Teologi Khawarij
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak
awal mula telah muncul berbagai pertentangan di kalangan aliran Muslimin.
Pertentangan yang terjadi diantaranya adalah menyangkut tentang aqidah atau
keyakinan, politik, bahkan masalah-masalah yang bersifat fiqih. Namun, dari sekian
banyaknya pertentangan yang terjadi tidak sampai menyentuh apa yang disebut al-dharurah
fi al-din (kemestian dalam agama). Semua aliran Muslimin tidak berbeda
pendapat bahwa Allah adalah Satu, Esa, Berdiri sendiri dan tempat bergantung.[1]
Umumnya terdapat banyak faktor
yang menyebabkan perpecahan di kalangan aliran Muslim sesudah masa Nabi, diantaranya
adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah Fanatisme
kearaban ( al- ‘ashabiyyah al-‘arabiyyah ).[2]
Selain itu juga terdapat faktor lain berupa pertentangan pada masa
kekhalifahan, hal yang lebih menonjol adalah pertentangan setelah Nabi Muhammad
SAW wafat. Dengan
adanya kekosongan kepemimpinan inilah yang bahkan
membuat banyak perpecahan dan munculnya
banyak aliran. Salah satu aliran yang ada adalah Khawarij.
B.
Rumusan Masalah
Al
khawarij merupakan salah satu aliran dalam ilmu kalam, dimana mereka keluar dari pasuakan Ali. Dengan begitu golongan pertama yang muncul di kalangan
Islam adalah Syiah dan Khawarij.[3]
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimana sejarah awal lahirnya aliran khawarij ?
b. Apakah sub ( sekte ) aliran-aliran kawarij ?
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Awal Lahirnya Aliran Khawarij
Keberadaan
aliran khawarij di latar belakangi dengan kejadian peninggalan kelompok atau pemisahakan diri pengikut-penggikut
Ali bin Abi Tholib. Hal ini dikarenakan tidak setuju dengan sikap Ali ibnu
Tholib dalam menerima abritase sebagai cara untuk menyelesaikan pertentangan
tentang khalifah dengan Muawiyah Ibnu Sofyan.[4]
Nama
khawarij, karena mereka keluar dari barisan Ali, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa pemberian nama itu didasarkan atas surat An Nisa’ ayat 100 yang di
dalamnya disebutkan “Keluarlah dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya”.[5]
Dari surat ini, dapat kita ketahui bahwa aliran khawarij adalah aliran yang
rela meninggalkan rumah dan kampung halamannya dan memilih untuk mengabdikan
dirinya kepada Allah dan RasulNya.
Sejarah
lahirnya aliran khawarij berawal setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.
Kematian Ustman bin Affan menjadi tanda tanya besar dalam benak setiap orang,
tidak terkecuali bagi Muawiyah yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan
khalifah Ustman bin Affan. Setelah kekhalifahan Ustman selanjutnya digantikan
oleh Ali bin Abi Thalib. Selama pemerintahannya, ia membuat berbagai kebijakan.
Ketika menduduki jabatan khalifah Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh
Ustman. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali system
distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar.[6]
Tidak
lama setelah itu, pemberontakan pun mulai terjadi, yakni yang dilakukan oleh
Thalhah, Zubair, dan
Aisyah. Hal ini dikarenakan
Ali tidak mau mencari tahu siapa pembunuh Ustman sebenarnya dan menghukum para
pembunuh Ustman atas wafatnya Ustman secara zalim. Bahkan atas sikap Ali ini,
mereka pun beranggapan bahwa Ali juga terlibat
pada pembunuhan ini. Ali sebenarnya tidak ingin jika terjadi perang. Ia pun
berusaha untuk menyelesaikan perkara ini dengan damai, namun keinginan tersebut
ditolak. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dihindarkan. Terjadilah perang ynag
dahsyat yang dikenal dengan “perang Jamal ( unta )” karena Aisyah menunggang
unta pada pertempuran tersebut. Pada akhirnya Ali pun yang berhasil memenangkan
perang tersebut.
Namun
setelah berakhirnya perang tersebut, dengan adanya
kebijakan yang diterapkan Ali
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur Damaskus ( Mu’awiyah ) yang
telah ia pecat,
dan didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaannya.[7]
Akibat kejadian ini, maka selanjutnya terjadilah perang Shiffin. Perang ini diakhiri
dengan tahkim ( arbitrase ), tapi
dengan adanya arbitrase ini justru tidak dapat menyelesaikan masalah namun
menciptakan sebuah masalah baru. Yakni timbulnya golongan ketiga, yaitu
Al-Khawarij yang merupakan orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Mereka
menganggap bahwa keputusan yang diambil Ali salah, karena keadaan ini tentu
akan menguntungkan bagi pihak Mu’awiyah.
Padahal sebelumnya kemenangan sudah jelas-jelas berada di pihak Ali. Munculnya
kelompok Al-Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi
Mu’awiyah semakin kuat. Keadaaan ini tentunya
tidak menguntungkan
bagi Ali. Dan pada
akhirnya, pada tanggal 20 Ramadhan 40 H ( 660 M ),
Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij.[8] Ia adalah Abdur Rahman Ibnu Muljan, yang dapat
membunuh Ali meskipun aliran khawarij kalah dalam pertempuran melawan kekuatan
Ali.[9]
Meskipun
aliran khawarij mengalami kekalahan, namun aliran khawarij menyusun barisan
kembali dan selalu meneruskan perlawanaan terhadap penguasa resmi baik pada
zaman kekuasaan Bani Umayah maupun kekuasaan Bani Abbas.[10]
B.
Sub Aliran-Aliran Aliran Khawarij
Dalam
bidang lain, aliran khawarij memasuki persoalan kufr. Dalam hal ini aliran
khawarij mempertanyakan siapakah yang disebut kafir dan keluar dari Islam.? Siapa yang disebut
mukmin dan dengan demikian tidak keluar
dari, tetapi tetap dalam, Islam? Persoalan-persoalan
serupa ini bukan lagi merupakan persoalan politik, tapi lebih kepada persoalan teologi. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih dan siapa
yang telah keluar dari Islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang
bersangkutan dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai
golongan dalam khawarij. Aliran khawarij
beranggapan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir. Hal ini berarti keluar
dari Islam atau tegasnya Murtad
dan ia wajib untuk dibunuh.
Adapun sub aliran-aliran yang terbentuk dari khawarij
adalah:
a.
Al Muhakkiamah
Al Muhakkimah adlah
golongan khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan
Al-Muhakkimah.[11]
Orang-orang yang tergolong berdosa besar dan kafir adalah orang-orang yang
menyetujui arbitase ( Ali, Mu’Awiyah dan kedua penengah Amr Ibnu Al Ash dan Abu
Musa Al Ash’ary ), selanjutnya pula berbuat zina dan membunuh manusia tanpa sebab
yang sah, yang kemudian dianggap kafir dan keluar dari Islam.
b.
Al Azariqah
Golongan ini
merupakan pengikut Abdul Karim bin Ajrad.[12]
Al Azariqah merupakan golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi
kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah yang telah hancur. Aliran ini lebih
radikal, mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musryik atau
polithiest. Di dalam islam musryik atau politheisme adalah dosa terbesar, lebih
besar dari kafir. Mereka menganggap bahwa mereka lah yang sebenarnya orang
Islam. Bahkan yang mereka pendang musyrik,
bukan hanya orang-orang dewasa tetapi juga anak-anak dari orang-orang yang
dipandang musyrik.[13]
Di antara prinsip
mereka yaitu hijrah hanya merupakan keulamaan, bukan suatu kewajiban. Mereka
mengkafirkan ornag yang berbuat dosa besar, dan tidak memperbolehkan untuk
mengmbil harta rampasan perang, tidak ikut membunuh pihak musuh yang ikut andil
dalam perang.
Ajaridah
selanjutnya terbagi dalam beberapa kelompok kecil, yakni Shallatiyah,
Hazimiyah, Syu’aibiyah, Maimuniyah, Ma’lumiyah dan Majhuliyah,
Hamziyah,Khalafiyah, Tsa’alibiyah, Akhnasiyah, Mukkaramiyah, Ma’badiyah,
Syaibaniyah, Rusyaidiyah.
c.
Al-Najdat
Merupakan pengikut
Najdah bin Amr Al Hanafy dari Yamamah. Mereka awalnya adalah pengikut dari
Nafi’ bin Al-Azraq, tetapi mereka tidak sependapat dalam masalah orang yang
tidak pergi ke medan perang. Sebagian dari pengikut Naf’ Ibn Al-Azraq tidak
dapat menyetujui faham bahwa orang Araqi yang tak mau berhijrah ke dalam
lingkungan Al-Azariqah adalah musyrik.
Dan mereka pun tidak setuju pendapat yang menyebutkan tentang boleh dan
halalnya membunuh anak istri orang-orang yang tak sepaham dengan mereka.
Najdah
berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka
hanyalah ornag Islam yang tak sefaham dengan golongannya. Selanjutnya ia
berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi orang Muslim yakni mengetahui Allah dan
Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa
yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Namun, tidak semua pengikut Najdah
setuu dengan pendapat dan semua ajarannya, hingga terjadilah perpecahan yang
akhirnya golongan ini terpecah menjadi tiga golongan: Najdiyah, Athwiyah, dan
Fadaikiyah.
d.
Al Sufriyah
Pemimpinnya Ziad
Ibnu Al Asfar, ajarannya antara lain:
1.
Orang surfiyah yang
tidak hijrah tidak dipandang kafir
2.
Tidak berpendapat
bahwa anak-anak ( kaum muslim ) tidak di bunuh
3.
Tidak semua dari
mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik
4.
Daerah golongan
Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah ma’askar
atau camp
5.
Kufr dibagi dua
yaitu kufr bi inkar al ni’mah dan kufr bi inkar rububiah
6.
Taqiah hanya boleh
dalam bentuk perkataan dan perbuatan
e.
Al Ibadiyah
Nama ini diambil
dari Abdullah Ibn Ibad pada tahun 686 M. Faham ini paling moderat dengan
terbukti pada ajaran-ajarannya sebagai berikut:
1.
Orang Islam yang
tak sefaham dengan mereka adlah kafir
2.
Daerah orang Islam
yang tak sefaham dengan mereka, kecuali camp
pemerintahan merupakan dar tawhid, daerah
orang yang meng Esa-kan Tuhan , dan tak boleh diperangi.
3.
Orang Islam yang berbuat
dosa besar adalah muwwahid
4.
Yang boleh dirampas
dalam perang hanya kuda dan senjata
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Sejarah awal lahirnya aliran
Khawarij di latar
belakangi dengan kejadian peninggalan kelompok atau pemisahakan diri pengikut-penggikut
Ali bin Abi Tholib. Hal ini dikarenakan tidak setuju dengan sikap Ali ibnu
Tholib dalam menerima abritase sebagai cara untuk menyelesaikan pertentangan
tentang khalifah dengan Muawiyah Ibnu Sofyan.[14] Selanjutnya dari aliran Khawarij memunculkan berbagai sub
aliran karena terjadinya berbagai masalah maupun perpecahan.
b.
Ketika aliran
khawarij memasuki persoalan kufr,
mereka mempertanyakan siapa
saja kah yang termasuk orang kafir maupun orang mukmin. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih dan siapa
yang telah keluar dari Islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang
bersangkutan dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai
golongan dalam khawarij. Aliran khawarij
beranggapan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir. Hal ini berarti keluar
dari Islam atau tegasnya Murtad
dan ia wajib untuk dibunuh.
Dengan mudahnya perpecahan diantara aliran
kaum Khawarij yang selanjutnya terbagi dalam berbagai sub ( sekte ) yaitu: Al Muhakkiamah,
Al Azariqah ( terbagi menjadi: Shallatiyah, Hazimiyah, Syu’aibiyah, Maimuniyah,
Ma’lumiyah dan Majhuliyah, Hamziyah,Khalafiyah, Tsa’alibiyah, Akhnasiyah,
Mukkaramiyah, Ma’badiyah, Syaibaniyah, Rusyaidiyah ), Al-Najdat ( terpecah
menjadi tiga golongan: Najdiyah, Athwiyah, dan Fadaikiyah ), Al Sufriyah, dan
Al Ibadiyah.
B.
Saran
Penulis
berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Tauhid dengan baik dan benar.
Di sisi lain, penulis juga berharap dengan
adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk
mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun
inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan,
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Al-Najjar.1992. Aliran
Khawarij. Jakarta:
Lentera.
Amir An-Najjah. 1993.
Aqidah, Pemikiran, dan Filsafat Khawarij. Solo:
CV. Pustaka Mantiq.
Nasution,
Harun. 1978. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.
Romas,
A. Ghofir. 1986. Ilmu Tauhid. Semarang: PT. Badan Penerbit Fakultas
Da’wah IAIN
Walisongo Semarang.
Yatim, Badri.
2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
[1] Amir
An-Najjar, Aqidah, Pemikiran, dan Filsafat Khawarij, ( Solo: CV. Pustaka
Mantiq ), hlm. 13.
[2] Amir
Al-Najjar, Aliran Khawarij, ( Jakarta: Lentera ), hlm.10.
[3] Amir
An-Najjar, Aqidah, Pemikiran, dan Filsafat Khawarij, ( Solo: CV. Pustaka
Mantiq ), hlm. 37.
[4] A.
Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, ( Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah,
1986 ), hlm. 70.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam, ( Jakarta:
Universitas Indonesia, 1978), hlm. 11.
[6] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011
), hlm. 39.
[8] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011
), hlm. 40.
[9] A.
Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, ( Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah,
1986 ), hlm. 71.
[10] A.
Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, ( Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah,
1986 ), hlm. 71.
[12] Amir
An-Najjar, Aqidah, Pemikiran, dan Filsafat Khawarij, ( Solo: CV. Pustaka
Mantiq ), hlm. 75.
0 komentar:
Post a Comment