November 02, 2014

Maqamat dan Ahwal

PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Tujuan akhir dari perjalanan manusia adalah untuk mengenal dan berada sedekat mungkin dengan Allah dan sekaligus disana akan diperoleh kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang harus ditempuh agar bisa sampai disana.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan secara rohaniah yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi). Lingkup Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam - maqam dan ahwal. Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
B.       RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian maqamat dan ahwal ?
b.      Apa saja perbedaan antara maqam dan hal ?
c.       Apa saja tahapan-tahapan maqamat ?
d.      Apa saja macam-macam ahwal ?
PEMBAHASAN
1.        Pengertian Maqamat dan Ahwal
a.       Pengertian Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang manusia untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]
Maqam didapatkan melalui upaya mujahaddah dan riyadhah. Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan beramal secara terus menerus dan rutin serta dengan mengendalikan nafsu. Maka dari itu, fase dalam ini merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui secara urut satu demi satu.
b.      Pengertian Ahwal
Secara terminologis Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang manusia sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya. Hal bersifat sementara, datang dan pergi. Datang dan pergi bagi seorang manusia dalam perjalananya mendekati Tuhan.[2] Hal adalah satu waktu di mana seorang hamba berubah karena ada sesuatu dalam hatinya. Seorang hamba pada saat tertentu hatinya dan pada saat yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut dengan hal.
Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang datang hanya sekejap. Hanya saja hal tidak datang dengan tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan harus menjadi kepribadian seseorang
2.        Perbedaan Maqam dan Hal

a.         Maqam diperoleh dengan upaya dan kerja keras yang harus ditempuh sedangkan hal adalah karunia dari Tuhan.
b.         Maqam sifatnya permanen, sebab untuk mencapai tingkatan maqam yang lebih tinggi, seseorang masih menguasai tingkat maqam sebelumnya. Sedangkan hal sifatnya sementara, sebab datangnya kadang hanya sekejap saja.
c.         Maqam diusahakan melalui perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan. Sedangkan hal tidak diusahakan, sebab merupakan anugerah dari Allah.
d.        Maqam adalah suatu pencapaian seseorang. Sedangkan hal karunia yang datang begitu saja.

3.        Macam-macam Maqam dalam Tasawuf
a.       Taubat
Taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh - sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Sementara Al - Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
        i.            Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
      ii.            Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”
    iii.            Rasa penyesalan yang dilakukan semata - mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.
Menurut sufi yang menyebabkan seseorang jauh dari Allah adalah karena dosa, dan dosa adalah sesuatu yang kotor.
b.      Wara’
Secara harfiah al-Wara artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (subhat). Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia. Di samping itu, dalam tradisi manusia wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.
c.       Zuhud
Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat duniawi, atau meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Dilihat dari maksudnya, zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan :
        i.            Menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat.
      ii.            Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.
    iii.            Mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.
Zuhud yang hakiki adalah meninggalkan dunia dari “lubuk hati”, meskipun bisa saja kemewahan dunia itu berada dalam genggaman kita. Karena, selama kita masih hidup di dunia, kita tetap membutuhkan harta meski sedikit untuk melangsungkan hidup kita, agar kita tidak mengemis pada orang lain.
d.      Faqr (Fakir)
Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan.
Dengan demikian, pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup. Pesan yang tersirat yang ada di dalam al-faqr adalah hati - hati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan.
e.       Sabar
Sabar berarti sikap konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan selama perjuangan demi mencapai tujuan. Menurut Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu :
        i.            Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
      ii.            Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
    iii.            Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pertolongan dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.[3]
f.       Rela ( Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.
g.      Tawakal
Tawakal adalah salah satu sifat manusia beriman dan ikhlas. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan - kawasan hukum dan ketentuan.
Tawakal terbagi pada tiga derajat : tawakal, taslim, dan tafwidh . Tawakal adalah sifat orang - orang yang beriman, taslim adalah sifat para wali, sedangkan tafwidh adalah sifat orang benar - benar mengesakan. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji Rabb-Nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya.[4]
Tawakal merupakan keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah serta berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan dari Allah.
4.        Macam-macam Ahwal
a.       Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu , ada manusia yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari kehendak-Nya. Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan.  Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya.
b.            Cinta (Mahabbah)
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Dalam pandangan Al-Junaidi, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.” Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah.[5]
Cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar utama islam dan inti dari ajarannya. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.
c.       Berharap  (Raja’)
Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh, karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
Imam al-Qusyairi mengatakan “Raja’ ialah terikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang”. Orang yang harapan dan penantianya menjadikanya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiata.berarti harapanya bebar. Sebaliknya.jika kemaksiatan,harapanya sia-sia dan percuma. Raja’ menuntut tiga perkara,yaitu :
        i.            Cinta kepada apa yang diharapkanya.
      ii.            Takut harapanya itu hilang.
    iii.            Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara itu,hanyalah ilusi atau hayalan.
d.      Khauf
Khauf menurut ahli manusia bararti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghozali membagi khauf menjadi dua macam:
        i.            Khauf karena khawatir kehilangan nikmat.Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempaynya.
      ii.            Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemeksiatan.Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[6]

e.       Rindu (Syauq)
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli manusia menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang  terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi manusia yang rindu kepada Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir  setelah melihat  dan bertemu.
f.       Intim (Uns)
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah. Dalam pandangan manusia, sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi.Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata – mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Akangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharan Allah.
Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum manusia.[7]
g.      Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .[8]
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan dan jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya.
Antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antara keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam - maqam selanjutnya.
B.     SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran As.,M.A. Pengantar Studi Tasawuf. (1994). Jakarta : Rajawali Press.
Bangun Nasution, Ahmad, M.A. Akhlak Tasawuf. (2013). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Fauqi Hajjaj, Muhammad. Tasawuf Islam dan Akhlak. (2011). Jakarta : Amzah.
Sholihin, Dr, M.Ag. Ilmu Tasawuf. (2008). Bandung : Pustaka Setia.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. (2011).Surabaya: IAIN SA Press.
Chika. [2013, 4 Juni]. Tasawuf Ahwal dan Maqamat. [Online]. Sumber : http://chikafikrotul.blogspot.com/2013_06_01_archive.html [31 April 2014]
Ramdhani, Syahid. [2012, 16 November]. Pengertian Al-Maqamat dan Al-Ahwal. [Online]. Sumber : http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/pengertian-al-maqamat-dan-al-ahwal.html  [31 April 2014]

[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press), hlm.243
[2] Drs. Asmaran As.,M.A, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : Rajawali Press),hlm.137
[3] http://chikafikrotul.blogspot.com/2013/06/tasawuf-ahwal-dan-maqamat.html
[4] Dr.M. Sholihin,M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia), hlm.85.
[5] Dr.M. Sholihin,M.Ag, Ilmu Tasawuf,hlm.78.
[6] Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), hlm. 55.
[7] Dr.M. Sholihin,M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia), hlm.78.
[8] Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), hlm. 58.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates