Can You See Me part 4
HARI-HARI
BERIKUTNYA
Risa seperti orang
linglung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dikerjakannya. Ia belum terbiasa disini, selain itu orang-orang
rumah mencegahnya melakukan sesuatu yang bagi mereka
dianggap cukup berat
ntuk Risa, seperti menyapu, menyetrika dan pekerjaan rumah lainnya.
Karena masih merasa
sungkan, Risa tidak menolak. Tapi ia jadi mudah merasa bosan, hanya duduk termenung saja.
Oleh karena itu siang ini ia membuat puding coklat dan fla untuk mengisi waktu luangnya.
“au panas,” kata Risa
seraya menuang pudingnya yang masih encer kedalam cetakan lalu menyimpannya di
freezer. “sekarang tinggal menyiapkan fla.”
Maka Risa dengan
riang mengambil panci kecil, menyalakan api, lalu meletakkan panci diatasnya. Di meja
sebelahnya sudah tersedia susu cair, gula, tepung maizena dan rum. Risa mengaduk-aduk susu
cair dan gula supaya menyatu lalu menuang tepung maizena yang sudah
dicampur sedikit air.
“masukkan maizenanya.
Nah hampir jadi. Sekarang yang trakhir dan paling penting, tambahkan rumnya,” katanya
riang sambil terus mengaduk. “pakai telur nggak ya..gak usah deh. Nanti
malah amis.”
“bik?! Sekarang
bagaimana?” tanya ayah, suaranya terdengar dari kejauhan yang nyatanya berasal dari atas
atap dapur tempat tempat Risa berada saat ini.
“iya bentar,” jawab
bibik.
“Hm..kurang gula
dikit,” kata Risa lalu menambahkan gula kedalam panci. Risa mendongak keluar
jendela dan melihat bibiknya berlari dari taman tengah rumah menuju ke ruang keluarga.
Risa memasukkan fla
yang sudah jadi kedalam kulkas ketika bibiknya tengan memindahmindahkan
saluran TV lalu
secepatnya berlari lagi ke taman.
“belum. Yang tadi
masih lebih jelas,” seru bibik lantang ke atas atap.
Ayah sudah pulang
dari tadi. Ia sedang membetulkan antena di atap. Ayah berteriak-teriak dari atas apakah Tvnya
sudah jelas ketika ia menyetel antenanya dan menggerak-gerakkannya.
Sedangkan bibik
mondar mandir dengan sibuk mendengarkan aba-aba ayahnya, berlari ke ruang keluarga melihat
tampilan TV dan menyahut memberitahukan perihal kejelasan tampilannya.
Kemarin ada hujan
badai yang membuat tayangan Tvmereka berbintik-bintik.
Risa berjalan kearah
taman, hendak melihat keadaan ayah diatas. Siang itu begitu terik, sinar matahari yang
menyilaukan membuat matanya tidak bisa melihat dengan jelas.
“repot juga ya bik,”
gumam Risa.
“iya non. Bibik juga
dibikin susah,” kata bibik yang kepanasan sehabis berlari-lari.
Sepuluh menit berlalu
tanpa Risa mengetahui keberadaan ayahnya, yang terlihat hanyalah atap
genting yang menyala
dalam pantulan sinar matahari. Menyerah karena tidak tahu apa yang
dilakukan ayahnya di
atas, Risa melihat-lihat taman di sekelilingnya. Untunglah walaupun hari
panas begini, tanaman
di taman itu tampak segar. Di depan kamar tamu terletak jemuran kecil,
khusus untuk
menggantung handuk. Sedangkan tempat yang biasa dipakai untuk menjemur
pakaian dan seprai
ada di lantai dua. Rumah mereka memang tidak bertingkat. Lantai dua hanya
berupa ruang kecil
berangin untuk menjemur. Dibawahnya ada tangga melingkar dari besi dan
mesin cuci.
“bik, tolong dilihat
laggi,” kata ayah.
Bibik yang rupanya
sudah terlatih,langsung menghambur ke dalam rumah dan memindahmindah
saluran TV,
memastikan seluruh channel sudah tampil jelas. Risa menghampiri tempat
jemuran handuk,
memeriksa handuk-handuk disana apakah sudah kering. Bibik sudah kembali
lagi dan berkata
nyaring saking senangnya.
“sudah pak. Sudah
jelas.”
“masa sih bik?” tanya
ayahnya tidak yakin sambil melongokkan wajahnya kebawah. Ayahnya
malas jika sudah
terlanjur turun tangga nanti masih harus naik ke atap lagi untuk memperbaiki
antenanya.
“bener pak. Bapak
bisa turun sekarang.”
“ya sudah, bentar
lagi saya turun.”
“oi..Ta,” kata suara
lain ditengah keramaian itu. Viko baru pulang, sekarang berdiri di pintu
ruang keluarga,
berkeringat hebat seperti habis keramas. “ambilin handukku dong.”
Risa mengangguk paham
tapi tidak tahu benar yang mana handuk Viko, hanya menerka saja.
Maka dari itu ia
memilih handuk warna biru lalu melemparnya kuat-kuat keseberang, kearah
Viko. Viko
menangkapnya dengan kecewa.
“Bukan yang ini, yang
warna merah,” kata Viko seraya melempar kembali handuk biru kearah
Risa. Saking
kencangnya ia melempar, handuk itu mendarat tepat menutupi wajah dan kepala
Risa.
“Viko yang bener dong
kalo ngelempar!” tegur Risa dari balik handuk. Sementara Viko tertawa
tak terkendali sampai
terbatuk-batuk.
“ups, sori Ta.
Sengaja. Eh bukan. Maksudku gak sengaja,” kata Viko terbahak-bahak.
“dasar,” gerutu Risa
yang sekarang melepas handuk dari kepalanya dengan kasar. “aduh”
Benang pada handuk
itu mengait antingnya, membuatnya kesakitan saat menariknya. Risa
berjalan timpang ke
arah bibik yang masih melihat ke atas atap sambil memegangi handuk disatu
sisi, kepalanya
miring ke kanan.
“Bik tolong,” kata
Risa, tangan kirinya mengetuk pundak bibik. Bibik menoleh dan paham ketika
Risa menunjuk-nunjuk
handuk yang melekat di telinga kanannya lalu segera membantunya
melepas kaitan handuk
dari antingnya.
Viko mengikuti arah
pandang bibik yang semenjak tadi menengadah ke atap lalu melihat
punggung ayahnya
muncul tiba-tiba dari arah lain sehingga mengagetkannya. “ngapain ayah di
atas? Kukira ada
spiderman di atas rumah kita.”
Sekarang Risa ikut
mendongak dan melihat ayahnya menuruni tangga perlahan. Bibik akhirnya
berhasil melepas
kaitan antingnya, membuat Risa mengelus-elus telinganya dengan lega.
“makasih bik,” kata
Risa.
“sama-sama Non,” kata
bibik lalu berpaling melihat ayahnya, bergerak tangkas. “biar saya yang
mengembalikan
tangganya pak.”
Risa mengembalikan
handuk birunya ke tempat jemuran. Dan mengambil handuk berwarna
merah. Ayah
mengibas-ngibaskan pakaiannya dari debu.
“habis betulin
antena. Fiuhh capek juga. Panas sekali di atas sana,” kata ayah memberi
penjelasan kepada
Viko sambil melihat keatas atap. “kamu sendiri baru pulang Vik?”
“iya habis ada
pertandingan basket. Tim kami menang Yah,” jawab Viko gembira seraya
mengusap keringat
dirambutnya dengan lengan bajunya. Ia bersandar pada pintu yang terbuka.
“bagus kalo gitu ayah
mau mandi nih, kotor semua” kata ayah sambil mencium bau pakaiannya
yang bercampur
keringat.
“aku juga,” kata Viko
singkat yang jelas sekali merasa gerah sehabis olahraga dalam cuaca
sepanas ini.
“ini,” kata Risa
sembari menyerahkan handuk merah ke tangan Viko.
“trims,” kata Viko
mengelus rambut Risa lalu menyampirkan handuknya di pundak. Viko
mengambil baju ganti
dari kamarnya dan menuju kamar mandi.
“ambilkan handuk ayah
juga yang ungu. Kalau belum kering yang hijau saja,” kata ayahya selagi
ia keruang keluarga.
Risa berjalan
menyebrangi taman dan mengambilkan handuk berwarna hijau untuk ayah. Di
dalam, ayah
mengganti-ganti saluran TV dan tampak puas karena tampilannya sudah tidak
dipenuhi
bintik-bintik hitam.
“ini yah.” Kata Risa,
tersenyum memandang ayahnya.
“kelihatannya usaha
ayah gak sia-sia.”
“siapa dulu dong,”
kata ayahnya bangga. “ayah mandi dulu ya.”
Bibik kembali
melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat terhenti dari tadi. Risa
mengamatinya sambil
menunggu lalu memeriksa pudingnya di dalam freezer.
“sudah padat,”
katanya riang, mengeluarkan cetakan pudingnya dan meletakkannya di meja. Risa
mengambil beberapa
piring kecil lalu mengisinya dengan potongan besar puding coklat yang
dingin.
Risa mengembalikan
sisa puding dalam cetakan yang tinggal setengah ke dalam freezer lalu
meraih panci berisi
fla dibawahnya.
“bik, punya bibik
saya taruh di lemari ya,” kata Risa sambil menuang fla ke atas puding di tiap
piring. “sisanya bisa
buat ntar malam.”
“o iya iya Non, taruh
aja disana,” kata bibik senang. “non tumben ya masak di dapur. Bibik baru
kali ini liat Non
buat sesuatu.”
“masa iya sih?” tanya
Risa heran. “Nggak juga kokbik. Ini kan gampang buatnya.”
Bibik tidak menjawab,
kelihatan agak heran memandangnya. Risa meletakkan panci berisi fla ke
dalam kulkas,
bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia bisa tahu cara membuatnya. Padahal ini
juga pertama kalinya
Risa membuat sesuatu. Ia sepertinya sudah terbiasa membuatnya sehingga
mau tidak mau ia
merasa bingung juga.
Risa memindahkan
piring-piring puding untuk ayah, Viko dan dirinya ke meja makan tepat saat
Viko keluar dari
kamar mandi sembari menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.
“wow bikin apa tuh?”
kata Viko tertarik melihat puding yang dibawa Risa.
“puding,” jawab Risa
ceria yang sekarang menuang air putih ke dalam gelas-gelas di meja,
“panas-panas gini
enaknya makan yang dingin-dingin.”
“betul,” kata Viko
setuju lalu menambahkan setengah bergurau. “aku dapat bagian juga ya.
Kamu baik banget.”
“remote dong tolong,”
kata Risa ketika duduk di kursinya mengabaikan perkataan Viko yang
entah memuji atau
menyindir.
Viko mengambilkan
remote di sebelah TV lalu memberikannya pada Risa. Viko duduk di
sebelahnya sambil
mengalungkan handuk ke sekeliling lehernya. Ayah keluar dari kamar,
berjalan ke arah mereka,
tampak segar bugar.
“wah wah wah. Makan
apa nih? Kayaknya enak banget,” tanya ayah melihat Viko dan Risa
asyik melahap puding.
Ayah ikut duduk di kursinya begitu melihat ada piring berisi puding
tersedia di mejanya.
“ya ampun demo mulut,
kapan habisnya,” kata Risa serius sambil menonton berita di TV. Ayah
menonton berita juga
dan mengangguk prihatin.
“tambah bik,” kata
Viko meneguk minumnya sembari menyodorkan piring kosongnya ketika
bibik meletakkan
makanan yang baru dimasaknya ke meja makan.
“minta non Tata. Non
yang bikin. Bibik gak berani, jarang-jarang non masak,” jelas bibik.
Viko sampai tersedak
minumnya . Risa mengerlignya sejenak lalu berkata pada bibik.
“gakpapa kok bik. Ta
kan bikin buat semua. Ambil aja, ntar aku bisa bikin lagi,” kata Risa
ramah, penuh senyum.
“yaudah non,” kata
bibik sambil membawa piring Viko ke dapur.
“kamu yang buat?”
tanya Viko tercengang.
“kenapa? Kurang manis
ya?” tanya Risa heran lalu berpaling menatap ayah yang menyantap
puding tanpa protes.
Ia kan tidak melakukan kesalahan. Rasa puding coklat dan flanya sangat
sedap.
“kok gak bilang
apa-apa?”
“maksud kakak apa?
Kakak kan gak tanya,” tanya Risa mengernyit.
“tapi... kamu kan
baru kali ini bikin, kok rasanya bisa enak ya,” kata Viko lalu memandang
ayahnya seolah meminta
pendapat.
Ayah yang asyik
menonton berita akhirnya menyadari tatapan kedua anaknya. Sementara itu
bibik kembali dari
dapur membawakan sepotong besar puding baru untuk Viko.
“kenapa Vik tata kan
bisa belajar masak juga,” kata ayah berpendapat.
“iya sih...,” kalimat
Viko menggantung.
“ayah senang lho kalo
bisa sering-sering makan masakanmu,” kata ayah jujur kepada Risa.
“bener yah? Ayah
bersedia dong jdi kelinci percobaanku. Ho ho ho,” kata Risa jahil, matanya
berkilat senang
senang.
“ati-ati yah nanti keracunan,”
gurau Viko seraya melahap satu sendok penuh.
“ya udah kamu aja
yang jadi kelinci percobaannya kalo gitu,” kata ayah ikut-ikutan bergurau.
“gak jadi deh, aku
makan sendiri aja,” kata Risa merajuk.
“marah niihh,” kata
Viko sambil menjawil pipi adiknya dengan telunjuknya.
Risa memanfaatkan
kesempatan itu dengan menggigit telunjuk Viko.
“ouch. Galak bener,”
kata Viko mengibas-ibaskan tangannya. Sementara itu ayahnya tertawa
gembira.
***
Ayah dan Risa
melewatkan pagi yang tenang dengan menonton TV. Risa sedang asyik
mengunyah keripik
kentangnya ketika Viko mengajaknya bicara.
“Ta, mau ikut kakak
pergi beli kaset? Daripada dirumah terus kan bosan..,” tanya Viko sambil
melihat bayangannya
sendiri di depan cermin. Viko memakai baju santai yakni kaos, celana
selutut, dan sepatu
sandal, rambutnya memakai gel.
Risa tidak perlu
menunggu kakaknya menyelesaikan kalimat, ia langsung berlari ke kamar,
berganti pakaian
secepat kilat dan menguncir rambutnya. Tak sampai lima menit ia sudah siap
dengan dandanan oke
untuk bepergian.
Viko tidak mendengar
adiknya menjawab, ketika menoleh ia melihat adiknya terburu-buru
masuk kamar, mungkin
teringat telah melupakan sesuatu yang penting. Kecewa karena Anita
tidak menghiraukan
ajakannya, viko kembali memandang dandanannya dalam cermin.
“berangkat sekarang?”
kata Risa begitu keluar dari kamarnya sembari tersenyum jahil, matanya
berbinar-binar karena
tidak sabar.
Risa baru pertama
kali keluar rumah semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Ia tidak tahan
ingin segera melihat
dunia luar. Viko melongo melihat adiknya begitu siap siaga.
“yuk. Yah kami pergi
dulu ya,” pamit Viko.
“ati-ati ya Vik,”
sahut ayah.
“ayah mau titip apa?”
tanya Risa sambil mencium pipi ayahnya, tanda pamit.
“udaaahh gak perlu,”
kata ayah yang turut senang karena putrinya terlihat begitu gembira.
Viko memarkir mobil
jauh dari pertokoan dimana toko kaset terletak di salah satu deretnya.
Maklum ini hari
libur. Susah mendapat tempat parkir yang kosong. Mereka jadi bisa melihatlihat
lebih lama walaupun
harus berjalan agak jauh. Pertokoan sepanjang jalan itu ramainya tak
kalah dari taman
hiburan. Trotoar penuh sesak orang yang berseliweran. Risa dengan sabar
berjalan mendampingi
kakaknya. Melihat-lihat dengan antusias.
Mereka sempat membeli
makanan untuk camilan di rumah. Kakaknya memanggul belanjaan di
punggungnya. Cara
yang tidak umum untuk membawa belanjaan, mungin kebanyakan cowok
memang kayak gini,
kritik Risa. Sebenarnya ia mengagumi kakaknya. Postur tubuhnya ideal,
bisa membuat banyak
cewek jatuh hati. Tapi ia tertarik saat lebih mengenalnya. Viko sangat
dewasa, mandiri,
perhatian dengan keluarga, kadang juga ocak. Orang diusia segitu belum tentu
sedewasa kakaknya,
pikir Risa.
Akhirnya mereka tiba
di toko kaset, Viko mendorong pintu dan suara musik yang keras
mengejutkan
telinganya. Wow..! Toko itu bernuansa silver, di dindingnya tertempel
posterposter
penyanyi terkenal,
kepingan-kepingan CD yang disusun vertikal menggantung di langitlangit.
Di depan meja kasir,
berdiri kipas angin ekstra besar yang membuat rambutnya berkibar
tak karuan saat
melewatinya.
Mereka tiba di rak
jenis lagu kesukaan Viko. Viko langsung asyik membaca judul-judul lagu di
sampul belakang
kaset. Sedangkan Risa justru lebih tertarik memandangi orang-orang yang
datang.
“kak, kak,” Risa
menarik-narik lengan kaos Viko untuk mengalihkan perhatiannya, “lihat ke arah
jam tiga! Menurutmu
gimana? Kalo dibandingin dengan arah jam tujuh?”
Viko sejenak tampak
bingung, tidak mengerti ucapan adiknya.
“kamu ngomong apa
sih, yang jelas dong, jangan bertele-tele gitu.”
“duuhh, itu tuh cewek
di situ sama yang disana. Gimana menurutmu?” tanya Risa mendesak
sambil menunjuk ke
arah dua cewek yang dimaksud.
Viko memperhatikan
dengan teliti. Sempat-sempatnya adiknya mengamati pengunjung toko,
pikir Viko. Tinggi
kedua cewek itu tak jauh beda darinya tetapi penampilannya berbeda seratus
delapan puluh
derajat! Mereka berdua mempunyai rambut melebihi bahu, bentuk tubuh langsing.
Viko menoleh ke kiri
belakang.
Cewek arah jam tujuh
tampak keren, rambut pendeknya terikat rapi. Ia bergaya sporty dengan
wristband di tangan
kiri, kaos tanpa lengan, celana training biru dengan garis putih pada kedua
sisinya dan sepatu
olahraga aksi. Ia tidak memakai pernak-pernik seperti anting, gelang atau
perhiasan, wajahnya
terlihat natural. Cewek itu meneleng-nelengkan kepalanya mengikuti alunan
musik.
Cewek satunya lagi
luar biasa eye catching sampai Viko sendiri heran kenapa ia tidak melihatnya
saat masuk. Ia
memakai setelan sewarna yaitu blus putih dengan jaket pink, lengannya mengapit
tas pink ukuran sdang
dan rok pink semi gelombang serta tak lupa sepatu pink berhak tinggi. Ia
memakai lipgloss
sehingga bibirnya tampak mengkilap. Anting-antingnya yang panjang
berayun-ayun saat ia
bergerak. Wajahnya terlihat menarik dalam riasan mata dan perona pipi
kemerahan. Viko
memperhatikan jari jemarinya lentik, kukunya panjang bercat pink.
Viko berpendapat
sebetulnya bila cewek sporty itu berdandan feminim pasti gak kalah menarik
dengan cewek serba
pink itu. Dalam hati Viko bertanya-tanya apakah adiknya berusaha
mengetes tipe cewek
yang disukainya atau ingin tahu apa reaksinya. Ini semacam tes kepribadian
saja, mungkin adiknya
bercita-cita jadi psikologi.
“Hmm..,” kata Viko
akhirnya, berlagak seperti pengamat ekonomi, satu tangannya memegang
dagu. Disebelahya,
Risa memandangnya penuh selidik.
“penampilannya
sama-sama asyik, pembawaannya menarik tapi yang arah jam tujuh lebih
menjanjikan,” jawab
Viko kurang antusias, kembali mencari-cari kaset yang diingininya.
“B’tul,” kata Risa
sepakat kemudian mengambil salah satu kaset secara acak, melihat judul-judul
lagu yang tertera
lalu menambahkan sambil lalu. “ternyata selera kita sama.”
Viko menunduk
memandang adiknya, kaset di tangannya terlupakan. Ucapan barusan terasa
janggal. Risa
mengembalikan kaset yang baru diambilnya lalu menoleh ke arah kakaknya.
“apa?” tanya Risa
begitu melihat tatapan kakaknya.
Bingung harus berkata
apa, Viko kembali menekuni kasetnya dan menjawab tanpa memandang
Risa, “enggak. Nggak
apa-apa.”
Risa memperhatikan
kakaknya tidak yakin. Ia berjalan menyusuri deret rak kaset di ujung sambil
berpikir. “memangnya
aku tadi salah ngomong apa?” gumamnya.
“mau mampir ke toko
HP gak?” ajak Viko saat membayar dua kaset yang dibelinya. “pulsaku
abis.”
“aaayo,” jawab Risa
dengan nada menantang. Jalan-jalan memang membuat rileks jadi tidak ada
alasan untuk menolak.
Viko mengisi ulang
pulsanya. Risa melihat-lihat stiker dan bandul HP. Ia sangat menginginkan
bandul warna merah
yang berbentuk anyaman. Mengingat ia tidak lagi membutuhkan Hpnya,
maka Risa membujuk
Viko untuk membelinya yang spontan menolak mentah-mentah.
“ayolah, warnanya
cocok buat Hpmu. Lucu banget nih.”
“nggak ah, kayak anak
cewek. Ogah. Kalau mau beli ya beli aja.”
“tapi aku kan udah
gak pake HP. Percuma dong beli kalo gak dipake.”
“yaudah, gak usah
beli kalo gitu. Beres kan. Ayo pulang.”
Risa mengikuti
kakaknya di belakang. Bibirnya cemberut , ia teringat bandul merah itu tapi ia
tidak punya pilihan.
Ia memang tidak membutuhkannya. Ia juga tidak ingin membelanjakan uang
ayahnya dengan percuma.
Dengan kesal Risa berjalan dengan menghentakkan kakinya seperti
orang yang ikut lomba
gerak jalan.
Risa mengalihkan
pandangannya ke seberang jalan, sekedar mengalihkan perhatiannya. Disana
ada tempat makan,
perutnya tiba-tiba bertepuk riuh. Ingin rasanya cepat-cepat tiba dirumah dan
melahap masakan bik
Ti.
“aduh!!” pekik Risa.
Di depannya, Viko rupanya berhenti mendadak. Karena sibuk melihat ke arah lain, Risa tidak
sengaja menabrak kakaknya. “kenapa?”
“makan dulu yuk,
laper,” kata Viko sambil menunjuk rumah makan di sebelahnya. Risa mengangguk setuju.
Bau harum tercium
dari dapur, membuat Risa merasa lebih lapar dan tak sabar menunggu. Risa sebenarnya ingin tahu
apakah Viko memang sedang lapar atau tahu kalau dirinya hanya makan sedikit tadi pagi. Tapi
Risa tidak peduli. Baginya, Viko sangat perhatian, tipe kakak yang baik. Tak lama kemudian,
pesanan yang ditunggu-tunggu datang. Risa memakannya dengan lahap.
“pelan-pelan aja
makannya. Mukamu cemot tuh,” kata Viko memberitahu. Kemudian ia menambahkan dengan
tertawa, “ya ampuuunn kayak anak kecil aja.”
Risa mengelap
mulutnya, menatap sewot kakaknya. Kenapa tertawa? Ada yang lucu? Emangnya kenapa kalo kayak
anak kecil? Penting ya? Namun ia hanya diam saja, melahap makanannya
seakan tidak ada
interupsi. Hari ini ia senang sekali sehingga malas membalas ejekan kakaknya.
Mereka kembali
berjalan jauh menuju tempat parkir. Risa merasa kakinya sudah capek dan pegal. Ia agak
tertinggal jauh di belakang karena sibuk menghindari orang menabraknya atau
memberi jalan lebih
dahulu kepada rombongan pejalan kaki di trotoar yang sempit itu. Risa mengira Viko telah
meninggalkannya semakin jauh di depan ketika mendadak ia merasa ada yang menggenggam
tangannya diantara kerumunan.
“ayo,” kata Viko
sambil menarik tangannya. Rupanya Viko menyadari ketertinggalannya dan kembali menjemputnya.
Risa sebenarynya
ingin melepas pegangan tangannya setelah bebas dari kerumunan itu tapi Viko mencengkeram
tangannya kuat sekali sehingga Risa membiarkannya saja. Perasaan aneh muncul sepanjang ia berjalan
dengan Viko berada agak di depannya seakan membimbingnya dari depan. Waktu seakan bergerk
diperlambat. Risa menengadah memandang kakaknya. Ini... seperti perasaan dilindungi
orang yang disayangi. Ia memandang punggung Viko, melihat sosoknya dari
belakang yang tinggi
dan tegap dengan jelas. Sebagian kata hatinya membebaskan tangannya sewaktu mereka tiba
di mobil.
***
“bibik kalo pulang
kampung disuruh istirahat aja dirumah. Kakak bibik pergi ke sawah, istrinya menjual kopi ke kota.
Bibik tinggal berlima sama keponakan juga. Maklum rumah warisan.
Biasanya orang
perempuan mandi di telaga. Teman bibik kebanyakan bisa renang, mengambang
gitu non.
Berenang-renang kayak gini non,” kata bibik, meletakkan setrikanya lalu memperagakan renang
gaya katak dengan kedua tangannya yang gemuk, “disana airnya bersih,
dingin kayak kulkas.
Nggak jauh dari sana ada banyak orang laki duduk-duduk liat orang mandi..”
“diintip dong
namanya. Bibik nggak marah?” potong Risa serius bercampur kaget.
“yah bibik sih mandi
di sumur. Gila apa diliatin laki-laki waktu mandi, tapi mereka biasa-biasa
aja non. Udah biasa
di desa saya.”
“oh ya?” kata Risa
terkejut.
“kalo orang punya
lahan sih enak non. Kebanyakan sawah di desa saya dibeli pemerintah. Orang sana kan gak tau
apa-apa jadi mau aja tanahnya dibeli. Punya kakak saya itu sudah dibeli separo.
Saya bilang gini
‘bodoh kamu jual tanah dikasih murah! Buat beli sepeda motor udah habis!’
buat apa sepeda
motor, gak bisa dimakan, iya to?”
“iya iya, bener bik,”
kata Risa setuju-setuju saja.
“kalo ujan non, bocor
dimana-mana. Masih untung desa saya gak pernah kena banjir. Yang ada
di TV itu non, banyak
desa kena banjir. Kasihan non, sapi-sapi pada hilang. Ya bangkrut orangorang.”
“he’eh,he’eh,” gumam
Risa paham.
“saya nitipin cincin
emas saya ke istri kakak saya. Saya kan punya tujuh, saya titipin lima. Eh,
waktu bibik mau balik
kesini, bibik minta lagi. Tapi istrinya kakak saya malah bilang kalo ini
cincin hadiah dari
saya ke dia. Trus katanya cincin itu gak laku disini jadi mending dijual di
desa
sana. Itu kan
akal-akalannya saja, batin saya. Trus saya bilang ‘kalo gak laku, mana sini.
Balikin
ke saya.’ Tapi dia
malah diam saja. Memang nyebelin kok ipar saya itu.”
Bibik asyik bercerita
sambil menyetrika baju-baju. Risa yang sendirian tanpa ayah dan Viko
memutuskan untuk
menemani bibik dengan senang hati, bertanya-tanya tentang kampung
halamannya.
“tiap malam takbiran
non, anak-anak kecil mukul –mukul kentongan keliling desa. Belum lagi
kalo malem suara
dengkung kodok bikin berisik. Bibik paling suka melihat kunang-kunang. Ada
banyak sekali waktu
malem.”
“kunang-kunang itu
kan kukunya orang mati ya bik?” tanya Risa bergidik sendiri..
“nggak tahu non.
Itukan Cuma takhayul,” kata bibik rasional.
Bibik sudah selesai
menyetrika dan hendak mengantarkan tumpukan baju yang sudah dilipat
rapi. Risa mengikuti
bibik masuk ke kamarnya, kamar ayah dan kamar Viko.
“ya ampun, den Viko
ini lemari bajunya selalu awut-awutan,” kata bibik tidak senang, melihat
baju-baju dalam
lemari tumpang tindih tidak terlipat.
Risa duduk di kursi
meja belajar Viko sementara bibik bibik mengeluarkan baju yang kusut
karena berdesakan
dalam lemari dan melipatnya. Dalam hati Risa malu sendiri karena ia juga
seperti Viko. Ia
sering bingung hendak memakai baju apa. Oleh karenanya baju-baju yang telah
dicobnya dan dirasa
tidak cocok langsung dikembalikan ke lemari asal-asalan, tanpa dilipat lebih
dulu. Bedanya, pada
waktu senggang ia sempat merapikan baju dalam lemarinya sehingga tidak
ketahuan bik Ti.
“lho, Viko punya
kamera ya, sama seperti ayah,” kata Risa terkejut melihat kamera terbungkus
tas plastik di dalam
lemarimeja belajar, masih ada 2 rol film belum terpakai di kotaknya. Risa
mengeluarkan kamera
itu, menimangnya sebelum melihat isinya. “kosong. Bik, kira-kira aku
boleh pakai nggak
ya?”
“tanya aja ke den
Viko kalau nanti sudah pulang,” kata bibik seraya menutup lemari.
“iya deh. Aku pengen
foto-foto. Nanti bibik ikutan juga ya,” ajak Risa gembira.
“jangan non. Bibik
kan jelek,” kata bibik rendah diri.
“ah bibik ini,” tegur
Risa tidak setuju. “pokoknya bibik nanti harus ikut!”
Viko pulang siangnya,
disambut Risa yang sedari tadi menunggunya. Saking bersemangatnya,
ujung jari kaki Risa
membentur kaki dengan keras.
“Eh, Vik. Kameramu
ini boleh kupakai gak?” tanya Risa penuh harap seraya mengangkat
kamera ditangan
kirinya.
“paka aja. Masih ada
rol yang belum terpakai,” jawab Viko sambil lalu ke kamarnya, meletakkan
tas. “kakimu kenapa?”
Risa berdiri dengan
satu kaki. Tangan kanannya memegangi jari kaki kanannya seperti pose
Alibaba. Sementara
itu wajahnya berusaha menahan seringai kesakitan.
“eh lagi senam,”
jawabnya berbohong karena takut diledek. Viko menatapnya tidak percaya.
“tadi terbentur
karena terburu-buru. Udahlah gak penting.”
“bilang aja terus
terang. Dasar ceroboh. Tetep aja gak ada kemajuan,” kata Viko menjitak pelan
kepala Risa sembari
menggeleng-gelengkan kepalanya. Risa cemberut mendengarnya.
“gimana cara
masangnya? Tolong dong,” pinta Risa memohon.
“mana-mana sini,”
kata Viko tak sabar.
“thank you,” kata
Risa berterima kasih, suaranya berubah menjadi imut-imut.
“begini nih
masangnya,” terang Viko pelan-pelan. “lain kali kamu bisa pasng sendiri.”
Risa
mengangguk-angguk bersemangat di sebelahnya sambil memperhatikan dengan jeli.
Setelah
selesai, Viko
memberikan kamera itu padanya.
Sepanjang hari itu
dihabiskan Risa dengan memotret ruang-ruang dalam rumah, taman, lalu
memotret ayah, Viko,
bibik dan dirinya bergantian. Risa telah berusaha keras membujuk untuk
foto-foto. Akhirnya
mereka merasa asyik bergaya di hadapan kamera, tampak kompak. Viko dan
Risa bertindak selaku
pengarah gaya sedangkan ayah mengatur posisi mereka dan memilih latar
belakang pemotretan.
Kadang mereka foto berdua-dua, kadang bertiga-tiga untuk menghabiskan
isi film.
“yak, sekarang
giliranku,” kata Risa berinisiatif, menyambar kamera dari ayah. “disini,
didepan
tanaman. Bibik
ditengah, ayah dan Viko disamping.”
Maka mereka berbaris
dengan kaku, tampak malu-malu. Risa melihat mereka lewat lensa
kamera. Perlahan
dirinya menjadi sentimentil. Kamera itu seakan menunjukkan dunia lain yang
baru ditemuinya.
Ketika ia menurunkan kmeranya ia menyadari bahwa dunia itu ada di
hadapannya sekarang,
saat ini!
“kenapa Ta?” tanya
ayah menyadari perubahan pada air mukanya.
“oh nggakpapa. Bibik
senyum dong,” katanya menganjurkan, menunju ke arah bibik, sementara
itu Viko merangkul
bibik dengan kedua tangannya.
“o iya iya non,” kata
bibik cepat, memasang senyum lebarnya.
Risa kembali
mengangkat kameranya. Tahu-tahu saja ia merasa terharu, ia bisa merasakan
matanya pedih berair.
Senang rasanya melihat keluarga ini. Walau sedih, ia tetap
menyunggingkan
senyumnya.
“siap ya,” kata Risa
memberi aba-aba. “1..2..3..”
‘klik’ begitu
bunyinya ketika Risa menekan tombol diiringi bunyi rol menggulung.
“lho? Sudah habis,”
katanya tidak menyangka.
Orang-orang mendadak
jadi salah tingkah, merapikan pakaiannya masing-masing lalu buru-buru
mengerjakan tugasnya
kembali.
“aduh bibik belum
nurunin jemuran,” seru bibik panik, berlari ke seberang menaiki tangga
bundar.
“buku bacaan ayah
tadi pagi dimana ya?” kata ayah yang sudah berjalan ke samping selagi
membuka pintu ruang
kerja.
“ada janji nih bentar
lagi,” kata Viko begitu melirik waktu di jam tangannya lalu tergesa-gesa
masuk rumah.
Puas setelah seharian
mengambil gambar, mereka melanjutkan kegiatan seperti biasa. Risa sudah
tidak sabar melihat
hasilnya.
Belum seminggu Risa
berada dirumah itu, perasaannya mulai gelisah. Selama ini perhatiannya
teralih karena
berusaha mengenal keluarganya. Sekarang ia dihadapkan pada fakta bahwa dirinya
akan meninggal.
Sebelumnya, mungkin Risa bisa menerimanya. Setiap orang pasti kan mati lalu
berusaha tidak
memikirkannya. Tapi sekarang ia jadi ngeri sendiri. Ia tidak yakin sudah siap
mental atau belum.
Bagaimana ya rasanya
mau meninggal? Pasti menderita. Semoga saja begitu tertidur langsung
meninggal. Gak
mungkin! Itu kan terlalu mudah. Dia tidak mau meninggal dengan keadaan
serba tidak tahu
begini. Ini kan kesannya terlalu sadis. Aduuuhh bisa gila memikirkannya.
Bagaimana ya rasanya
mau meninggal? Pasti menderita. Semoga saja begitu tertidur langsung
meninggal. Gak
mungkin! Itu kan terlalu mudah. Dia tidak mau meninggal dengan keadaan
serba tidak tahu
begini. Ini kan kesannya terlalu sadis. Aduuuhh bisa gila memikirkannya.
Mungkinkah ia
sebenarnya udah meninggal? Namun kenapa ia bisa mengingat jelas namanya?
Mungkinkah dia memang
Anita? Tidak. Tidak mungkin. Perasaannya jelas mengatakan bahwa di
bukanlah Anita. Ia
seperti sedang mengalami krisis jati diri. Lalu apa tujuan hidupnya saat ini.
“apakah aku hanya menunggu
untuk mati?” bisiknya memandang langit-langit.
Tidak, batinnya.
Orang hidup untuk menemukan kebahagiaan. Karena itulah hidup jadi berarti.
Ia tidak sendiri.
Disini, banyak orang yang mencintainya.
“udah ah,” kata Risa,
melepas bantal yang mendekapnya. “daripada bingung mending ke tempat
ayah aja.”
Risa sudah hendak
mengetuk pintu kamar ayahnya ketika dia tiba-tiba berubah pikiran.
“ketenpat Viko aja
deh,” kata Risa tidak jelas.
Pintu kamar kakaknya
agak terbuka. Risa mendorongnya lebih lebar dan masuk. Kakaknya
rupanya sibuk membuat
tugas, kertas-kertas berserakan di mejanya sementara kakaknya
mengecek setiap
isinya. Viko mendongak ketika ia datang.
“eh? Kenapa Ta?”
“nggakpapa. Lagi
bengong aja,” jawabnya. “tugas buat kapan?”
“minggu depan. Tapi
harus cepet diselesaiin, kalo nggak nanti numpuk tugasnya,” kata Viko
resah, menghela napas
panjang.
“yaudah kerjain aja,
aku gak mau ganggu,” kata Risa bijaksana lalu pandangannya tertuju pada
rak buku
disebelahnya.
“kakak punya banyak
bacaan ya, boleh pinjem gak?”
“ambil aja,” kata
Viko sungguh-sungguh tanpa melihatnya, sibuk membaca kertas-kertas di
mejanya.
“trims,” kata Risa
riang, mengambil beberapa buku lalu membacanya di atas tempat tidur Viko.
Risa membaca buku
bacaan di kamar Viko sampai larut malam. Ia bahkan hendak membaca
seluruh buku di sana
sekuatnya. Kakaknya menggeliat dan menguap. Kertas-kertas di mejanya
sudah dirumpuk rapi.
Viko berjalan terhuyung ke tempat tidurnya.
“hoahmm.. belum
selesai Ta?” tanya Viko. “nggak ngantuk?”
“biar kulanjutin besok
deh,” kata Risa, buru-buru meraih buku bacaan yang berserakan di tempat
tidur kakaknya.
“capek nih. Badan
pegel-pegel. Bisa mijitin gak?” tanya Viko penuh harap seraya meregangkan
tubuhya.
“pijat?? Kenapa gak
suruh bik Ti aja?” tanya Risa heran lalu teringat. “oh iya ya, bik Ti kan udah
tidur. Boleh, boleh.”
“gitu dong,” sahut
Viko senang. Ia merebahkan diri di kasurnya.
“mau dipijat kayak
apa? Dipukul-pukul? Atau di diurut? Atau dibalsem?” tanya Risa mengharap
petunjuk.
“diinjak,” jawab Viko
singkat saking lelahnya. Risa kaget, jawaban Viko diluar dugaannya. Risa
mengira kakaknya
setengan bercanda.
“diinjak? Pakai
kaki?” tanya Risa hati-hati.
“yaiyalah, masa
nginjak pake tangan,” kata Viko tak sabar.
Mendengar perkataan
mantap kakaknya , Risa tidak berani bertanya lagi. Ia dengan ragu-ragu
berdiri diatas tempat
tidur lalu melangkahkan salah satu kakinya keatas punggung Viko.
“nggak berat?” tanya
Risa khawatir.
“berat apaan? Badan
kurus kering gitu. Yang bener mijatnya pake dua kaki dong, gak terasa
sama sekali nih,”
kata Viko galak.
“bener ya?”
Ya udah, pikir Risa,
gak usah sungkan-sungkan lagi kalo gitu. Risa berdiri diatas punggung Viko
sambil
memindah-mindah letak kakinya. Tangannya kadang menumpu pada dinding kalau
tidak
ia berusaha
menyeimbangkan tubuhnya seperti pemain sirkus yang berjalan diatas tali. Heran,
kok bisa ya tahan
diinjak kayak gini, batin Risa. Viko malah tampak nyaman. Sementara itu
Viko memberi aba-aba
layaknya juru parkir kepada Risa, suaranya agak teredam.
“keatas, keatas. Agak
kekiri. Ya disitu, yang lama,” perintahnya,
“geser lagi ebawah,
terlalu bawah, agak ke atas, kanan-kanan.”
Ocehan Viko
berlangsung selama dua puluh menit yang sangat melelahkan bagi Risa.
“sudah, sudah,” kata
Viko akhirnya. Inilah yang ditunggu-tunggu Risa dari tadi. “makasih ya Ta.
Enak banget.”
“udah selesai?” kata
Risa senang, beranjak turun dari tempat tidur, cepat-cepat memakai
sandalnya. “yaudah,
aku mau tidur. Met malem.”
Risa berlari
menghambur ke kamarnya, takut kalau-kalau dimintai tolong lagi. Sudah jam 1.00
pagi. Risa
menghenyakkan dirinya dengan selimut tebal yang hangat.
“wah capeknya kakak
nular ke aku nih,” gumamnya seraya menguap lebar.
Yak, inilah yang
dibutuhkannya. Pikirannya sudah tidak segelisah sebelumnya sekarang.
Solusinya adalah
menyibukkan diri sampai menguras tenaga kalau perlu.
“hoaahhm..”
Matanya berair karena
ngantuk. Ia memadamkan lampu dan masuk ke dalam selimutnya, tak
lama kemudian
tertidur lelap.
***
Tata rupanya senang
bisa kembali ke rumah, membantu bik Ti membersihkan perabotan,
menyiram taman,
sering memasak sarapan, membuatkan ayah kopi saat ayah sibuk di ruang
kerja, membuatkan
mereka roti isi saat sedang bersantai menonton TV. Tata menolak
menghabiskan waktu
dengan beristirahat dikamarnya, merasa gerah bila diperhatikan orangorang
rumah yang baginya
terlalu berlebihan.
Selain itu, Tata
bersikap seolah ia baru pertama kali meliht semua perabotan yang ada dirumah
itu. Adiknya kadang
terlihat sedang mengagumi mulai dari vas bunga, lukisan di dinding,
peralatan dapur
hingga pot bunga. Sering Tata tampak sibuk membaca kilat buku, majalah, koran
atau bacaan apapun
yang ditemuinya, bahkan buku pelajarannya yang dulu. Kalau tidak ada hal
yang sedang
dikerjakan, Tata akan menggeledah seluruh lemari yang ada, berharap menemuka
sesuatu yang baru,
mulai dari lemari buku, lemari pakaan, lemari tempat menyimpan VCD
sampai lemari dapur
yang menyimpan peralatan makan dan memasak yang tidak dipakai.
Herannya, Tata
kelihatan sangat bersemangat.
Tata sangat ingin
tahu tentang apa saja yang sedang ayah dan Viko. Kadang ia masuk ke ruang
kerja menemani ayah
dan melihat apa yang sedang ditulis, dibaca, atau diketik oleh ayahnya.
Kadang ia
melihat-lihat tugas-tugas yang dikerjakan Viko, memberi saran dan kritik disana
sini
tapi menolak untuk
membantunya mengerjakan tugas. Kalau keduanya tidak dirumah, Tata
berada disisi bik Ti
yang bercerita tentang kampung halamannya dan masa mudanya,
mendengarkan dengan
tertarik.
Menurut Viko, adiknya
agak terlalu aktif. Ini merupakan pertanda baik tentang kesehatannya.
Namun, bukan berarti
kemajuan adiknya ini tidak mempunyai sisi buruk. Semua kegiatan yang
dilakukan adiknya
rupanya mewarisi kecerobohannya. Yang sering menjadi korban
ketidakberuntungan
adalah Viko sendiri. Hal ini nampak dari serentetan kejadian.
Salah satunya adalah
Viko yang tersandung selang penyiram air yang lupa digulung kembali oleh Tata, ia jatuh
terjerembab dengan sebagian baju basah dan kotor. Ia buru-buru mengganti
pakaian dan hampir
saja membuatnya telat masuk kuliah.
Viko merasa kecewa karena
tidak biasanya seharian itu ia tidak menerima telepon dari cewekcewek kenalannya.
Penyebabnya baru diketahui menjelang malam hari, Tata rupanya tidak
meletakkan gagang
telepon dengan benar saat terakhir kali enerima telepon. Lalu pada hari minggu
yang cerah, Viko baru bangun agak siang, begitu membuka pintu kamar
ia langsung disambut
oleh Tata yang bersin hebat dengan mata terpejam tepat ke arahnya sambil memegang bulu-bulu
pembersih dan lap di tangan yang lain. Tata buru-buru meminta maaf,
berkata bahwa ia
menahan-nahan bersinnya dari tadi. Viko hanya bisa memberinya pandangan tanpa ekspresi karena
sudah terbiasa dengan kejadian semacam ini.
Saat ayah
mengeluarkan mobil dari garasi, ayah berpesan pada Tata untuk mengambilkan kacamatanya. Tata
mengambil secepat mungkin tapi kacamata yang dimaksud tertukar dengan
kacamata yang kadang
dipakainya bepergian, membuat adiknya kembali masuk rumah dan membawakan kacamata
yang benar.
Sepulang dari
mengajar, ayah membawa dua bungkus plastik besar makanan. Adiknya membuka lemari tempat
kumpulan piring yang tidak terpakai, berniat mencari piring yang cukup besar
selagi ayah membuka
bungkusnya. Sedangkan ia mengambil botol air minum dari dalam kulkas. Tiba-tiba Anita
menjerit dan lari terbirit-birit, begitu melihat dirinya langsung melompat
kearahnya. Tangan
Anita serasa mencekik lehernya. Kaki Anita nak ke sekeliling lututnya. Ia kesulitan menjaga
keseimbangan, badan Anita berat sekali ternyata. Pemandangan itu lucu sekali
sebetulnya, ia
seperti sedang menggendong simpanse. Dalam dekapannya, Anitamemekik ngeri,
memejamkan mat,
menarik lehernya lebih kencang supaya tidak jatuh. Tebak! Serangkaian kejadian heboh itu
disebabkan oleh seekor kecoak? Ayahnya tertawa-tawa geli sedangkan Bik Ti memukul-mukul kecoak
itu dengan sapu. Kalau saja ia tidak mengenal adiknya, ia akan berpikir
adiknya berusaha
membunuhnya.
Belum lagi saat
mereka sedang bersantai diruang keluarga, ayah menonton acara kesukaanya, ia sedang belajar untuk
ujian besok sedangkan Tata asyik membuat bintang kecil-kecil dari kertas
kado yang merupakan
kegiatan rutinnya tiap malam. Terdengar bel berdering, Tata berkeras membukakan pintu
namun rupanya kakinya kesemutan sehingga baru bergerak dua langkah langsung jatuh
tersungkur, membuat ayah dan ia terlonjak kaget. Setelah memastikan Tata tidak apa-apa, Viko
menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah.
Setiap Viko mengajak
adiknya makan diluar, ada-ada saja ulah Tata. Mulut Tata selalu belepotan, rupanya
adiknya berusaha mengimbangi cara makannya yang cepat. Jika Viko tidak menhabiskan makannya
atau menyisakan makanan yang tidak disukainya, Tata dengan senang
hati menghabiskannya.
Pernah suatu kali Tata memotong daging steak-nya kelewat semangat sehigga membuat
potongannya meluncur di meja.
Suatu ketika Tata
lupa menutup panci tempatnya biasa membuat popcorn dan baru tersadar ketika terdengar
letupan disertai butiran-butiran popcorn panas berloncatan ke segala jurusan di udara dari dalam
panci. Viko sampai ikutan panik sambil menunduk, tiarap dan berlindung dibalik wajan kosong
sembari menghindari letupan popcorn disana sini dalam usaha mereka mematikan kompor yang
ternyata tidak semudah perkiraan. Viko lega akhirnya bisa terselamatkan dari
bencana lokal hujan popcorn sedangkan adiknya rupanya tak kuasa menahan tawa teringat
kekonyolan tadi, tertawa terbahak-bahak dan meledek tampang paniknya. Viko mendesak Tata untuk
membersihkan kekacauan yang ia sebabkan karena butiran popcorn bertebaran di lantai
dapur.
Selama seminggu penuh
Bik Ti pulang kampung karena kakaknya sakit keras. Tata semenjak itu jadi lebih sibuk dari
biasanya, hal yang dikerjakannya terhenti ditengah jalan karena melakukan hal lain yang
mendesak. Suatu hari tata salah mengambil gelas yang masih ada busa sabunnya dan menuang susu
kedelai ke dalamnya. Viko kehausan sepulang kuliah, melihat minuman tergeletak begitu
saja di meja. Saat itu Tata mengembalikan botol susu kedelai ke kulkas. Viko spontan
meminumnya dan merasakan susu kedelai rasa deterjen untuk pertama kalinya.
0 komentar:
Post a Comment