Can You See Me part 1
CLARISA
Waktu istirahat masih
tersisa 20 menit sebelum mereka mengikuti pelajaran berikutnya. Ruang kelas
hampir tidak berpenghuni ketika Risa masuk ke dalam kelas. Kebanyakan dari
teman sekelasnya sedang makan siang di kantin atau berganti pakaian.
“fiuh... Hari yang
melelahkan,” pikir Risa sambil memasukkan baju olahraga ke dalam tasnya. Ia menarik
kursinya dan duduk sambil menghela napas muram. Tetes-tetes keringat membasahi kening
dan lehernya. “setelah ini masih ada 2 jam matematika,” gumamnya ketika tiga
orang sahabatnya mendatanginya satu persatu.
“udaranya panas
sekali, aku gak yakin bisa konsen waktu pelajaran matematika nanti,” kata
Jennifer. Ia
didampingi Jessica yang sedang meneguk sisa air dari botol minumannya.
“Maunya sih gitu tapi
liat deh tampang males2an,” keluh jessica,
“gak bakalan bisa
deh. Bu Ida punya tatapan mata ke segala jurusan, paling2 disuruh maju
ngerjain soal di
papan.”
Jessica dan Jennifer
adalah satu2nya anak kembar di kelas dan di sekolah mereka. Sejak kecil
mereka selalu
bersekolah di tempat yang sama, kepandaian mereka hanya beda tipis. Teman2
sekolah memanggil
mereka dengan sebutan Jessy dan jenny. Benar2 kembar identik, tidak ada yang
bisa membedakan mereka bila dilihat dari bentuk wajah atau fisik.
Hanya saja jessica
menderita lemah jantung sejak kecil, Jennifer sebagai orang paling dekat dengannya
selalu siap menjaga adik kesayangannya itu. Mungkin karena alasan inilah,
Jessica mempunyai sikap kekanak-kanakan dibandingkan dengan jennifer. Pda
dasarnya si kembar sangat periang dan teman yang menyenangkan bagi Risa.
“Ngobrol yang lain
aja knapa,” celetuk Bobby yang ikutan nimrung diantara si kembar. Cowok satu
ini kelihatan lelah sehabis berolahraga, rambutnya setengah basa oleh keringat,
tapi ekspresi wajahnya sangat puas. “Gimana kalo ntar pulang sekolah kita
jalan2 sambil makan es trus foto barengdi photobox?” tanyanya antusias.
“Hm..,” pikir Risa
serius, “oke2 aja. Tapi muka udah luntur gini masa mau foto segala.”
“Lagian tasnya berat
nih, males bawanya,” tambah Jessy, melongok sepintas ke mejanya di sebrang
dimana tasnya menggembang diluar kendali.
“Adik2 yang
manis...,” kata Bobby dengan sabar ketika menempati bangkunya sendiri yang terletak
di sebelah kiri Risa,” “mau foto gak foto itu urusan nanti. Masalah tas nanti
bisa dititipin di mobilku, hari ini gak bawa motor, jadi bawa dompet aja. Ntar
pulangnya kuantar deh, toh kalian bertetangga Cuma beda satu blok.”
Ketiga cewek itu
tampak menimbang sebentar kemudian saling pandang setuju.
“Ok sepakat!!!” seru
Jenny. "wahh harus beritahu nyokap dulu nih biar ntar gak perlu jemput,” tambahnya
seraya buru2 mengambil HP dari dalam tasnya.
Siang itu berjalan
begitu lambat. Suasana kelas hening, yang terdengar hanyalah bunyi goresan kapur
di papan tulis. Teman2 sekelasnya mengerjakan latihan soal dalam diam. Risa
berkali2 memaksa diri untuk mengerjakan soal2 latihan dibukunya namun hanya
berputar2 disatu soal. Ia menengadahkan kepalanya, menatap langit di luar
jendela. Di kejauhan terdengar suara serangga yang mengeluarkan dengung berisik
setiap menjelang akhir musim kemarau. Begitu tertatap olehnya pandangan Bu Ida
yang tanpa ekspresi ke arahnya, ia menunduk dan pura2 melanjutkan hitungannya.
Betapa herannya Risa
akan kenyataan bahwa sudah 3 kali dalam semester ini Bobby duduk
semeja dengannya,
mengingat pergantian tempat duduk diundi oleh pengurus kelas setiap satu bulan.
Di sampingnya, Bobby rupanya berusaha entah menghibur atau usil atau mengatasi
rasa jenuhnya sendiri dengan menanyakan perkalian setingkat anak SD kepada Risa
sambil mengerjakan soal hitungan rumit diburam. Risa menjawab jemu dan asal
saja sampai suatu ketika ia salah menjawab 8X7=63.
“56 tau, HADUHH!!”
desisnya.
“Nah kalo udah tau
ngapain nanya?!” balas Risa dalam desis agak jengkel, mau tak mau
menahan tawa. Untung
saja meja mereka terletak paling belakang. Andi yang berjarak satu bangku dari
tempat duduk Risa menoleh sepintas kearah mereka berdua dan terkekeh. Lalu
dalam sekejap tampak mnguasai diri dan kembali ke posisi duduknya yang biasa, menyandarkan
tubuhnya pada kursi dan meluruskan kakinya, tangannya tampak sibuk menghitung.
Sejenak Bobby dan Risa saling pandang tak mengerti tapi keduanya tersadar oleh
bunyi kapur patah didepan dan buru2 menyelesaikan tugasnya.
Bobby dulunya juara
kelas walaupun prestasinya sekarang tidak sebagus dulu. Tidak heran ia
tampak santai di
kelas karena otaknya luar biasa sigap. Diam2 Risa iri sekaligus kagum akan
kepandaian Bobby tapi
entah kenapadan bagaimana mereka selalu tertawa riang gembira saat
bersama. Baginya
Bobby sangat menyenangkan, setia kawan dan menyebalkan. Sebagian sampul belakangnya
dipenuhi tanda tangan Bobby. Salah satunya robek sebagian gara2 aksi tarik menarik
dalam usahanya menolak kebiasaan aneh Bobby. Bobby berkelit bahwa jika dia
sudah terkenal tanda tangannya jadi langka.
Belum lagi setiap
menjelang pulang sekolah, tanpa terasa alat tulisnya berpindah tangan ke kotak pensil
Bobby. Hal ini membuatnya tetap di kelas saat usai sekolah dan meminta bantuan
si kembar mengambilkan sisa pena yang tak berhasil direbut. Risa dengan
bijaksana tidak membawa pensil hari berikutnya dan hanya meletakkan sebuah pena
, pensil dan penghapus di meja sesuai keperluan.
Jessy dan Jenny
memang menyenangkan tapi dalam hal bercanda Bobby bisa membuatnya
tertawa seharian.
Hari2nya di sekolah yang membuat stress berat dapat dilupakan berkat
kehadiran ketiga
sahabatnya. Pelajaran yang berlangsung dalam diam dan menguras pikiran ini
membuat waktu berlalu terasa lebih lambat dari sebenarnya. Risa berkali2
melirik jam tangan Bobby, berharap bel bisa berdering sebentar lagi dan kecewa
karena ia baru melewatkan lima menit dari saat terakhir kali melihatnya.
Setelah beberapa menit berlalu yang sudah serasa seharian, Risa melirik jam
tangan Bobby dan lega mengetahui 15 menit lagi mereka akan pulang.
“kenapa? Naksir jamku
ya?” ledek Bobby, rupanya dari tadi memperhatikan Risa yang terus
menerus memandang
jamnya.
“Bilang aja kalo
kpengen.”
“ye.. jam kayak punya
bapak2 gitu. Gak minat!”
Kata Risa mencibir.
Bobby tidak membalasnya, agak malu, padahal Risa setengah bercanda. Ia sadar
kalo jamnya memang biasa dipakai orang dewasa. Bobby memang mempunyai
penampilan seperti orang dewasa, mungkin dia ingin kelihatan lebih berwibawa,
pikir Risa.
Bobby sudah selesai
mengerjakan latihannya, menutup bukunya, duduk santai sambil memainkan
pulpennya seraya melihat teman2nya. Rupanya Bobby merupakan anak pertama dalam
kelas itu yang sudah selesai. Kesal karena tadi kalah bicara dengan Risa, Bobby
berpura2 menawarkan pekerjaannya yang sudah selesai supaya Risa bisa
menyalinnya.
“masih kurang 4 nomer
ya? Ck ck ck,” katanya menyebalkan sambil mengintip buku tugas Risa.
“Seperti biasa
lemot.”
“sebenarany maumu apa
sih?” tanya Risa tidak sabar tanpa memalingkan muka.
“nggaakk. Ngakpapa,”
jawabnya enteng. Sekarang ia mengetuk2an pulpennya ke buku latihannya yang
tertutup, supaya Risa bisa melihat ia telah selesai mengerjakan.
“sudah selesai ya.
Lihat dong,” pinta Risa bermanis2.
“boleh, nih,” kata
Bobby cepat lalu membuka bukunya dan menggesernya kearah Risa. Ketika Risa baru
sebentar melihatnya, Bobby buru2 menariknya kembali ke mejanya. “eiiiitss.”
“eeeeh...,” kata Risa
protes. “Dasar penipu!”
“apa?? Kamu bilang
apa?” kata Bobby berpura2 tidak mendengar sambil mendekatkan telinganya kearah
Risa.
“Bobby!” kata suara
tegas Bu Ida memecah keheningan, Bobby langsung menegakkan
duduknya. “kerjakan
nomor 68 di papan!.”
Risa memandang Bobby
dengan senyum kemenangan. Bobby menatapnya sekilas seakan
berkata ‘pertempuran
belum berakhir’, berdiri sambi membawa bukunya.
“oya, kalo bisa tanpa
buku ya,” tambah Bu Ida,membuat Bobby berbali dan meletakkan
bukunya.
“rasain!” gumam Risa
sambil menatap Bobby maju ke papan tulis.
Bel berbunyi tepat
setelah Bobby selesai mengerjakan soal di papan tulis. Ia kembali ke
bangkunya seraya
menyipitkan mata memandang Risa. Risa tidak menunjukkan tanda2
menghiraukannya.
Semua murid berbenah, memasukkan buku2 mereka ke dalam tas masing2.
“Lho?! Pulpenku
kurang satu,” tanya Bobby sambil memeriksa kotak pensilnya.
“Nih, trims,” kata
Risa seraya menyodorkan pulpen warna hita kepada Bobby. Bobby mengambilnya
dengan kasar, memandangnya sengit.
“Enak aja ngambil2
barang orang,” sahut Bobby pedas.
“Eh! Maling teriak
maling,” balas Risa panas. “Aku tadi kan udah bilang pinjem, isi pulpenku udah
habis. Pikun ya. Gara2 siapa hayo aku Cuma bawa satu pulpen tiap hari.”
“sapa suruh,” balas
Bobby menjengkelkan namunagak merasa bersalah. Risa capek meladeninya sehingga
ia diam saja.
Setelah berdoa dan
memberi hormat, murid2 bergegas keluar dari ruangan, Jenny dan Jessy tetap tinggal
di kelas. Mereka mendatangi meja Risa dan Bobby yang duduk dibangku
masing-masing.
“untung sekali kita
mau pergi, pelajaran ini bikin stress orang,” keluh Jessy seraya meletakkan tasnya
yang berat di atas meja disertai bunyi ‘duk’.
“payah, uangku hampir
habis. Tadi buat makan di kantin. Kalau tau bakal jalan2, aku pasti bawa uang
lebih.” Ucap Jenny lesu, ikut meletakkan tasnya disebelah tas kembarannya lalu
duduk dikursi terdekat.
“pinjem uangku aja
kalo kurag,” sahut Risa memberi solusi sambil duduk berayun2 kedepan dan kebelakang
pada kursinya, sedikit menambah semangat temannya. Diam2 ia teringat kursi goyang
nenek dimana ia suka sekali duduk disana ketika mengunjungi neneknya.
“bener?? Wah trims
ya. Kau paling baiiik sedunia,” seru Jenny berapi2 memberi pujian selangit. Risa
hanya tersenyum.
“baru tau ya,” sindir
Risa bergurau.
“jangan bilang gitu.
Ntar kepalanya jadi besar kayak semangka,” kata Bobby memulai. Ia
mengayun kursi Risa
mendadak kebelakang kuat2, bermaksud mengagetkan Risa.
“BOBBY! Yang bener
dong!” kata Risa marah karena kaget setengah mati. Kedua tangannya
memegang pinggiran
meja erat2, kakinya menjejak lantai. Jangtungnya dag dig dug tak karuan.
“sorry. Kalo Jenny
yang minta dikasih pinjam kenapa aku enggak” tanya Bobby protes.
“heh?! Memangnya kamu
butuh uang? Perasaan kok nggak pernag denger ya” sahut Risa ketus, masih
marah..
“Lagipula Jenny gak
minta kok.”
Si kembar
berpandangan, mengangkat bahu. Rupanya sudah terbiasa dengan perdebatan
semacam ini.
“Dasar pilih kasih,”
kata Bobby mencibir.
“Iya iya. Ampun. Gitu
aja kok marah,” kata bobby seraya menyikut lengan Risa. Risa
memandangnya sewot.
“Jangan lupa ya,
bayar bunganya juga,” tambah Risa jengkel.
“bunga?” tanya Bobby
heran, pura2 tidak paham .
“kenapa nggak bilang
dari dulu. Bilang aja, mau bunga apa? Flamboyan, bakung, sepatu, mawar, kamboja
atau anggrek atau...”
Risa memukul dahinya
sendiri dengan telapak tangan tanda menyerah seraya menghela nafas
lelah.
“Kalian ini mau
ngobrol sampai kapan?” tanya Jenny yang sedari tadi bersabar melihat mereka bertengkar
mulut. Sekarang risa memandangnya galak seolah berkata ‘bukan mauku’ sambil melirik
kearah Bobby.
Bobby menghentikan
ocehannya, merasa bersalah, lalu cepat2 mengambil tindakan.
“ayo deh, pergi
sekarang,” katanya singkat sambil berdiri dari kursinya, membawa tasnya,
diikuti oleh ketiga temannya.
“tapi aku mau-mau aja
lho dikasih bunga krisan,” kata Jessy riang gembira ketika mereka baru saja meninggalkan
kelas, tidak menyadari percakapa sudah berakhir. Bobby, Jenny dan Risa menghentikan
langkah lalu berpaling memandangnya, membuat perasaannya tidak enak. “eh, anggap
saja aku gak pernah bilang.”
*
“Pesan nasi goreng 2
porsi, gado2 1 porsi, nasi soto 1 porsi dan em.. minumnya 2 es teh dan 2 air putih,”
sahut Bobby ke ibu pmilik toko dengan lantang.
“akhirya selesai juga
belanjanya,” kata Risa yang kelihatan lelah tapi puas sambil mengamati si kembar
yang sedang membandingkan jepit dan ikat rambut yang baru mereka beli.
Mereka memilih tempat
duduk ditepi sambil memandang lalu lintas ke luar kaca jendela. Depot ini salah
satu favorit mereka, letaknya disebelah Mall yang baru saja mereka kunjungi,
masakannya tiada
duanya dan harganya gak selangit. Bungkusan hasil belanja tergeletak
menggerombol dimeja
kosong sebelah mereka. Bobby tidak membeli apa2, hanya melihat2 dan mengoceh
sepanjang waktu.
“hei, lihat! Tuh
cewek cakep banget,” pekik Jenny bersemangat seraya menghempas2kan salah satu
tangannya secara serabutan dan tangan satunya menunjuk ke seberang.
“mana?mana?”
Ketiga sahabatnya
buru2 mengarahkan pandang kearah yang ditunjuk Jenny dan benar saja
cewek, lebih tepatnya
murid SMA, dengan seragam yang berbeda dari merekasedang menyebrang dari arah
plasa ke apotik di depannya sambil menenteng tas sekolah dan barang
belanjaan. Rambutnya
yang lurus panjang sepinggang dan berwarna kecoklatan melambai2
tertiup angin sepoi,
badannya tinggi semampai dengan kulit putih bersinar. Semua itu masih
belum apa2 dibanding
dengan wajahnya yang elok, hidung mancung dan bibirnya yang mungil kemerahan.
Benar2 tipe cewek idaman.
Mereka memicingkan
mata melihat cewek yang berjalan menjauh itu dan mengamati gerakgeriknya. Setelah
seperempat jam cewek itu keluar apotik dan menunggu jemputan.
“oh dia.. kalau tidak
salah namanya Anita dari SMA X, orangnya cantik walau sayang bukan
tipeku, tidak pernah
terlibat kegiatan organisasi disekolah karena sakit-sakitan, peringkat 1
berturut-turut dikelas walaupun bukan juara umum,” jawabnya cepat ketika terpandang
olehnya kernyit di dahi teman-temannya dan pandangan mereka telah teralih
sepenuhnya.
Bibi pemilik toko
menyodorkan makanan yang mereka pesan yang disambut dalam diam.
Sebelum Risa dan si
kembar tersadar dari kekaguman akan informasi tersebut, sebuah sepeda
motor berhenti
didepan cewek itu. Rupanya yang mengendarai adalah seorang remaja pria yang lebih
tua beberapa tahun dari mereka.
“itukah pacarnya”
tanya Jessy tertarik yang ditujukan entah kepada siapa sambil memandang
ingin tahu wajah si
pengendara namun yang terlihat hanya punggung jaketnya saja.
“itu kakanya yang
biasa menjemput,” lagi2 Bobby unjuk bicara sambil menyuapkan sesendok
penuh nasi soto
kedalam mulutnya. “aku sempat berkenalan dengan kakaknya sewaktu kami
bertemu tidak sengaja
di bengkel sepeda motor. Saat itu aku sedang memodifikasi motorku,
rupanya ia juga
melakukan hal yang sama. Daripada nunggu lama ya sekalian kuajak ngobrol
tentang motor
sekalian tanya tentang adiknya. Tapi hanya nanya kondisinya aja kok, gak
lebih.”
“kenapa njelasin
panjang lebar gitu?” kata Jessy heran.
Pria itu menyodorkan
helm kearah si cewek dan meletakkan barang bawaan dengan aman
dikaitan sepeda
motornya. Tak lama kemudian kedua bersaudara itu pun pergi dan membuyarkan lamunan
mereka. Dengan lesu si kembar kembali memusatkan perhatiannya pada nasi goreng yang
belum tersentuh. Sementara itu diluar dugaan Bobby bersendawa keras, risa dan
si kembar langsung berhenti dan memandangnya.
“ups, sorry!” kata
Bobby sungguh2.
“iuuuhh, jorok banget
sih Bob!” tegur Jessy.
“kamu sendiri kadang2
gitu dirumah,” sindir Jenny kepada Jessy yang mukanya merah memerah malu,
menggerutu tidak jelas.
“sayang sekali gak
ada cewek secantik dan sepandai itu disekolah kita. Begitu berkarakter. Udah kayak
artis aja,” kata Risa mengalihkan pembicaraan sambil meneguk minumannya
sementara Jenny mengingatkan Jessy untuk meminum obatnya.
“tapi kita punya
cewek yang manis disekolah kita,” sahut Bobby mantap sambil memandang
malu2 sahabat
didepannya. Risa tidak menyadari maksud perkataan tersebut karena sibuk mengamati
arloji Bobby.
“tentunya itu kita
berdua kan,” Jessy dan Jenny menjawab spontan dan kompak sambil
mengedip2 genit.
Keduanya telah memakai salah satu jepit yang baru dibeli. Mereka tampak geli sendiri.
“habis makan nanti,
buruan pulang yuk. Satu jam lagi sudah jam 6 sore,” kata Risa menasehati. Sesampainya
dirumah , Risa segera menaiki tangga menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya diatas
kasur berselimut yang empuk dan nyaman. Sayup2 terdengar suara mamanya dari
bawah,
“tadi ada telpon dari
Evi, katanya kerja kelompok besok diundur lusa.”
“trims ma,” balas
Risa lelah. Dia pasti sudah pulang sedikit lebih cepat kalau saja Bobby tidak menyarankan
untuk berjalan kaki dari depan perumahannyayang langsung, disambut anggukan setuju
penuh semangat dari si kembar. Udara sore segar dan mereka bisa berbincang2
lebih lama. Tapi bagi Risa yang sudah kelelahan, ini berarti menunda
istirahatnya.
“ada kendaraan malah
milih yang repot,” gerutunya tak habis pikir setelah selesai mengingat.
Ia menatap langit2
kamarnya lalumengalihkan pandang ke sekeliling kamar. Seperti biasa
kamarnya tampak rapi,
sinar biasa masuk melalui jendela di sebelah tempat tidurnya menerangi seluruh
kamarnya. Hanya saja jendela itu kini tertutup kelambu biru. Sepanjang dinding kamarnya
tertempel sekumpulan poster grup band penyanyi idolanya.
Ia menatap rindu
komputer kesayangannya. Fotonya bersama sahabat2nya tersenyum
memandangnyadari atas
meja belajar ditemani seekor boneka kelinci besar yang imut. Di atas
lemari pakaiannya
terdapat seekor boneka beruang mungil dalam keranjang yang dibungkus
plastik dan ujungnya
diikat pita, hadiah dari Bobby 2 tahun yang lalu.
Mendadak terlintas
dalam benaknya bahwa Bobby mungkin menyukainya. Namun, ia heran
sendiri bahwa hal itu
sama sekali tidak mengganggunya. Bobby adalah sahabatnya dan akan
menjadi sahabatnya
untuk seterusnya. Apapun yang terjadi kelak, tidak akan banyak merubah
hubungan mereka,
pikirnya meyakinkan dirinya akan kemungkinan yang bisa saja terjadi
tersebut.
Tiba2 ada sesuatu
yang lembut bergerak diantara kakinya, tanpa berpikir dua kali ia langsung
bangun dan memberi
salam ke anjingnya. “halo Toska,” sapanya sambil membelai2 rambut
anjing yang
kecoklatan tersebut. Toska balas memandang majikannya dengan penuh sayang lalu secepatnya
keluar dari kamar. Risa sudah melatihnya untuk tidak masuk ke kamar tapi kali
ini Toska hanya ingin menyambut kedatangannya.
Sudah lama sekali,
pikirnya, ketika si kembar membersihkan seekor anak anjing kepadanya
sewaktu ia berulang
tahun yang ke-12. Sebagai terimakasihnya, ia merawat Toska dengan baik. Sewaktu
Toska berumur 3 bulan, Toska diam2 mulai belajar naik tangga walaupun dengan perasaan
takut. Setelah berhasil berada di puncak, ia tidak berani turun seharian.
Untunglah ibunya menemukannya saat tiba waktunya makan malam. Risa masih
tertawa bila teringat dengan kejadian itu.
“yak, mandi dulu baru
kerja PR trus makan malam,” katanya menyemangati pada diri sendiri.
Risa menuruni tangga
dengan tidak sabar. Perutnya lapar sekali. Toska menyambutnya di
undakan tangga paling
bawah, bergerak lincah, ekornya berputar seperti baling2. Ayah sedang bermain
tebak2an seru dengan Letty, adiknya, sewaktu ia tiba di meja makan yang bundar sementara
ibunya membagi2kan piring.
“..kalo bahasa
inggrisnya ‘bunga’ apa?”
“em..mm.. flora. Eh
bukan ya?” kata suara mungil adiknya seraya berpikir keras. Ketika melihat wajah
papanya yang menyiratkan bukan itu jawabannya, letty lalu kembali
berkonsentrasi. “apa
ya?em.. flower!”
“betul,” sahut ayah
mengangguk2 senang. “kalo babi?”
“piglet!” jawab Letty
segera, yakin benar 100%.
“whahahaha,” tertawa
geli. Mama ikut tersenyum geli.
“salah,” vonis Risa
seraya menarik kursinya, menatap adiknya yang lucu. Rambut Letty
terkuncir menjadi
dua, diikat pita merah, diatas kepalanya.
“uuh, kalo gitu apa?”
tanyanya penasaran sampai2 mulutnya monyong seperti hidung babi.
“pig. Bukan piglet
tapi pig,” kata ayah sabar
“oh iya ya. Pig pig,”
kata Letty pengertian, mengulang2nya setengah berteriak supaya tidak lupa.
“pig,pig,pig.”
“aduh,” pekik Risa
lalu mengelus lututnya. Ia melongok ke bawah meja dan melihat sandal
boneka berbulu letty
menendang 2 ditengah udara, tadi sempat mengenainya.
“Letty kakinya diem
dong,” kata Risa menasehati seraya berkacak pinggang. Suaranya
menggema keseluruh
ruang makan.
“udah, udah. Ayo
makan, ntar keburu dingin,” kata mmama mengakhiri permainan.
Mereka mengambil lauk
dan nasi sesuai selera dan kebutuhan masing2 sambil mengobrol
sepanjang makan.
Seperti biasa Lettylah yang paling menonjol sepanjang percakapan. Setelah 15 menit
berlalu, mama menanyakan perihal sekolah kepada Risa.
“Gimana tadi
disekolah, ada cerita apa?” tanya mama kepadanya.
“Gak ada ma, biasa
aja. Capek, stress mau ujian,” jawab Risa dengan mulut penuh. Adiknya
memandang ingin tahu.
“nanti habis ujian
juga lega,” kata ayah. “dulu papa juga gitu.”
“kalo Letty, hari ini
ngapain aja?” tanya mama, menatap Letty sambil tersenyum manis.
“Letty tadi nyoba
ngisi teka-teki silang punya papa,” kata Letty dengan senang hati bercerita.
“oh ya?” tanya
mamanya kagum, dalam hati senang karena anaknya bbegitu pintar mengingat
Letty baru kelas nol
besar. Disebelahnya, Risa menggeleng2 pelan kepalanya, tampak tidak puas.
“Letty bisa?”
“He’eh,” jawabnya
bangga.
“Letty diam2 ngambil
dari lemai papa ya?” tanya papa penuh selidik. Rupanya dugaan papa
benar karena anaknya
diam saja.
“gakpapa kan pa. Yang
penting Letty bisa belajar,” kata mama murah hati. “teka-teki silang kan susah.”
“memang,”kata Risa
unjuk bicara, “tapi Letty ngisinya mendatar trus keatas. Bukannya mendatar aja
atau vertikal aja. Tadi Risa lihat waktu ke kamarnya nyari pulpen warnaku yang
ungu.”
Mama tercengang,
rupanya kemajuan anaknya tidak seperti yng dibayangkan, lalu berkata
paham, “o..”.
“he he he. Kakak kok
tau kalo Letty yang ambil?” tanya Letty yang tidak menyadari
kekeliruannya mengisi
teka-teki silang, beberapa butir nasi menempel diujung nulut dan pipinya.
“ya taulah. Dirumah
ini sapa lagi sih yang suka ngambil barang tanpa ijiiin,” jawab Risa gemas sambil
memencet hidung adiknya.
“uh..”gumam Letty
sebal seraya menepis tangan Risa.
“Letty kalo makan,
mukanya ikut makan juga,” kata papa geli sambil mengambil butir nasi
diwajah Letty.
“udah ah. Letty
kenyang,” kata Letty, melompat turun dari kursi yang cukup tinggi baginya.
“Risa juga udah
selesai,” kata Risa lalu meneguk habis air minum digelasnya.
Papa masih makan
sambil membaca koran sedangkan mama membereskan piring2 yang telah
dipakai.
“bujuk adikmu tidur
ya Ris,” kata ayah minta tolong.
“oke” sahut Risa
memandang mereka lalu berucap pada adiknya. “debger kan? Ayo pergi tidur!”
“gak mau ah, Letty
masih mau maen,” kata Letty jahil.
“kalo masih ggak
mau...kakak gelitikin..,” ancam Risa, matanya membelalak tajam. Letty hanya menatapnya
tanpa menunjukkan tanda2 mau mengikuti perintahnya. Supaya meyakinkan, ia menggelitik
adiknya tanpa ampun. “wau..”
“kyaa kya kya,” jerit
Letty menggeliat2 geli lalu berlari terbirit2 ke kamar. “beres” gumam Risa menghela
nafas, kedua tangannya bersilang didepan dada, tampak sangat ahli dengan urusan
seperti ini.
Risa menaiki tangga
menuju kamarnya didampingi Toska yang melompati tangga dengan lincah, mengantarnya
sampai didepan kamar.
“selamat tidur
Toska,” katanya sebelum menutup pintu kamar.
0 komentar:
Post a Comment