalah.
Sejujurnya, kupikir ia tidak ingin berbicara denganku. Aku tahu Jamie bisa melihatku berkumpul bersama teman-temanku saat istirahat makan siang sementara ia duduk sendirian, membaca Alkitab, namun tidak pernah sekali pun ia menghampiri kami. Tetapi saat aku akan meninggalkan sekolah pada hari itu, aku mendengar suaranya di belakangku, menanyakan apakah aku tidak keberatan menemaninya pulang. Meskipun aku merasa belum siap untuk menyatakan pendapatku padanya, aku bersedia menemaninya. Demi masa lalu, kupikir.
Beberapa saat kemudian Jamie langsung menuju pokok pembicaraannya.
“Kau ingat apa yang kaukatakan sewaktu terakhir kalikau mengantarku pulang?” tanyanya.
Aku mengangguk, sambil berharap ia tidak mengungkit-ungkit itu lagi.
“Kau berjanji untuk menebusnya,” ujar Jamie.
Untuk sesaat aku bingung. Aku merasa sudah menebus kesalahanku dengan penampilanku dalam pementasan itu. Jamie melanjutkan.
“Aku sudah memikirkan apa yang bisa kaulakukan,” lanjutnya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk memotong, “dan inilah yang terlintas dalam benakku.”
Ia bertanya apakah aku keberatan membantunya mengumpulkan botol-botol acar dan kaleng kopi yang sudah ia sebar di berbagai tempat usaha di seluruh pelosok kota sejak awal tahun. Ia meletakkannya di atas gerai penjualan, biasanya dekat kasir, supaya orang-orang dapat memasukkan uang receh ke dalamnya. Uangnya nanti disumbangkan untuk panti asuhan. Jamie tidak pernah mau meminta uang secara langsung untuk beramal, ia ingin mereka memberikannya secara sukarela. Menurut pendapatnya, itu adalah hal yang harus dilakukan oleh umat Kristen.
Seingatku aku pernah melihat berbagai wadah itu di tempat-tempat seperti Cecil’s Diner dan Crown Theater. Aku dan teman-temanku biasa memasukkan penjepit kertas dan logam-logam kecil ke dalam wadah-wadah itu di saat si kasir tidak melihat, mengingat suaranya mirip seperti koin yang dijatuhkan ke dalamnya. Sesudah itu kami akan cekikikan sendiri membayangkan reaksi Jamie. Kami sering membuat lelucon tentang bagaimana ia akan membuka salah satu kalengnya, dengan harapan akan menemukan jumlah yang membesarkan hati karena beratnya kaleng itu. Tapi saat mengeluarkan isi kalengnya ia tidak akan menemukan apa-apa selain logam dan penjepit kertas. Kadang-kadang, saat kau teringat berbagai hal yang pernah kaulakukan, hatimu akan menciut, dan itulah persisnya yang terjadi padaku di saat itu. Jamie melihat ekspresi di wajahku.
“Kau tidak perlu melakukannya,” ujarnya, jelas-jelas tampak kecewa. “Aku cuma berpikir, karena Natal sudah dekat dan aku tidak punya mobil, aku tidak akan sempat mengumpulkan semua…”
“Tidak,” ujarku, memotong pembicaraannya. “Aku akan melakukannya. Lagi pula aku tidak begitu sibuk.”
Jadi itulah yang kulakukan mulai hari Rabu itu, meskipun aku masih harus belajar untuk menghadapi ujian dan menyelesaikan formulir pendaftaranku. Jamie telah memberikan padaku daftar tempat ia meletakkan wadah-wadahnya, dan dengan meminjam mobil ibuku, aku memulai dari pelosok kota yang paling jauh pada keesokan harinya. Ia telah menyebar sekitar enam puluh wadah, dan aku memperhitungkan bahwa aku hanya akan membutuhkan satu hari untuk mengumpulkan semua wadah itu. Dibandingkan dengan menyebarkannya, mengumpulkannya kembali akan menjadi pekerjaan mudah. Jamie sudah menghabiskan hampir enam minggu untuk itu karena pertama-tama ia harus mencari enam puluh botol dan kaleng, dan kemudian ia hanya dapat menempatkan dua atau tiga buah sehari mengingat bahwa ia tidak memiliki mobil dan hanya dapat membawa sebanyak itu dalam sekali jalan. Ketika aku memulai, aku merasa agak lucu karena harus mengumpulkan wadah-wadah itu, mengingat itu adalah proyek Jamie. Namun aku terus mengingatkan diriku bahwa Jamie-lah yang telah meminta tolong padaku.
Aku mampir dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk mengumpulkan wadah-wadah itu, dan menjelang akhir hari yang pertama aku menyadari bahwa aku akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari yang aku perkirakan. Aku baru berhasil mengumpulkan sekitar dua puluh wadah atau lebih, karena aku telah melupakan satu fakta yang sederhana dari kehidupan di Beaufort. Di kota kecil seperti ini, sulit rasanya untuk hanya sekadar masuk sebentar dan mengambil sebuah wadah tanpa berbincang-bincang dulu dengan pemilik tempat atau menyapa seseorang yang mungkin kaukenal. Memang tidak ada pilihan lain. Karena itulah aku terpaksa duduk di suatu tempat sementara seseorang akan mengajak bicara tentang ikan marlin yang berhasil ditangkapnya pada musim gugur lalu, atau mereka akan menanyakan padaku mengenai sekolahku dan menyinggung bahwa mereka membutuhkan seseorang untuk memindahkan beberapa dus di belakang, atau mungkin mereka menginginkan pendapatku apakah sebaiknya mereka menggeser rak majalan ke sisi lain di toko mereka. Jamie, setahuku, sangat hebat menghadapi hal semacam ini, dan aku mencoba untuk berlaku seperti yang kupikir akan dilakukan Jamie. Bagaimanapun ini adalah proyeknya.
Untuk mempersingkat waktu, aku tidak berhenti untuk memeriksa hasil yang aku peroleh selama berada dalam perjalanan. Aku cuma menaruh botol demi botol atau kaleng itu dalam suatu tumpukan. Menjelang akhir hari pertama semua uang receh itu terkumpul dalam dua buah botol besar, yang aku bawa naik ke kamarku. Aku melihat beberapa lembaran uang kertas melalui kacanya—tidak terlalu banyak—namun aku tidak merasa terlalu berkecil hati sampai aku menuang isinya ke atas lantai dan melihat bahwa uang receh itu hanya terdiri dari pecahan satu sen. Meskipun jumlah logam dan penjepit kertasnya tidak sebanyak yang tadinya kuperkirakan, aku tetap saja kecewa setelah menghitung jumlah uang itu. Jumlahnya $20,32. Bahkan di tahun 1958 itu tidak banyak, terutama kalau harus dibagi di antara tiga puluh anak.
Namun aku belum merasa putus asa. Menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan, aku berangkat lagi pada hari berikutnya, mengangkut sekitar beberapa puluh dus karton, dan mengobrol dengan sekitar dua puluh pengusaha lainnya sambil mengumpulkan wadah-wadah yang ada. Hasilnya: $23,89.
Hari ketiga ternyata lebih menyedihkan lagi. Setelah menghitung uangnya, bahkan aku tidak dapat mempercayainya. Ternyata hanya $11,52. Asalnya dari tempat-tempat di sekitar tepi pantai, tempat para turis dan remaja sering berkumpul. Kami memang benar-benar luar biasa, pikirku dalam hati.
Melihat betapa sedikitnya yang terkumpul secara keseluruhan—$55,73—aku merasa tidak enak, terutama karena wadah-wadah itu sudah ada di sana selama hampir sepanjang tahun dan aku sendiri sudah melihatnya. Malam itu seharusnya aku menelepon Jamie untuk memberitahunya jumlah uang yang berhasil kukumpulkan, namun aku merasa tidak dapat melakukannya. Ia sudah mengatakan padaku betapa inginnya ia berbuat sesuatu yang istimewa tahun ini, dan ini tidak akan terwujud—bahkan aku mengetahui itu. Oleh karena itu aku berbohong padanya dengan mengatakan ahwa aku tidak akan menghitung jumlah uang yang terkumpul sampai kami berdua dapat melakukannya bersama, karena ini adalah proyeknya, bukan proyekku. Rasanya begitu mengecilkan hati. Aku berjanji untuk mengantarkan uang itu pada sore berikutnya, setelah pulang sekolah. Besok tanggal 21 Desember, hari yang terpendek dalam tahun itu. Hari Natal tinggal empat hari lagi.
“Landon,” kata Jamie setelah menghitung jumlahnya, “ini benar-benar mukjizat!”
“Berapa jumlahnya?” tanyaku. Aku tahu persis berapa jumlahnya.
“Hampir dua ratus lima puluh tujuh dolar!” Nadanya begitu antusias saat menengadahkan wajahnya ke arahku. Karena Hegbert ada di rumah, aku diperbolehkan berada di ruang tamu, dan di sanalah Jamie menghitung uangnya. Semuanya tersusun dalam tumpukan-tumpukan kecil yang rapi di seluruh permukaan lantai, hampir seluruhnya terdiri atas kepingan dua puluh lima sen dan sepuluh sen. Hegbert sedang duduk di meja dapur, menyusun khotbahnya, dan bahkan Hegbert ikut menoleh ketika mendengar suara Jamie.
“Menurutmu itu cukup?” tanyaku polos.
Air matanya berlinang di pipinya saat ia melayangkan pandangannya ke seputar ruangan itu, seakan masih belum mempercayai apa yang ia lihat di hadapannya. Bahkan setelah pementasan itu, Jamie belum pernah tampak sebahagia ini. Ia menatap aku lekat-lekat.
“Ini… benar-benar luar biasa,” ujarnya, sambil tersenyum. Nadanya lebih emosional daripada biasanya. “Tahun lalu, aku cuma berhasil mengumpulkan tujuh puluh dolar.”
“Aku senang hasil tahun ini lebih baik,” ujarku dengan tenggorokan yang tercekat. “Kalau kau tidak menyebar wadah-wadahmu lebih awal tahun ini, kau mungkin tidak akan mendapatkan sebanyak itu.”
Aku tahu bahwa ucapanku tidak benar, namun aku tidak peduli. Untuk sekali ini, aku melakukan sesuatu yang benar.
Aku tidak membantu Jamie memilihkan mainan-mainan itu—kurasa ia lebih tahu apa yang diinginkan oleh anak-anak itu—namun ia tetap memintaku ikut bersamanya ke panti asuhan itu pada Malam Natal agar aku juga bisa ada di sana sewaktu anak-anak itu membuka hadiah-hadiah mereka. “Ayolah, Landon,” bujuknya ketika itu, dan melihat Jamie begitu antusias, aku merasa tidak tega untuk mengecewakannya.
Tiga hari kemudian, saat ayah dan ibuku sedang menghadiri pesta di rumah wali kota, aku mengenakan jas bercorak houndstooth dan dasiku yang terbaik lalu berjalan menuju mobil ibuku dengan mengepit hadiah untuk Jamie. Aku telah menghabiskan sisa uangku untuk membelikannya sweter yang bagus, karena hanya itulah yang terpikir olehku. Jamie memang bukan tipe yang mudah untuk dibelikan sesuatu.
Aku seharusnya berada di panti asuhan itu pada pukul 19.00, namun jematan di dekat dermaga Morehead City sedang diangkat, dan aku harus menunggu sampai kapal pengangkut barang perlahan-lahan lewat di bawahnya. Akibatnya, aku tiba terlambat beberapa menit. Pintu depannya sudah dikunci saat itu, dan aku terpaksa menggedornya sampai Mr. Jenkins akhirnya mendengar gedoranku. Ia mencari-cari kunci yang tepat di antara rencengannya, dan tak lama setelah itu membuka pintunya. Aku masuk sambil menepuk-nepuk lenganku untuk mengusir dingin.
“Ah… kau sudah datang,” tegurnya senang. “Kami sedang menantimu. Ayo, mari kita ke tempat mereka berkumpul.”
Ia mengajakku melewati lorong menuju ruang rekreasi, ke tempat yang sama yang pernah kumasuki sebelumnya. Aku berhenti sebentar untuk menarik napasku dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk.
Suasananya ternyata lebih baik daripada yang tadinya kubayangkan.
Di tengah-tengah ruangan itu aku melihat sebuah pohon yang besar, didekorasi dengan kertas mengilap dan lampu-lampu berwarna serta ratusan ornamen buatan tangan. Di bawah pohon, tersebar ke seluruh penjuru, tampak hadiah-hadiah yang dibungkus dalam berbagai ukuran dan bentuk. Tumpukannya tinggi, dan anak-anak itu sedang duduk di lantai, berdekatan membentuk setengah lingkaran yang besar. Mereka mengenakan pakaian terbaik mereka—yang laki-laki memakai celana panjang biru laut dan kemeja putih berkerah, sementara yang perempuan memakai rok biru laut dan blus putih berlengan panjang. Mereka semua tampak seperti habis didandani untuk menyambut peristiwa besar ini, dan hampir semua anak laki-laki rambutnya baru dicukur.
Di atas meja di dekat pintu, terdapat sebuah wadah berisi minuman dan piring-piring dengan kue yang dibentuk seperti pohon Natal dan dihiasi dengan gula berwarna hijau. Aku bisa melihat beberapa orang dewasa yang duduk di antara anak-anak; beberapa anak yang lebih kecil duduk di atas pangkuan anak-anak yang lebih dewasa, wajah-wajah mereka penuh dengan antisipasi sementara mereka mendengar lagu Twas the Night Before Christmas.
Namun aku tidak melihat Jamie, setidaknya aku tidak langsung melihatnya. Aku mendengar suaranya lebih dulu. Ia sedang membacakan sebuah cerita, dan akhirnya aku melihatnya. Ia sedang duduk di lantai di depan pohon Natal dengan kaki terlipat.
Di luar dugaanku, aku melihat rambutnya dibiarkan tergerai, persis seperti malam pementasan itu. Dan ia tidak mengenakan sweter cokelat tuanya, melainkan sweter merah berleher V yang entah bagaimana memberi aksen pada warna matanya yang biru muda. Bahkan tanpa glitter di rambutnya atau gaunnya yang putih panjang menjuntai, ia tampak memesona.
Tanpa sadar aku menahan napas, dan dari sudut mataku aku bisa melihat Mr. Jenkins tersenyum ke arahku. Aku mengembuskan napas dan tersenyum, sambil berusaha memulihkan kendali diriku.
Jamie hanya berhenti sebentar untuk mengangkat wajahnya. Ia melihatku berdiri di ambang pintu, kemudian kembali membaca untuk anak-anak itu. Cerita yang dibacakannya baru selesai beberapa menit kemudian, setelah itu ia berdiri dan merapikan roknya lalu berjalan mengitari anak-anak itu untuk menghampiriku. Aku tetap berdiri di tempatku karena tidak tahu harus melangkah ke mana.
Sementara itu diam-diam Mr. Jenkins menyelinap pergi.
“Maaf, kami mulai tanpa menunggumu,” ujar Jamie ketika ia akhirnya tiba di dekatku, “tapi anak-anak itu sudah tidak sabar lagi.”
“Tak apa-apa,” sahutku, sambil tersenyum, mengagumi penampilannya.
“Aku senang sekali kau bisa datang.”
“Aku juga.”
Jamie tersenyum dan meraih tanganku untuk membimbingku. “Ayo, ikut,” ajaknya. “Bantu aku
membagikan hadiah-hadiah ini.”
Kami melewatkan satu jam berikutnya dengan membagikan hadiah-hadiah, dan kami mengawasi sementara anak-anak itu membuka hadiah mereka satu per satu. Jamie telah menjelajahi seluruh penjuru kota untuk berbelanja, memilih beberapa hadiah untuk setiap anak, hadiah-hadiah pribadi yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Namun hadiah-hadiah yang dibeli Jamie bukan satu-satunya yang diterima anak-anak itu—pihak panti asuhan maupun mereka yang bekerja di sana juga membelikan sesuatu untuk mereka. Kertas-kertas kado dilemparkan ke sana kemari dalam suasana yang semakin riang, pekikan-pekikan kegembiraan terdengar di mana-mana. Bagiku, paling tidak, anak-anak itu telah menerima sesuatu yang jauh melebihi yang mereka harapkan, dan mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Jamie.
Pada saat suasana gempita itu akhirnya mereda dan hadiah untuk semua anak sudah dibuka, suasananya mulai menjadi lebih tenang. Ruangan itu dirapikan oleh Mr. Jenkins dan seorang wanita yang belum pernah kulihat, dan beberapa anak yang lebih kecil mulai tertidur di bawah pohon. Beberapa anak yang lebih besar sudah kembali ke kamar tanpa lupa membawa hadiah mereka, dan mereka telah meredupkan penerangan saat berjalan ke luar. Lampu-lampu pohon Natal tampak bersinar indah sementara lagu Silent Night melantun pelan dari sebuah gramofon. Aku masih duduk di lantai dekat Jamie, yang sedang memangku seorang gadis kecil yang tertidur. Karena suasana yang riuh tadi, kami belum sempat mengobrol, bukan berarti kami mempermasalahkan keriuhan itu. Kami berdua memandangi lampu-lampu pohon Natal, dan aku bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran Jamie. Sejujurnya, aku tidak tahu, namun tatapannya terkesan begitu lembut. Kurasa—tidak, aku yakin—Jamie merasa senang melihat hasil malam ini, dan jauh di lubuk hatiku aku juga merasa senang. Sampai sekarang itu merupakan Malam Natal terbaik yang pernah kualami.
Aku melirik ke arahnya. Dengan cahaya lampu yang menyinari wajahnya, ia tampak sama cantiknya dengan setiap orang yang pernah kulihat.
“Aku membelikan sesuatu untukmu,” kataku akhirnya. “Membelikan hadiah, maksudku.” Aku berbicara pelan agar tidak membangunkan gadis kecil yang tidur di pangkuannya, dan kuharap itu bisa menyembunyikan kecemasan dalam suaraku.
Ia mengalihkan pandangannya dari pohon itu ke wajahku, sambil tersenyum lembut. “Kau tidak perlu membelikanku sesuatu.” Ia juga merendahkan suaranya, dan suaranya terdengar seperti musik di telingaku.
“Aku tahu,” sahutku, “tapi aku mau.” Aku telah menyisihkan hadiah itu di satu sisi, dan menyerahkan bingkisan yang sudah dibungkus kertas kado itu padanya.
“Bisakah kau membukanya untukku? Tanganku sedang sedikitpenuh saat ini.” Ia menatap si gadis kecil, kemudian menatap kembali ke arahku.
“Kau tidak perlu membukanya sekarang, kalau kau sedang tidak bisa,” ujarku, sambil mengangkat bahu, “sebetulnya isinya tidak seberapa.”
“Jangan begitu,” ujarnya. “Aku hanya ingin membukanya di hadapanmu.”
Untuk menjernihkan pikiranku, aku menatap hadiah itu, dan mulai membukanya, dengan menarik selotipnya sedemikian rupa agar tidak menimbulkan banyak suara, kemudian melepaskan kertas kadonya dan sampai pada dusnya. Setelah menyisihkan kertas pembungkusnya, aku mengangkat tutup dus itu dan mengeluarkan sweternya, yang aku angkat untuk diperlihatkan kepadanya. Warnanya cokelat, seperti yang biasa dipakainya. Namun kupikir Jamie membutuhkan sweter baru.
Dibandingkan dengan kegembiraan yang baru kusaksikan sebelumnya, aku tidak mengharapkan reaksi berlebihan.
“Lihat, cuma ini. Aku sudah bilang tadi isinya tidak seberapa,” ujarku. Aku berharap ia tidak kecewa menerimanya.
“Bagus sekali, Landon,” ujarnya tulus. “Aku akan memakainya saat bertemu denganmu lagi. Terima kasih.”
Kami duduk diam selama beberapa saat, dan aku kembali memandangi lampu-lampu di pohon Natal.
“Aku juga membawa sesuatu untukmu,” bisik Jamie akhirnya. Ia melayangkan pandangan ke arah pohon, dan aku mengikuti pandangannya. Hadiahnya masih tergeletak di bawah pohon, agak tersembunyi di balik batang pohon itu, dan aku meraihnya. Bentuknya persegi, lentur, dan agak berat. Aku meletakkannya di atas pangkuanku dan membiarkannya di sana tanpa berusaha untuk membukanya.
“Bukalah,” ujarnya, sambil menatapku.
“Kau tidak bisa memberikan ini kepadaku,” ujarku dengan napas terkecat. Aku sudah tahu apa isinya, dan aku tidak mempercayai apa yang telah dilakukan Jamie. Tanganku mulai bergetar.
“Please,” ujarnya padaku dalam suara yang teramat lembut, “bukalah. Aku ingin kau memilikinya.”
Dengan ragu aku membuka bungkusnya perlahan-lahan. Ketika kertas kadonya akhirnya lepas, aku memegang hadiah itu dengan hati-hati, takut merusaknya. Aku menatapnya, dengan penuh emosi, dan perlahan-lahan tanganku mengusap bagian atasnya, menelusuri sampul kulitnya yang sudah mulai usang sementara air mataku mulai mengambang. Jamie mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas tanganku. Rasanya hangat dan lembut.
Aku melirik ke arahnya, tak tahu harus berkata apa.
Jamie telah memberikan Alkitab-nya kepadaku.
“Terima kasih atas apa yang telah kaulakukan,” bisiknya padaku. “Ini merupakan Natal terbaik yang pernah kualami.”
Aku berpaling tanpa menjawab dan mengulurkan tanganku ke arah aku meletakkan gelasku sebelumnya. Lagu Silent Night masih terdengar, musiknya memenuhi seluruh ruangan. Aku meneguk minumanku, sambil mencoba meredakan rasa kering yang tiba-tiba terasa di tenggorokanku. Ketika aku minum, saat-saat yang kuhabiskan bersama Jamie kembali melintas dalam benakku. Aku teringat pesta dansa homecoming itu dan apa yang telah ia lakukan untukku
pada malam itu. Aku teringat pertunjukan itu dan betapa cantik penampilannya ketika itu. Aku teringat saat-saat aku mengantarnya pulang dan bagaimana aku membantunya mengumpulkan botol dan kaleng-kaleng yang diisi kepingan uang receh untuk panti asuhan itu.
Saat semua bayangan ini melintas dalam benakku, aku tiba-tiba terenyak. Aku menatap Jamie, kemudian ke arah langit-langit dan seisi ruangan itu, sambil mencoba menguasai emosiku sebaik mungkin, dan setelah itu aku kembali menatap Jamie. Ia sedang tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya. Pada saat itu aku cuma bisa bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku bisa sampai jatuh cinta pada seorang gadis seperti Jamie Sullivan.


BAB 10

AKU mengantar Jamie pulang dari panti asuhan malam itu. Mulanya aku tidak yakin apakah aku akan melakukan kebiasaan lama dengan pura-pura menguap dan meletakkan tanganku di pundaknya, tapi sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana perasaan Jamie terhadapku. Memang, ia telah memberikan hadiah paling istimewa yang pernah kuterima. Meskipun aku mungkin tidak pernah akan membukanya dan membacanya seperti yang dilakukan Jamie, aku tahu pemberian Alkitab itu baginya sama seperti memberikan sebagian dari dirinya sendiri. Namun Jamie memang termasuk orang yang akan mendonorkan sebuah ginjalnya pada orang asing yang ditemuinya di jalanan, kalau orang itu memang betul-betul membutuhkannya. Jadi aku tidak yakin akan arti hadiah yang diberikannya ini.
Jamie pernah mengatakan padaku bahwa ia bukanlah orang tolol, dan kurasa akhirnya aku mengakui bahwa Jamie memang tidak tolol. Ia mungkin saja… ehm, berbeda… tapi rupanya ia tahu apa yang telah kulakukan untuk anak-anak panti asuhan itu, dan kalau direnungkan kembali, kurasa ia sudah mengetahuinya bahkan di saat kami sedang duduk di lantai ruang tamunya. Ketika ia menyebutnya sebagai mukjizat, kurasa yang dimakusd Jamie adalah aku.
Seingatku, Hegbert masuk ke dalam ruangan saat Jamie dan aku sedang membicarakannya, naun ia tidak banyak bicara ketika itu. Hegbert tua memang tidak seperti biasanya belakangan ini, setidaknya sepanjang pengetahuanku. Oh, khotbah-khotbahnya masih tetap tentang uang, dan ia masih menyinggung tentang para pezina, tapi akhir-akhir ini khotbahnya lebih pendek daripada biasanya, dan kadang-kadang ia akan berhenti di tengah khotbahnya dan akan memandang dengan tatapan aneh, seakan tiba-tiba teringat pada sesuatu, sesuatu yang menyedihkan.
Aku tidak tahu apa artinya, karena aku tidak mengenalnya dengan cukup baik. Saat Jamie membicarakan ayahnya, sepertinya ia sedang mendeskripsikan seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Aku tidak bisa membayangkan Hegbert yang memiliki rasa humor sebagaimana aku tidak bisa membayangkan ada dua buah bulan di langit.
Bagaimanapun, ia memasuki ruangan sementara kami sedang menghitung uang, dan Jamie berdiri dengan air mata tergenang. Hegbert bahkan seakan tidak menyadari kehadiranku di sana. Ia mengatakan pada putrinya bahwa ia bangga padanya dan menyayanginya, tapi kemudian ia kembali ke dapur untuk menyelesaikan khotbahnya. Ia bahkan tidak menyapaku sama sekali. Oke, aku tahu bahwa aku bukan anak muda yang paling religius dalam jemaatnya, namun aku tetap menganggap sikapnya agak aneh.
Saat sedang memikirkan Hegbert, aku melirik ke arah Jamie yang sedang duduk di sebelahku. Ia sedang menatap ke luar jendela dengan wajah damai, tersenyum simpul, tapi pada saat yang sama tatapannya seakan menerawang. Aku tersenyum. Mungkin ia sedang memikirkan diriku. Tanganku mulai terulur ke arah tempat duduknya, namun sebelum aku berhasil meraih tangannya, Jamie memecah keheningan di antara kami.
“Landon,” katanya sambil berpaling ke arahku, “apakah kau pernah memikirkan Tuhan?”
Aku menarik tanganku.
Saat aku sedang memikirkan Tuhan, aku biasanya membayangkan-Nya seperti dalam lukisan-lukisan tua yang biasa aku lihat di gereja-gereja—sosok yang tinggi besar menjulang di atas suatu pemandangan alam, dalam jubah putih dan rambut panjang tergerai, jarinya menunjuk atau semacam itu—namun aku tahu bahwa bukan itu yang dimaksud Jamie. Ia sedang berbicara tentang rencana Tuhan. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk menjawab.
“Tentu,” sahutku. “Kadang-kadang, kurasa.”
“Apakah kau pernah mempertanyakan mengapa ada beberapa hal harus terjadi sebagaimana adanya?”
Aku mengangguk, meskipun tidak begitu yakin.
“Aku sering memikirkan hal itu belakangan ini.”
Lebih sering daripada biasanya? Aku ingin bertanya, namun aku tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu masih banyak yang ingin disampaikan Jamie, karena itu aku tetap diam.
“Aku tahu Tuhan memiliki rencana untuk kita semua, tapi kadang-kadang aku tidak mengerti apa
pesan di balik itu. Apakah kau pernah mengalaminya?”
Ia mengatakannya seakan hal itu selalu kupikirkan sepanjang waktu.
“Well,” ujarku, sambil berusaha untuk mengarang menjawab, “kurasa kita memang tidak harus mengerti sepanjang waktu. Kurasa kadang-kadang kita hanya perlu percaya saja pada-Nya.”
Kuakui itu jawaban yang lumayan bagus. Kurasa perasaanku terhadap Jamie membuat otakku bisa bekerja lebih cepat daripada biasanya. Aku bisa melihat bahwa ia sedang memikirkan jawabanku.
“Ya,” kata Jamie akhirnya, “kau benar.”
Aku tersenyum dalam hati dan mengubah topik pembicaraan, karena berbicara tentang Tuhan bukanlah jenis percakapan yang dapat membangkitkan suasana romantis.
“Kau tahu,” ujarku ringan, “rasanya menyenangkan tadi ketika kita duduk di bawah pohon.”
“Ya, memang,” ujarnya. Pikiran Jamie masih berada entah di mana.
“Dan kau juga kelihatan cantik.”
“Terima kasih.”
Ini tidak selancar yang kuharapkan.
“Boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku akhirnya, dengan harapan perhatiannya akan teralih padaku kembali.
“Tentu,” sahutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Setelah pulang gereja besok, dan, ehm… setelah kau menghabiskan waktu bersama ayahmu… maksudku…” Aku terdiam sejenak dan menoleh ke arahnya. “Maukah kau datang ke rumahku untuk makan malam Natal?”
Meskipun wajahnya masih mengarah ke jendela, aku bisa melihat samar-samar bayangan sebuah senyum.
“Ya, Landon, dengan senang hati.”
Aku menarik napas lega, sementara aku masih belum dapat mempercayai bahwa aku telah sungguh-sungguh mengajaknya. Aku bertanya-tanya bagaimana semua ini sampai bisa terjadi. Aku melewati jalan yang jendela-jendelanya tampak dihiasi lampu-lampu Natal, lalu melintasi Beaufort City Square. Beberapa menit kemudian, ketika aku mengulurkan tanganku ke arah kursinya, aku akhirnya berhasil menggenggam tangannya, dan Jamie tidak menarik tangannya menjauh. Itulah akhir malam yang sempurna.
Ketika kami tiba di depan rumahnya, lampu-lampu di ruang tamunya masih menyala dan aku bisa melihat Hegbert di balik gorden. Kurasa Hegbert sengaja menunggu karena ia ingin mendengar cerita tentang acara di panti asuhan itu. Entah itu, atau ia ingin memastikan bahwa aku tidak mencium putrinya di jalan masuk rumahnya. Aku tahu Hegbert akan mengangkat alisnya jika aku melakukan hal-hal semacam itu.
Aku sedang memikirkan—mengenai apa yang akan kulakukan di saat kami akhirnya harus berpisah, maksudku—saat kami keluar dari mobil dan mulai melangkah ke arah pintu. Jamie tampak senang dan puas pada waktu yang bersamaan, dan kurasa ia gembira aku mengundangnya untuk datang ke rumahku besok. Karena Jamie cukup cerdas untuk menarik kesimpulan mengenai apa yang telah kulakukan untuk anak-anak panti asuhan itu, kurasa ia juga cukup peka untuk memahami situasi ini. Kurasa ia bahkan menyadari bahwa baru pertama kali inilah aku mengajaknya menghabiskan waktu bersamaku atas kemauanku sendiri.
Saat kami menapakkan kaki di undakan depan rumahnya, aku melihat Hegbert mengintip ke luar dari balik gorden kemudian menarik dirinya kembali. Sebagian orangtua, seperti orangtua Angela misalnya, itu berarti bahwa mereka tahu kau sudah sampai di rumah dan kau masih memiliki beberapa menit lagi sebelum mereka membukakan pintu. Biasanya itu memberi waktu untuk bertatapan sambil mengumpulkan keberanian untuk berciuman. Biasanya waktu yang dibutuhkan memang selama itu.
Sejauh ini aku tidak tahu apakah Jamie mau menciumku, sesungguhnya aku tidak yakin ia mau. Tapi dengan penampilannya yang begitu cantik, dengan rambut tergerai dan semua yang terjadi malam itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan peluang itu kalau memang ada. Aku dapat merasakan ketegangan di dalam perutku saat Hegbert membuka pintu.
“Aku mendengar suara kalian,” ujarnya perlahan. Kulitnya tampak pucat seperti biasanya, dan ia kelihatan lelah.
“Halo, Pendeta Sullivan,” sapaku dalam nada kecewa.
“Hai, Daddy,” sapa Jamie dengan riang beberapa saat kemudian. “Seandainya Daddy ikut tadi.
Suasanya betul-betul luar biasa.”
“Aku ikut gembira.” Hegbert seakan mengumpulkan keberanian kemudian berdeham. “Aku akan beri kalian kesempatan untuk saling mengucapkan selamat malam. Aku akan membiarkan pintunya terbuka.”
Hegbert memutar tubuhnya dan kembali masuk ke ruang duduk. Dari tempatnya duduk, aku tahu bahwa ia masih dapat mengawasi kami. Ia berpura-pura membaca, meskipun aku tidak bisa melihat
apa yang ada di tangannya.
“Aku senang sekali malam ini, Landon,” ujar Jamie.
“Aku juga,” sahutku, sementara merasakan tatapan Hegbert yang ditujukan ke arahku. Aku bertanya-tanya apakah Hegbert tahu bahwa aku telah menggenggam tangan putrinya dalam perjalanan pulang.
“Pukul berapa sebaiknya aku datang besok?” tanya Jamie.
Alis Hegbert tampak terangkat sedikit.
“Aku akan menjemputmu. Bagaimana kalau pukul lima?”
Ia menoleh ke belakang. “Daddy, apakah aku boleh mengunjungi rumah orangtua Landon besok?”
Hegbert mengangkat tangannya lalu menggosok matanya. Ia mendesah.
“Kalau itu kauanggap penting, boleh saja,” sahutnya.
Bukan jawaban yang terlalu meyakinkan, tapi cukup baik bagiku.
“Apa yang harus kubawa?” tanyanya. Sudah merupakan tradisi di daerah Setalan untuk menanyakan pertanyaan itu.
“Kau tidak usah bawa apa-apa,” sahutku. “Aku akan menjemputmu pukul lima kurang seperempat.”
Kami masih berdiri di sana selama beberpaa saat tanpa mengatakan apa-apa, dan aku bisa melihat Hegbert mulai agak kehilangan kesabarannya. Ia belum membalik selembar pun halaman bukunya sejak kami berdiri di sana.
“Sampai ketemu besok,” ujar Jamie akhirnya.
“Oke,” sahutku.
Ia menundukkan kepalanya untuk sesaat, kemudian menatapku lagi. “Terima kasih telah mengantarku pulang,” katanya.
Setelah itu, ia berbalik dan melangkah masuk. Sekilas aku melihat seulas senyum membayang lembut di bibirnya saat ia mengintip dari balik pintu, persis sebelum ia menutupnya.
Keesokan harinya aku menjemput Jamie tepat pada waktunya dan senang melihat rambutnya kembali tergerai. Ia mengenakan sweter yang kuberikan padanya, tepat sesuai janjinya.
Ibu maupun ayahku agak tercengang ketika aku menanyakan pada mereka apakah mereka tidak keberatan kalau aku mengundang Jamie untuk makan malam. Sebetulnya itu bukan masalah—setiap kali ayahku pulang, ibuku akan menyuruh Helen, koki kami, memasak cukup banyak untuk sebuah pasukan kecil.
Kuraa aku belum menyebutkannya sebelum ini, mengenai si koki, maksudku. Rumah kami memiliki seorang pelayan dan seorang koki, bukan hanya karena keluargaku mampu, tapi juga karena ibuku bukan ibu rumah tangga paling hebat di muka bumi ini. Ia memang bisa membuat sandwich sekali-kali untuk makan siangku. Tapi ada saat-saat ketika mustard bisa menodai kuku-kukunya, dan untuk melupakannya ia akan membutuhkan sedikitnya tiga sampai empat hari. Tanpa Helen, aku mungkin dibesarkan hanya dengan memakan kentang lembut hangus dan steik garing. Untungnya, ayahku sudah menyadari itu begitu mereka menikah, sehingga si koki maupun pelayan kami sudah bekerja di tempat kami sejak sebelum aku lahir.
Meskipun rumah kami lebih besar daripada rumah kebanyakan orang, itu bukan istana atau semacamnya, dan koki maupun pelayan kami tidak tinggal bersama kami karena kami tidak memiliki fasilitas tinggal yang terpisah atau semacam itu. Ayahku telah membeli rumah itu karena historisnya. Meskipun rumah kami bukan yang pernah ditinggali Blackbeard, yang tentunya akan menjadikannya lebih menarik lagi bagi orang seperti aku. Pemilik sebelumnya adalah Richard Dobbs Spaight, yang pernah ikut menandatangani Konstitusi. Spaight juga pernah memiliki rumah pertanian di daerah pinggiran New Bern, yang terletak sekitar empat puluh mil dari jalan besar, dan di sanalah ia dimakamkan. Rumah kami memang tidak setenar rumah tempat Dobbs Spaight dimakamkan, meskipun masih memberikan hak pada ayahku untuk membual di sepanjang lorong gedung Kongres. Setiap kali ayahku mengitari kebun, aku bisa melihatnya berangan-angan mengenai warisan yang ingin ditinggalkannya. Entah mengapa itu membuatku sedih, karena apa pun yang akan ia lakukan, ia takkan pernah bisa mengungguli Richard Dobbs Spaight. Suatu peristiwa bersejarah seperti menandatangani Konstitusi hanya akan terjadi sekali selama beberapa ratus tahun, dan entah apa pun yang kaulakukan, seperti memperjuangkan subsidi para petani tembakau atau menyatakan pendapatmu mengenai “pengaruh Merah” tidak akan bisa menandinginya. Bahkan orang seperti aku tahu mengenai hal itu.
Rumah kami pernah tercatat dalam National Historic Register—dan kurasa masih sampai sekarang. Meskipun Jamie sudah pernah ke rumahku sebelumnya, ia tetap masih terkesan saat melangkah masuk ke rumahku. Ibu dan ayahku mengenakan pakaian yang bagus, begitu juga aku, dan ibuku mencium pipi Jamie untuk menyambutnya. Saat ibuku menciumnya, aku tidak dapat menahan diri untuk tidak berpikir bahwa ibuku lebih berhasil daripada aku.
Kami menikmati makan malam yang menyenangkan, cukup resmi dengan empat menu utama meskipun tidak terlalu mengenyangkan. Orangtuaku dan Jamie mengobrol dengan akrab—meskipun aku mencoba nimbrung dengan lelucon-leluconku, sasarannya terasa kurang mengena, setidaknya orangtuaku tidak mengerti. Tetapi, Jamie tertawa, dan akui menganggapnya sebagai pertanda baik.
Setelah makan malam aku mengajak Jamie berjalan-jalan di kebun, meskipun saat itu musim dingin dan bunga-bunga tidak ada yang mekar. Setelah mengenakan jaket, kami melangkah ke luar menembus udara dingin. Aku bisa melihat asap yang keluar mengiringi embusan napas kami.
“Orangtuamu benar-benar pasangan yang luar biasa,” katanya kepadaku. Kurasa selama ini ia tidak memasukkan khotbah-khotbah Hegbert di dalam hatinya.
“Mereka memang baik,” sahutku, “dengan cara mereka masing-masing. Ibuku sangat manis.” Aku mengatakan ini bukan hanya karena kenyataannya memang begitu, tapi juga karena hal yang sama biasanya diucapkan anak-anak tentang Jamie. Aku berharap Jamie menangkap maksudku.
Ia berhenti melangkah untuk memperhatikan semak-semak tanaman mawar. Bunga-bunga itu tampak gersang, dan aku tidak mengerti apa yang membuatnya merasa tertarik.
“Apakah benar yang mereka katakan tentang kakekmu?” tanya Jamie. “Apa yang diceritakan orang-orang tentang dirinya?”
Rupanya ia tidak menangkap isyaratku saat itu.
“Ya,” sahutku, sambil mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa kecewaku.
“Itu menyedihkan,” ujarnya dalam nada ringan. “Makna hidup ini kan lebih daripada sekadar uang.”
“Aku tahu.”
Ia menatapku. “Sungguh?”
Aku tidak membalas tatapannya saat menyahut. Jangan tanyakan padaku mengapa.
“Aku tahu apa yang dilakukan oleh kakekku itu salah.”
“Tapi kau berniat untuk mengembalikannya, bukan?”
“Sejujurnya, aku belum pernah sungguh-sungguh memikirkan soal itu.”
“Tapi apakah kau akan melakukannya?”
Aku tidak langsung menjawab, dan Jamie mengalihkan perhatiannya dariku. Ia mulai memandangi tanaman mawar dengan tangkai-tangkainya yang gersang lagi, tiba-tiba aku sadar bahwa ia ingin aku mengatakan ya. Itu merupakan sesuatu yang akan ia lakukan tanpa berpikir dua kali.
“Kenapa kau selalu melakukan itu?” celetukku sebelum sempat menahan diri. Aku merasa darahku naik ke pipiku. “Membuatku merasa bersalah, maksudku. Kan bukan aku yang melakukannya. Kebetulan saja aku lahir di dalam keluarga ini.”
Jamie mengulurkan tangannya untuk menyentuh setangkai mawar. “Tapi itu bukan berarti kau tidak dapat memperbaikinya,” ujarnya dengan lembut, “saat kau mendapatkan kesempatan untuk itu.”
Aku memahami benar maksud Jamie, dan jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu bahwa ia benar. Namun keputusan itu, kalaupun harus diambil, masih jauh sekali. Menurut pendapatku, masih banyak hal penting lain yang harus kuselesaikan. Aku mengubah topik percakapan kami ke sesuatu yang terasa lebih mudah bagiku.
“Apakah ayahmu menyukaiku?” tanyaku. Aku ingin tahu apakah Hegbert akan mengizinkanku menemui Jamie lagi.
Jamie membutuhkan beberapa waktu sebelum menjawab.
“Ayahku,” ujarnya pelan, “mengkhawatirkanku.”
“Bukankah semua orangtua begitu?” tanyaku.
Ia menundukkan kepalanya, kemudian melihat ke arah lain sebelum menatapku kembali.
“Kurasa ayahku berbeda dengan orangtua lain. Tapi ia menyukaimu, dan ia tahu aku senang bertemu denganmu. Karena itulah ia mengizinkanku datang ke rumahmu untuk makan malam ini.”
“Aku senang ia mengizinkanmu,” ujarku tulus.
“Aku juga.”
Kami bertatapan di bawah penerangan cahaya bulan, dan aku hampir saja menciumnya di situ, namun ia keburu menoleh dan mengatakan sesuatu yang sempat membuatku bingung.
“Ayahku juga mengkhawatirkanmu, Landon.”
Caranya mengatakan itu—lembut dan sedih pada waktu yang bersamaan—membuatku tahu bahwa alasannya bukan hanya sekadar karena ia menganggap diriku kurang bertanggung jawab, atau karena aku sering bersembunyi di balik pohon dan mengejeknya, atau bahkan karena aku merupakan bagian dari keluarga Carter.
“Kenapa?” tanyaku.
“Untuk alasan yang sama seperti aku mengkhawatirkanmu,” sahutnya. Ia tidak menguraikan lebih lanjut, dan aku tahu saat itu bahwa ia menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan kepadaku, sesuatu yang juga membuatnya sedih. Namun baru kemudian aku tahu rahasianya itu.
Jatuh cinta pada gadis seperti Jamie Sullivan jelas merupakan hal paling aneh yang pernah kualami. Bukan hanya ia gadis yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelum tahun ini—meksipun kami dibesarkan bersama—tapi ada sesuatu yang berbeda di dalam seluruh caraku merasakan sesuatu untuknya. Sama sekali berbeda dengan perasaanku terhadap Angela, yang langsung kucium saat kami hanya berduaan. Aku belum pernah mencium Jamie. Aku bahkan belum pernah memeluknya atau mengajaknya ke Cecil’s Diner atau bahkan mengajaknya nonton film. Aku belum melakukan sesuatu yang biasanya kulakukan dengan cewek-cewek lain, namun demikian aku telah jatuh cinta padanya.
Masalahnya adalah, aku masih belum tahu bagaimana perasaannya terhadapku.
Oh ya, tanda-tandanya memang ada, yang sebetulnya sama sekali tidak luput dari perhatianku. Alkitab itu, tentu saja, yang tampak jelas, tapi selain itu aku ingat caranya menatapku saat menutup pintu rumahnya di Malam Natal. Ia juga telah membiarkanku menggenggam tangannya dalam perjalanan pulang dari panti asuhan. Menurutku jelas ada sesuatu—hanya aku masih belum yakin bagaimana cara mengambil langkah selanjutnya.
Ketika aku akhirnya mengantar Jamie pulang setelah acara makan malam Natal itu, aku menanyakan padanya apakah aku boleh datang ke rumahnya kapan-kapan, dan ia mengatakan itu akan menyenangkan. Begitulah persisnya yang ia katakan—“Itu akan menyenangkan”. Aku tidak memedulikan sikap kurang antusiasnya—Jamie memang memiliki kecenderungan untuk berbicara seperti orang dewasa, dan kupikir karena itulah ia dapat bergaul dengan mereka yang lebih tua dengan begitu akrab.
Hari berikutnya aku berjalan ke rumahnya, dan hal pertama yang kuperhatikan adalah mobil Hegbert sedang tidak ada di jalan masuk. Ketika ia membuka pintu, aku cukup tahu diri untuk tidak menanyakan kepadanya apakah aku boleh masuk.
“Halo, Landon,” sapanya seperti biasa, seakan ia terkejut melihatku. Rambutnya kembali tergerai, dan aku menganggapnya sebagai pertanda baik.
“Hai, Jamie,” ujarku ringan.
Ia menunjuk ke arah kursi-kursi di depannya. “Ayahku tidak di rumah, tapi kita bisa duduk-duduk di teras kalau kau mau…”
Jangan tanyakan padaku bagaiman kejadiannya, karena aku juga masih belum dapat menjelaskannya. Sesaat aku berdiri di sana di hadapannya, bersiap-siap untuk berjan ke teras, namun ternyata aku tidak melakukannya. Bukannya melangkah ke arah kursi-kursi yang ditunjuknya, aku malah melangkah mendekati Jamie dan meraih tangannya. Aku menggenggam tangannya dan menatap matanya lekat-lekat, sambil bergerak semakin dekat. Ia tidak melangkah mundur, namun matanya melebar sedikit, dan untuk sekejap aku sempat mengira bahwa aku telah melakukan kesalahan dan nyaris tidak meneruskannya. Aku berhenti sebentar dan tersenyum, sambil memiringkan kepalaku, dan hal berikut yang kulihat adalah Jamie memejamkan matanya dan juga sedang memiringkan kepalanya. Wajah kami semakin berdekatan. Kejadiannya tidak sepelan itu, dan yang jelas tidak seperti ciuman yang kaulihat di dalam film-film zaman sekarang. Namun dalam caranya sendiri, ciuman kami amat istimewa. Satu hal yang terlintas dalam benakku saat bibir kami bertemu adalah aku yakin kenangan itu akan abadi selamanya.



BAB 11

“KAULAH cowok pertama yang pernah kucium,” kata Jamie kepadaku.
Saat itu beberapa hari sebelum tahun baru, aku dan Jamie sedang berdiri di Dermaga Iron Steamer, Pantai Pine Knoll. Untuk sampai di sana, kami harus menyeberangi jembatan yang membentang melintasi Terusan Antarpantai dan melewati jalan kecil di pulau itu. Sekarang tempat itu menjadi hunian tepi laut yang paling mahal di seluruh negeri, tapi di masa itu yang ada di sana hanyalah gundukan-gundukan pasir yang berlatar Hutan Maritim Nasional.
“Sudah kusangka begitu,” sahutku.
“Kenapa?” tanyanya polos. “Apakah aku berbuat salah?” Kelihatannya ia tidak akan terlalu tersinggung kalau aku mengiyakannya, namun kenyataannya tidak begitu.
“Kau pandai berciuman,” kataku sambil meremas tangannya.
Ia mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah laut, matanya mulai memandang ke kejauhan lagi. Pandangannya sering menerawang belakangan ini. Aku membiarkannya selama beberapa saat sampai keheningan itu mulai terasa agak mencekam.
“Kau tidak apa-apa kan, Jamie?” tanyaku akhirnya.
Bukannya menjawab, ia malah mengalihkan pembicaraan.
“Apakah kau pernah jatuh cinta sebelumnya?” tanyanya kepadaku.
Aku menyisir rambutku dengan tangan kemudian menatapnya. “Maksudmu sebelum ini?”
Aku mengatakannya mengikuti cara yang digunakan oleh James Dean, seperti yang diajarkan Eric kepadaku kalau sampai ada seorang gadis mengajukan pertanyaan itu. Eric memang licik dalam menghadapi perempuan.
“Aku serius, Landon,” kata Jamie, sambil melirik ke arahku.
Kurasa Jamie juga pernah melihat film-film seperti itu. Aku kemudian menyadari bahwa bersama Jamie aku selalu merasa terombang-ambing. Aku tidak begitu yakin apakah aku menyukai bagian itu dari hubungan kami, meskipun sejujurnya, hal itu membuatku selalu waspada. Aku masih merasa rikuh menanggapi pertanyaannya.
“Sebetulnya pernah,” sahutku akhirnya.
Matanya masih tertuju ke arah laut. Aku merasa ia mengira yang kumaksud adalah Angela, tapi setelah aku sempat merenungkannya kembali, aku menyadari bahwa apa yang kurasakan pada Angela benar-benar berbeda dengan yang kurasakan padanya saat itu.
“Dari mana kau tahu apa yang kaurasakan adalah cinta?” tanyanya padaku.
Aku mengawasi angin menerpa rambutnya dengan lembut, dan aku tahu bukan saatnya lagi bagiku untuk berpura-pura menjadi orang lain.
“Oke,” sahutku serius, “kau tahu itu adalah cinta ketika yang kauinginkan hanyalah melewatkan waktumu bersama orang itu, dan entah bagaimana caranya kau tahu bahwa orang itu juga merasakan hal yang sama.”
Jamie tampak memikirkan jawabanku sebelum tersenyum samar.
“Oh, begitu,” ujarnya pelan. Aku menunggu Jamie menambahkan sesuatu, namun ia tidak melakukannya, dan tiba-tiba aku mulai menyadari suatu kenyataan lain.
Jamie memang tidak punya banyak pengalaman dengan cowok, tapi terus terang, ia sedang mempermainkanku seperti sebuah harpa. Selama dua hari berikutnya, ia menyanggul rambutnya ke atas lagi.
Pada Malam Tahun Baru aku mengajak Jamie makan malam di luar. Baru pertama kali inilah ia sungguh-sungguh pergi berkencan, dan kami pergi ke restoran kecil di tepi pantai di Morehead City, sebuah restoran bernama Flauvin’s. Flauvin’s adalah restoran yang mejanya dilapisi taplak, berpenerangan lilin, dan lima macam perangkat sendok garpu dari perak untuk setiap orang. Para pelayannya mengenakan pakaian berwarna hitam dan putih, mirip butler, dan kau bisa menyaksikan sinar bulan memantul di atas air yang bergerak perlahan jika kau menatap ke luar melalui jendela-jendela besar yang menutupi dinding.
Di sana juga ada pemain piano dan penyanyi, meskipun tidak setiap malam atau bahkan setiap akhir minggu, tapi mereka ada pada hari-hari libur di saat mereka memperhitungkan bahwa tempat akan penuh.
Aku harus memesan tempat lebih dulu, dan mereka mengatakan tempat sudah penuh ketika pertama kali aku menelepon. Setelah itu aku meminta ibuku menghubungi mereka, dan setelah itu kau tentu tahu apa yang terjadi. Kurasa pemilik restoran membutuhkan sesuatu dari ayahku atau semacamnya, atau mungkin ia cuma tidak ingin membuatnya marah, mengingat kakekku masih hidup saat itu.
Sebetulnya ide untuk mengajak Jamie pergi ke suatu tempat yang istimewa datangnya dari ibuku. Beberapa hari sebelumnya, di salah satu hari Jamie menyanggul rambutnya ke atas, aku menceritakan kepada ibuku apa yang telah terjadi selama itu.
“Aku terus memikirkan Jamie, Mom,” kataku. “Maksudku, aku tahu ia menyukaiku, tapi aku tidak tahu apakah ia juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan.”
“Apakah Jamie begitu berarti bagimu?” tanyanya.
“Ya,” sahutku pelan.
“Oke, apa yang telah kauupayakan sejauh ini?”
“Apa maksud Mom?”
Ibuku tersenyum. “Maksudku adalah, gadis-gadis muda termasuk Jamie senang dibuat merasa istimewa.”
Aku mempertimbangkan ucapan ibuku selama beberapa saat, agak bingung. Bukankah itu yang
sudah kulakukan selama ini?
“Aku sudah pergi ke rumahnya setiap hari,” ujarku.
Ibuku meletakkan tangannya di atas lututku. Meskipun ia bukan ibu rumah tangga yang paling hebat dan kadang-kadang memojokkanku, seperti yang sudah pernah kuungkapkan sebelumnya, ia tetap seorang ibu yang manis.
“Pergi ke rumahnya memang hal yang baik untuk dilakukan, tapi bukan yang paling romantis. Kau seharusnya melakukan sesuatu yang benar-benar mengungkapkan bagaimana perasaanmu terhadapnya.”
Ibuku mengusulkan kepadaku untuk membelikannya parfum. Meskipun aku tahu Jamie mungkin akan senang menerimanya, aku tetap merasa hadiah semacam itu kurang tepat. Salah satu alasannya adalah, Hegbert tidak mengizinkannya memakai makeup—kecuali saat ia tampil dalam pementasan drama Natal itu—aku yakin Jamie juga tidak boleh memakai parfum. Aku memberitahu ibuku, dan pada saat itulah ia mengusulkan padaku untuk mengajaknya pergi makan malam di luar.
“Aku tidak punya uang lagi,” kataku padanya dengan sedih. Meskipun keluargaku termasuk berada dan selalu memberikan uang saku padaku, mereka tidak pernah memberikan uang lebih kalau aku kehabisan uang. “Untuk membangun rasa tanggung jawab,” jelas ayahku dulu.
“Mana uangmu yang kausimpan di bank?”
Aku menghela napas, dan ibuku duduk diam sementara aku menjelaskan padanya apa yang telah kulakukan. Setelah aku selesai menjelaskan, suatu kesan puas yang mendalam membayang di wajahnya, seakan ia tahu bahwa akhirnya aku telah dewasa.
“Biar aku yang memikirkan soal itu,” ujarnya pelan. “Kau cukup mencari tahu apakah ia mau diajak pergi dan apakah Pendeta Sullivan mengizinkannya. Kalau memang bisa, kita akan menemukan cara untuk mewujudkannya. Aku berjanji.”
Pada hari berikutnya aku pergi ke gereja. Aku tahu Hegbert akan berada di dalam ruang kerjanya. Aku belum menanyakannya kepada Jamie karena aku membayangkan ia tetap akan membutuhkan izin dari ayahnya. Entah mengapa aku merasa bahwa akulah yang seharusnya meminta izin itu. Kurasa itu ada hubungannya dengan fakta bahwa Hegbert masih belum dapat menerimaku dengan tangan terbuka saat aku berkunjung. Setiap kali ia melihatku melangkah di jalan masuk rumahnya—seperti Jamie, ia juga memiliki indra keenam soal itu—ia akan mengintip ke luar melalui gorden, kemudian cepat-cepat menarik dirinya untuk bersembunyi di balik gorden, seakan aku tidak sempat melihatnya. Setiap kali aku mengetuk pintu, Hegbert membutuhkan waktu yang lama untuk membukakan pintu untukku, seakan ia harus berjalan dari dapur. Ia akan menatapku selama beberapa waktu, kemudian menarik napas dalam-dalam dan menggeleng sebelum akhirnya mengucapkan salam kepadaku.
Pintu ruang kerjanya dalam keadaan terbuka sedikit, dan aku melihatnya duduk di belakang mejanya, kacamatanya bertengger di atas hidungnya. Ia sedang memeriksa beberapa berkas—kelihatannya berhubungan dengan keuangan—dan aku menarik kesimpulan bahwa ia sedang membuat anggaran gereja untuk tahun berikutnya. Bahkan seorang pendeta pun punya sejumlah rekening yang harus dibayar.
Aku mengetuk pintu, dan ia mengangkat wajahnya dengan sigap, seakan mengharapkan kehadiran salah seorang anggota jemaat yang lain, kemudian ia mengangkat alisnya begitu melihat akulah yang datang.
“Halo, Pendeta Sullivan,” tegurku dengan sopan. “Apakah Anda punya waktu?”
Penampilan Hegbert bahkan lebih lelah daripada biasanya, dan aku menyimpulkan bahwa ia sedang kurang sehat.
“Halo, Landon,” ujarnya dalam nada waswas.
Omong-omong, aku telah mengenakan pakaian yang layak untuk kesempatan itu, lengkap dengan jas dan dasi. “Bolehkah aku masuk?”
Ia mengangguk pelan, dan aku memasuki ruang kerjanya. Ia mempersilakanku duduk di kursi di depan mejanya.
“Ada yang bisa kubantu?” tanyanya.
Aku berusaha untuk duduk dengan nyaman di kursi itu. “Begini, Sir, aku ingin meminta sesuatu pada Anda.”
Ia menatapku, mengamati wajahku sebelum akhirnya berkata, “Apakah ada hubungannya dengan Jamie?” tanyanya.
Aku menarik napasku dalam-dalam.
“Betul, Sir. Aku ingin tahu apakah Anda keberatan jika aku mengajaknya pergi makan malam di luar pada Malam Tahun Baru.”
Ia menghela napasnya. “Hanya itu?’ tanyanya.
“Ya, Sir,” sahutku. “Aku akan mengantarnya pulang pada pukul berapa pun Anda menginginkannya.”
Ia melepaskan kacamatanya dan mengelapnya dengan saputangan sebelum memakainya kembali. Aku bisa melihat bahwa ia menggunakan kesempatan itu untuk memikirkan jawabannya.
“Apakah orangtuamu akan ikut dengan kalian?” tanyanya.
“Tidak, Sir.”
“Kalau begitu kurasa itu tidak mungkin. Tapi terima kasih karena meminta izinku terlebih dulu.” Ia mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkasnya, menyatakan dengan jelas bahwa sudah waktunya bagiku untuk pergi. Aku berdiri dari kursiku dan mulai melangkah menuju pintu. Saat aku akan keluar, aku menoleh sekali lagi ke arahnya.
“Pendeta Sullivan?”
Ia mengangkat wajahnya, seakan heran aku masih ada di sana.
“Aku minta maaf atas semua yang pernah kulakukan ketika aku masih lebih muda, dan aku menyesal tidak selalu memperlakukan Jamie sebagaimana seharusnya ia diperlakukan. Tapi mulai sekarang, semua itu akan berubah. Aku berjanji pada Anda.”
Tatapannya tampak seakan menembus diriku. Rupanya itu belum cukup.
“Aku mencintainya,” ujarku akhirnya, dan setelah aku mengatakannya, perhatian Hegbert terfokus pada diriku lagi.
“Aku tahu,” sahutnya sedih, “tapi aku tidak ingin melihatnya terluka.” Meskipun cuma membayangkannya, sepertinya aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku tidak akan menyakitinya,” kataku.
Ia mengalihkan pandangannya dan melihat ke luar melalui jendela, mengawasi matahari musim dingin yang mencoba menembus gumpalan awan. Hari itu cuaca mendung, dingin, dan menggigit.
“Pastikan ia sudah sampai di rumah pada pukul sepuluh,” kata Hegbert akhirnya, seakan ia tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang salah.
Aku tersenyum dan ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, meskipun aku tidak melakukannya. Aku tahu ia ingin segera ditinggal sendirian. Ketika aku menoleh sebentar ke belakang dalam perjalananku keluar dari pintu, aku bingung saat melihat Hegbert membekap wajahnya dengan dua tangan.
Aku mengajak Jamie satu jam setelah itu. Hal pertama yang dikatakannya adalah ia merasa tidak bisa pergi, tapi aku mengungkapkan padanya bahwa aku sudah berbicara dengan ayahnya. Ia tampak tercengang, dan aku merasa hal itu mempengaruhi pandangannya terhadap diriku selanjutnya. Namun aku tidak menceritakan padanya bahwa Hegbert tampak nyaris menangis saat aku berjalan ke luar ruangan. Selain tidak mengerti, aku juga tidak ingin Jamie khawatir.
Namun malam itu, setelah berbicara dengan ibuku lagi, ia memberikan penjelasan yang terus terang bagiku cukup masuk akal. Rupanya Hegbert menyadari bahwa putrinya mulai tumbuh dewasa dan perlahan-lahan ia harus melepaskannya padaku. Setidaknya, aku berharap itulah yang terjadi.
Aku menjemput Jamie tepat sesuai jadwal. Meskipun aku tidak memintanya untuk membiarkan rambutnya tergerai, ia tetap melakukannya untukku. Kami melaju melintasi jembatan menuju restoran di tepi pantai itu tanpa berbicara. Saat kami tiba di tempat penerimaan tamu, pemilik restoran itu sendiri yang muncul dan mengantar kami ke meja. Ternyata kami mendapat salah satu meja terbaik.
Keadaannya sudah ramai pada saat kami tiba, dan di sekeliling kami tampak orang-orang sedang menikmati santapan. Orang-orang berpakaian modis pada Malam Tahun Baru ini, dan kami satu-satunya pasangan remaja di situ. Namun kurasa penampilan kami tidak terlalu mencolok.
Jamie tidak pernah ke Flauvin’s sebelumnya, tapi ia hanya membutuhkan beberapa waktu untuk menyesuaikan diri. Ia kelihatan antusias, dan aku langsung tahu bahwa ibuku telah memberikan usul yang bagus.
“Benar-benar luar biasa,” ujarnya padaku. “Terima kasih telah mengajakku.”
“Sama-sama,” sahutku tulus.
“Apakah kau sudah pernah kemari sebelumnya?”
“Beberapa kali. Ibu dan ayahku kadang-kadang kemari saat ayahku pulang dari Washington.”
Ia menatap ke luar jendela dan memandang kapal yang sedang melewati restoran itu, lampu-lampunya terang-benderang. Untuk sesaat ia tampak takjub. “Indah sekali di sini,” ujarnya.
“Sama seperti dirimu,” sahutku.
Wajah Jamie merona. “Kau bercanda.”
“Aku serius,” sahutku pelan. “Sungguh.”
Kami berpegangan tangan sambil menunggu hidangan disajikan. Jamie dan aku mengobrol tentang beberapa hal yang terjadi selama beberapa bulan terakhir itu. Ia tertawa ketika kami membicarakan pesta dansa homecoming, dan akhirnya aku mengakui alasanku mengajaknya waktu itu. Ternyata Jamie tidak marah—ia hanya tertawa ringan menanggapinya—dan tanpa perlu kuberitahu kurasa Jamie sudah mengetahui alasanku mengajaknya.
“Apakah kau akan mengajakku lagi lain kali?” goda Jamie.
“Pasti.”
Hidangan makan malam itu betul-betul lezat—kami sama-sama memesan ikan bass dan salad, dan setelah si pelayan akhirnya mengangkat piring-piring kami, terdengar suara musik. Kami masih punya waktu satu jam sebelum aku harus mengantar Jamie pulang, dan aku mengulurkan tanganku ke arahnya.
Tadinya kami merupakan satu-satunya pasangan di lantai dansa itu, semua mata mengawasi saat kami berdansa di tempat itu. Kurasa mereka semua tahu bagaimana perasaan kami satu sama lain, dan itu mengingatkan mereka pada masa muda mereka sendiri. Aku bisa melihat mereka tersenyum penuh arti melihat kami. Cahayanya redup, dan si penyanyi mulai melantunkan melodi yang lembut, aku memeluk Jamie dengan mata terpejam, sambil bertanya dalam hati apakah pernah ada sesuatu dalam hidupku yang sesempurna ini.
Aku sedang jatuh cinta, dan perasaan itu bahkan lebih indah daripada yang pernah kubayangkan sebelumnya.
Setelah Tahun Baru kami melewatkan satu setengah minggu berikutnya bersama-sama, melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh pasangan-pasangan muda ketika itu, meskipun kadang-kadang Jamie tampak lelah dan gelisah. Kami menghabiskan waktu di tepi Sungai Neuse, melempar batu-batu ke air, mengawasi riak-riaknya sementara kami mengobrol, atau kami pergi ke pantai dekat Fort Macon. Mesipun saat itu musim dingin, warna laut bernuansa metalik, itu tetap menjadi kegiatan yang kami nikmati. Setelah sekitar satu jam biasanya Jamie akan memintaku mengantarnya pulang, dan kami akan berpegangan tangan di dalam mobil. Kadang-kadang, sepertinya Jamie nyaris tertidur sebelum kami sampai di rumah, sementara di lain waktu ia akan terus mengoceh sepanjang perjalanan sampai aku nyaris tidak mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Tentu saja, menghabiskan waktu bersama Jamie juga berarti melakukan hal-hal yang ia sukai. Meskipun aku tidak mau mengikuti kelas pendalaman Alkitab—aku tidak ingin tampak tolol di hadapannya—kami tetap masih mengunjungi panti asuhan itu dua kali lagi. Setiap kali kami ke sana, aku jadi semakin betah. Tapi kami terpaksa pulang lebih awal suatu hari, karena Jamie agak demam. Bahkan bagi mataku yang kurang terlatih jelas terlihat mukanya memerah.
Kami juga berciuman lagi, meskipun tidak setiap kali kami berduaan. Aku bahkan tidak berniat untuk berbuat lebih jauh dari itu. Aku menganggap itu tidak ada perlunya. Ada sesuatu yang menyenangkan saat aku menciumnya, sesuatu yang lembut dan terasa benar, dan itu sudah cukup untukku. Semakin sering aku melakukannya, semakin aku menyadari bahwa Jamie telah salah dimengerti hampir seluruh hidupnya, tidak hanya olehku, tapi oleh semua orang.
Jamie bukan hanya sekadar putri seorang pendeta, orang yang sering membaca Alkitab, dan berusaha sebisanya untuk menolong yang lain. Jamie ternyata juga seorang gadis berusia tujuh bleas tahun dan memiliki berbagai harapan serta keraguan yang sama seperti diriku. Setidaknya, itulah asumsiku, sampai pada akhirnya ia bercerita padaku.
Aku tidak akan pernah melupakan hari itu karena Jamie begitu pendiam, dan aku merasakan perasaan aneh sepanjang hari bahwa ada sesuatu yang penting yang mengganggu pikirannya.
Aku sedang mengantarnya pulang dari Cecil’s Diner pada hari Sabtu sebelum sekolah dimulai lagi. Hari itu angin menderu keras dan terasa menggigit, yang berasal dari timur laut dan sudah berlangsung sejak pagi sebelumnya. Kami harus berjalan berdekatan agar tubuh kami tetap hangat. Jamie merangkul lenganku, dan kami berjalan perlahan, bahkan lebih pelan daripada biasanya. Aku bisa melihat Jamie sedang merasa tidak terlalu sehat lagi. Tadinya ia tidak begitu ingin pergi bersamaku mengingat cuacanya, tapi aku tetap memintanya ikut karena teman-temanku. Aku menganggap sudah waktunya teman-temanku akhirnya tahu mengenai hubungan kami. Masalahnya ternyata, seperti sudah ditakdirkan, tak seorang pun sedang berada di Cecil’s Diner pada saat itu. Sebagaimana kebanyakan komunitas daerah pesisir, keadaan di tepi pantai akan sepi selama musim dingin.
Jamie tidak banyak bicara saat kami berjalan, dan aku tahu bahwa ia sedang mencari cara untuk mengatakan sesuatu kepadaku. Aku sama sekali tidak menyangka ia akan membuka percakapannya seperti itu.
“Orang-orang menganggapku aneh, kan?” tanya Jamie akhirnya, memecahkan keheningan.
“Siapa maksudmu?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya.
“Orang-orang di sekolah.”
“Tidak, mereka tidak menganggapmu begitu,” ujarku, berbohong.
Aku mencium pipinya sambil merapatkan lengannya ke tubuhku. Ia mengernyitkan wajahnya, dan aku merasa telah menyakitinya, entah bagaimana caranya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Aku baik-baik saja,” sahutnya, sambil memulihkan kendali dirinya dan tidak mengalihkan percakapan. “Tapi, maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Apa pun,” sahutku.
“Maukah kau berjanji padaku untuk selalu mengatakan yang sebenarnya mulai sekarang? Maksudku, selalu berkata jujur?”
“Tentu saja,” sahutku.
Ia menghentikan langkahku secara tiba-tiba dan menatap mataku lekat-lekat. “Apakah kau sedang berbohong padaku sekarang?”
“Tidak,” sahutku membela diri, sambil mempertanyakan ke mana arah pembicaraan kami. “Aku berjanji, mulai sekarang aku akan selalu mengatakan yang sebenarnya padamu.”
Entah mengapa, saat aku mengatakan itu, aku tahu bahwa aku akan menyesalinya kelak.
Kami mulai melangkah lagi. Saat kami menyusuri jalan, aku melihat sekilas ke tangannya yang melingkar di lenganku, dan aku melihat sebuah memar yang cukup besar persis di bawah jari manisnya. Aku tidak tahu apa penyebabnya, karena memar itu tidak ada di sana kemarin. Untuk sesaat aku mengira bahwa itu mungkin terjadi gara-gara aku, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku bahkan tidak menyentuhnya di sana.
“Orang-orang menganggapku aneh, kan?” tanyanya lagi.
Napasku keluar membentuk uap asap kecil-kecil.
“Ya,” sahutku akhirnya. Sakit rasanya hatiku mengatakan itu.
“Kenapa?” Ekspresinya nyaris kelihatan sedih.
Aku memikirkan jawabanku. “Mereka punya alasan sendiri-sendiri,” jawabku samar, sambil berusaha mengendalikan diriku.
“Tapi kenapa, persisnya? Apa karena ayahku? Atau apakah karena aku berusaha bersikap baik?”
Aku tidak ingin terlibat dalam hal ini.
“Kurasa begitu,” hanya itu yang dapat aku katakan. Aku merasa tidak enak. Jamie sepertinya kecewa, dan kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan.
“Apakah kau juga menganggapku aneh?” tanyanya kepadaku.
Caranya menanyakan membuat hatiku lebih sakit daripada yang kubayangkan sebelumnya. Kami hampir sampai di rumahnya sebelum aku menghentikan langkahnya dan memeluknya erat-erat. Aku menciumnya, dan ketika kami saling menarik diri, ia menundukkan kepalanya.
Aku meletakkan jariku di bawah dagunya, mendongakkan kepalanya, dan membuatnya menatapku kembali. “Kau pribadi yang istimewa, Jamie. Kau cantik, kau baik, kau lembut… kaulah segalanya yang aku inginkan. Kalau orang-orang itu tidak menyukaimu, atau menganggap dirimu aneh, itu masalah mereka sendiri.”
Dalam cahaya remang-remang di suatu hari di musim dingin, aku bisa melihat bibir bawahnya mulai bergetar. Aku juga merasakan hal yang sama, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa jantungku berdebar cepat sekali. Aku menatap matanya lekat-lekat, tersenyum padanya dengan segenap perasaanku. Aku tahu bahwa aku tidak bisa memendam kata-kata itu lebih lama lagi.
“Aku mencintaimu, Jamie,” ujarku padanya. “Kaulah hal terbaik yang pernah terjadi pada diriku.”
Baru pertama kali itulah aku mengucapkan kata-kata itu kepada seseorang selain kepada salah seorang anggota keluargaku yang terdekat. Saat aku membayangkan mengatakan kalimat itu kepada seseorang, entah mengapa aku mengira itu sulit, tapi nyatanya tidak. Aku belum pernah merasa seyakin itu.
Tapi setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Jamie menundukkan kepalanya dan mulai menangis, sambil menyandarkan dirinya pada tubuhku. Aku memeluknya, bertanya-tanya apa yang salah. Tubuhnya kurus, dan untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku dapat melingkarkan seluruh lenganku saat merangkulnya. Berat badannya turun, bahkan dalam satu setengah minggu terakhir ini, dan aku kemudian teringat bahwa Jamie hampir tidak pernah menyentuh makanannya. Ia masih menangis di dadaku selama beberapa saat. Aku tidak tahu harus berpikir apa lagi, atau apakah Jamie juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Namun, aku sama sekali tidak menyesali kata-kataku. Kenyataan selalu jadi kenyataan, dan aku baru saja berjanji bahwa aku tidak akan pernah berbohong lagi padanya.
“Kumohon jangan katakan itu,” ujarnya padaku. “Kumohon…”
“Tapi itu betul,” ujarku, mengira bahwa ia tidak mempercayai ucapanku.
Ia mulai menangis lebih keras lagi. “Maafkan aku,” bisiknya padaku di antara isakannya. “Aku menyesal sekali…”
Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.
“Kenapa kau menyesal?” tanyaku, tiba-tiba aku merasa harus tahu apa sebetulnya yang sedang mengganggu pikirannya. “Apakah karena teman-temanku dan apa yang akan mereka katakan? Aku tidak peduli lagi—sungguh.” Aku berusaha menemukan alasan, dalam keadaan bingung dan, ya—takut.
Jamie masih membutuhkan beberapa waktu untuk meredakan tangisnya, dan akhirnya ia mengangkat wajahnya ke arahku. Ia menciumku dengan lembut, nyaris seperti napas orang yang melewatimu di jalanan, kemudian jarinya mengusap pipiku.
“Kau tidak mungkin bisa jatuh cinta padaku, Landon,” ujarnya dengan mata merah dan sembap. “Kita masih bisa berteman, kita masih bisa saling bertemu… tapi kau tidak bisa mencintaiku.”
“Kenapa tidak?” kata Jamie perlahan, “aku amat sakit, Landon.”
Konsep itu betul-betul asing sekali bagiku, sehingga aku tidak dapat memahami apa yang sedang dikatakannya padaku.
“Lalu kenapa? Paling-paling kau hanya butuh beberapa hari…”
Senyum sedih membayang di wajahnya, dan saat itulah aku tahu apa sebetulnya yang ingin disampaikannya padaku. Matanya terus menatapku saat ia akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat jiwaku beku.“Aku sedang sekarat, Landon.”


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates