November 02, 2014

A Walk To Remember part 2


BAB 5

KEESOKAN harinya aku berbicara dengan Miss Garber, mengikuti audisi, dan mendapatkan peran itu. Omong-omong, Eddie sama sekali tidak kecewa. Malah aku bisa melihat ia merasa amat lega dengan situasinya sekarang. Ketika Miss Garber bertanya padanya apakah ia tidak keberatan kalau aku yang berperan sebagai Tom Thornton, seketika wajahnya langsung tenang dan matanya melebar. “T-t-tidak, s-sama sekali tidak,” ujarnya tergagap. “A-a-aku m-mengerti.” Ia butuh waktu sepuluh detik untuk mengucapkan kata-kata itu.
Berkat kemurahan hatinya, Miss Garber memberinya peran sebagai si gelandangan, dan kami semua tahu bahwa ia mampu memerankannya dengan cukup baik. Tokoh gelandangan dalam drama itu bisu, namun si malaikat selalu tahu persis apa yang ada dalam pikirannya. Dalam satu adegan malaikat itu harus mengatakan kepada si gelandangan bisu bahwa Tuhan akan selalu menjaganya karena Tuhan menyayangi mereka yang miskin dan terlupakan. Itu merupakan salah satu petunjuk untuk para penonton bahwa malaikat itu memang dikirim dari surga. Seperti kuceritakan sebelumnya, Hegbert ingin betul-betul menekankan siapa yang menawarkan keselamatan dan penebusan dosa, dan itu sudah pasti bukan berasal dari hantu-hantu yang tidak jelas dari mana asalnya.
Latihan akan dimulai minggu depan, dan kami berlatih di ruang kelas, karena Playhouse tidak boleh digunakan sebelum kami dapat mengatasi semua “kecanggungan” kami. Kecanggungan di sini maksudnya kecenderungan kami untuk secara tidak sengaja merusak properti panggung. Properti itu dibuat sekitar lima belas tahun yang lalu oleh Toby Bush, ketika drama itu pertama kali dipentaskan. Seorang pekerja serabutan yang tidak punya pekerjaan tetap dan sudah pernah mengerjakan beberapa proyek untuk Playhouse sebelumnya. Ia tidak punya pekerjaan tetap karena ia terus minum bir sepanjang hari selama bekerja, dan sekitar pukul dua siang ia sudah dalam keadaan mabuk. Kurasa ia tidak dapat melihat dengan baik, karena ia sering secara tidak sengaja memukul jarinya sendiri dengan palu sedikitnya sekali dalam sehari. Setiap kali itu terjadi, ia akan melempar palunya dan melompat-lompat, sambil memegangi jarinya dan menyumpahi semua orang mulai dari ibunya sampai iblis. Setelah lebih tenang, ia akan mengambil bir lagi untuk meredakan rasa sakitnya sebelum kembali bekerja. Buku-buku jarinya sebesar buah kenari, selalu dalam keadaan bengkak karena sekian tahun kena palu, dan tak seorang pun mau menyewa tenaganya sebagai seorang pegawai tetap. Satu-satunya alasan Hegbert mempekerjakannya adalah karena Toby mau dibayar murah.
Namun Hegbert tidak mengizinkan kebiasaan minum-minum atau sumpah serapahnya, sedangkan Toby betul-betul tidak tahu bagaimana caranya berkerja dalam suatu lingkungan yang menerapkan peraturan ketat. Akibatnya, hasil pekerjaannya cuma asal jadi, meskipun itu tidak terlalu kelihatan. Setelah beberapa tahun berbagai properti panggung itu mulai rontok, dan Hegbert yang berusaha memperbaikinya sendiri. Hegbert memang ahli dalam membalik-balik halaman Alkitab, tapi ia tidak cukup mahir memalu paku. Properti-properti itu penuh dengan paku bengkok dan berkarat yang menonjol ke luar dari mana-mana, menembus permukaan kayu
di begitu banyak tempat sehingga kami harus waspada dalam melangkah. Kalau kami menyenggolnya di tempat yang salah, kami bisa terluka atau properti itu akan ambruk, dan membuat lubang-lubang paku kecil di seluruh permukaan lantai panggung.
Setelah beberapa tahun panggung Playhouse terpaksa dipugar. Meskipun mereka tidak bisa secara tegas menutup pintu untuk Hegbert, mereka meminta padanya untuk lebih berhati-hati di masa mendatang. Itu berarti kami harus berlatih di ruang kelas sampai bisa mengatasi kecanggungan-kecanggungan kami.
Untungnya Hegbert tidak terlibat secara langsung dalam penyutradaraan drama itu, karena kesibukannya sebagai pendeta. Tugas itu jatuh ke tangan Miss Garber, dan hal pertama yang diperintahkannya kepada kami adalah menghafal dialog secepat mungkin. Kami memang tidak punya banyak waktu untuk latihan sebagaimana biasanya karena Thanksgiving jatuh pada hari-hari terakhir di bulan November, dan Hegbert tidak ingin drama itu dipentaskan terlalu dekat dengan Hari Natal, agar tidak mempengaruhi makna sesungguhnya. Akibatnya kami hanya punya waktu tiga minggu untuk mempersiapkan pementasannya sebaik mungkin, yang berarti seminggu lebih cepat daripada biasanya.
Latihan dimulai pada pukul tiga, dan Jamie ternyata sudah hafal dialognya sendiri sejak hari pertama, yang jelas bukan hal yang mengejutkan. Namun yang membuatku terkejut adalah ia juga hafal semua dialogku, dan dialog para pemain lainnya. Di saat kami berlatih satu adegan, ia akan memerankan bagiannya tanpa naskah, sedangkan aku sibuk dengan setumpuk kertas, sambil berusaha menemukan yang mana kalimatku berikutnya. Setiap kali aku mengangkat kepala, aku melihat wajahnya yang penuh antusias, seakan sedang menantikan suatu keajaiban atau entah apa. Satu-satunya dialog yang kukuasai pada hari pertama adalah dialog si gelandangan bisu, dan tiba-tiba aku merasa iri pada Eddie, setidaknya dalam hal itu. Hal ini membutuhkan banyak kerja keras, bukan sesuatu yang kuharapkan saat mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas ini.
Perasaan mulia mengenai partisipasiku dalam drama itu meluntur pada latihan hari kedua. Meskipun aku tahu bahwa aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”, teman-temanku tidak mau mengerti, dan mereka terus mengejekku sejak mereka tahu.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Eric begitu mendengar berita itu. “Kau akan main drama bersama Jamie Sullivan? Kau sudah sinting atau memang bodoh?” Aku menggumamkan jawaban bahwa aku punya alasan yang baik, namun Eric belum puas, dan ia mengatakan kepada semua orang bahwa aku jatuh cinta pada Jamie.
Tentu saja aku menyangkalnya, yang justru membuat mereka berasumsi bahwa itu benar, dan mereka tertawa semakin keras dan menceritakannya lagi pada orang berikut yang mereka temui. Ceritanya berkembang menjadi semakin ngawur—menjelang istirahat makan siang aku mendengar dari Sally bahwa aku sedang mempertimbangkan untuk bertunangan. Aku sebetulnya merasa Sally cemburu. Sudah bertahun-tahun ia naksir aku, dan perasaan itu mungkin bisa timbal-balik kecuali oleh fakta bahwa ia memiliki bola mata yang seperti kaca. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit kuabaikan. Matanya mengingatkanku pada mata yang dipasang pada mata boneka burung hantu yang biasa dijual di toko antik, dan sejujurnya itu membuatku sedikit merinding.
Kurasa sejak itulah aku kesal lagi pada Jamie. Aku tahu itu bukan salahnya, namun akulah yang harus menerima serangan-serangan yang sebenarnya ditujukan pada Hegbert. Padahal Hegbert masih belum bisa membuatku merasa diterima sejak malam pesta dansa homecoming itu. Aku mulai tergagap-gagap membawakan dialogku di dalam kelas selama beberapa hari berikutnya. Aku tidak sungguh-sungguh berusaha menghafalkannya, dan sekali-sekali aku membuat lelucon yang membuat semua tertawa, kecuali Jamie dan Miss Garber. Setelah latihan selesai aku langsung pulang untuk segera melupakannya, dan aku bahkan tidak peduli untuk membaca kembali naskahnya. Malah aku menceritakan kepada teman-temanku tentang kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan oleh Jamie dan bagaimana Miss Garber berhasil memaksaku ikut dalam drama ini.
Namun Jamie rupanya tidak berniat melepaskanku begitu saja. Tidak, ia membalasku di tempat yang paling menyakitkan, tepat melukai egoku.
Aku sedang pergi bersama Eric pada hari Sabtu malam setelah pertandingan kejuaraan football reguler di Beaufort, sekitar seminggu setelah latihan drama itu dimulai. Kami sedang berkumpul di tepian perairan di luar Cecil’s Diner, menikmati hushpuppy sambil melihat orang-orang lalu-lalang berkendaraan. Saat itulah aku melihat Jamie sedang berjalan di sepanjang jalan itu. Ia masih berada dalam jarak seratus meter, mengenakan sweter tuanya lagi, menoleh ke sana kemari sementara tangannya membawa Alkitab. Saat itu sudah pukul sembilan, yang berarti sudah larut baginya untuk keluar, dan yang lebih aneh lagi adalah melihatnya berada di bagian kota ini. Aku langsung berbalik memunggunginya dan menaikkan kerah jaketku, namun Margaret—yang biasanya telat mikir—ternyata cukup cerdas untuk tahu siapa yang sedang dicari Jamie.
“Landon, pacarmu datang.”
“Dia bukan pacarku,” sahutku. “Aku tidak punya pacar.”
“Tunanganmu, kalau begitu.”
Kurasa ia juga sempat berbicara dengan Sally.
“Aku belum bertunangan,” sahutku. “Sudah, ah.”
Aku menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Jamie telah melihatku, dan rupanya sudah. Ia sedang berjalan ke arah kami. Aku pura-pura tidak tahu.
“Nah, ia kemari,” ujar Margaret, yang lalu cekikikan.
“Aku tahu,” sahutku.
Dua puluh detik kemudian ia mengatakannya lagi.
“Ia masih menuju kemari.” Jamie memang sigap.
“Aku tahu,” desisku. Kalau bukan karena bentuk kakinya, Margaret bisa membuatmu gila, sama seperti yang dilakukan Jamie. Aku menoleh ke belakang lagi. Kali ini Jamie tahu aku sudah melihatnya dan ia tersenyum serta melambai ke arahku. Aku membuang muka, dan tak lama setelah itu ia sudah berdiri persis di sebelahku.
“Halo, Landon,” sapanya, tanpa memedulikan wajah kesalku. “Halo, Eric, Margaret…” Ia menegur semua orang satu per satu. Semua menggumamkan “halo” sambil berusaha tidak melihat ke arah Alkitab-nya.
Eric sedang menggenggam sekaleng bir, dan ia menyembunyikannya ke belakang punggungnya agar Jamie tidak melihatnya. Jamie bahkan bisa membuat Eric merasa bersalah saat ia berada cukup dekat dengannya. Mereka dulu bertetangga, dan Eric pernah jadi tempat Jamie menumpahkan semua pendapatnya. Di belakangnya Eric menjuluki Jamie “si penyelamat”, yang jelas-jelas ia kaitkan dengan organisasi Bala Keselamatan—Salvation Army. “Jabatannya seharusnya Brigjen,” seloroh Eric. Tapi begitu Jamie berdiri persis di hadapannya, ceritanya langsung lain. Dalam benak Eric, Jamie memiliki hubungan khusus dengan Tuhan, dan ia tidak ingin menampilkan kesan yang kurang baik pada Jamie.
“Apa kabar, Eric? Aku jarang melihatmu belakangan ini.” Ia mengatakannya seakan masih sering berbicara dengan Eric.
Eric mengubah posisi berdirinya dan menunduk, dengan ekspresi yang memperlihatkan rasa bersalah.
“Ya, aku memang jarang ke gereja akhir-akhir ini,” sahutnya.
Jamie tersenyum ramah. “Kurasa itu tidak apa-apa, asal jangan jadi kebiasaan.”
“Tidak akan.”
Aku pernah mendengar tentang pengakuan dosa—yang dilakukan oleh umat Katolik dengan duduk di bilik bersekat dan mengungkapkan semua dosa mereka pada seorang pastor—dan seperti itulah Eric saat ia berada di dekat Jamie. Untuk sesaat aku merasa Eric akan memanggilnya dengan sebutan “ma’am”.
“Kau mau bir?” tanya Margaret. Kurasa ia sedang mencoba melucu, namun tidak ada yang tertawa.
Jamie mengangkat tangannya untuk menyentuh rambutnya. “Oh… tidak, tidak usah… tapi, terima kasih.”
Ia menatapku lekat-lekat dengan mata yang bersinar ramah, dan aku langsung tahu bahwa aku dalam kesulitan. Tadinya kukira Jamie akan memintaku berbicara empat mata atau semacamnya, yang sejujurnya kurasa akan lebih baik, namun ternyata bukan itu rencananya.
“Kau benar-benar tampil bagus dalam latihan minggu ini,” katanya padaku, “Aku tahu kau harus mengingat banyak dialog, tapi aku yakin kau akan segera menghafalnya. Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih karena mau menawarkan diri waktu itu. Kau memang pria sejati.”
“Trims,” sahutku, perutku mulai mulas. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang, tapi semua temanku sedang menatapku, tiba-tiba mempertanyakan apakah aku telah mengatakan yang sebenarnya pada mereka tentang Miss Garber yang memaksaku dan entah apa lagi.
“Teman-temanmu seharusnya bangga,” lanjut Jamie.
“Oh, tentu saja,” sahut Eric antusias. “Bangga sekali. Landon ini memang orang baik, sampai rela menawarkan diri.”
Gawat.
Jamie tersenyum pada Eric, kemudian berpaling kembali padaku, wajahnya riang seperti biasa. “Aku juga ingin mengatakan jika kau perlu bantuan, kau boleh datang kapan saja. Kita bisa duduk di teras seperti waktu itu dan berlatih dengan dialog-dialog yang kaurasa perlu.”
Aku melihat mulut Eric membentuk kata-kata “seperti waktu itu” ke arah Margaret. Situasinya semakin gawat. Perutku terasa semakin mual.
“Oke,” gumamku, sambil bertanya-tanya bagaimana aku bisa melepaskan diri dari semua ini. “Aku bisa menghafalnya di rumah.”
“Landon, kadang-kadang membantu lho jika ada teman berlatih,” usul Eric.
Sudah kubilang Eric suka menggodaku, meskipun ia sahabatku.
“Tidak usah, sungguh,” kataku pada Eric. “Aku akan menghafalnya sendiri.”
“Mungkin,” ujar Eric sambil tersenyum, “ada baiknya kalau kalian berdua latihan di depan anak-anak panti asuhan saat kalian sudah menguasainya dengan lebih baik. Semacam geladi resik, kan? Aku yakin mereka akan menikmatinya.”
Boleh dibilang kau bisa melihat cara otak Jamie bekerja begitu kata panti asuhan itu disebut. Semua tahu bahwa itu adalah obsesinya. “Menurutmu begitu?” tanya Jamie.
Eric mengangguk serius. “Aku yakin. Landon sebetulnya yang pertama kali punya ide itu, tapi aku tahu kalau aku seorang anak yatim piatu, aku akan menyukainya, meskipun itu cuma pertunjukan drama.”
“Aku juga,” timpal Margaret.
Saat mereka membicarakannya, satu-satunya yang terlintas dalam benakku adalah adegan dalam Julius Caesar saat Brutus menikam Caesar dari belakang. Kau juga, Eric?
“Jadi itu ide Landon?” tanya Jamie, sambil mengangkat alisnya. Jamie menatapku, dan aku langsung tahu bahwa ia sedang mempertimbangkan kebenarannya.
Namun Eric tidak berniat melepaskanku begitu saja. Setelah berhasil membuatku terpojok seperti ini, ia bisa menghabisiku dengan mudah. “Kau mau melakukannya, Landon?” tanya Jamie. “Memberikan hiburan pada anak-anak di panti asuhan itu, maksudku.”
Itu sesuatu yang sulit untuk ditolak, kan?
“Kurasa begitu,” kataku tak berdaya sambil memelototi sahabatku. Bila dilatih, Eric bisa jadi pemain catur yang hebat.
“Bagus, kalau begitu semuanya sependapat. Itu kalau kau setuju tentunya, Jamie.” Senyuman Eric begitu manis, sehingga cukup untuk memberi rasa manis pada separo RC Cola yang beredar di seluruh negeri.
“Ehm… oke, kurasa aku bisa membicarakannya dengan Miss Garber dan pimpinan panti asuhan. Jika mereka setuju, kurasa itu ide yang bagus sekali.”
Dan nyatanya, jelas terlihat bahwa Jamie sangat menyukai ide itu. Sekak Mat.
Hari berikutnya, aku menghabiskan empat belas jam untuk menghafal dialogku, menyumpahi teman-temanku, dan mempertanyakan bagaimana hidupku bisa lepas kendali seperti ini. Tahun terakhirku di SMU jelas tidak akan seperti yang kubayangkan pada awalnya. Tapi kalau aku harus tampil di hadapan sekelompok anak yatim piatu, jelas aku tidak ingin kelihatan seperti orang tolol.




BAB 6

KAMI segera menyampaikan rencana untuk anak-anak panti asuhan itu pada Miss Garber, dan ia menganggapnya sebagai ide yang luar biasa. Omong-omong, itu memang ungkapan favoritnya—luar biasa—setelah ia menyapamu dengan “Haloooo”. Pada hari Senin, saat ia tahu aku sudah menguasai dialogku, ia berkata, “Luar biasa!” dan mengucapkan kata itu selama dua jam berikutnya setiap kali aku selesai melakukan suatu adegan. Menjelang akhir latihan, aku sudah mendengarnya sekitar jutaan kali.
Miss Garber ternyata mengembangkan ide kami dengan lebih baik lagi. Ia menyampaikan rencana kami kepada seisi kelas, dan menanyakan apakah ada pemain lain yang juga bersedia tampil, sehingga anak-anak panti asuhan bisa betul-betul menikmati seluruh pertunjukan itu. Caranya meminta menunjukkan bahwa mereka sebetulnya tidak punya pilihan lain, dan ia melayangkan pandangannya ke seisi kelas, seakan menanti seseorang untuk menganggur agar ia bisa menganggapnya sebagai suatu keputusan. Tak seorang pun bergerak, kecuali Eddie. Entah bagaimana seekor serangga bisa masuk ke dalam lubang hidungnya di saat yang tepat, sehingga ia harus bersin keras-keras. Serangga itu melesat keluar dari hidungnya, melintasi mejanya, dan mendarat di lantai dekat kaki Norma Jean. Cewek itu meloncat bangkit dari kursinya sambil menjerit dengan suara nyaring, dan mereka yang berada di sekitarnya mulai berteriak, “Iiih… jorok!” Siswa-siswa lain menoleh ke sana kemari dan menjulurkan leher mereka, mencoba melihat apa yang terjadi, dan selama sepuluh detik berikutnya suasana kelas riuh rendah. Bagi Miss Garber, itulah jawaban yang dibutuhkannya.
“Luar biasa,” ujarnya, sambil mengakhiri diskusi itu.
Sementara itu Jamie benar-benar antusias mengenai pertunjukan untuk anak-anak panti asuhan itu. Sewaktu istirahat di antara latihan ia menarikku ke samping dan mengucapkan terima kasih padaku karena mau memikirkan anak-anak panti asuhan. “Kau tentu tidak bisa membayangkan,” ujarnya dalam nada nyaris penuh rahasia, “tapi selama ini aku bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan untuk anak-anak itu tahun ini. Sudah berbulan-bulan aku berdoa untuk itu, karena aku ingin Natal ini menjadi yang paling istimewa.”
“Kenapa Natal ini begitu penting?” tanyaku padanya, dan Jamie tersenyum sabar, seakan aku baru saja mengajukan pertanyaan yang tidak begitu penting.
“Karena memang istimewa,” sahutnya.
Langkah berikutnya adalah membicarakan ide itu dengan Mr. Jenkins, pimpinan panti asuhan. Aku tidak pernah bertemu dengan Mr. Jenkins, karena panti asuhan itu terletak di Morehead City, di seberang jembatan Beaufort, dan aku tidak pernah punya alasan untuk ke sana.
Ketika Jamie mengejutkanku keesokan harinya dengan kabar bahwa kami bisa bertemu dengan Mr. Jenkins malam itu, aku khawatir pakaianku tidak cukup pantas. Aku tahu bahwa kami akan ke panti asuhan, tapi aku ingin memberikan kesan yang baik. Meskipun aku tidak seantusias Jamie mengenai hal itu (tak seorang pun akan merasa seantusias Jamie), aku tidak ingin dianggap sebagai si Grinch yang merusak suasana Natal untuk anak-anak yatim piatu.
Sebelum berangkat ke panti asuhan, kami harus berjalan kaki ke rumahku dulu untuk meminjam mobil ibuku. Sementara kami di sana, aku berencana untuk berganti pakaian yang lebih baik. Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit, dan Jamie tidak bicara banyak sepanjang perjalanan, setidaknya sampai kami berada di kawasan tempat tinggalku. Rumah-rumah di sekitar rumahku berukuran besar dan terpelihara dengan baik. Jamie menanyakan padaku siapa saja yang tinggal di sana dan sudah berapa tahun umur rumah-rumah itu. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya tanpa berpikir panjang. Tapi saat aku membuka pintu depan rumahku, tiba-tiba aku menyadari betapa berbedanya rumahku dibandingkan dengan rumahnya. Ekspresi tercengang membayang di wajahnya saat ia melayangkan pandangannya ke ruang tamu rumahku.
Aku yakin inilah rumah paling mewah yang pernah dimasukinya. Beberapa saat kemudian aku melihat matanya menjelajahi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan-lukisan nenek moyangku. Seperti kebanyakan keluarga di daerah Selatan, seluruh garis silsilahku bisa ditelusuri mengikuti puluhan lukisan wajah yang berderet di dinding-dinding rumah. Ia memandangi lukisan-lukisan itu seakan sedang mencari kemiripannya, kemudian ia mengalihkan perhatiannya ke perabotan, yang boleh dibilang masih tampak baru, bahkan setelah dua puluh tahun. Berbagai perabotan itu merupakan hasil kerajinan tangan yang dibuat atau diukir dari kayu mahoni dan cherry, dan didesain secara khusus untuk setiap ruangan. Memang bagus, harus kuakui, tapi tak pernah kuperhatikan secara serius. Bagiku, ini hanya sebuah rumah. Bagian favoritku adalah jendela di kamarku yang mengarah ke bagian atas teras. Saranaku untuk kabur.
Namun, aku mengajaknya berkeliling untuk melihat-lihat ruang duduk, perpustakaan, ruang baca, dan ruang keluarga. Mata Jamie semakin melebar setiap memasuki ruangan baru. Ibuku sedang berada di teras, menikmati segelas mint julep sambil membaca, dan ia mendengar suara kami. Ibuku masuk ke rumah untuk menyapa kami.
Rasanya sudah kukatakan bahwa semua orang dewasa di kota ini menyayangi Jamie, dan itu termasuk ibuku. Meskipun Hegbert selalu memberikan khotbah yang entah dengan cara bagaimana menyinggung nama keluarga kami, ibuku tidak pernah menaruh dendam pada Jamie, karena ia begitu manis. Mereka mengobrol sementara aku di atas, mengaduk-aduk isi lemari untuk mencari kemeja bersih dan dasi. Di masa itu anak laki-laki sering memakai dasi, terutama saat mereka akan bertemu dengan orang yang memiliki kedudukan. Sewaktu aku kembali ke bawah dengan pakaian lengkap, Jamie sudah menceritakan pada ibuku tentang rencana kami.
“Ide yang bagus sekali,” ujar Jamie, sambil menatapku dengan wajah gembira. “Landon benar-benar berhati mulia.”
Ibuku—setelah memastikan bahwa ia tidak salah dengar—memandangku dengan alis terangkat. Ia menatapku seakan aku makhluk asing.
“Jadi ini idemu?” tanya ibuku. Seperti yang diketahui semua penduduk kota ia tahu Jamie tidak pernah bohong.
Aku berdeham, membayangkan Eric dan apa yang masih ingin kulakukan terhadapnya. Mungkin perbuatan Eric bisa dibalas dengan melumuri gula sirop dan semut merah ke tubuhnya.
“Bisa dibilang begitu,” sahutku.
“Bukan main.” Hanya itu yang bisa diucapkan ibuku. Ia memang tidak mengetahui detailnya, tapi ibuku tahu aku pasti disudutkan sedemikian rupa hingga mau melakukan hal seperti ini. Kaum ibu selalu mengetahui hal-hal semacam ini, dan aku bisa melihat bahwa ia sedang mengamatiku sambil mencoba membayangkan situasinya. Untuk menghindari tatapannya, aku melihat arlojiku, menunjukkan wajah terkejut, kemudian mengingatkan Jamie secara sambil lalu bahwa sebaiknya kami segera berangkat. Ibuku mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepadaku, masih sambil mengawasiku saat kami melangkah ke arah pintu. Aku menghela napas lega, dengan anggapan bahwa aku berhasil lolos. Namun saat aku berjalan bersama Jamie menuju mobil, aku mendengar suara ibuku lagi.
“Mampirlah kapan-kapan, Jamie!” seru ibuku. “Pintu selalu terbuka bagimu di rumah ini.”
Bahkan seorang ibu bisa menikammu dari belakang. Aku masih menggelengkan kepala saat masuk ke dalam mobil.
“Ibumu wanita yang luar biasa,” ujar Jamie.
Aku menyalakan mesin mobil. “Ya,” sahutku. “Kurasa begitu.”
“Dan rumah bagus sekali.”
“He-eh.”
“Kau seharusnya bersyukur.”
“Oh,” ujarku, “Tentu. Bisa dibilang aku orang paling beruntung di muka bumi ini.”
Entah mengapa Jamie tidak menangkap nada sarkastis dalam suaraku. Kami tiba di panti asuhan persis menjelang gelap. Kami kepagian beberapa menit, dan kepala panti asuhan itu masih berbicara di telepon. Ia sedang melakukan pembicaraan penting, sehingga tidak dapat langsung menemui kami. Jadi kami harus duduk menunggunya dulu. Kami sedang menunggu di bangku di lorong depan ruang kerjanya, ketika Jamie berpaling ke arahku. Alkitab-nya berada di atas pangkuan. Kurasa ia membutuhkan Alkitab untuk mendapatkan pegangan, tapi mungkin itu cuma kebiasaan.
“Kau benar-benar hebat hari ini,” ujarnya. “Dengan dialogmu, maksudku.”
“Trims,” sahutku, merasa bangga dan sedih pada waktu yang bersamaan. “Tapi aku belum dapat menjiwainya,” tambahku. Tidak mungkin bagi kami untuk berlatih di teras, dan aku berharap Jamie tidak akan mengusulkannya.
“Kau akan bisa. Tidak akan sulit setelah kau hafal semua dialognya.”
“Kuharap begitu.”
Jamie tersenyum, dan beberapa saat kemudian ia mengubah topik pembicaraan sehingga membuatku bingung. “Kau pernah memikirkan masa depan, Landon?” tanyanya.
Aku tercengang mendengar pertanyaannya karena kedengarannya begitu… biasa.
“Ya, tentu saja. Kurasa begitu,” sahutku dalam nada waswas.
“Apa yang ingin kaulakukan dengan hidupmu?”
Aku mengangkat bahu, sedikit cemas memikirkan ke mana arah pembicaraannya kali ini. “Aku belum tahu. Aku belum pernah memikirkannya sejauh ini. Aku akan ke UNC musim gugur yang akan datang, setidaknya kuharap begitu. Aku masih harus diterima dulu.”
“Kau akan diterima,” ujarnya.
“Dari mana kau tahu?”
“Karena aku juga mendoakannya.”
Ketika Jamie mengatakannya, aku mengira kami akan segera terlibat dalam diskusi mengenai kekuatan doa dan iman, namun Jamie justru memberikan kejutan lain padaku.
“Bagaimana setelah kau lulus perguruan tinggi? Apa yang akan kaulakukan setelah itu?”
“Aku tidak tahu,” sahutku, sambil mengangkat bahu. “Mungkin aku akan jadi penebang kayu berlengan satu.”
Ia tidak menganggap itu lucu.
“Kurasa sebaiknya kau menjadi pendeta,” ujarnya dalam nada yang serius. “Menurutku kau pandai menghadapi orang, dan mereka menghormati perkataanmu.”
Meskipun konsepnya betul-betul tidak masuk akal, aku tahu Jamie mengatakannya dengan tulus dan dimaksudkan sebagai pujian.
“Terima kasih,” kataku. “Aku tidak tahu apakah aku mau jadi pendeta, tapi aku yakin aku akan menemukan sesuatu.” Setelah beberapa saat aku baru menyadari bahwa percakapan kami terhenti dan sekarang giliranku untuk bertanya.
“Bagaimana denganmu? Apa yang ingin kaulakukan nanti?”
Jamie mengalihkan pandangannya, tatapannya menerawang sejenak, membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya.
“Aku ingin menikah,” ujarnya perlahan. “Dan di saat aku menikah, aku ingin ayahku berjalan mendampingiku menuju altar dan aku ingin semua orang yang kukenal ada di sana. Aku ingin gereja penuh sesak dengan para tamu.”
“Itu saja?” Meskipun aku tidak meremehkan ideuntuk menikah, rasanya konyol mengharapkan hal itu sebagai tujuan utama dalam hidupmu.
“Ya,” sahutnya. “Hanya itu yang kuinginkan.”
Caranya menjawab membuatku merasa ia menganggap nasibnya akan sama seperti Miss Garber. Aku berusaha membuat dirinya merasa lebih baik, meskipun aku menganggapnya konyol.
“Kau akan menikah kelak. Kau akan bertemu dengan seseorang dan kalian berdua akan cocok, dan ia akan memintamu untuk menikahinya. Aku yakin ayahmu akan senang sekali mendampingimu menuju altar.”
Aku tidak menyinggung tentang banyaknya tamu yang datang ke gereja nanti. Kurasa itu bagian yang sulit kubayangkan. Jamie mencerna jawabanku, memikirkan caraku menjawabnya, meskipun aku tidak mengerti alasannya.
“Kuharap begitu,” kata Jamie akhirnya.
Aku tahu Jamie tidak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut—jangan tanya padaku bagaimana aku bisa mengetahuinya—karena itulah aku mengalihkan topik pembicaraan.
“Sudah berapa lama kau mendatangi panti asuhan ini?” tanyaku berbasa-basi.
“Sudah tujuh tahun. Aku baru berumur sepuluh tahun ketika pertama kali datang kemari. Aku lebih muda dari kebanyakan anak-anak di sini waktu itu.”
“Apakah kau menikmatinya, atau itu justru membuatmu sedih?”
“Dua-duanya. Sebagian anak-anak di sini berasal dari situasi yang betul-betul mengenaskan. Mendengar kisah mereka bisa membuatmu terharu. Tapi saat mereka melihatmu muncul dengan membawa beberapa buah buku dari perpustakaan atau mainan baru, senyum mereka akan segera menghapus semua kesedihan. Rasanya tak ada yang bisa menandingi perasaan itu.”
Wajah Jamie tampak bersinar saat mengucapkan kata-kata itu. Meskipun ia tidak mengatakannya untuk membuatku merasa bersalah, tetap saja itulah yang kurasakan. Itulah salah satu alasan mengapa sulit bagiku untuk menghadapinya, tapi pada saat itu aku mulai terbiasa dengannya. Aku menyadari bahwa Jamie bisa membuatmu merasakan banyak hal, kecuali merasa normal.
Pada saat itu Mr. Jenkins membuka pintu dan mengundang kami masuk. Ruang kerjanya nyaris tampak seperti kamar rumah sakit, lantai berubin hitam-putih, dinding dan langit-langit putih, dan lemari besi di dinding. Di tempat yang biasanya diletakkan tempat tidur, terdapat meja
besi yang seakan belum selesai dirakit. Ruangan ini nyaris tidak menunjukkan sesuatu yang bersifat pribadi. Tak ada foto atau semacamnya.
Jamie memperkenalkanku, dan aku menjabat tangan Mr. Jenkins. Setelah kami duduk, Jamie-lah yang banyak berbicara. Mereka sudah lama berteman, kau bisa langsung melihatnya, dan Mr. Jenkins memeluk Jamie dengan hangat saat masuk tadi. Setelah merapikan roknya, Jamie menjelaskan rencana kami. Mr. Jenkins sudah pernah menonton drama itu beberapa tahun yang lalu, dan ia tahu persis apa yang sedang dibicarakan Jamie. Meskipun Mr. Jenkins sangat menyukai Jamie dan tahu bahwa maksudnya baik, ia tidak menganggap usulnya itu sebagai ide yang bagus.
“Kurasa itu bukan ide yang bagus,” ujarnya.
Dari situlah aku tahu apa yang ada dalam benak Mr. Jenkins.
“Kenapa tidak?” tanya Jamie, alisnya terangkat. Ia tampak benar-benar tidak memahami sikap kurang antusias Mr. Jenkins.
Mr. Jenkins meraih sebatang pensil dan mulai mengetuk-ngetuknya di atas meja, jelas memikirkan cara untuk menjelaskan alasannya. Kemudian ia meletakkan pensilnya dan menghela napas.
“Meskipun itu usul yang bagus dan aku tahu kau ingin melakukan sesuatu yang istimewa, drama itu tentang seorang ayah yang pada akhirnya menyadari betapa ia mencintai putrinya.” Ia memberi kesempatan kepada kami untuk meresapi ucapannya sambil mengambil pensilnya kembali. “Natal sudah terasa berat di sini tanpa mengingatkan anak-anak itu akan apa yang tidak mereka miliki. Kurasa jika anak-anak menonton pertunjukan seperti itu…”
Ia bahkan tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Jamie membekap mulutnya dengan tangan. “Ya, Tuhan,” ujarnya, “Anda benar. Aku tidak memikirkan itu sama sekali.”
Sejujurnya, aku juga tidak berpikir sampai sejauh itu. Tapi tidak perlu diragukan lagi bahwa apa yang dikatakan Mr. Jenkins masuk akal.
Namun Mr. Jenkins tetap mengucapkan terima kasih kepada kami dan mengajak kami berbincang-bincang sebentar mengenai apa yang sudah direncanakan. “Kami akan memasang pohon Natal kecil dengan beberapa hadiah—sesuatu yang dapat mereka gunakan bersama. Kalian berdua boleh datang berkunjung pada Malam Natal…”
Setelah berpamitan, Jamie dan aku berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tahu Jamie sedang sedih. Semakin sering aku menghabiskan waktu bersama Jamie, semakin aku menyadari bahwa ia memiliki bermacam-macam emosi—ia tidak sealu ceria dan bahagia. Percaya atau tidak, saat itulah pertama kalinya aku menyadari bahwa dalam banyak hal Jamie sama seperti manusia lainnya.
“Aku menyesal rencanamu tidak bisa dilaksanakan,” ujarku pelan.
“Aku juga.”
Tatapannya menerawang lagi, dan ia perlu waktu sebelum melanjutkan lagi.
“Aku cuma ingin melakukan sesuatu yang berbeda untuk mereka tahun ini. Sesuatu yang istimewa, yang takkan mereka lupakan selamanya. Aku merasa begitu yakin tadinya…” Ia menghela napas, “Tuhan sepertinya punya rencana lain yang sejauh ini belum kuketahui.”
Ia terdiam lama, dan aku mengawasinya. Melihat Jamie merasa sedih ternyata membuat perasaanku lebih buruk daripada merasa kesal karena harus bersamanya. Tidak seperti Jamie, aku pantas merasa buruk terhadap diriku sendiri—aku tahu orang seperti apa aku ini. Tapi Jamie…
“Mumpung kita sudah di sini, kau mau mampir sebentar untuk melihat anak-anak itu?” tanyaku, memecah keheningan. Hanya itulah yang terlintas dalam benakku yang dapat kulakukan untuk membuat Jamie merasa lebih baik. “Aku bisa menunggu di sini sementara kau menemui mereka, atau menunggu di mobil kalau kau mau.”
“Maukah kau menemui mereka bersamaku?” tanyanya tiba-tiba. Sejujurnya, aku tidak yakin sanggup menghadapi mereka, tapi aku tahu Jamie benar-benar ingin aku menemaninya. Dan ia sedang sedih sehingga kata-katanya terucap begitu saja.
“Oke, aku ikut.”
“Mereka tentu berada di ruang rekreasi sekarang. Biasanya mereka ada di sana pada waktu seperti ini,” ujarnya.
Kami berjalan menyusuri lorong sampai ke ruangan paling ujung, di sana terdapat dua pintu yang membuka ke dalam ruangan yang cukup besar. Di pojok terdapat pesawat televisi kecil dengan sekitar 30 kursi lipat yang ditempatkan di sekelilingnya. Anak-anak sedang duduk di kursi itu, mengerumuni pesawat televisi, dan hanya mereka yang duduk di barisan terdepan yang dapat melihat televisi dengan jelas.
Aku melayangkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Di pojok ruangan terdapat sebuah meja ping-pong tua. Permukaannya sudah retak-retak dan berdebu, tidak ada net. Ada beberapa cangkir Styrofoam kosong di atasnya, meja itu tampaknya sudah tidak pernah digunakan selama beberapa bulan, mungkin juga sudah bertahun-tahun. Di sepanjang dinding dekat meja ping-pong itu ada sebuah rak, dengan beberapa mainan di sana sini—balok-balok kayu, puzzle, dan sejumlah mainan lainnya. Tidak terlalu banyak, dari yang sedikit itu terlihat seakan sudah lama sekali berada di ruangan ini. Di sepanjang dinding yang lain terdapat beberapa meja kecil dengan tumpukan kertas koran yang dicorat-coret dengan krayon.
Kami berdiri di ambang pintu selama beberapa saat. Mereka belum menyadari kehadiran kami, dan aku bertanya untuk apa koran-koran itu.
“Mereka tidak punya buku mewarnai,” bisik Jamie, “jadi mereka memakai koran bekas.” Jamie tidak memandangku saat berbicara—perhatiannya tertuju pada anak-anak itu. Ia sudah mulai tersenyum lagi.
“Apakah ini semua mainan yang mereka miliki?” tanyaku.
Jamie mengangguk. “Ya, kecuali boneka binatang. Mereka boleh menyimpan boneka-boneka itu di kamar mereka. Di sini tempat penyimpanan sisa mainan yang mereka miliki.”
Kurasa Jamie sudah terbiasa akan hal itu. Namun bagiku, kelengangan ruangan itu membuat suasananya terasa menyedihkan. Tidak terbayang olehku dibesarkan di tempat seperti ini.
Jamie dan aku akhirnya melangkah masuk ke ruangan itu dan seorang di antara anak-anak itu menoleh mendengar suara langkah kaki kami. Usia anak itu sekitar delapan tahun, dengan rambut merah dan bintik-bintik di wajahnya, dan gigi depannya sudah tanggal.
“Jamie!” serunya gembira begitu melihat Jamie, dan tiba-tiba semua kepala berpaling. Anak-anak itu berusia antara lima sampai dua belas tahun, lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan. Selanjutnya aku baru tahu bahwa anak-anak itu ditempatkan di rumah orangtua angkat setelah berusia dua belas tahun.
“Hai, Roger,” sahut Jamie, “apa kabar?”
Setelah itu, Roger bersama beberapa anak lain mulai mengerumuni kami. Beberapa anak yang tidak memedulikan kehadiran kami, bergerak lebih dekat ke pesawat televisi karena ada beberapa tempat kosong di barisan terdepan sekarang. Jamie memperkenalkanku pada seorang anak yang lebih besar, yang menanyakan apakah aku pacar Jamie. Dari nadanya, aku merasa anak itu memiliki pandangan yang sama terhadap Jamie seperti kebanyakan anak-anak di sekolah kami.
“Ia cuma teman biasa,” sahut Jamie. “Tapi ia baik sekali.”
Selama sekitar sejam kami mengunjungi anak-anak itu. Aku mendapat banyak pertanyaan seperti di mana aku tinggal, apakah rumahku besar, dan mobil merek apa yang kumiliki. Ketika kami akhirnya harus pergi, Jamie berjanji akan segera mengunjungi mereka lagi. Aku menyadari bahwa Jamie tidak menjanjikan akan mengajakku lagi.
Sementara kami berjalan menuju mobil, aku berkata, “Mereka anak-anak yang baik.” Aku mengangkat bahu dengan kikuk. “Aku senang kau mau membantu mereka.” Jamie berpaling ke arahku dan tersenyum. Ia tahu bahwa tidak banyak yang bisa ditambahkan setelah itu, namun aku bisa melihat bahwa Jamie masih penasaran mengenai apa yang bisa ia lakukan bagi mereka di Hari Natal.




BAB 7

DI awal bulan Desember, setelah sekitar dua minggu latihan, langit musim dingin sudah gelap sebelum Miss Garber memperbolehkan kami pulang. Jamie memintaku menemaninya pulang berjalan kaki. Aku tidak tahu mengapa ia ingin aku menemaninya. Beaufort bukanlah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi.
Satu-satunya pembunuhan yang pernah kudengar terjadi sekitar enam tahun yang lalu ketika seseorang tewas ditusuk di luar Maurice’s Tavern—omong-omong, merupakan tempat berkumpul orang-orang seperti Lew. Selama kurang-lebih satu jam suasana kota cukup gempar, dan telepon-telepon berdering di seluruh penjuru kota sementara kaum wanita yang panik menanyakan kemungkinan masih adanya pembunuh gila berkeliaran di jalan, mengintai korban-korban yang lengah. Pintu-pintu dikunci, senjata diisi, kaum pria duduk di dekat jendela depan, mewaspadai kalau-kalau ada seseorang yang tidak dikenal mengendap-endap di jalan. Namun seluruh kehebohan itu mereda sebelum malam itu berakhir saat seorang pria menyerahkan diri pada polisi. Ternyata pembunuhan itu terjadi akibat percekcokan di bar yang lepas kendali. Rupanya si korban mencoba berbuat curang saat berjudi. Pria itu didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua dan dihukum enam tahun penjara.
Para polisi di kota kami menjalani tugas-tugas yang paling membosankan di dunia ini, namun mereka masih suka berlagak sok jago sambil membawa-bawa pentungan atau duduk-duduk di kedai kopi sambil membahas soal “kejahatan besar” itu, seakan mereka telah berhasil mengungkap suatu misteri seheboh kasus penculikan bayi keluarga Lindbergh.
Namun rumah Jamie searah dengan rumahku, dan aku tidak dapat menolak tanpa melukai perasaannya. Tapi jangan salah mengerti, ini bukan berarti aku suka padanya atau semacamnya. Tapi setelah kau melewatkan beberapa jam dalam sehari dengan seseorang, dan kau masih akan menghabiskan waktu dengan orang itu selama sedikitnya seminggu lagi, kau tidak ingin melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat hari-hari mendatang menjadi tidak menyenangkan.
Drama itu akan dipentaskan pada hari Jumat dan Sabtu, dan banyak orang yang sudah mulai membicarakannya. Miss Garber begitu terkesan dengan penampilanku dan Jamie sehingga ia terus menceritakan kepada semua orang bahwa pertunjukan kali ini akan jadi pertunjukan terbaik yang pernah dipentaskan oleh sekolah kami. Miss Garber ternyata memiliki kemampuan yang mencengangkan dalam berpromosi. Kota kami memiliki seubah stasiun pemancar radio, dan mereka mewawancarai Miss Garber secara langsung, tidak hanya sekali, tapi dua kali. “Acaranya akan luar biasa,” komentarnya, “betul-betul luar biasa.”
Miss Garber juga menghubungi surat kabar, dan mereka telah sepakat untuk menulis artikel tentang drama itu. Surat kabar mau melakukannya karena kaitan antara Jamie dan Hegbert, meskipun semua orang di kota kami sudah mengetahuinya. Namun Miss Garber tetap tidak kenal lelah, dan ia baru saja mengatakan kepada kami bahwa pihak Playhouse akan menyediakan kursi-kursi tambahan untuk menampung jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas. Seisi kelas
mengeluarkan suara oh dan ah, seakan itu sesuatu yang hebat atau semacamnya, tapi kemudian kurasa memang itulah yang dirasakan sebagian di antara mereka. Ingat, kami memiliki orang-orang seperti Eddie. Ia mungkin menganggap inilah satu-satunya saat dalam hidupnya yang akan mendapat perhatian banyak orang. Yang menyedihkan adalah ia mungkin benar.
Kau mungkin mengira aku juga ikut antusias dengan kegiatan ini, tapi nyatanya tidak. Teman-temanku masih mengejekku di sekolah, dan sudah lama aku tidak menikmati sore yang bebas. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan adalah fakta bahwa aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”. Aku tahu bahwa itu tidak banyak berarti, namun sejujurnya, hanya itulah alasanku. Kadang-kadang aku merasa gembira dengan perbuatanku, meskipun aku tidak pernah mengakuinya kepada siapa pun. Aku nyaris bisa membayangkan para malaikat di surga, berkerumun dan memandangku dengan air mata mengambang di sudut mata mereka, membicarakan betapa baiknya aku karena mau berkorban.
Jadi aku memikirkan semua itu sambil menemaninya pulang pada malam pertama, ketika Jamie mengajukan pertanyaan padaku.
“Benarkah kau dan teman-temanmu kadang-kadang pergi ke tempat pemakaman di malam hari?” Sebagian dari diriku tercengang saat mengetahui Jamie tertarik pada hal itu. Meskipun sebetulnya bukan rahasia, rasanya itu bukan sesuatu yang akan menggugah rasa ingin tahunya.
“Yeah,” sahutku sambil mengangkat bahu. “Kadang-kadang.”
“Apa yang kaulakukan di sana, selain makan kacang?”
Jadi ia juga tahu mengenai hal itu.
“Aku tidak tahu,” ujarku. “Mengobrol… bercanda. Kami cuma senang duduk-duduk di sana.”
“Kau tidak pernah takut?”
“Tidak,” sahutku. “Kenapa? Apakah kau akan takut?”
“Aku tidak tahu,” sahutnya. “Mungkin.”
“Kenapa?”
“Karena aku khawatir kalau yang kulakukan di sana tidak benar.”
“Kami tidak melakukan perbuatan buruk di sana. Maksudku, kami tidak merobohkan batu-batu nisan atau meninggalkan sampah di mana-mana,” ujarku. Aku tidak mau mengungkapkan padanya mengenai percakapan kami tentang Henry Preston karena aku tahu itu bukan sesuatu yang ingin didengar Jamie. Minggu lalu Eric sempat bertanya seberapa cepat orang seperti Preston bisa naik ke tempat tidur dan… ehm… kau tahu, kan?
“Pernahkah kalian cuma duduk di sana dan mendengarkan suara-suara di sekeliling kalian?” tanyanya. “Seperti suara derik jangkrik, atau gemeresik dedaunan di saat angin berembus? Atau pernahkah kalian berbaring telentang sambil memandangi bintang-bintang?”
Meskipun termasuk gadis remaja dan sudah berusia tujuh belas tahun, Jamie tetap sama sekali tidak tahu apa-apa tentang para remaja. Bagi Jamie mencoba memahami remaja pria ibarat mencoba menguraikan teori relativitas.
“Tidak juga,” sahutku. Ia mengangguk pelan. “Kurasa itulah yang akan kulakukan jika ada di sana. Maksudku, seandainya aku pergi ke sana. Aku akan mengamati sekelilingku dan benar-benar memperhatikannya dengan saksama, atau duduk diam dan memasang telingaku.”
Seluruh percakapan ini terkesan aneh, tapi aku tidak berniat memperpanjangnya, dan kami terus berjalan dalam keheningan selama beberapa waktu. Karena Jamie sudah menanyakan sesuatu tentang diriku, aku merasa harus menanyakan sesuatu tentang dirinya. Maksudku, sejauh
ini ia sama sekali tidak mengungkit soal rencana Tuhan atau semacamnya, sehingga paling tidak itulah yang dapat kulakukan.
“Oke, apa yang biasa kaulakukan?” tanyaku. “Maksudku, selain membantu di panti asuhan, menolong makhluk-makhluk malang, dan membaca Alkitab?” Harus kauakui kedengarannya menggelikan, bahkan bagiku sendiri, namun memang itulah yang biasa dilakukan Jamie.
Ia tersenyum padaku. Kurasa ia tercengang mendengar pertanyaanku, terutama perhatianku terhadap kebiasaannya.
“Aku melakukan banyak hal. Aku belajar untuk sekolah, menghabiskan waktu bersama ayahku. Kami bermain gin rummy kadang-kadang. Hal-hal semacam itu.”
“Apakah kau tidak pernah pergi bersama teman-temanmu, sekadar untuk bersenang-senang.”
“Tidak,” sahutnya. Dari caranya menjawab aku bisa merasakan bahwa tidak banyak teman yang menyukai kehadirannya.
“Aku berani bertaruh kau tidak sabar untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tahun depan,” ujarku, mengalihkan percakapan.
Perlu beberapa saat baginya sebelum menjawab.
“Kurasa aku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi,” sahutnya lugas. Jawabannya sempat membuat aku bingung. Jamie termasuk siswa yang selalu meraih nilai tertinggi di kelas kami. Ia bahkan berpeluang menjadi siswa teladan, tergantung bagaimana hasil semester terakhir. Omong-omong, kami sudah mengadakan taruhan untuk menebak berapa kali ia akan menyebut rencana Tuhan dalam pidatonya kelak. Aku bertaruh empat belas kali, karena ia hanya mendapat waktu lima menit.
“Bagaimana dengan Mount Sermon? Kupikir kau berencana untuk melanjutkan ke sana. Kau pasti menyukai tempat seperti itu,” usulku. Ia menatapku dengan mata berbinar. “Maksudmu aku cocok berada di sana, kan?”
Kata-kata yang dilontarkannya kadang-kadang bisa membuatmu terenyak.
“Maksudku bukan begitu,” sahutku cepat. “Aku pernah mendengar betapa inginnya kau kuliah di sana tahun depan.”
Jamie mengangkat bahu tanpa sungguh-sungguh menjawabku, dan sejujurnya, aku jadi merasa serba-salah. Saat itu kami telah sampai di depan rumahnya, dan berhenti di trotoar. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bayangan Hegbert di ruang duduk melalui gorden. Lampunya menyala, dan Hegbert sedang duduk di sofa dekat jendela. Kepalanya menunduk, seakan sedang membaca sesuatu. Mungkin membaca Alkitab.
“Terima kasih telah mengantarku pulang, Landon,” kata Jamie, dan ia menengadahkan wajahnya ke arahku sesaat, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya di jalan masuk rumahnya.
Saat memperhatikannya dari belakang, terlintas dalam benakku bahwa percakapan kami barusan adalah yang paling aneh di antara sekian banyak percakapan kami. Jamie tetap tampak normal, meskipun beberapa jawabannya terdengar janggal. Pada malam berikutnya, saat aku mengantarnya pulang, ia bertanya tentang ayahku.
“Ia baik-baik saja, kurasa,” sahutku. “Ia jarang ada di rumah.”
“Kau merindukannya? Dibesarkan tanpa kehadirannya?”
“Kadang-kadang.”
“Aku juga sering merindukan ibuku,” ujarnya, “meskipun aku tidak pernah mengenalnya.”
Itulah pertama kalinya aku menyadari bahwa Jamie dan aku mungkin memiliki kesamaan. Aku membiarkan pikiran itu terserap sejenak.
“Tentunya itu berat bagimu,” ujarku tulus. “Meskipun ayahku seperti orang asing bagiku, setidaknya ia masih ada.”
Jamie berpaling ke arahku sementara kami terus melangkah, kemudian ia menatap ke depan lagi. Ia menarik-narik rambutnya perlahan. Aku mulai memperhatikan bahwa Jamie menarik rambutnya setiap kali merasa gelisah atau tidak tahu harus berkata apa.
“Memang, kadang-kadang. Tapi jangan keliru—aku mencintai ayahku dengan sepenuh hati—namun ada saatnya aku bertanya-tanya akan seperti apa suasananya kalau ada seorang ibu. Kurasa kami bisa membicarakan topik yang tidak bisa kubicarakan dengan ayahku.”
Kupikir yang dimaksud Jamie adalah membicarakan cowok. Baru kemudian aku tahu bahwa aku keliru.
“Bagaimana rasanya hidup bersama ayahmu? Apakah ia sama seperti orang yang ditampilkannya di gereja?”
“Tidak. Sebenarnya ayahku memiliki rasa humor yang tinggi.”
“Hegbert?” semburku. Membayangkannya saja aku tidak bisa.
Kurasa Jamie terkejut mendengar aku menyebut nama ayahnya dengan nama kecilnya, namun ia tidak mempersoalkannya dan tidak menanggapi komentarku. Malah ia berkata, “Jangan terkejut begitu. Kau akan menyukainya, setelah kau lebih mengenalnya.”
“Aku tidak yakin aku akan lebih mengenalnya.”
“Kau tidak pernah tahu, Landon,” ujarnya sambil tersenyum, “apa rencana Tuhan.”
Aku benci saat Jamie mengatakan hal seperti itu. Ia berbicara dengan Tuhan setiap hari, dan kau tidak akan pernah tahu apa yang dikatakan “Yang Di Atas” kepadanya. Ia bahkan mungkin sudah memiliki tiket untuk langsung terbang ke surga, kalau kau mengerti maksudku, karena ia begitu baik.
“Bagaimana aku bisa mengenalnya dengan lebih baik?” tanyaku.
Jamie tidak menyahut, namun tersenyum pada dirinya sendiri, seakan ia mengetahui rahasia yang tidak mau diungkapkannya padaku. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku benci saat ia sedang begitu.
Pada malam berikutnya kami mengobrol tentang Alkitab-nya.
“Kenapa kau selalu membawanya?” tanyaku.
Aku mengira ia membawa Alkitab ke mana-mana cuma karena ia putri seorang pendeta. Itu bukan pikiran yang berlebihan, mengingat bagaimana Hegbert menyikapi Ayat-ayat Suci dan yang lainnya. Namun Alkitab yang dibawa Jamie sudah tua dan sampulnya tampak sudah usang. Aku menganggap Jamie termasuk orang yang akan membeli Alkitab baru setiap tahun atau secara berkala sekadar untuk membantu pihak penerbit Alkitab atau memperbarui ketaatannya kepada Tuhan atau semacamnya.
Ia melangkah beberapa saat sebelum menjawab.
“Ini tadinya milik ibuku,” ujarnya.
“Oh…” Nada suaraku seperti aku baru saja menginjak kura-kura kesayangan seseorang dan meremukkan tempurungnya.
Ia menatapku. “Tak apa-apa, Landon. Kau kan tidak tahu.”
“Maafkan aku karena bertanya…”
“Jangan minta maaf. Kau kan tidak punya maksud apa-apa.” Jamie terdiam sejenak. “Ibu dan ayahku mendapat Alkitab ini pada hari pernikahan mereka, namun ibuku-lah yang kemudian
menggunakannya. Ia selalu membacanya, terutama di saat ia sedang melewati masa-masa sulit dalam hidupnya.”
Aku teringat pada keguguran yang berkali-kali dialaminya. Jamie melanjutkan ceritanya.
“Ia suka membacanya di malam hari sebelum tidur, dan ia membawanya ke rumah sakit sewaktu aku dilahirkan. Ketika ayahku mengetahui ibuku meninggal, ia membawaku dan Alkitab ini pulang dari rumah sakit itu.”
“Aku minta maaf,” ujarku lagi. Di saat seseorang menceritakan sesuatu yang sedih padamu, hanya itulah yang menurutmu bisa kaukatakan, meskipun kau sudah mengatakannya sebelumnya.
“Alkitab ini membuatku… merasa dekat dengannya. Kau bisa mengerti?” Ia tidak mengatakannya dengan sedih, tapi lebih hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku. Entah mengapa itu membuatku merasa lebih tidak enak lagi.
Setelah ia mengungkapkan cerita itu, aku membayangkan Jamie dibesarkan oleh Hegbert lagi, dan aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sementara memikirkan jawabannya, aku mendengar suara klakson mobil di belakang kami, dan kami sama-sama berhenti melangkah lalu menengok ke belakang saat kami mendengar mobil itu menepi.
Eric dan Margaret berada di dalam mobil itu, Eric di belakang kemudi, Margaret di sisi yang terdekat dengan kami.
“Wow, coba lihat siapa yang kita temukan di sini,” ujar Eric sambil mencondongkan tubuhnya ke arah kemudi sehingga aku bisa melihat wajahnya. Aku belum menceritakan padanya bahwa aku mengantar Jamie pulang. Rasa ingin tahu dalam pikiran remaja membuat perkembangan baru ini mengalahkan perasaanku setelah mendengar cerita Jamie.
“Halo, Eric. Halo, Margaret,” sapa Jamie riang.
“Kau mengantarnya pulang, Landon?” Aku bisa melihat setan kecil di balik senyum Eric.
“Hai, Eric,” sapaku, sambil berharap ia tidak pernah melihatku.
“Malam yang indah untuk jalan-jalan, kan?” ujar Eric. Kurasa karena Margaret berada di antara dirinya dan Jamie, Eric merasa lebih berani daripada biasanya di hadapan Jamie. Jelas ia tidak akan membiarkan peluang ini lewat tanpa membuatku merasa terpojok.
Jamie memandang sekelilingnya dan tersenyum. “Ya.”
Eric juga melihat ke sekelilingnya, dengan tatapan sayu di matanya sebelum ia menarik napasnya dalam-dalam. Aku tahu Eric cuma berpura-pura. “Wah, benar-benar menyenangkan di luar, ya.” Ia menghela napas kemudian menoleh ke arah kami sambil mengangkat bahu. “Sebenarnya aku ingin menawarkan tumpangan pada kalian, tapi itu tentu tidak semenyenangkan berjalan-jalan di bawah bintang, dan aku tidak ingin kalian berdua kehilangan itu.” Eric mengatakannya seakan ia melakukan suatu kebaikan pada kami.
“Oh, lagi pula kami sudah hampir sampai di rumahku,” ujar Jamie. “Aku baru akan menawarkan segelas sari apel pada Landon. Kalian mau menunggu kami di sana? Masih ada banyak.”
Sari apel? Di rumahnya? Jamie tidak menyebut apa-apa tadi…
Aku memasukkan tanganku ke dalam saku, sambil bertanya dalam hati apakah keadaan ini bisa lebih buruk lagi.
“Oh, tak usah… tak apa-apa. Kami akan ke Cecil’s Diner.”
“Di hari sekolah?” tanya Jamie polos.
“Oh, kami tidak akan sampai larut malam,” janji Eric, “tapi kami sebaiknya segera pergi. Nikmati sari apel kalian.”
Eric menjalankan mobilnya kembali, perlahan-lahan. Jamie mungkin akan menganggap Eric pengemudi yang hati-hati. Nyatanya tidak begitu, meskipun Eric sangat lihai melepaskan diri dari masalah begitu ia menabrak sesuatu. Aku ingat ketika ia mengatakan kepada ibunya bahwa seekor sapi tiba-tiba muncul di depan mobilnya dan karena itulah bumper serta bagian depan mobilnya rusak. “Kejadiannya begitu cepat, Mom, sapi itu muncul entah dari mana. Tiba-tiba sapi itu sudah berada di depanku, dan aku tidak sempat mengerem pada waktunya.” Semua orang tahu bahwa seekor sapi tidak tiba-tiba muncul entah dari mana, namun ibunya mempercayai ucapannya. Omong-omong, ibunya juga pernah menjadi ketua pemandu sorak.
Begitu mereka menghilang dari pandangan, Jamie berpaling padaku dan tersenyum.
“Kau punya teman-teman yang menyenangkan, Landon.”
“Tentu saja.” Aku menyatakan kalimat itu dengan hati-hati.
Setelah mengantar Jamie—tidak, aku tidak mampir untuk minum sari apel—aku langsung pulang, sambil menggerutu sepanjang jalan. Sementara itu aku sudah melupakan cerita Jamie, dan yang terngiang di telingaku adalah suara tawa teman-temanku dari arah Cecil’s Diner.
Lihat kan apa yang terjadi saat kau jadi orang baik?
Keesokan paginya semua siswa di sekolah tahu bahwa aku mengantar Jamie pulang. Hal ini menimbulkan spekulasi baru mengenai kami berdua. Kali ini malah lebih gawat daripada sebelumnya. Begitu gawatnya sehingga aku terpaksa melewatkan istirahat makan siangku di perpustakaan untuk menghindari semua itu.
Malam itu latihan dilakukan di Playhouse. Latihan terakhir sebelum pementasan pertama, dan masih banyak yang harus kami kerjakan. Sepulang sekolah, siswa laki-laki di kelas drama harus membawa semua properti panggung dari ruang kelas ke truk sewaan untuk diangkut ke Playhouse. Masalahnya adalah siswa laki-lakinya hanya aku dan Eddie, dan Eddie bukanlah orang yang indra-indranya terkoordinir dengan baik. Kami harus melewati sebuah pintu, menggotong barang berat, dan postur Hooville-nya menjadi kendala. Pada setiap saat yang kritis ketika aku betul-betul memerlukan bantuannya untuk menahan beban, ia akan tersandung debu atau seekor serangga di lantai, sehingga berat latar properti panggung itu akan ditimpakan pada jari-jariku, yang kemudian akan terjepit di kusen pintu dengan cara yang amat menyakitkan.
“S-s-sori,” kata Eddie. “Sakit… ya?”
Aku menelan sederetan umpatan yang nyaris terlontar dari mulutku dan menjawab dengan sengit,
“Pokoknya jangan lakukan itu lagi.”
Namun Eddie tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tersandung-sandung lagi, sama seperti halnya ia tidak mampu mencegah turunnya hujan. Pada saat kami selesai membongkar pasang semuanya, jemariku tampak seperti jemari Toby, si tukang serabutan. Bagian terburuknya adalah, aku bahkan tidak sempat makan sebelum latihan dimulai. Memindah-mindahkan properti panggung itu telah menghabiskan waktu tiga jam, dan kami baru selesai memasangnya kembali beberapa menit sebelum yang lain tiba untuk mulai latihan. Dengan semua kejadian yang berlangsung hari itu, boleh dikatakan suasana hatiku betul-betul tidak baik.
Aku mengucapkan dialog-dialogku tanpa konsentrasi, dan Miss Garber tidak sekali pun mengucapkan kata luar biasa sepanjang malam. Matanya menunjukkan keprihatinan, namun Jamie hanya tersenyum dan mengatakan padanya agar tidak khawatir, dan semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu Jamie cuma ingin mempermudah keadaan tapi aku menolaknya ketika ia memintaku mengantarnya pulang.
Playhouse terletak di tengah-tengah kota, dan aku harus berjalan ke arah yang berbeda dengan arah rumahku untuk mengantarnya pulang. Selain itu, aku tidak ingin terlihat mengantarnya pulang lagi. Namun Miss Garber kebetulan mendengar pembicaraan kami dan berkata dengan nada tegas, bahwa aku akan menemaninya dengan senang hati. “Kalian berdua bisa mengobrol tentang pementasan itu,” ujarnya. “Mungkin kalian bisa berlatih bagian-bagian yang masih kaku.” Tentu saja, yang dimaksud kaku di sini adalah aku.
Jadi sekali lagi aku mengantar Jamie pulang, tapi ia pasti tahu bahwa aku sedang tidak ingin berbicara karena aku melangkah sedikit lebih jauh di depannya. Kedua tanganku di dalam saku, bahkan aku tidak menoleh ke belakang untuk melihat apakah ia mengikutiku. Ini berlangsung selama beberapa menit pertama, dan aku tidak mengucapkan sepatah kata pun padanya.
“Suasana hatimu sedang tidak baik, ya?” tanya Jamie akhirnya. “Kau bahkan tidak berusaha malam ini.”
“Tidak ada yang luput dari perhatianmu, kan?” sahutku ketus tanpa menoleh ke arahnya.
“Mungkin aku bisa membantu,” usulnya. Nadanya terdengar tulus, yang membuatku jadi semakin kesal.
“Aku tidak yakin,” bentakku.
“Mungkin kalau kau mau menceritakan padaku apa yang mengganjal—“
Aku tidak membiarkan Jamie menyelesaikan ucapannya.
“Dengar,” kataku, seraya berhenti melangkah dan berdiri berhadapan dengannya. “Aku menghabiskan waktu seharian untuk menggotong-gotong properti sialan itu. Aku belum makan sejak siang, dan sekarang aku harus berjalan ekstra satu mil hanya untuk memastikan kau sampai di rumah, padahal kita sama-sama tahu bahwa kau sebetulnya tidak membutuhkanku untuk mengantar pulang.”
Baru pertama kali itulah aku menaikkan volume suaraku saat berbicara dengannya. Terus terang, rasanya lumayan menyenangkan. Aku sudah memendamnya sekian lama. Jamie tampak sangat terkejut untuk menanggapi kemarahanku, dan aku terus melanjutkan.
“Satu-satunya alasanku melakukan ini adalah karena ayahmu, yang bahkan tidak menyukaiku. Semua ini betul-betul konyol. Aku berharap tidak pernah setuju untuk melakukannya.”
“Kau cuma mengatakan semua ini karena kau tegang menghadapi pementasan besok—“
Aku memotong ucapannya dengan gelengan kepalaku. Sekali aku sudah mulai, kadang-kadang sulit bagiku untuk berhenti. Aku hanya mampu menghadapi sikap optimis dan keceriannya sampai di sini, dan ini bukan hari yang tepat untuk mendesakku makin jauh.
“Kau masih juga belum mengerti, ya?” tanyaku gusar. “Aku sama sekali tidak merasa tegang menghadapi pementasan. Aku cuma sedang tidak ingin berada di sini. Aku tidak ingin mengantarmu pulang, aku tidak ingin teman-temanku terus membicarakanku, dan aku tidak ingin menghabiskan waktu denganmu. Kau terus berlagak seakan kita berteman, tapi nyatanya tidak begitu. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Aku cuma ingin semua ini segera berakhir dan aku bisa kembali ke kehidupan normalku.”
Jamie tampak sakit hati menerima luapan kemarahanku, dan sejujurnya, aku tidak dapat menyalahkannya.
“Aku mengerti,” cuma itu yang dikatakannya. Aku menunggunya balas membentak, membela dirinya, atau mencari masalah baru, namun ia tidak melakukannya. Jamie cuma menunduk. Kurasa sebagian dari dirinya ingin menangis, namun ia tidak melakukannya, dan akhirnya aku meneruskan lngkahku, meninggalkannya berdiri di tempatnya. Namun tak lama setelah itu aku mendengar ia juga mulai bergerak. Ia berada dalam jarak lima meter di
belakangku sepanjang perjalanan menuju rumahnya, dan ia tidak berusaha berbicara padaku lagi sampai ia akan melangkah ke jalan masuk rumahnya. Aku sudah mulai berjalan menjauh ketika mendengar suaranya.
“Terima kasih telah mengantarku pulang, Landon,” serunya.
Hatiku menciut begitu mendengar ucapannya. Bahkan di saat aku bersikap kejam terhadapnya dan mengatakan hal-hal yang paling menyakitkan, ia masih bisa menemukan alasan untuk berterima kasih padaku. Jamie memang gadis semacam itu, dan kurasa aku benar-benar membencinya karena alasan tersebut. Atau lebih tepatnya, aku membenci diriku sendiri karena alasan itu.




BAB 8

CUACA di malam pementasan itu sejuk dan segar, langitnya terang tanpa segumpal awan pun. Kami harus tiba satu jam lebih awal, dan sepanjang hari aku merasa tidak enak karena caraku berbicara pada Jamie di malam sebelumnya. Jamie tidak pernah melakukan apa-apa kecuali bersikap baik padaku, dan aku tahu bahwa aku memang bersikap tolol. Aku melihatnya di lorong sekolah sewaktu pergantian mata pelajaran, dan aku berniat menghampirinya untuk meminta maaf atas apa yang telah kukatakan, namun Jamie menghilang di antara orang banyak sebelum aku sempat menghampirinya.
Ia sudah ada di Playhouse sewaktu aku sampai di sana. Aku melihatnya berbicara dengan Miss Garber dan Hegbert di sisi dekat layar panggung. Semua tampak sedang bergerak, berusaha meredakan ketegangan, namun Jamie kelihatan begitu letih. Ia belum mengenakan kostumnya—ia akan memakai gaun putih yang menjuntai untuk memberikan kesan seperti malaikat—dan ia masih mengenakan sweter yang sama yang dikenakannya di sekolah tadi. Meskipun aku merasa cemas menanggapi reaksinya, aku tetap menghampiri mereka bertiga.
“Hai, Jamie,” tegurku. “Halo, Pendeta… Miss Garber.”
Jamie menoleh ke arahku.
“Halo, Landon,” sahutnya perlahan. Aku bisa melihat bahwa ia masih belum melupakan peristiwa malam sebelumnya, karena ia tidak tersenyum padaku sebagaimana yang biasa ia lakukan begitu melihatku. Aku bertanya apakah aku bisa berbicara dengannya berdua, lalu kami meminta diri. Aku bisa melihat Hegbert dan Miss Garber mengawasi kami saat kami menjauh dari jarak pendengaran mereka.
Aku melayangkan pandangan ke arah panggung dengan gelisah.
“Maafkan aku atas segala perkataanku padamu tadi malam,” ujarku memulai. “Aku tahu bahwa semua itu mungkin melukai perasaanmu, dan aku salah karena telah mengatakannya.”
Ia menatapku, seakan bertanya-tanya apakah ia dapat mempercayai ucapanku.
“Kau serius mengenai ucapanmu tadi malam?” tanya Jamie akhirnya.
“Suasana hatiku sedang tidak baik, itu saja. Emosiku kadang-kadang meledak begitu saja.” Aku tahu bahwa aku tidak secara langsung menjawab pertanyaannya.
“Aku mengerti,” sahutnya. Nadanya saat mengatakan itu persis seperti pada malam sebelumnya, kemudian ia berpaling ke arah kursi-kursi penonton yang masih kosong. Ekspresi sedih di matanya kembali tampak.
“Dengar,” ujarku, sambil meraih tangannya. “Aku berjanji akan menebus kesalahanku.” Jangan tanya padaku mengapa aku mengatakannya—rasanya itulah yang harus kulakukan pada saat itu.
Untuk pertama kalinya malam itu, Jamie mulai tersenyum.
“Terima kasih,” jawabnya, sambil berpaling ke arahku.
“Jamie?”
Jamie menoleh. “Ya, Miss Garber?”
“Kurasa sudah waktunya kau bersiap-siap.” Miss Garber menggerakkan tangannya.
“Aku harus pergi sekarang,” ujar Jamie kepadaku.
“Aku tahu.”
“Break a leg—Patahkan kaki/Semoga sukses,” ujarku. Mengucapkan sukses sebelum pementasan
dianggap membawa sial. Karena itulah semua orang akan mengatakan “break a leg”.
Aku melepaskan tangannya. “Untuk kita berdua. Janji.”
Setelah itu kami harus bersiap-siap, dan kami terpaksa berpisah. Aku menuju ke arah ruang ganti pakaian laki-laki. Gedung Playhouse memang lumayan lengkap, mempertimbangkan lokasinya di Beaufort, dengan ruang ganti terpisah yang membuat kami merasa seakan jadi aktor-aktor profesional, bukan sekadar anak-anak sekolah.
Kostumku, yang disimpan di Playhouse, sudah tersedia di dalam ruang ganti itu. Sebelumnya, semasa latihan, mereka mengukur tubuh kami agar bisa dilakukan perubahan, dan aku sedang berpakaian saat Eric masuk tanpa diundang. Eddie masih ada di situ, mengenakan kostum gelandangan bisunya, dan ia tampak ketakutan saat melihat Eric. Sedikitnya sekali seminggu Eric biasa menerornya, sehingga Eddie berusaha keluar secepat mungkin, sambil menaikkan celana kostumnya sambil berjalan menuju pintu. Eric tidak memedulikannya dan langsung duduk di atas meja rias, persis di muka cermin.
“Jadi,” kata Eric sambil memperlihatkan senyum nakal, “apa yang akan kaulakukan sekarang?”
Aku menatapnya heran. “Apa maksudmu?” tanyaku.
“Mengenai pementasan itu, tolol. Akan kaukacaukan dialogmu atau apa?”
Aku menggeleng. “Tidak.”
“Kau akan menabrak properti-properti panggung itu?” Semua orang tahu tentang properti panggung.
“Aku tidak punya rencana seperti itu,” sahutku tak acuh.
“Maksudmu kau melakukan ini sebagaimana mestinya?”
Aku mengangguk. Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk mengacaukannya.
Eric menatapku selama beberapa saat, seakan sedang melihat seseorang yang tidak dikenalnya.
“Kurasa kau sekarang sudah dewasa, Landon,” kata Eric akhirnya. Berhubung Eric yang mengatakannya, aku tidak yakin apakah itu dimaksudkannya sebagai pujian.
Meskipun demikian, aku tahu bahwa ia benar.
Di dalam drama itu, Tom Thornton tercengang saat melihat malaikat untuk pertama kalinya, yang kemudian menjadi alasan mengapa Tom mau ikut membantu malaikat itu menebarkan suasana Natal di antara mereka yang kurang beruntung. Kata-kata pertama yang terucap dari mulut Tom adalah, “Kau cantik sekali,” dan aku seharusnya mengucapkan kalimat itu seakan keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam. Itulah saat paling menentukan dari seluruh pertunjukan itu, dan mempengaruhi semua yang terjadi setelahnya.
Namun masalahnya, sampai sejauh ini aku belum berhasil menghayatinya. Memang aku bisa mengucapkannya dengan baik, tapi tidak terdengar begitu meyakinkan, mengingat kemungkinan bahwa aku mengucapkannya sebagaimana yang dilakukan oleh semua orang saat berhadapan dengan Jamie, kecuali Hegbert. Ini merupakan satu-satunya adengan yang tidak pernah
dikomentari Miss Garber dengan ucapan luar biasa, karena itu aku merasa tegang. Aku terus berusaha membayangkan orang lain sebagai malaikatnya agar aku dapat mengucapkan kalimat itu sebagaimana mestinya. Tapi hal itu selalu terlupakan karena begitu banyak hal yang harus kuperhatikan.
Jamie masih berada di ruang ganti saat layar akhirnya dibuka. Aku tidak melihat Jamie tapi itu bukan masalah. Adegan-adegan pertama memang belum menampilkan dirinya—intinya lebih tentang hubungan antara Tom Thornton dengan putrinya.
Aku tidak merasa terlalu tegang saat menjejakkan kakiku di panggung, karena aku sudah sering latihan, namun kenyataannya berbeda saat waktunya tiba. Gedung Playhouse itu betul-betul penuh, dan seperti yang diprediksi Miss Garber, mereka terpaksa menambahkan dua baris kursi tambahan di deret paling belakang. Biasanya tempat itu cukup untuk empat ratus orang, tapi dengan adanya kursi-kursi tambahan itu sedikitnya lima puluh orang lagi bisa duduk. Selain itu, masih banyak yang berdiri bersandar pada dinding, berdesak-desakan seperti ikan sarden.
Begitu aku muncul di panggung, semua penonton langsung diam. Aku melihat sebagian besar penonton adalah wanita tua yang sudah beruban, yang biasanya bermain bingo dan minum Bloody Mary saat makan siang, meskipun aku bisa melihat Eric dan semua temanku di deretan belakang. Rasanya menegangkan, kalau kau mengerti maksudku, berdiri di hadapan mereka semua sementara semua orang menungguku mengatakan sesuatu.
Karena itu aku berusaha sebaik mungkin untuk mencurahkan seluruh konsentrasiku saat melakukan adegan-adegan awal dalam pertunjukan itu. Omong-omong, Sally, si cantik bermata satu, bermain sebagai putriku, karena ia memiliki postur tubuh yang bisa dibilang kecil, dan kami menampilkan adegan sebagaimana yang sudah kami latih sebelumnya. Kami sama-sama tidak mengacaukan dialog meskipun akting kami tidak spektakuler. Di saat layar diturunkan untuk menampilkan babak kedua, kami harus buru-buru mengganti latar dan properti panggung. Kali ini semua turun tangan, dan jari-jariku selamat karena aku berusaha keras menghindari Eddie.
Aku masih juga belum melihat Jamie—kurasa ia dibebastugaskan dari memindah-mindahkan latar karena kostumnya terbuat dari bahan tipis dan mungkin akan robek kalau sampai tersangkut paku—tapi aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkan Jamie karena berbagai hal yang harus aku lakukan. Tiba-tiba, layar dibuka lagi dan aku kembali berada di dalam dunia Hegbert Sullivan, berjalan melewati berbagai etalase toko mencari kotak musik yang didambakan oleh putriku untuk Hari Natal.
Aku membelakangi arah Jamie masuk, namun aku mendengar para penonton serentak menarik napas begitu ia muncul di panggung. Tadinya aku menganggap bahwa suasananya sunyi, tapi sekarang tiba-tiba menjadi hening. Pada saat itu, melalui sudut mataku aku bisa melihat Hegbert berdiri di sisi panggung dengan rahang bergetar. Aku bersiap-siap untuk berbali, dan setelah itu aku akhirnya melihat apa yang diperhatikan semua orang.
Untuk pertama kalinya sejak aku mengenal Jamie, rambutnya yang berwarna seperti madu tidak disanggul, melainkan dibiarkan tergerai lepas. Lebih panjang daripada yang pernah kubayangkan, dan tergerai sampai di bawah tulang belikatnya. Rambutnya juga diberi glitter, sehingga memantulkan sinar lampu panggung dan menjadikannya tampak seperti lingkaran halo dari kristal. Dalam gaun putihnya yang menjuntai dan secara khusus dijahit untuknya, penampilan Jamie sungguh-sungguh memesona. Ia sama sekali tidak tampak seperti gadis yang kukenal sejak anak-anak, atau gadis yang belakangan ini mulai kukenal lebih akrab. Ia juga memakai sedikit makeup—tidak banyak, cukup untuk memberi aksen pada kelembutan garis-garis wajahnya. Ia sedang tersenyum, seakan menyembunyikan rahasia di dalam hatinya, sesuai dengan peran yang harus ditampilkannya.
Ia betul-betul tampak seperti malaikat.

Aku tahu bahwa mulutku menganga sedikit, dan aku cuma bisa berdiri di sana sambil menatapnya sekian lama, terenyak dalam keheningan, sampai tiba-tiba aku teringat ada kalimat yang harus kuucapkan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian perlahan-lahan aku mengucapkannya.
“Kau cantik sekali,” kataku padanya. Kurasa semua yang berada di dalam ruangan itu, mulai dari wanita beruban yang duduk di depan sampai teman-temanku di deretan paling belakang, tahu bahwa aku benar-benar serius dengan ucapanku. Untuk pertama kalinya aku berhasil menjiwai kalimat itu.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates