Hadits Periode Pertama Muhammad saw
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sejarah perkembangan
hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan pengalaman umat dari
generasi ke generasi. Sejarah dan periodisasi
penghimpunan hadits mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan yang
dialami oleh Al-Qur’an. Hal itu
dikarenakan pada masa nabi dan para sahabat, Al-Qur’an mendapatkan perhatian
yang penuh. Selain itu rasul mengharapkan para sahabat untuk untuk menghafal Al-Qur’an
dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang,
pelepah kurma, dibebatuan, dan lain sebagainya.
Sejarah pengumpulan dan
penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati fase historis yang sangat
panjang semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai
puncaknya pada kurun abad ketiga hijriyah. Perjuangan para ulama hadits telah
berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap
hadits mana yang soheh dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode
yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad,
sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran hadits.
Kaidah-kaidah tersebut
akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu
hadits. Perjalanan hadits pada tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan
hambatan yang dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode lainnya
tidak sama, maka pengungkapan sejarah perlu di ajukan ciri-ciri khusus dalam persoalan
tersebut. Di antara ulama tidak sama dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan hadits ini. Ada ahli hadits yang membagi pada tiga periode,
seperti masa Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, masa pentadwinan dan masa
setelah tadwin. Ada juga yang membagi pada periodesasi yang lebih terinci,
sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi yang cukup jelas. Disini akan dibahas periode hadits yang pertama yaitu
periode Muhammad SAW.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana hadits pada
masa Rasulullah SAW
?
2.
Bagaimana langkah-langkah Rasulullah dalam menyebarkan
hadits ?
3.
Bagaimana metode pengajaran hadits pada masa
Rasulullah ?
4.
Siapa sajakah
tokoh-tokoh hadits pada masa Rasulullah ?
5.
Bagaimanakah kejelasan
tentang penulisan hadits dan pelarangannya ?
TUJUAN
MASALAH
1.
Untuk mengetahui hadits pada masa Rasulullah.
2.
Untuk mengetahui langkah-langkah Rasulullah dalam
menyebarkan hadits.
3.
Untuk mengetahui metode pengajaran hadits pada masa
Rasulullah.
4.
Untuk mengetahui tokoh-tokoh hadits pada masa
Rasulullah.
5.
Untuk mengetahui kejelasan tentang penulisan hadits
dan pelarangannya.
PEMBAHASAN
A.
HADITS PADA MASA RASULULLAH SAW
Perkembangan
hadits pada
masa Rasulullah adalah perkembangan hadits pada saat awal pertumbuhannya.
Menurut istilah ulama ahli hadits, Hadits
yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapannya sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah
diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di
sini semakna dengan sunnah. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan
pribadi Rasulullah sebagai sumber hadits. Rasulullah membina umatnya selama 23
tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus
diwujudkannya hadits.
Umat Islam pada masa
ini menerima hadits Rasulullah secara langsung. Tidak ada pertentangan mengenai
hadits karena jika ada kesalahpahaman atau keraguan, mereka dapat langsung
bertanya kepada Rasulullah. Para sahabat secara aktif berguru dan bertanya pada
Rasulullah tentang segala sesuatu yang mereka tidak tahu baik urusan dunia
maupun akhirat. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan sangatlah terbuka dan
bervariasi seperti masjid, pasar, jalanan dan dirumahnya sendiri.
B.
LANGKAH-LANGKAH
RASULULLAH DALAM MENYEBARKAN HADITS
1.
Mendirikan sekolah
Ketika
Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan
mendirikan semacam Majlis Ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di
rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah
ke kota Madinah beliau mendirikan sekolah/madrasah. Berbagai majelis ilmu ini
bukan hanya diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan khusus
untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi,
kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal. Di samping
itu kegiatan sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan khatib ke
berbagai wilayah di luar kota Madinah.
2.
Memberikan Perintah/Instruksi
Rasulullah bersabda,
“Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun
hanya satu ayat.” Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi pada
saat Haji wada’: “Yang hadir di sini
hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.” Karena itu
merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan
perbuatan Rasulullah kepada sahabat yang lain yang tidak hadir.
Delegasi yang datang ke Kota Madinah
diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin
Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban
hingga jauh sesudah Rasulullah wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada
yang lain.
3.
Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu
Rasulullah tidak
hanya memerintah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan
(pahala) yang besar bagi subyek pendidikan. Rasulullah bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap
muslim. Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga.” Bagi mereka yang mengajar, Rasulullah
menyampaikan sabdanya:
“Barang
siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya
sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebut.” Bahkan
Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu , tetapi tidak mau
mengajarkan kepada yang lain:
”Barang
siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka”. Sungguhpun
demikian Rasulullah tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan
dengan penuh tanggung jawab dan jujur. Untuk itu nabi memberikan peringatan:
”Barang
siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedukannya/tempat
duduknya di Neraka”.
4.
Penyampaian Hadits Melalui Para Sahabat
Dalam banyak kesempatan Rasulullah
juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu yang kemudian disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewujudkan hadits, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orangsaja, baik karena disengaja oleh Rasulullah
sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang
saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah
ibn Amr ibn Al-‘Ash.
C.
METODE
PENGAJARAN HADITS RASULULLAH
a.
Metode Lisan
Pertama, Rasulullah menyampaikan
pesannya di hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacam ini para sahabat banyak
yang melafalkannya secara antusias. Oleh karena itu forum ini dihadiri secara
bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika
sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir
supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir,
maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya. Bahkan kepala suku yang jauh
mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada
anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan
Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian
oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena
secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah
menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai
hubungan suami istri, dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya.
b.
Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada
raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan
ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan
mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya.
Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi
jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu
Bakar dan sebagainya.
AI-Quranul Karim memperoleh
perhatian yang penuh dari Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah
mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di
tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di
batu-batu, dan sebagainya.Ketika Rasulullah wafat, Al-Quran telah dihapalkan
dengan sempurna oleh para sahabat.
Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran
seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk
sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum
memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh
beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasulullah
(secara khusus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah
yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS (yang
menulis), dan sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat
menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu.
Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda:
لا تكتبو ا
عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم .
Artinya : "Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu
dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu
dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim) . Mereka
berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang
kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu
beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar
ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal
tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:
أكتب فوالذي
نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق - مسلم
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar
dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. Tidak keluar dari mulutku, selain
kebenaran.”
c.
Metode
Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits
fi’liyah, seperti tata cara wudhu, tayammum, shalat, haji dan sebagainya.
Banyak ketentuan Al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan
petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah.
Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan
instruksi yang jelas, seperti sabda Rasulullah: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Dan hadits
Rasulullah: ”Belajarlah kalian dariku
upacara manasik ibadah hajiku.” Demikian juga jika Rasulullah menjawab
pertanyaan yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa
saat bersama-nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.
- TOKOH-TOKOH PENYEBARAN HADITS RASULULLAH
- Sahabat
yang Menerima Hadits dari Rasulullah
Terdapat lima kelompok sahabat – sahabat yang mendapat
hadits dari Rasulullah. Berikut adalah rincian dari kelimanya beserta
penyebabnya:
1) Sahabat
dalam kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun. Yaitu sahabat
yang pertama atau yang mula-mula masuk islam. Seperti: Abu
Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud.
Penyebabnya,
karena mereka merupakan sahabat – sahabat yang pertama kali masuk islam.
2) Ummahat
Al-Mukminin (Istri-istri Rasulullah). Yakni: Siti
Aisyah, Ummu Salamah. Penyebabnya, mereka lebih dekat
dengan Rasulullah karena sebagai istri beliau. Hadits yang mereka terima banyak
berkaitan dengan persoalan kekeluargaan dan pergaulan suami istri.
3) Para
sahabat yang dekat dengan Rasulullah, mereka juga menuliskan hadits yang
diterimanya. Seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4) Sahabat yang
banyak bertanya kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh.
Seperti Abu
Hurairah.
5) Sahabat yang
mengikuti secara sungguh-sungguh majelis Rasulullah SAW.
Seperti: Abdullah
ibn Ummar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.
- Sahabat-sahabat
yang Menulis Hadits.
Sejumlah sahabat memiliki catatan – catatan dan
melakukan penulisan terhadap hadits, yaitu:
1) Abdullah ibn
Amr Al-‘Ash.
Ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuanya
dibenarkan oleh Rasulullah sehingga diberinya nama Al-Sahifah Al-Shadiqah.
Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang quraisy mengkritik sikap Abdullah
ibn Amr karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasulullah.
Mereka berkata, “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasuullahl, padahal
rasulullah itu manusia yang biasa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini
disampaikan kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun menjawabnya dengan
mengatakan;
أكتب فوالذى
نفسى بيده مايحرج منهإلاالحق (رواه البخارى)
Artinya;
“Tulislah!
Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar.” (HR.
Bukhari).
2)
Jabir ibn Abdillah ibn Amar Al-Anshari.
Ia memiliki catatan hadits dari Rasulullah tentang
manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian
diriwayatkan oleh Muslim. Catatanya ini dikenal dengan Shahifah Jabir.
3)
Abu Hurairah Al-Dausi.
Ia memiliki catatan hadits yang dikenal dengan
Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya yang
bernama Hammam.
4)
Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk
Yaman.
Ia meminta kepada Rasulullah dicatatkan hadits yang
disampaikanya ketika pidato pada peristiwa fituh Makkah sehubungan dengan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap
salah seorang lelaki Bani Lais. Rasulullah kemudian bersabda:
اكتبواالا بي شاه (رواه البخارى)
Artinya:
“Kalian
tuliskan untuk Abu Syah.”
E.
PENULISAN
HADITS DAN PELARANGANNYA
Penyebaran
hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut
(secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa
menulis hadits, tetapi juga karena Rasulullah melarang untuk menulis hadits.
Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut Al-Baghdadi (483
H), ada tiga buah hadits tentang pelarangan penulisan hadits, yang masing-masing
diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun
yang dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id
Al-Khudri yang berbunyi :
"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah
kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa yang menulis
dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya.
Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya
di neraka.” (HR. Muslim).
Disini Nabi melarang
para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau
membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat
bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang
larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak
hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu
tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang
menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
1.
Khawatir terjadi kekaburan antara
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
2.
Takut berpegangan atau cenderung menulis
hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
3.
Khawatir orang-orang awam berpedoman
pada hadits saja.
Nabi
telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa Fathu Makkah (pembebasan Makkah).
Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota
Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang
lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut
untuknya. Kemudian Rasulullah memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu
Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
Artinya:
“Wahai Rasulullah.
Tuliskanlah untukku. Rasulullah bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah
untuknya.”
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada masa
Rasulullah tidak ada pertentangan mengenai hadits karena jika mereka tidak
mengerti, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah. Hadits dalam
masa ini dapat diterima secara langsung maupun tak langsung. Penyebaran hadits
melalui tahap-tahap dan metode kreatif yang dapat menghasilkan hasil yang
efektif. Penyebaran hadits juga bergantung pada tokoh-tokoh yang dipercaya
untuk menyebarkannya. Awalnya hadits dilarang untuk ditulis karena
dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an. Namun, setelah Al-Qur’an telah
dihimpun sempurna, hadits mulai boleh dituliskan.
SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat
memenuhi tugas UTS mata kuliah Ulumul Hadits dengan baik dan benar. Makalah ini ditulis sebagai usaha
mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Dan di harapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam
yang sebenarnya, khususnya para ulama’ ahli hadits, terhadap hadits.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih
menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Solahudin, Agus dan Suyadi, Agus. (2008). Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia.
0 komentar:
Post a Comment