November 02, 2014

Hadits Periode Pertama Muhammad saw

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Sejarah dan periodisasi penghimpunan hadits mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dialami oleh Al-Qur’an. Hal itu dikarenakan pada masa nabi dan para sahabat, Al-Qur’an mendapatkan perhatian yang penuh. Selain itu rasul mengharapkan para sahabat untuk untuk menghafal Al-Qur’an dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, dibebatuan, dan lain sebagainya.
Sejarah pengumpulan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati fase historis yang sangat panjang semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad ketiga hijriyah. Perjuangan para ulama hadits telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadits mana yang soheh dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran hadits.
Kaidah-kaidah tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu hadits. Perjalanan hadits pada tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah perlu di ajukan ciri-ciri khusus dalam persoalan tersebut. Di antara ulama tidak sama dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadits ini. Ada ahli hadits yang membagi pada tiga periode, seperti masa Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, masa pentadwinan dan masa setelah tadwin. Ada juga yang membagi pada periodesasi yang lebih terinci, sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi yang cukup jelas. Disini akan dibahas periode hadits yang pertama yaitu periode Muhammad SAW.

RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hadits pada masa Rasulullah SAW ?
2.      Bagaimana langkah-langkah Rasulullah dalam menyebarkan hadits ?
3.      Bagaimana metode pengajaran hadits pada masa Rasulullah ?
4.      Siapa sajakah tokoh-tokoh hadits pada masa Rasulullah ?
5.      Bagaimanakah kejelasan tentang penulisan hadits dan pelarangannya ?

TUJUAN MASALAH
1.      Untuk mengetahui hadits pada masa Rasulullah.
2.      Untuk mengetahui langkah-langkah Rasulullah dalam menyebarkan hadits.
3.      Untuk mengetahui metode pengajaran hadits pada masa Rasulullah.
4.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh hadits pada masa Rasulullah.
5.      Untuk mengetahui kejelasan tentang penulisan hadits dan pelarangannya.

PEMBAHASAN

A.          HADITS PADA MASA RASULULLAH SAW
Perkembangan hadits pada masa Rasulullah adalah perkembangan hadits pada saat awal pertumbuhannya. Menurut istilah ulama ahli hadits, Hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah sebagai sumber hadits. Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwujudkannya hadits.
Umat Islam pada masa ini menerima hadits Rasulullah secara langsung. Tidak ada pertentangan mengenai hadits karena jika ada kesalahpahaman atau keraguan, mereka dapat langsung bertanya kepada Rasulullah. Para sahabat secara aktif berguru dan bertanya pada Rasulullah tentang segala sesuatu yang mereka tidak tahu baik urusan dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan sangatlah terbuka dan bervariasi seperti masjid, pasar, jalanan dan dirumahnya sendiri.

B.           LANGKAH-LANGKAH RASULULLAH DALAM MENYEBARKAN HADITS
1.            Mendirikan sekolah 
Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam Majlis Ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah ke kota Madinah beliau mendirikan sekolah/madrasah. Berbagai majelis ilmu ini bukan hanya diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan khusus untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi, kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal. Di samping itu kegiatan sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan khatib ke berbagai wilayah di luar kota Madinah.

2.            Memberikan Perintah/Instruksi 
Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.” Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi pada saat Haji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.” Karena itu merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan perbuatan Rasulullah kepada sahabat yang lain yang tidak hadir.
Delegasi yang datang ke Kota Madinah diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban hingga jauh sesudah Rasulullah wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada yang lain.

3.            Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu
Rasulullah tidak hanya memerintah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang besar bagi subyek pendidikan. Rasulullah bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” Bagi mereka yang mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya:
“Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebut.” Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu , tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain:
”Barang siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka”. Sungguhpun demikian Rasulullah tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan jujur. Untuk itu nabi memberikan peringatan:
”Barang siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedukannya/tempat duduknya di Neraka”.

4.            Penyampaian Hadits Melalui Para Sahabat
Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewujudkan hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orangsaja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash.

C.           METODE PENGAJARAN HADITS RASULULLAH
a.       Metode Lisan
Pertama, Rasulullah menyampaikan pesannya di hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacam ini para sahabat banyak yang melafalkannya secara antusias. Oleh karena itu forum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya. Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri, dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya.


b.      Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya.
AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.Ketika Rasulullah wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat.
Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasulullah (secara khusus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS (yang menulis), dan sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda:

لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم .

Artinya : "Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim) . Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

أكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق - مسلم

Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. Tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”

c.             Metode Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits fi’liyah, seperti tata cara wudhu, tayammum, shalat, haji dan sebagainya. Banyak ketentuan Al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah. Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan instruksi yang jelas, seperti sabda Rasulullah: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Dan hadits Rasulullah: ”Belajarlah kalian dariku upacara manasik ibadah hajiku.” Demikian juga jika Rasulullah menjawab pertanyaan yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa saat bersama-nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.

  1. TOKOH-TOKOH PENYEBARAN HADITS RASULULLAH
  1. Sahabat yang Menerima Hadits dari Rasulullah
Terdapat lima kelompok sahabat – sahabat yang mendapat hadits dari Rasulullah. Berikut adalah rincian dari kelimanya beserta penyebabnya:
1)      Sahabat dalam kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun. Yaitu sahabat yang pertama atau yang mula-mula masuk islam. Seperti: Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud. Penyebabnya, karena mereka merupakan sahabat – sahabat yang pertama kali masuk  islam.
2)      Ummahat Al-Mukminin (Istri-istri Rasulullah). Yakni: Siti Aisyah, Ummu Salamah. Penyebabnya, mereka lebih dekat dengan Rasulullah karena sebagai istri beliau. Hadits yang mereka terima banyak berkaitan dengan persoalan kekeluargaan dan pergaulan suami istri.
3)       Para sahabat yang dekat dengan Rasulullah, mereka juga menuliskan hadits yang diterimanya. Seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4)      Sahabat yang banyak bertanya kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh. Seperti Abu Hurairah.
5)      Sahabat yang mengikuti secara sungguh-sungguh majelis Rasulullah SAW. Seperti: Abdullah ibn Ummar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.

  1. Sahabat-sahabat yang Menulis Hadits.
Sejumlah sahabat memiliki catatan – catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits, yaitu:
1)      Abdullah ibn Amr Al-‘Ash.
Ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuanya dibenarkan oleh Rasulullah sehingga diberinya nama Al-Sahifah Al-Shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang quraisy mengkritik sikap Abdullah ibn Amr karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasulullah. Mereka berkata, “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasuullahl, padahal rasulullah itu manusia yang biasa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikan kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun menjawabnya dengan mengatakan;

أكتب فوالذى نفسى بيده مايحرج منهإلاالحق (رواه البخارى)
Artinya;
“Tulislah! Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar.” (HR. Bukhari).
2)      Jabir ibn Abdillah ibn Amar Al-Anshari.
Ia memiliki catatan hadits dari Rasulullah tentang manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatanya ini dikenal dengan Shahifah Jabir.
3)      Abu Hurairah Al-Dausi.
Ia memiliki catatan hadits yang dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
4)      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman.
Ia meminta kepada Rasulullah dicatatkan hadits yang disampaikanya ketika pidato pada peristiwa fituh Makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasulullah kemudian bersabda:

اكتبواالا بي شاه (رواه البخارى)
Artinya:
“Kalian tuliskan untuk Abu Syah.”

E.           PENULISAN HADITS DAN PELARANGANNYA
Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Rasulullah melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut Al-Baghdadi (483 H), ada tiga buah hadits tentang pelarangan penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yang dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang berbunyi :
"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka.” (HR. Muslim).
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.

Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
1.               Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
2.               Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
3.               Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa Fathu Makkah (pembebasan Makkah). Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Rasulullah memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
Artinya:
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Rasulullah bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.” 


PENUTUP

KESIMPULAN
Pada masa Rasulullah tidak ada pertentangan mengenai hadits karena jika mereka tidak mengerti, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah. Hadits dalam masa ini dapat diterima secara langsung maupun tak langsung. Penyebaran hadits melalui tahap-tahap dan metode kreatif yang dapat menghasilkan hasil yang efektif. Penyebaran hadits juga bergantung pada tokoh-tokoh yang dipercaya untuk menyebarkannya. Awalnya hadits dilarang untuk ditulis karena dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an. Namun, setelah Al-Qur’an telah dihimpun sempurna, hadits mulai boleh dituliskan.

SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas UTS mata kuliah Ulumul Hadits dengan baik dan benar. Makalah ini ditulis sebagai usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Dan di harapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama’ ahli hadits, terhadap hadits.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Solahudin, Agus dan Suyadi, Agus. (2008). Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia.



0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates