November 02, 2014

A Walk To Remember part 4

BAB 12
JAMIE ternyata mengindap leukemia. Ia sudah mengetahuinya sejak musim panas lalu.
Pada saat ia mengungkapkannya kepadaku, aku merasa darah terkuras dari wajahku dan berbagai bayangan aneh melintas dalam benakku. Untuk sesaat waktu seakan tiba-tiba berhenti dan aku mulai memahami segala yang terjadi di antara kami. Aku mengerti mengapa ia ingin aku tampil dalam pementasan itu. aku mengerti mengapa setelah pementasan pada malam pertama itu, Hegbert membisikkan sesuatu padanya dengan air mata berlinang, menyebut Jamie sebagai malaikatnya. Aku mengerti mengapa Hegbert tampak begitu lelah sepanjang waktu dan mengapa ia begitu cemas menanggapi kedatanganku ke rumahnya. Segalanya menjadi sangat jelas sekarang.
Mengapa Jamie ingin Hari Natal di panti asuhan itu menjadi acara istimewa….
Mengapa ia merasa tidak akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi….
Mengapa ia memberikan Alkitab-nya kepadaku….
Semua itu jadi masuk akal, dan pada waktu yang bersamaan tak satu pun tampaknya masuk akal. Jamie Sullivan mengidap leukemia….
Jamie, Jamie yang manis, sedang sekarat….
Jamie-ku….
“Tidak, tidak,” bisikku padanya, “pasti ada kesalahan…”
Tapi nyatanya tidak begitu, dan ketika ia mengungkapkan sekali lagi kepadaku, duniaku tiba-tiba terasa kosong. Kepalaku mulai berputar, dan aku mencengkeram Jamie erat-erat untuk menjaga keseimbanganku. Di jalan aku melihat seorang pria dan seorang wanita, berjalan ke arah kami, kepala mereka menunduk dan tangan mereka memegangi topi agar tidak terbang terbawa angin. Seekor anjing berlari-lari kecil menyeberangi jalan kemudian berhenti untuk mengendus semak-semak. Seorang tetangga yang tinggal di seberang jalan sedang berdiri di tangga, menurunkan lampu-lampu Natal. Pemandangan normal dari kehidupan sehari-hari, hal-hal yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya, yang tiba-tiba membuatku marah. Aku memejamkan mataku, ingin menghapus semua itu dari hadapanku.
“Maafkan aku, Landon,” ujar Jamie berulang-ulang. Namun akulah yang seharusnya mengatakan itu. Aku menyadarinya sekarang, namun kebingunganku membuatku tidak dapat mengatakan apa-apa.
Jauh di lubuk hatiku, aku tahu bahwa aku takkan bisa menghapus semua itu. Aku memeluknya lagi, karena tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan, air mata membasahi mataku. Aku mencoba untuk menjadi batu karang yang menurutku dibutuhkannya, namun gagal.
Kami menangis bersama di jalan itu selama beberapa saat, sedikit jauh dari jalan tempat tinggalnya. Kami menangis lagi saat Hegbert membuka pintu dan melihat wajah kami. Ia langsung tahu bahwa rahasia mereka telah terbongkar. Kami menangis sewaktu kami menceritakannya kepada ibuku sore itu. Ibuku memeluk kami dan menangis dengan begitu kerasnya sehingga koki maupun pelayan kami hampir saja menelepon dokter karena mereka mengira sesuatu telah terjadi pada ayahku. Pada hari Minggu, Hegbert mengeluarkan pernyataan di hadapan jemaatnya, wajahnya dibayangi kesedihan dan ketakutan. Ia terpaksa dipapah kembali ke tempat duduknya bahkan sebelum ia selesai berbicara.
Jemaat dalam gereja itu tiba-tiba terenyak seakan tidak percaya menanggapi kata-kata yang baru saja mereka dengar, dan tampak seakan menunggu sesuatu untuk mengakhiri lelucon yang sama sekali tidak lucu itu. Kemudian secara serentak, mereka mulai mengekspresikan rasa sedih mereka.
Kami duduk bersama Hegbert pada hari Jamie mengungkapkan berita itu kepadaku, dan dengan penuh kesabaran Jamie menjawab semua pertanyaanku. Ia tidak tahu berapa lama lagi waktu yang ia miliki. Tidak, tidak ada yang dapat dilakukan oleh para dokter. Menurut para dokter, ia mengidap penyakit langka, penyakit yang tidak merespons perawatan yang tersedia pada masa itu. Ya, saat sekolah baru dimulai, ia masih merasa sehat. Baru beberapa minggu yang terakhir ini ia mulai merasakan dampaknya.
“Memang begitulah perkembangan penyakit ini,” kata Jamie. “Kau merasa baik-baik saja, dan setelah itu, sewaktu tubuhmu tidak dapat melawannya lagi, kau mulai melemah.”
Sambil berusaha menahan air mataku, mau tidak mau aku teringat pada drama itu.
“Tapi semua latihan… hari-hari yang panjang itu… mungkin seharusnya kau—“
“Mungkin,” sahutnya, sambil meraih tanganku dan memotong ucapanku. “Tapi drama itu justru yang
membuatku tetap merasa sehat sampai begitu lama.”
Kemudian Jamie mengungkapkan padaku bahwa tujuh bulan sudah berlalu sejak ia pertama kali didiagnosis. Para dokter telah menyatakan bahwa ia memiliki waktu satu tahun, mungkin kurang.
Keadaannya mungkin berbeda di zaman sekarang. Sekarang mereka pasti bisa melakukan sesuatu untuk mengobati Jamie. Di zaman sekarang Jamie mungkin bisa disembuhkan. Namun ini terjadi sekitar empat puluh tahun yang lalu, dan aku tahu apa artinya itu. Hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan Jamie.
“Kenapa kau tidak menceritakan ini padaku sebelumnya?”
Itulah satu-satunya pertanyaan yang tidak kuajukan padanya, yang terus menghantuiku sepanjang waktu. Aku tidak bisa tidur malam itu, dan mataku masih sembap. Aku melewati fase dari terguncang ke penyangkalan, sedih ke marah kemudian kembali lagi, sepanjang malam, sambil berharap dan berdoa bahwa kenyataannya tidak begitu. Berharap semua itu hanyalah bagian dari mimpi buruk.
Kami sedang berada di ruang tamu pada hari berikutnya, pada hari Hegbert mengeluarkan pernyataan di hadapan jemaatnya. Tanggal 10 Januari 1959.
Jamie tidak tampak sesedih seperti yang tadinya kubayangkan. Tapi Jamie sudah menjalani semua ini selama tujuh bulan. Ketika itu hanya ia sendiri dan Hegbert yang tahu, dan selama itu mereka tidak menceritakannya pada siapa pun, termasuk aku. Aku merasa sakit hati mengenai itu dan juga sekaligus takut.
“Aku sudah membuat keputusan,” kata Jamie, “bahwa akan lebih baik kalau aku tidak memberitahu siapa pun, dan aku telah meminta ayahku untuk melakukan hal yang sama. Kau
lihat sendiri bagaimana reaksi orang-orang setelah pulang dari gereja hari ini. Tak seorang pun bahkan mau menatap mataku. Kalau kau hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk hidup, itukah yang akan kauinginkan?”
Aku tahu bahwa ucapannya benar, namun tetap saja tidak menjadikannya lebih mudah. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku sungguh-sungguh merasa tidak berdaya.
Aku tidak pernah ditinggal mati oleh seseorang yang dekat denganku, setidaknya sepanjang ingatanku. Nenekku meninggal ketika aku baru berusia tiga tahun, dan aku tidak ingat apa-apa tentang dirinya ataupun upacara pemakamannya atau bahkan tahun-tahun berikutnya setelah ia tiada. Tentu saja aku pernah mendengar cerita-cerita mengenai Nenek dari ayah dan kakekku, tapi bagiku itu cuma cerita. Sama seperti mendengar cerita yang sebetulnya bisa kubaca di surat kabar mengenai seorang wanita yang tidak kukenal. Meskipun ayahku selalu mengajakku bersamanya saat ia membawa bunga ke makam Nenek, aku tidak pernah merasakan sesuatu untuknya. Aku hanya merasakan sesuatu terhadap mereka yang telah ditinggalkan olehnya.
Tak seorang pun di keluargaku atau teman-temanku pernah dihadapkan pada sesuatu seperti ini. Jamie baru berusia tujuh belas tahun, sedang berada di ambang kedewasaannya. Sekarat namun tetap masih penuh dengan gairah hidup pada waktu yang bersamaan. Aku merasa takut, jauh lebih takut daripada ketakutan yang pernah kualami, bukan hanya bagi diri Jamie, tapi juga bagi diriku sendiri. Aku hidup dalam ketakutan bahwa aku akan melakukan sesuatu yang salah. Aku takut akan melakukan sesuatu yang mungkin dapat melukai perasaannya. Apakah wajar untuk marah di hadapannya? Apakah masih wajar untuk berbicara mengenai masa depan? Ketakutanku membuat berbicara dengannya terasa sulit, meskipun Jamie begitu sabar terhadapku.
Namun ketakutanku membuatku menyadari sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatku merasa semakin buruk. Aku menyadari bahwa aku bahkan tidak pernah mengenalnya di saat ia masih sehat. Aku baru mulai melewatkan waktuku bersamanya sekitar beberapa bulan yang lalu, dan aku baru mulai mencintainya sejak delapan belas hari yang lalu. Delapan belas hari itu seakan merupakan seluruh hidupku, namun saat aku menatapnya, yang dapat kulakukan hanyalah mempertanyakan masih berapa banyak waktu yang ia miliki.
Pada hari Senin Jamie tidak masuk sekolah, dan entah mengapa aku tahu bahwa ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sekolah lagi. Aku tidak akan pernah melihatnya membaca Alkitab sendirian di waktu istirahat makan siang, aku tidak akan pernah melihat sweter cokelatnya bergerak di antara siswa-siswa lain sementara ia menuju kelasnya yang berikut. Hari-harinya di sekolah sudah berakhir untuk selamanya, ia bahkan tidak akan pernah memperoleh ijazah.
Aku tidak dapat memusatkan perhatian saat duduk di dalam kelas pada hari pertama itu, mendengarkan saat para guru mengungkapkan apa yang sudah didengar oleh kebanyakan di antara kami. Tanggapan yang diperoleh persis seperti di gereja pada hari Minggu itu. Siswa-siswa perempuan mulai menangis, yang laki-laki menunduk. Mereka bercerita tentang Jamie seakan ia sudah tiada. Apa yang bisa kita lakukan? tanya mereka, dan mereka mulai menatapku untuk mendapatkan jawaban.
“Aku tidak tahu,” hanya itu yang dapat kukatakan.
Aku meninggalkan sekolah lebih awal dan pergi ke rumah Jamie, bolos setelah istirahat makan siang. Sewaktu aku mengetuk pintu, Jamie membukanya seperti yang biasa ia lakukan, dengan gembira dan sepertinya tanpa beban.
“Halo, Landon,” tegurnya, “ini kejutan.”
Ketika ia mencondongkan tubuhnya untuk menciumku, aku membalas ciumannya, meskipun semua itu membuatku ingin menangis.
“Ayahku tidak ada di rumah sekarang, tapi kalau kau mau, kita bisa duduk-duduk di teras.”
“Bagaimana kau bisa seperti ini?” tanyaku tiba-tiba. “Bagaimana kau bisa berpura-pura bahwa tidak ada yang salah?”
“Aku tidak berpura-pura bahwa tidak ada yang salah, Landon. Aku ambil jaketku dulu lalu kita duduk-duduk di luar sambil ngobrol, oke?”
Ia tersenyum padaku, menantikan jawaban, dan akhirnya aku mengangguk, bibirku terkatup rapat. Ia mengulurkan tangannya untuk menepuk lenganku.
“Aku akan segera kembali,” janjinya.
Aku melangkah ke arah kursi teras kemudian duduk. Jamie muncul beberapa saat setelah itu. Ia mengenakan jaket tebal, sarung tangan, dan topi agar tubuhnya tetap hangat. Angin dari arah timur laut itu telah berlalu, dan hari ini sebetulnya tidak sedingin selama akhir pekan yang lalu. Namun udaranya tetap masih terlalu dingin bagi Jamie.
“Kau tidak ke sekolah hari ini,” ujarku.
Ia menunduk dan mengangguk. “Aku tahu.”
“Apakah kau akan kembali sekolah?” Meskipun aku sudah tahu jawabannya, aku tetap butuh mendengar jawaban itu darinya.
“Tidak,” sahutnya pelan. “Aku tidak akan kembali.”
“Kenapa? Apakah kau sudah begitu sakitnya?” Aku mulai menangis, dan ia mengulurkan tangannya menggenggam tanganku.
“Tidak. Sebenarnya hari ini aku merasa jauh lebih baik. Aku hanya sedang ingin berada di rumah pada pagi hari, sebelum ayahku harus pergi ke tempat kerjanya. Aku ingin menghabiskan waktuku
sebanyak mungkin dengannya.”
Sebelum aku meninggal, yang sebetulnya ingin ia katakan namun tidak diucapkan. Aku merasa tidak keruan dan tidak memberikan jawaban.
“Ketika para dokter memberitahu kami untuk pertama kalinya,” lanjut Jamie, “mereka menyarankan agar aku sebaiknya mencoba menjalani kehidupanku senormal mungkin selama aku masih bisa. Mereka menganggap hal itu akan membuatku lebih kuat.”
“Tapi tidak ada yang normal mengenai ini,” sahutku getir.
“Aku tahu.”
“Apakah kau tidak takut?”
Entah mengapa aku berharap ia akan mengatakan tidak, mengatakan sesuatu yang bijaksana seperti yang akan dilakukan oleh orang dewasa, atau menjelaskan kepadaku bahwa kita tidak dapat memaksakan diri untuk mengerti rencana Tuhan.
Ia berpaling. “Ya,” sahut Jamie akhirnya. “Aku takut sepanjang waktu.”
“Lalu mengapa kau tidak bersikap sebagaimana yang kaurasakan?”
“Aku melakukannya. Saat aku sedang sendirian.”
“Karena kau tidak percaya padaku?”
“Bukan,” sahutnya, “karena aku tahu kau juga takut.”
Aku mulai berdoa mengharapkan datangnya mukjizat. Biasanya itu yang selalu terjadi, dan aku pernah membacanya di koran. Orang-orang yang dapat menggerakkan anggota tubuhnya kembali setelah mereka dinyatakan tidak akan pernah dapat berjalan lagi, atau yang berhasil lolos dari maut dalam suatu kecelakaan yang teramat mengerikan di saat semua harapan sudah tiada. Kadang-kadang seorang pengkhotbah keliling mendirikan tenda di luar kota Beaufort, dan para penduduk akan ke sana untuk menyaksikan orang-orang yang akan disembuhkan. Aku sudah pernah menyaksikannya beberapa kali, dan meskipun aku berasumsi bahwa kebanyakan di antaranya hanyalah tipuan, mengingat aku tidak pernah mengenali mereka yang sudah disembuhkan. Namun sekali waktu tetap terjadi sesuatu yang bahkan tidak bisa kujelaskan. Pak tua Sweeney, tukang roti di kota kami, pernah bergabung dengan pasukan artileri dalam Perang Dunia dari balik parit-parit perlindungan, dan sekian bulan memberondong musuh dengan peluru telah menjadikan sebelah telinganya tuli. Ini bukan pura-pura—ia benar-benar tidak dapat mendengar. Semasa kami masih anak-anak, kami dapat mencuri roti cinnamon karena ia tidak bisa mendengarnya. Tapi si pengkhotbah mulai berdoa dengan khidmat dan akhirnya menempatkan tangannya di bagian sisi kepala Sweeney. Sweeney berteria keras, membuat orang-orang melompat berdiri dari kursi. Ia menampakkan wajah takut, seakan seseorang telah menyentuhnya dengan sepotong besi panas, tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap ke sekelilingnya, sambil berbicara, “Aku bisa mendengar lagi.” Bahkan ia sendiri tidak dapat mempercayainya. “Tuhan,” ujar si pengkhotbah ketika itu, sementara Sweeney kembali ke tempat duduknya, “bisa melakukan apa saja. Tuhan mendengarkan doa-doa kita.”
Jadi malam itu aku membuka Alkitab yang diberikan Jamie padaku sebagai hadiah Natal dan mulai membaca. Aku sudah pernah mendengar kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab sewaktu sekolah Minggu maupun di gereja. Tapi sejujurnya, yang teringat olehku adalah bagian-bagian yang seru saja—Tuhan menjatuhkan tujuh malapetaka agar bangsa Israel dapat meninggalkan Mesir, Yunus yang ditelan oleh ikan paus, Yesus yang berjalan di atas air, atau membangkitkan Lazarus dari kematian. Selain itu masih ada beberapa peristiwa besar lagi.
Aku tahu, nyaris dalam setiap bab Alkitab Tuhan melakukan sesuatu yang spektakuler, namun aku belum pernah mempelajari semuanya. Sebagai orang Kristen, kami berpegang teguh pada ajaran-ajaran dalam Perjanjian Baru, sedangkan aku tidak tahu apa-apa mengenai kisah Yosua atau Rut, atau Yoel. Pada malam pertama aku membaca Kitab Kejadian, malam kedua aku membaca Keluaran. Setelah itu Imamat, disambung dengan Bilangan, dan kemudian Ulangan. Di bagian-bagian tertentu memang sedikit lebih lama, terutama di bagian semua peraturan itu dijelaskan, namun aku tetap membacanya. Aku merasakan suatu dorongan yang tidak sepenuhnya kumengerti.
Hari sudah larut sekali di suatu malam, dan aku sudah lelah saat akhirnya aku sampai di bagian Mazmur, tapi entah mengapa aku tahu bahwa inilah yang sebetulnya yang sedang kucari. Semua orang pernah mendengar tentang Mazmur 23, yang dimulai dengan, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku,” namun aku juga ingin membaca yang lain, mengingat bahwa tak satu pun bagian lebih penting daripada yang lain. Setelah satu jam aku sampai pada suatu bagian yang digarisbawahi, yang kurasa ditandai Jamie karena itu berarti sesuatu baginya. Inilah bunyinya:
KepadaMu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru, janganlah berdiam diri terhadap aku,
sebab, jika Engkau tetap membisu terhadap aku, aku menjadi orang yang turun ke dalam liang kubur.
Dengarkanlah suara permohonanku, apabila aku berteriak kepadaMu minta tolong,
dan mengangkat tanganku ke tempatMu yang mahakudus. Aku menutup Alkitab itu dengan air mata berlinang, aku tidak mampu membaca Mazmur itu sampai selesai. Entah bagaimana aku tahu Jamie telah menggarisbawahi bagian itu untukku.
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” kataku putus asa, sambil memandangi keremangan cahaya lampu kamar tidurku. Aku dan ibuku sedang duduk di atas tempat tidurku. Saat itu sudah menjelang akhir bulan Januari, bulan yang paling sulit di dalam kehidupanku, dan aku tahu bahwa di bulan Februari keadaan akan menjadi lebih buruk lagi.
“Aku tahu ini berat bagimu,” gumam ibuku, “tapi tidak ada yang bisa kaulakukan.”
“Maksudku bukan mengenai sakitnya Jamie—aku tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai penyakitnya. Maksudku, mengenai aku dan Jamie.”
Ibuku menatapku dengan penuh simpati. Ia mengkhawatirkan keadaan Jamie, namun ia juga mengkhawatirkanku. Aku melanjutkan.
“Sulit rasanya bagiku untuk berbicara dengan Jamie. Saat menatapnya yang terpikir olehku hanyalah aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Sehingga aku menghabiskan seluruh waktuku di sekolah dengan memikirkan dirinya, sambil berharap dapat melihatnya saat itu, namun saat aku sampai di rumahnya, aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Aku tidak yakin ada sesuatu yang dapat kaukatakan untuk membuatnya merasa lebih baik.”
“Kalau begitu apa yang harus kulakukan?”
Ia menatapku dengan sedih kemudian merangkulku. “Kau benar-benar mencintainya, ya?” tanya ibuku.
“Dengan segenap hatiku.”
Ibuku tampak sedih sekali. “Apa kata hatimu?”
“Aku tidak tahu.”
“Mungkin,” ujarnya dengan hati-hati, “kau terlalu keras berusaha hingga tidak mendengarnya.”
Hari berikutnya kulewati dengan lebih baik bersama Jamie, meskipun tidak jauh lebih baik. Sebelum aku sampai di rumahnya, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuatnya sedih—aku akan mencoba berbicara dengannya sebagaimana yang biasa kulakukan sebelumnya—dan itulah yang terjadi kemudian.
Aku duduk di sofanya dan menceritakan pada Jamie tentang teman-temanku dan apa yang sedang mereka lakukan. Aku juga menceritakan padanya tentang keberhasilan tim basket kami. Aku memberitahunya bahwa aku masih belum menerima kabar dari UNC, tapi aku berharap akan memperoleh hasilnya dalam waktu beberapa minggu ini. Aku memberitahunya bahwa aku merasa antusias menghadapi saat kelulusan nanti. Aku berbicara seakan ia akan kembali berada di sekolah pada minggu berikutnya, dan aku tahu bahwa suaraku terdengar waswas. Jamie tersenyum dan kadang-kadang mengangguk. Namun kupikir kami sama-sama tahu menjelang akhir percakapan itu, bahwa ini akan merupakan kali terakhir aku melakukannya. Rasanya tidak benar bagi kami berdua.
Hatiku mengatakan padaku hal yang persis sama.
Aku membuka Alkitab lagi, dengan harapan akan mendapatkan petunjuk.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyaku beberapa hari kemudian.
Saat itu Jamie sudah kehilangan berat lebih banyak lagi. Kulitnya mulai tampak sedikit kelabu, dan tulang-tulang di tangannya mulai menonjol melalui kulitnya. Aku melihat memar-memar lagi. Kami sedang berada di dalam rumahnya, di dalam ruang tamu. Jamie sudah tidak tahan lagi terhadap udara dingin.
Tapi di samping semua itu, ia masih tetap tampak cantik.
“Aku baik-baik saja,” sahutnya, sambil tersenyum tegar. “Para dokter sudah memberiku obat penahan sakit, dan sepertinya itu sedikit membantu.”
Aku mampir setiap hari. Waktu sepertinya berjalan perlahan dan sekaligus cepat sekali pada waktu yang bersamaan.
“Kau mau kuambilkan sesuatu?”
“Tidak usah, terima kasih, aku baik-baik saja.”
Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan itu, kemudian kembali padanya. “Aku membaca Alkitab belakangan ini,” kataku akhirnya.
“Sungguh?” Wajahnya tampak bersinar, mengingatkanku pada malaikat yang pernah kulihat sewaktu pementasan. Aku tidak dapat percaya pementasan itu baru enam minggu yang lalu.
“Aku ingin kau tahu itu.”
“Aku senang kau menceritakannya padaku.”
“Aku membaca tentang Ayub tadi malam,” ujarku, “saat Tuhan menguji iman Ayub.”
Jamie tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menepuk lenganku, tangannya terasa lembut di kulitku. Rasanya menyenangkan. “Sebaiknya kau membaca yang lain. Itu bukan bagian tentang Tuhan yang menyenangkan.”
“Untuk apa Dia melakukan itu padanya?”
“Aku tidak tahu,” sahut Jamie.
“Pernahkah kau merasa dirimu seperti Ayub?”
Ia tersenyum, matanya tampak berbinar. “Kadang-kadang.”
“Tapi kau tidak kehilangan imanmu?”
“Tidak.” Aku tahu iman Jamie teguh, namun aku merasa mulai kehilangan imanku.
“Apakah karena kau merasa kau mungkin akan sembuh?”
“Tidak,” sahutnya, “karena itulah satu-satunya hal yang masih kumiliki.”
Setelah itu, kami mulai membaca Alkitab bersama-sama. Entah mengapa sepertinya itu merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Namun hatiku tetap menyuarakan padaku bahwa mungkin masih ada sesuatu yang lain yang bisa kulakukan.
Pada malam hari aku berbaring di tempat tidurku sambil memikirkannya.
Membaca Alkitab memberikan sesuatu kepada kami untuk dijadikan pusat perhatian, dan tiba-tiba segalanya mulai membaik di antara kami. Mungkin karena aku tidak lagi merasa khawatir melakukan sesuatu yang mungkin dapat melukai perasaannya. Apa yang mungkin lebih baik daripada membaca Alkitab? Meskipun aku tidak tahu sebanyak yang diketahui Jamie, kurasa ia bisa menghargai usahaku. Kadang-kadang di saat kami membaca, ia akan meletakkan tangannya di atas lututku dan hanya mendengarkan sementara suaraku memenuhi seluruh ruangan itu.
Kadang-kadang aku duduk di sampingnya di sofa, sambil membalik-balik Alkitab dan sekaligus mengawasi Jamie melalui sudut mataku. Setelah itu kami akan sampai pada suatu ayat atau mazmur, mungkin bahkan amsal, dan aku akan menanyakan pendapat Jamie mengenai hal itu. Ia selalu memiliki jawaban, dan aku akan mengangguk, lalu berusaha menghayatinya. Kadang-kadang ia akan menanyakan apa pendapatku, dan aku akan berusaha sebisaku, meskipun pada saat tertentu aku sedikit membual dan aku yakin Jamie tahu itu cuma bualanku.
“Itukah arti sesungguhnya bagimu?” tanya Jamie, lalu aku akan mengusap daguku dan memikirkannya kembali sebelum mencoba menjawab sekali lagi. Tapi kadang-kadang aku tidak bisa memusatkan perhatianku karena salah Jamie, karena tangannya yang di atas lututku dan semacamnya.
Pada hari Jumat malam, aku mengajaknya makan malam di rumahku. Ibuku bergabung dengan kami selagi menikmati hidangan utama, setelah itu ibuku meninggalkan meja dan duduk di ruang rekreasi agar kami bisa berduaan.
Menyenangkan sekali duduk bersama Jamie, dan aku tahu bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Ia sudah jarang meninggalkan rumah, dan ini merupakan suatu selingan yang baik baginya.
Sejak Jamie memberitahuku tentang penyakitnya, ia tidak pernah lagi menyanggul rambutnya ke atas. Penampilan Jamie masih sama memesonanya seperti saat pertama kali aku melihatnya dengan rambut tergerai. Ia sedang memperhatikan lemari porselen kami—ibuku memiliki lemari yang ada lampunya di dalam—ketika aku mengulurkan tanganku dan meraih tangannya.
“Terima kasih mau datang kemari malam ini,” ujarku.
Ia mengalihkan perhatiannya kembali kepadaku. “Terima kasih karena telah mengajakku.”
Aku terdiam. “Bagaimana keadaan ayahmu?”
Jamie menghela napasnya. “Tidak terlalu baik. Aku sering mengkhawatirkannya.”
“Ia amat mencintaimu, kau tahu.”
“Aku tahu.”
“Aku juga mencintaimu,” kataku, dan saat aku mengucapkannya, ia berpaling. Mendengar aku mengucapkannya seakan membuat Jamie takut lagi.
“Maukah kau terus datang ke rumahku,” tanyanya. “Bahkan kelak, kau tahu kan, saat…?”
Aku meremas tangannya, tidak keras-keras, tapi cukup untuk meyakinkannya bahwa aku serius dengan perkataanku.
“Selama kau mau aku datang, aku akan ke sana.”
“Kita tidak perlu membaca Alkitab lagi, kalau kau tidak mau.”
“Tidak,” ujarku pelan. “Kurasa kita menyukainya.”
Ia tersenyum. “Kau memang teman yang baik, Landon. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dirimu.”
Ia meremas tanganku, membalas remasanku. Wajahnya tampak berseri saat duduk di hadapanku.
“Aku mencintaimu, Jamie,” ujarku lagi, tapi kali ini ia tidak tampak takut. Malah kami saling menatap, dan aku memperhatikan saat matanya mulai berbinar. Ia menghela napas kemudian mengalihkan pandangannya, mengusap rambutnya dengan tangan, dan setelah itu menatapku kembali. Aku mengecup tangannya, membalas senyumnya.
“Aku juga mencintaimu,” bisiknya.
Selama ini aku berdoa ingin mendengar kata-kata itu.
* * *
Aku tidak tahu apakah Jamie pernah menceritakan kepada Hegbert mengenai perasaannya terhadapku. Entah mengapa aku meragukannya karena Hegbert tampaknya tidak berubah sama sekali. Sudah merupakan kebiasaannya untuk meninggalkan rumah di saat aku datang ke sana sepulang sekolah, dan ini terus berlanjut. Aku akan mengetuk pintu dan mendengarkan sementara Hegbert mengatakan kepada Jamie bahwa ia akan pergi dan baru akan kembali beberapa jam kemudian. “Oke, Daddy,” adalah yang selalu aku dengar, kemudian aku akan menunggu sampai Hegbert membuka pintu. Begitu ia mempersilakanku masuk, ia akan membuka lemari di ruang depan dan mengeluarkan jas serta topinya tanpa berbicara, mengancing semua kancing jasnya sebelum meninggalkan rumah. Jasnya model kuno, berwarna hitam dan panjang, seperti jas hujan tanpa ritsleting, yang pernah dianggap modis sekitar satu abad sebelumnya. Ia jarang berbicara langsung padaku, bahkan setelah ia tahu aku dan Jamie mulai sering membaca Alkitab bersama.
Meskipun ia masih kurang menyukai kehadiranku di rumahnya di saat ia sedang tidak di sana, ia tetap memperbolehkanku masuk. Aku tahu sebagian dari alasannya adalah karena ia tidak ingin Jamie kedinginan selagi kami duduk-duduk di teras, dan satu-satunya alternatif yang ada adalah tetap tinggal di dalam rumah sementara aku ada di sana. Tapi kurasa Hegbert juga membutuhkan waktu untuk menyendiri, dan itulah alasan sesungguhnya untuk perubahan itu. Ia tidak membicarakan peraturan di rumahnya denganku—aku bisa melihat itu di matanya sejak pertama kali ia menyatakan bahwa aku boleh masuk. Aku diperbolehkan masuk ke dalam ruang tamunya, itu saja.
Jamie masih bisa mondar-mandir ke sana kemari, meskipun musim dingin kali ini lebih ganas. Arus angin dingin yang melanda sepanjang akhir bulan Januari berlangsung selama sembilan hari, disusul dengan hujan lebat selama tiga hari berturut-turut. Jamie sama sekali tidak berminat untuk meninggalkan rumah di dalam cuaca seperti itu. Meskipun setelah Hegbert pergi, aku dan Jamie mungkin akan berdiri di teras selama beberapa menit untuk menghirup udara laut yang segar. Setiap kali kami melakukannya, aku mengkhawatirkan Jamie.
Sementara kami membaca Alkitab, pintu akan diketuk orang sedikitnya tiga kali setiap hari. Selalu ada yang mampir sebentar, ada yang membawakan makanan, ada yang cuma ingin memberi salam. Bahkan Eric dan Margaret sempat mampir, dan meskipun Jamie sebetulnya tidak boleh mengajak mereka masuk, ia tetap melakukannya, dan kami duduk di dalam sambil mengobrol, sementara mereka tidak dapat menatap mata Jamie.
Mereka berdua kelihatan resah, dan setelah beberapa saat mereka akhirnya menyatakan maksud kedatangan mereka. Eric datang untuk meminta maaf, dan ia menambahkan bahwa ia tidak mengerti mengapa semua ini justru harus terjadi pada Jamie. Ia juga membawa sesuatu untuk Jamie, dan meletakkan sebuah amplop di atas meja dengan tangan gemetar. Suaranya serak saat berbicara, kata-katanya terdengar amat emosional.
“Tidak ada seorang pun yang punya kebesaran hati sepertimu,” ujarnya kepada Jamie, suaranya tersendat, “meskipun aku selalu mengabaikanmu dan aku tidak bersikap baik padamu, aku tetap ingin kau tahu bagaimana perasaanku. Aku belum pernah merasa lebih menyesal mengenai apa pun di dalam hidupku.” Eric terdiam sejenak dan mengusap sudut matanya. “Kaulah orang terbaik yang mungkin pernah kukenal.”
Sementara ia sedang berusaha untuk menahan air matanya, Margaret sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi dan mulai terisak, tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Setelah Eric selesai berbicara, Jamie menghapus air mata di pipinya, perlahan-lahan berdiri, dan tersenyum, membuka kedua lengannya dalam cara yang hanya dapat dinyatakan sebagai pengungkapkan maaf yang ia berikan. Eric menyambutnya dengan spontan, dan akhirnya mulai menangis sementara Jamie dengan lembut membelai rambutnya dan menggumamkan sesuatu padanya. Mereka berdua berpelukan selama beberapa saat sementara Eric terus terisak sampai ia terlalu lelah untuk menangis.
Kemudian giliran Margaret, dan mereka berdua melakukan hal yang sama.
Ketika Eric dan Margaret akhirnya siap untuk pamit pulang, mereka mengenakan jaket dan menatap Jamie sekali lagi, seakan ingin mengingat Jamie untuk selamanya. Aku tidak ragu mereka ingin mengingat Jamie sebagaimana ia tampak pada saat itu. Bagiku Jamie betul-betul kelihatan cantik, dan aku yakin mereka juga merasakan hal yang sama.
“Bertahanlah,” kata Eric saat melangkah ke luar pintu. “Aku akan berdoa untukmu, demikian pula yang lain.” Setelah itu Eric menoleh ke arahku, mengulurkan tangannya, dan menepuk pundakku, “Kau juga,” tambahnya, matanya merah. Sementara aku mengawasi mereka pergi, aku tahu aku belum pernah merasa sebangga itu pada mereka.
Kemudian, saat kami membuka amplop dari Eric, kami baru tahu apa yang telah dilakukan oleh sahabatku itu. Tanpa mengatakan apa-apa kepada kami, ia telah berhasil mengumpulkan lebih dari $400 untuk anak-anak panti asuhan.
Aku terus menantikan mukjizat itu.
Namun tidak kunjung datang.
Di awal bulan Februari obat yang diminum Jamie semakin banyak untuk membantu mengatasi rasa sakit yang harus ditanggungnya. Dosis yang lebih tinggi itu membuatnya pusing, dan Jamie terjatuh dua kali saat berjalan menuju kamar mandi, sekali kepalanya membentur wastafel. Setelah itu ia bersikeras agar para dokter mengurangi jumlah obatnya, dan dengan enggan mereka terpaksa menuruti keinginannya. Meskipun Jamie kemudian bisa berjalan dengan normal, sakit yang dideritanya semakin menjadi-jadi, dan kadang-kadang bahkan mengangkat lengannya saja sudah membuat ia mengernyit kesakitan. Leukemia merupakan penyakit dalam darah, yang mengalir mengikuti peredaran darah ke seluruh bagian tubuh. Prakits tidak ada cara untuk melepaskan diri dari penyakit itu selama jantung masih bekerja.
Namun penyakit itu juga melemahkan bagian-bagian tubuh yang lain, terutama otot, sehingga membuat usaha untuk melakukan hal yang paling sederhana sekalipun menjadi lebih sulit. Dalam minggu pertama bulan Februari, berat Jamie turun tiga kilogram, dan tak lama setelah itu berjalan pun menjadi semakin sulit baginya, kecuali hanya untuk jarak yang pendek. Itu, tentu saja, kalau ia dapat menahan rasa sakitnya, yang pada waktunya juga semakin sulit baginya. Jamie mulai meminum obat-obatnya lagi, dengan menerima rasa pusing untuk mengatasi sakitnya.
Kami masih sering membaca Alkitab.
Setiap kali aku mengunjungi Jamie, aku akan melihatnya di atas sofa dengan Alkitab dalam keadaan terbuka, dan aku tahu bahwa pada akhirnya Hegbert harus menggendong Jamie ke sana kalau kami masih terus ingin membaca bersama. Meskipun Jamie tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku, kami sama-sama tahu apa artinya semua itu. Waktuku semakin sedikit, dan hatiku terus mengatakan padaku bahwa masih ada sesuatu yang dapat kulakukan.
* * *
Pada tanggal 14 Februari, Hari Valentine, Jamie memilih sebuah ayat dari Korintus yang amat berarti baginya. Ia memberitahuku bahwa seandainya ia punya kesempatan, maka ayat inilah yang ingin dibacakan pada hari pernikahannya. Inilah bunyinya:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati. Ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Jamie merupakan sumber yang paling murni dari deskripsi itu. Tiga hari kemudian, di saat suhu udara mulai terasa sedikit lebih hangat, aku menunjukkan sesuatu yang indah sekali padanya. Sesuatu yang kuyakin tidak pernah dilihat Jamie sebelumnya, sesuatu yang kutahu ingin dilihatnya.
Daerah timur laut Carolina merupakan bagian terindah dan paling istimewa di wilayah kami, dengan udaranya yang bersuhu sedang dan letak geografisnya yang menakjubkan. Buktinya bisa dilihat di tepi sungai Bogue, sebuah pulau yang terletak persis di seberang pantai, dekat tempat kami dibesarkan. Pulau dengan panjang dua puluh empat mil dan lebar hampir satu mil ini merupakan keajaiban alam. Membujur dari arah timur ke barat, merangkum daerah pesisir dalam jarak setengah mil dari tepiannya. Mereka yang tinggal di sana bisa menyaksikan saat-saat menakjubkan terbit dan terbenamnya matahari setiap hari sepanjang tahun, keduanya melintasi hamparan Samudra Atlantik yang membentang tengah.
Jamie yang berpakaian ekstra tebal berdiri di sebelahku di tepi Dermaga Iron Steamer saat malam yang sempurna di daerah selatan di kejauhan dan memintanya untuk menunggu. Aku bisa melihat uap napas kami, napas Jamie lebih cepat daripada napasku. Aku harus menopang Jamie saat kami berdiri di sana—sepertinya ia lebih ringan daripada daun-daun pohon yang berjatuhan di musim gugur—namun aku tahu bahwa ini tidak akan sia-sia.
Pada waktunya bulan yang berkilauan mulai tampak seakan terbit dari laut, memantulkan suatu kilasan cahaya di atas hamparan air yang perlahan-lahan berubah gelap dan menyemburatkan ribuan nuansa berbeda, yang satu lebih indah daripada sebelumnya. Pada waktu yang bersamaan, matahari menyentuh garis cakrawala di arah yang berlawanan, mengubah warna langit menjadi kemerahan, oranye, dan kuning, seakan surga di atas sana tiba-tiba membuka seluruh gerbangnya dan mencurahkan semua keindahannya dalam kemuliaan surgawi. Laut berubah menjadi bernuansa perak keemasan sementara warna-warna yang terus bergerak itu memantul di atasnya. Airnya yang beriak tampak berkilauan mengikuti perubahan cahaya. Pemandangan itu megah, nyaris seperti awal dunia. Matahari terus terbena, membiaskan sinarnya sejauh mata memandang, sebelum akhirnya perlahan-lahan menghilang di balik alunan ombak. Bulan terus naik perlahan-lahan, menebarkan kemilau dalam berbagai nuansa kuning, semakin lama semakin pucat, sebelum akhirnya berubah warna seperti warna bintang-bintang.
Jamie tertegun menyaksikan semua ini, lenganku merangkul pinggangnya dengan erat, napasnya pendek-pendek dan leah. Sewaktu langit akhirnya menjadi gelap dan kilau bintang pertama mulai bersinar di langit sebelah selatan, aku memeluknya. Dengan lembut aku mencium kedua belah pipinya dan setelah itu bibirnya.
“Begitulah,” ujarku, “tepatnya perasaanku padamu.”
* * *
Seminggu kemudian kunjungan Jamie ke rumah sakit menjadi semakin teratur, meskipun ia bersikeras tidak ingin menginap di sana. “Aku ingin meninggal di rumah,” adalah yang dikatakannya. Mengingat para dokter tidak dapat melakukan apa-apa lagi baginya, mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya.
Setidaknya untuk sementara waktu.
“Aku sering memikirkan kejadian-kejadian selama beberapa bulan terakhir ini,” kataku pada Jamie.
Kami sedang berada di ruang duduk, berpegangan tangan sambil membaca Alkitab. Wajahnya tampak semakin kurus, rambutnya mulai kehilangan sinarnya. Namun matanya, mata yang biru dan lembut itu, masih secantik sebelumnya.
Aku tidak yakin pernah melihat seseorang secantik dirinya.
“Aku juga,” sahutnya.
“Kau tahu, sejak hari pertama di kelas Miss Garber bahwa aku akan bermain dalam drama itu,bukan? Di saat kau menatapku dan tersenyum?”
Jamie mengangguk. “Ya.”
“Dan ketika aku mengajakmu ke pesta dansa homecoming itu, kau membuatku berjanji tidak akan jatuh cinta padamu, tapi kau sudah tahu aku akan jatuh cinta padamu, kan?”
Kilau nakal membayang di matanya. “Ya.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Ia mengangkat bahunya tanpa menjawab, dan kami duduk berdua di sana selama beberapa saat sambil mengawasi hujan yang sedang menerpa permukaan kaca jendela.
“Ketika aku mengatakan padamu bahwa aku mendoakanmu,” kata Jamie akhirnya, “kaupikir apa maksudku?”
Sakitnya menjadi semakin parah, dan semua berjalan semakin cepat menjelang bulan Maret. Ia meminum lebih banyak obat untuk mengatasi rasa sakitnya, dan perutnya sering mual sehingga tidak bisa makan banyak. Tubuhnya semakin lemah, dan tampaknya Jamie harus segera dirawat di rumah sakit, meskipun sebetulnya ia tidak mau.
Ibu dan ayahkulah yang mengubah semuanya. Ayahku pulang naik mobil dari Washington. Ia buru-buru berangkat meskipun Kongres masih bersidang. Rupanya ibuku yang meneleponnya dan mengatakan kepada ayahku jika ia tidak segera pulang, sebaiknya ia tetap tinggal di Washington saja untuk selamanya.
Setelah ibuku memberitahu ayahku apa yang sedang terjadi, ayahku mengatakan bahwa Hegbert takkan pernah mau menerima uluran tangannya. Ia menganggap Hegbert terlalu sakit hati untuk memaafkannya, dan sudah terlambat untuk melakukan sesuatu sekarang.
“Ini bukan soal keluargamu, atau bahkan soal Pendeta Sullivan, atau entah apa yang pernah terjadi dulu,” kata ibuku padanya, yang menolak menerima alasannya. “Ini tentang putra kita, yang kebetulan jatuh cinta pada seorang gadis muda yang membutuhkan bantuan kita. Dan kau harus menemukan suatu cara untuk menolongnya.”
Aku tidak tahu apa yang dikatakan ayahku pada Hegbert atau janji apa yang harus ia buat atau berapa biayanya untuk semua ini. Aku cuma tahu bahwa Jamie kemudian dikelilingi oleh
berbagai peralatan canggih, memperoleh semua obat yang dibutuhkannya, dan terus diawasi oleh dua orang perawat sementara seorang dokter memantau kondisinya selama beberapa kali dalam sehari.
Jamie bisa tetap tinggal di rumah. Malam itu aku menangis dalam pelukan ayahku untuk pertama kalinya dalam hidupku.
“Apakah masih ada yang kausesali?” tanyaku pada Jamie. Ia sedang berada di atas tempat tidurnya dengan ditutupi selimut, slang di lengannya mengalirkan obat-obatan yang ia butuhkan ke dalam tubuhnya. Wajahnya pucat, tubuhnya seringan bulu. Jamie nyaris tidak bisa berjalan, dan kalau memaksa untuk berjalan, ia harus dibantu oleh orang lain sekarang.
“Kita semua memiliki penyesalan, Landon,” sahutnya, “namun aku telah menjalani kehidupan yang sangat indah.”
“Bagaimana kau bisa bicara seperti itu?” tanyaku, hampir tidak bisa menahan kepedihanku. “Dengan semua yang terjadi pada dirimu?”
Ia meremas tanganku, cengkeramannya lemah. Ia tersenyum lembut padaku.
“Ini semua,” Jamie mengakui, sambil melihat ke sekelilingnya, “semestinya bisa lebih baik.”
Aku tetap tertawa meskipun mataku berkaca-kaca, kemudian langsung merasa bersalah karena telah tertawa. Seharusnya aku memberikan dukungan padanya, bukan sebaliknya. Jamie melanjutkan ucapannya.
“Tapi selain itu, aku bahagia sekali, Landon. Sungguh. Aku memiliki ayah yang istimewa, yang mengajarkanku tentang Tuhan. Aku bisa mengenang kembali dan tahu bahwa aku tidak mungkin bisa melakukan lebih banyak dalam menolong orang lain sejauh yang telah kulakukan selama ini.” Ia terdiam sejenak dan menatapku. “Aku bahkan sudah pernah jatuh cinta dan orang itu membalas cintaku.”
Aku mencium tangannya setelah Jamie mengatakan itu, kemudian mendekatkan tangannya ke pipiku.
“Itu tidak adil,” ujarku.
Jamie tidak menjawab.
“Kau masih takut?” tanyaku.
“Ya.”
“Aku juga takut,” ujarku.
“Aku tahu. Maafkan aku.”
“Apa yang bisa kulakukan?” tanyaku putus asa. “Aku tidak tahu lagi apa yang seharusnya kulakukan.”
“Maukah kau membaca untukku?”
Aku mengangguk, meskipun aku tidak yakin apakah aku akan sanggup membaca sampai ke halaman berikutnya tanpa perasaanku hancur sebelumnya.
Ya Tuhan, katakanlah apa yang harus kulakukan!
“Mom?” ujarku pada ibuku malam itu.
“Ya?”
Kami sedang duduk di sofa di dalam ruang rekreasi, api pendiangan menyala di dekat kami. Sebelumnya pada hari itu, Jamie tertidur selagi aku membaca baginya. Aku tahu ia butuh istirahat, sehingga aku menyelinap keluar dari kamarnya. Namun sebelum aku keluar, aku mencium pipinya perlahan-lahan. Tidak terjadi apa-apa sebetulnya, tapi Hegbert kebetulan masuk saat aku mencium Jamie, dan aku sempat melihat konflik emosi yang terpancar di matanya. Ia menatapku. Ia tahu aku mencintai putrinya, tapi selain itu aku juga telah melanggar salah satu peraturan di rumahnya, meskipun itu tidak pernah sampai diucapkan. Seandainya Jamie tidak dalam keadaan sakit, aku tahu ia takkan pernah mengizinkanku masuk ke rumahnya lagi. Akhirnya aku berjalan keluar dari kamar.
Sebenarnya aku tidak dapat menyalahkan Hegbert. Melewatkan waktu bersama Jamie telah membuat perasaan kecewaku menanggapi sikapnya mereda. Kalaupun Jamie mengajarkan sesuatu kepadaku selama beberapa bulan terakhir ini, maka ia telah menunjukkan kepadaku bahwa perbuatan—bukan pikiran atau niat—merupakan cara untuk menilai seseorang, dan aku tahu bahwa Hegbert akan mengizinkanku masuk ke rumahnya pada hari berikutnya. Aku sedang memikirkan semua itu saat duduk di sofa di sebelah ibuku.
“Apakah menurutmu keberadaan kita dalam kehidupan ini memiliki tujuan?” tanyaku.
Baru pertama kali inilah aku mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, namun situasinya memang lain kali ini.
“Aku tidak yakin aku mengerti apa maksudmu,” sambutnya sambil mengangkat alis.
“Maksudku, dari mana kau bisa tahu apa yang seharusnya kaulakukan?”
“Apakah kau menanyakan padaku soal melewatkan waktu dengan Jamie?”
Aku mengangguk, meskipun aku masih bingung. “Bisa dibilang begitu. Aku tahu aku melakukan sesuatu yang benar, tapi… sepertinya masih ada sesuatu yang kurang. Aku melewatkan waktu dengannya, berbicara, dan membaca Alkitab, tapi…”
Aku terdiam sebentar, dan ibuku menyelesaikan isi pikiranku itu untukku.
“Menurutmu seharusnya kau melakukan lebih?”
Aku mengangguk.
“Aku tidak yakin masih ada lagi yang dapat kaulakukan, Sayang,” katanya dengan lembut.
“Lalu mengapa aku merasa seperti yang kurasakan sekarang?”
Ia menggeser duduknya lebih dekat dengan aku, dan kami mengawasi api di pendiangan itu bersama-sama.
“Kurasa itu karena kau takut dan merasa tidak berdaya, dan meskipun kau mencobanya, situasinya terus semakin memburuk—untuk kalian berdua. Dan semakin kau mencoba, kau merasa seperti semakin tidak berdaya.”
“Adakah suatu cara untuk menghentikan perasaan ini?”
Ia melingkarkan lengannya di pundakku dan menarikku ke dekatnya. “Tidak,” sahutnya dengan lembut, “tidak ada.”
Keesokan harinya Jamie tidak bisa turun dari tempat tidur. Karena ia sekarang merasa terlalu lemah untuk berjalan bahkan dengan bantuan sekalipun, kami membaca Alkitab di dalam kamarnya.
Ia tertidur beberapa menit kemudian.
Satu minggu lagi berlalu dan kondisi Jamie terus merosot, tubuhnya semakin lemah. Terbaring di atas tempat tidurnya, membuat Jamie tampak lebih kecil, nyaris seperti gadis kecil lagi.
“Jamie,” ujarku dalam nada memohon, “apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Jamie, Jamie-ku yang manis, mula tidur selama beberapa jam terus-menerus sekarang, bahkan di saat aku berbicara padanya. Ia tidak bergerak mendengar suaraku, irama napasnya cepat dan lemah.
Aku duduk di samping tempat tidurnya dan mengawasinya selama beberapa waktu, meresapi perasaan cintaku padanya. Aku menggenggam tangannya di dekat jantungku, merasakan jari-jarinya yang kurus. Sebagian dari diriku ingin menangis saat itu, namun aku meletakkan tangannya kembali kemudian berpaling ke arah jendela.
Kenapa, tanyaku pada diri sendiri, duniaku tiba-tiba menjadi suram seperti ini? Kenapa semua ini harus terjadi pada seseorang seperti Jamie? Aku mempertanyakan apakah masih ada hikmah di balik semua ini? Apakah ini semua, seperti yang akan dikatakan Jamie, hanya bagian dari rencana Tuhan? Apakah Tuhan menginginkanku jatuh cinta padanya? Atau apakah ini hanya perbuatanku belaka? Semakin lama Jamie tidur, semakin aku merasakan kehadirannya di dekatku, namun jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku ini masih juga belum jelas seperti sebelumnya.
Di luar, hujan yang turun sejak pagi sudah mulai mereda. Memang hari ini mendung, tapi sekarang, menjelang sore, sinar matahari mulai tampak menerobos gumpalan awan. Dalam kesejukan suasana musim semi aku melihat tanda-tanda awal kehidupan alam. Pohon-pohon di luar mulai mengeluarkan tunas, daun-daun sedang menanti saat yang tepat untuk keluar dan tumbuh menyambut musim panas lagi.
Di atas meja kecil di samping tempat tidurnya aku melihat koleksi benda-benda yang berarti bagi Jamie. Ada foto ayahnya, menggandeng tangan Jamie yang ketika itu masih kanak-kanak dan berdiri di luar gedung sekolah pada hari pertamanya di taman kanak-kanak, ada pula setumpuk kartu yang dikirim oleh anak-anak panti asuhan. Sambil menghela napas, aku meraih kartu-kartu itu dan membuka kartu paling atas.
Ditulis dengan krayon, bunyinya:
Cepatlah sembuh. Aku kangen.
Kartu itu ditandatangani oleh Lydia, si gadis kecil yang tertidur di pangkuan Jamie pada Malam Natal. Kartu kedua mengekspresikan pesan yang sama, namun yang sungguh-sungguh menarik perhatianku adalah gambar yang dibuat oleh si bocah, Roger. Ia telah menggambar seekor burung yang terbang tinggi di atas pelangi.
Dengan terharu aku menutup kartu itu. Aku tidak tahan melihat yang lain, dan saat aku mengembalikan tumpukan itu di tempatnya semula, aku melihat kliping koran, persis di dekat gelas minum Jamie. Aku meraih potongan kertas itu dan melihat bahwa itu adalah liputan mengenai pementasan kami, yang diterbitkan dalam koran hari Minggu persis sehari setelah pementasan kami yang terakhir. Dalam foto di atas teks itu, aku melihat satu-satunya foto kami berdua.
Semua itu sepertinya sudah lama berlalu. Aku melihat artikel itu lebih dekat. Saat mengamatinya, aku teringat pada perasaanku ketika melihat dirinya malam itu. Aku memperhatikan gambarnya, dan mencoba mencari suatu tanda yang membuktikan bahwa ia sudah merasakan apa yang akan terjadi. Aku tahu bahwa ia sudah merasakannya, namun ekspresinya pada malam itu sama sekali tidak mengungkapkan apa-apa. Malah yang kulihat hanyalah luapan rasa bahagianya. Aku lalu menghela napas dan menyisihkan kliping itu.
Alkitab itu masih tergeletak dalam keadaan terbuka di tempat aku meninggalkannya sebelumnya, dan meskipun Jamie sedang tidur, aku merasa butuh untuk membaca sedikit lagi. Akhirnya aku sampai di suatu ayat lain. Begini bunyinya:
Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan usaha orang-orang lain untuk membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu.
Kata-kata itu membuatku merasa terharu lagi, dan pada saat air mataku akan mengalir turun, aku tiba-tiba mengerti artinya dengan jelas.
Tuhan akhirnya memberikan jawaban-Nya kepadaku, dan tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan. Akut idak akan bisa sampai di gereja dengan lebih cepat, bahkan seandainya aku naik mobil sekalipun. Aku memotong jalan sebisa mungkin, melintasi halaman belakang rumah seseorang, melompati pagar-pagar, dan sekali menerobos masuk melalui garasi seseorang dan keluar lagi melalui pintu sampingnya. Semua yang kupelajari mengenai kota itu di saat aku dibesarkan langsung kupraktekkan. Meskipun aku bukan atlet yang berprestasi, pada hari ini semangatku menggebu-gebu, didorong oleh apa yang harus kulakukan.
Aku tidak peduli bagaimana penampilanku ketika aku tiba karena kurasa Hegbert pun tidak peduli. Sewaktu aku akhirnya memasuki gereja, aku memperlambat langkah-langkahku, sambil mencoba mengatur napasku saat menuju ruang belakang, ke ruang kerja Hegbert.
Hegbert mendongakkan kepalanya saat melihatku, dan aku tahu mengapa ia sedang berada di situ. Ia tidak mengundangku masuk, melainkan hanya mengalihkan pandangannya, ke arah jendela lagi. Di rumah ia menghadapi penyakit anaknya dengan membersihkan seluruh rumahnya nyaris seperti orang kerasukan. Tapi di sini, kertas-kertasnya berserakan di atas seluruh permukaan mejanya, dan buku-bukunya tersebar di seluruh ruangan seakan tak ada seorang pun yang membereskannya selama berminggu-minggu. Aku tahu di sinilah tempatnya memikirkan Jamie, tempat yang didatangi Hegbert untuk menangis.
“Pendeta?” sapaku dengan hati-hati.
Ia tidak menjawab, namun aku tetap melangkah masuk.
“Aku ingin sendirian,” ujarnya dalam suara parau.
Ia tampak tua dan kalah, seperti orang-orang Israel yang dikisahkan oleh Daud dalam ayat-ayat Mazmur. Wajahnya pucat, dan rambutnya kelihatan lebih tipis lagi sejak bulan Desember. Mungkin ia harus berusaha untuk mempertahankan semangatnya di sekitar Jamie, lebih daripada yang kulakukan, dan tekanan yang dirasakannya selama itu ternyata amat melelahkannya.
Aku langsung menuju meja tulisnya, dan ia melirik ke arahku sebelum berpaling ke jendela lagi.
“Aku mohon,” ujarnya kepadaku. Nadanya tidak berdaya, seakan tidak memiliki kekuatan lagi bahkan untuk menghadapiku.
“Aku ingin berbicara dengan Anda,” kataku tegas. “Aku tidak akan memintanya kecuali kalau ini memang penting sekali.”
Hegbert menghela napas, dan aku duduk di kursi yang pernah kududuki sebelumnya, ketika aku menanyakan padanya apakah ia mengizinkanku mengajak Jamie pergi keluar pada Malam Tahun Baru.
Ia mendengarkan saat aku memberitahu apa yang ada di dalam benakku.
Ketika aku selesai bicara, Hegbert berpaling ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, tapi aku merasa bersyukur ia tidak mengatakan tidak. Malah ia mengusap matanya dengan jemarinya dan berpaling ke arah jendela.
Bahkan Hegbert, merasa sangat terkejut ketika itu hingga tidak bisa bicara.
Sekali lagi aku lari, aku tidak lelah, niatku memberikan kekuatan yang kubutuhkan untuk terus melaju. Begitu aku sampai di rumah Jamie, aku langsung masuk tanpa mengetuk, dan si perawat yang sedang berada di dalam kamarnya keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sebelum ia mengatakan sesuatu, aku lebih dulu bicara.
“Apakah Jamie sudah bangun?” tanyaku, antusias dan cemas pada waktu yang bersamaan.
“Sudah,” jawab si perawat dalam nada waswas. “Begitu bangun, ia menanyakan di mana kau berada.”
Aku meminta maaf atas penampilanku yang tidak keruan dan mengucapkan terima kasih padanya, setelah itu aku bertanya apakah ia tidak keberatan meninggalkan kami berdua selama beberapa waktu. Aku melangkah masuk ke kamar Jamie, menutup pintunya sebagian di belakangku. Ia tampak pucat, pucat sekali, namun senyumannya memberitahuku bahwa ia masih mau berjuang.
“Halo, Landon,” tegurnya, suaranya lemah, “terima kasih mau datang kembali.”
Aku menarik sebuah kursi dan duduk di dekatnya, sambil menggenggam tangannya. Melihatnya terbaring di sana membuatku merasa tidak nyaman, membuatku nyaris ingin menangis.
“Aku sudah kemari tadi, tapi kau sedang tidur,” ujarku.
“Aku tahu… maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menahan kantukku lagi.”
“Tak apa-apa, sungguh.”
Ia mengangkat tangannya sedikit, dan aku menciumnya, kemudian mencodongkan tubuhku ke depan untuk mencium pipinya.
“Kau mencintaiku?” tanyaku padanya.
Ia tersenyum. “Ya.”
“Kau mau membuatku bahagia?” Saat aku menanyakan pertanyaan ini padanya, aku merasa jantungku mulai berdebar-debar.
“Tentu saja aku mau.”
“Kalau begitu, kau mau melakukan sesuatu untukku?”
Ia memalingkan wajahnya, kesedihan membayang di sana. “Aku tidak yakin apakah aku masih bisa melakukannya,” sahut Jamie.
“Tapi kalau kau bisa, kau mau, kan?”
Aku tidak dapat menggambarkan dengan tepat bagaimana persisnya perasaanku ketika itu. Cinta, amarah, kesedihan, harapan, dan ketakutan berbaur menjadi satu, diperuncing kecemasan yang sedang kurasakan. Jamie menatapku dengan heran, dan irama napasku menjadi lebih cepat. Tiba-tiba aku tahu bahwa perasaanku terhadap seseorang tidak pernah sekuat yang kurasakan saat itu. Saat membalas tatapannya, kenyataan sederhana itu membuatku berharap untuk kesekian kalinya aku dapat membuat semua kepedihan ini hilang. Seandainya itu memang mungkin, aku bersedia bertukar tempat dengannya. Aku ingin sekali mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku padanya, namun suaranya tiba-tiba menenangkan emosi yang sedang bergejolak di dalam diriku.
“Ya,” kata Jamie akhirnya, suaranya lemah namun tetap penuh dengan janji. “Aku mau.”
Akhirnya aku menciumnya lagi setelah dapat mengendalikan diriku kembali, kemudian aku mendekatkan tanganku ke wajahnya. Aku menikmati kehalusan kulitnya, kelembutan yang terpancar dari matanya. Bahkan pada saat itu ia begitu sempurna.
Tenggorokanku kembali tercekat, tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tahu sekarang apa yang harus kulakukan. Mengingat aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak mungkin dapat menyembuhkannya, yang ingin kulakukan adalah memberikan kepadanya sesuatu yang memang dari dulu ia inginkan. Itulah yang dikatakan oleh hatiku selama ini.
Jamie, setahuku saat itu, telah memberikan kepadaku jawaban yang selama ini kucari, jawaban yang dibutuhkan oleh hatiku. Ia telah memberikan jawabannya padaku saat kami duduk berdua di luar ruang kerja Mr. Jenkins pada malam kami menanyakan pendapatnya mengenai pementasan drama itu.
Aku tersenyum lembut, dan ia membalas pernyataan sayangku dengan meremas pelan tanganku, seakan ia percaya pada apa yang akan kulakukan. Dengan perasaan lebih mantap, aku mencondongkan tubuhku lebih dekat dan menarik napas dalam-dalam. Saat mengeluarkan napas, aku mengucapkannya seiring dengan aliran napasku.
“Maukah kau menikah denganku?”

  
BAB 13

SEWAKTU aku berusia 17 tahun, hidupku berubah untuk selamanya.
Saat aku menyusuri jalan-jalan kota Beaufort sekitar empat puluh tahun kemudian, sambil mengenang kembali tahun itu dalam kehidupanku, aku mengingat segalanya dengan jelas. SEakan semua itu baru saja terjadi di hadapanku.
Aku ingat Jamie menjawab ya menanggapi pertanyaanku yang emosional dan bagaimana kami berdua mulai menangis bersama. Aku ingat saat berbicara dengan Hegbert dan kedua orangtuaku, dan menjelaskan pada mereka apa yang perlu kulakukan. Mereka mengira aku melakukannya semata-mata hanya untuk Jamie, dan mereka bertiga berusaha mempengaruhiku agar mau mengubah pikiranku, terutama setelah mereka menyadari bahwa Jamie telah menerima lamaranku. Mereka tidak menyadari, dan aku terpaksa menjelaskannya kepada mereka, bahwa aku harus melakukannya demi diriku sendiri.
Aku sedang jatuh cinta pada Jamie, cintaku begitu dalam baginya sehingga aku tidak peduli apakah ia sedang dalam keadaan sakit. Aku tidak peduli jika kami tidak punya waktu lama. Semua itu tidak penting bagiku. Saat ini aku hanya ingin melakukan apa menurut hatiku merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Seingatku pada saat itulah Tuhan untuk pertama kalinya berbicara secara langsung kepadaku, dan aku yakin bahwa aku harus mematuhi-Nya.
Aku tahu ada di antara kalian yang mungkin bertanya-tanya apakah aku melakukannya karena rasa iba. Mereka yang lebih sinis mungkin bahkan bertanya-tanya apakah aku melakukannya karena Jamie sebentar lagi akan meninggal sehingga aku tidak perlu terlalu lama berkomitmen. Jawaban untuk kedua pertanyaan itu adalah tidak. Aku tetap akan menikahi Jamie Sullivan apa pun yang akan terjadi. Aku tetap akan menikahi Jamie Sullivan seandainya doaku untuk meminta mukjizat ternyata tiba-tiba dikabulkan. Aku yakin saat aku meminangnya, dan aku masih yakin hingga hari ini.
Jamie memang lebih daripada sekadar gadis yang kucintai. Tahun itu Jamie membantuku menjadi diriku yang sekarang. Dengan bimbingannya ia menunjukkan padaku betapa pentingnya membantu orang lain. Dengan kesabaran dan kelembutannya ia menunjukkan padaku apa arti hidup ini yang sebenarnya. Sikap gembira dan optimisnya, bahkan di saat-saat sakitnya, merupakan hal paling menakjubkan yang pernah kusaksikan.
Kami dinikahkan oleh Hegbert di gereja Baptis, ayahku berdiri di sampingku sebagai pendamping mempelai pria. Itu satu hal lagi yang telah dilakukan Jamie. Di daerah Selatan berlaku tradisi bahwa ayah mempelai pria yang akan menjadi pendamping dalam pernikahan, tapi bagiku tradisi itu tidak banyak berarti sebelum Jamie memasuki hidupku. Jamie telah mempersatukan aku dan ayahku kembali, dan entah bagaimana caranya ia juga telah berhasil mengobati sebagian luka di antara keluarga kami. Setelah apa yang dilakukan oleh ayahku untuk aku dan untuk Jamie, aku tahu pada akhirnya bahwa ayahku adalah seseorang yang selalu dapat kuandalkan. Hubungan aku dan ayahku semakin membaik seiring dengan berlalunya wkatu sampai ayahku akhirnya meninggal dunia.
Jamie juga mengajarkanku makna pemberian maaf dan kekuatan perubahan dari maaf itu. Aku menyadari hal ini ketika Eric dan Margaret datang berkunjung ke rumahnya. Jamie tidak menaruh dendam. Jamie menjalankan hidupnya sesuai dengan ajaran Alkitab.
Jamie memang bukan hanya malaikat yang pernah menyelamatkan Tom Thornton, tapi ia juga malaikat yang telah menyelamatkan kami semua.
Persis seperti yang pernah ia angankan, gereja penuh sesak. Lebih dari dua ratus tamu duduk di dalam, dan lebih banyak dari itu menunggu di luar pintu gereja saat kami menikah pada tanggal 12 Maret 1959. Karena kami menikah terburu-buru, tidak ada cukup waktu untuk melakukan berbagai persiapan, dan orang-orang berdatangan dari berbagai tempat untuk menjadikan hari itu seistimewa mungkin, meskipun mereka cuma datang untuk memberikan dukungan pada kami.
Aku melihat semua orang yang kukenal—Miss Garber, Eric, Margaret, Eddie, Sally, Carey, Angela, bahkan Lew dan neneknya—dan tidak ada mata yang tetap kering di dalam gereja itu saat musik mulai dilantunkan. Meskipun Jamie amat lemah dan sudah dua minggu tidak turun dari tempat tidur, ia bersikeras untuk berjalan dari pintu gereja menuju altar agar ayahnya dapat menyerahkannya kepadaku. “Ini sangat berarti bagiku, Landon,” ujarnya ketika itu. “Ini bagian dari mimpiku, kau ingat?” Meskipun aku merasa khawatir bahwa itu tidak mungkin, aku hanya dapat mengangguk. Mau tidak mau aku mengagumi keyakinannya.
Aku tahu ia berencana untuk memakai gaun yang ia kenakan di Playhouse pada malam pementasan itu. Memang hanya gaun putih itulah yang ada dalam waktu sesingkat itu, meskipun aku tahu bahwa gaun itu akan lebih longgar daripada sebelumnya. Sementara aku bertanya-tanya bagaimana penampilan Jamie dalam gaun itu, ayahku meletakkan tangannya di atas pundakku saat kami berdiri di hadapan banyak orang.
“Aku bangga padamu, Nak.”
 Aku mengangguk. “Aku juga bangga padamu, Dad.”
Baru pertama kali itulah aku mengucapkan kata-kata itu padanya. Ibuku duduk di bangku baris depan, mengusap matanya dengan sapu tangan ketika lagu Wedding March mulai dilantunkan. Pintu-pintu dibuka dan aku melihat Jamie, duduk di kursi rodanya, seorang perawat di sampingnya. Dengan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya, Jamie berdiri dengan goyah sementara Hegbert menyangga tubuhnya. Kemudian Jamie dan Hegbert perlahan-lahan melangkah menuju altar, sementara semua orang di dalam gereja itu duduk diam dengan perasaan takjub. Di tengah jalan, Jamie tiba-tiba tampak kelelahan, dan mereka berhenti sebentar sementara ia mengatur napasnya. Matanya terpejam, dan untuk sesaat aku mengira Jamie tidak dapat melanjutkan langkahnya. Aku tahu tidak lebih dari sepuluh sampai dua belas detik berlalu, tapi rasanya jauh lebih lama, dan akhirnya Jamie mengangguk. Setelah itu, Jamie dan Hegbert mulai bergerak lagi, dan aku merasa hatiku dipenuhi rasa bangga. Aku ingat yang terlintas dalam benakku saat itu adalah langkah paling sulit yang pernah dilakukan oleh seseorang.
Langkah yang akan kukenang selalu.
Si perawat telah mendorong kursi rodanya ke depan sementara Jamie dan ayahnya melangkah ke arahku. Ketika Jamie akhirnya sampai di sampingku, terdengar suara orang-orang menghela napas lega dan semua secara spontan mulai bertepuk tangan. Si perawat mendorong kursi rodanya ke tempat semestinya, dan Jamie duduk kembali, kehabisan tenaga. Sambil tersenyum aku berlutut agar aku bisa sejajar dengannya. Ayahku kemudian melakukan hal yang sama.
Hegbert, setelah mencium pipi Jamie, meraih Alkitab untuk memulai upacara itu. Siap untuk melakukan tugasnya sekarang, ia tampak seperti telah menanggalkan perannya sebagai ayah Jamie untuk menjadi orang lain, di mana ia dapat lebih menguasai emosinya. Namun aku bisa melihat bahwa Hegbert berjuang keras saat berdiri di hadapan kami. Ia mengenakan kaca matanya dan membuka Alkitab, kemudian ia menatap aku dan Jamie. Ternyata Hegbert menjadi jauh lebih tinggi daripada kami, dan aku bisa melihat bahwa ia tidak menyangka bahwa kami berada dalam posisi serendah itu. Untuk sesaat ia berdiri di hadapan kami, nyaris kehabisan akal, kemudian tiba-tiba ia memutuskan untuk ikut berlutut. Jamie tersenyum dan meraih tangan ayahnya, setelah itu ia meraih tanganku, untuk dipersatukan.
Hegbert memulai upacara itu secara tradisional, setelah itu ia membaca ayat di dalam Alkitab yang pernah ditunjukkan Jamie kepadaku. Mengetahui bahwa Jamie sangat lemah, aku mengira Hegbert akan menyuruh kami untuk langsung mengucapkan janji pernikahan, namun sekali lagi Hegbert memberikan kejutan padaku. Ia menatapku dan Jamie, lalu melayangkan pandangannya ke arah jemaatnya, lalu kembali kepada kami, seakan sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat.
Ia menelan ludahnya, dan volume suaranya naik sehingga semua bisa mendengarnya. Inilah yang ia katakan:
“Sebagai seorang ayah, aku diharapkan untuk menyerahkan putriku pada saat pernikahan, namun aku tidak yakin aku bisa melakukannya.”
Semua terdiam, dan Hegbert mengangguk ke arahku, seakan memohon agar aku bersabar. Jamie meremas tanganku.
“Aku tidak bisa menyerahkan Jamie sama seperti aku tidak bisa menyerahkan hatiku. Tapi yang dapat kulakukan adalah membiarkan seseorang ikut menikmati kebahagiaan yang selalu diberikan Jamie kepadaku. Semoga berkat Tuhan bersama kalian berdua.”
Baru pada saat itulah Hegbert menyisihkan Alkitab-nya. Ia mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku menyambutnya, untuk melengkapi lingkaran itu.
Setelah ia membimbing kami untuk mengucapkan janji pernikahan. Ayahku menyerahkan cincin yang kupilih dengan bantuan ibuku, dan Jamie juga memberikan cincin kepadaku. Kami menyelipkan cincin-cincin itu di jari-jari kami. Hegbert mengawasi saat kami melakukannya, dan setelah kami selesai, ia menyatakan kami sebagai pasangan suami-istri. Aku mencium Jamie dengan lembut sementara ibuku mulai menangis, kemudian aku menggenggam tangan Jamie. Di hadapan Tuhan dan semua orang aku menjanjikan cinta dan kesetiaanku padanya, dalam sakit dan dalam keadaan sehat. Aku belum pernah merasa begitu yakin dan benar mengenai apa pun kecuali pada saat itu.
Sepanjang ingatanku, saat itu merupakan saat yang terindah dalam hidupku.
Kini sudah empat puluh tahun berlalu, dan aku masih bisa mengingat semua tentang hari itu. Aku mungkin lebih tua dan lebih bijaksana, aku mungkin telah menjalani kehidupan yang lain sejak saat itu, namun aku tahu bila waktuku akhirnya tiba, kenangan akan hari itu merupakan bayangan terakhir yang akan terlintas dalam ingatanku. Aku masih mencintainya, dan aku tidak pernah melepaskan cincinku. Selama sekian tahu aku tidak pernah punya keinginan untuk melakukannya.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara musim semi yang segar. Meskipun kota Beaufort sudah berubah dan aku sudah berubah, udaranya masih tetap sama. Masih udara yang sama dari masa kecilku, masih udara yang sama seperti ketika aku berusia tujuh belas tahun, dan
ketika aku akhirnya mengembuskan napas, aku berusia lima puluh tujuh tahun kembali. Tapi tidak apa-apa. Aku tersenyum, sambil menatap langit, karena masih ada satu hal yang belum kuberitahukan. Sekarang aku percaya bahwa mukjizat itu bisa saja terjadi.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates