Konsep Manusia Menurut Psikologi dan Islam
A.
Latar Belakang
Masalah
Manusia memiliki banyak keistimewaan
baik struktur dan fungsi-fungsi tubuhnya, manusia juga memiliki
kualitas-kualitas insani yang unik. Manusia adalah makhluk yang asadar akan
minat,bakat,sifat dan sikap serta kemampuan dan ketrampilan, tahu apa yang
dilakukannya sekarang, memahami sejarah hidupnya, serta mempunyai gambaran apa
yang didambakannya dimasa yang akan datang.
Sejak awal manusia tidak pernah
terlepas dari makhluk lain. Manusia senantiasa berhubungan dengan
manusia-manusia lain dalam wadah keluarga, persahabatan, lingkungan kerja,
rukun warga dan rukun tetangga, dan masih banyak relasi-relasi hubungan sosial
yang lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti dia mendapat
pengaruh dari lingkungannya. Tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan
memberi corak pada lingkungan sekitarnya.
Manusia merupak misteri. Maka dari
itu dalam makalh ini akan dibahas kebih lanjut mengenai bagaimana psikologi
memandang manusia dan bagaimana islam memandang manusia serta bagaimana
perbandingan konsep manusia menurut psikologi dan menurut islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini antara lain adalah:
1.
Bagaimana
konsep manusia menurut psikologi?
2.
Bagaimana
konsep manusia menurut islam?
3.
Bagaimana
perbandingan konsep manusia menurut psikologi dan islam?
PEMBAHASAN
1. Konsep Manusia Menurut
Psikologi
Pertanyaan tentang apa hakikat
manusia sebenarnya adalah pertanyaan kuno, karena sepanjang sejarah manusia hal
ini selalu ditanyakan. Banyak teori psikologi yang berusaha menjawab tentang
pertanyaan hakikat manusia namun setidaknya ada empat pendekatan yang
digunakan, yaitu:
a.
Teori
Psikoanalisa
Tokoh dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatian teori
psikoanalisa ditunjukkan kepada struktur manusia, yaitu kepada totalitas
kepribadian manusia, bukan kepada bagian-bagiannya yang terpisah. Menurut teori
ini perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari tiga subsistem dalam
kepribadian manusia, antara lain:
i.
Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis
manusia. Id merupakan pusat instink, atau pusat hawa nafsu menurut
bahasa agama. Menurut Freud, ada dua instink id yang dominan pada
subsistem id ini, yaitu Libido atau Eros dan Thanatos.
1)
Libido
merupakan instink reproduksi yang menyediakan energi dasar untuk
kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif.
2)
Thanatos adalah
instink destruktif dan agresif. Dorongan-dorongan untuk melawan dan merusak
bersumber dari instink ini. Motif-motif manusia sebenarnya merupakan gabungan
antara eros dan thanatos, antara instink kehidupan dan instink kematian. Id, seperti halnya hawa nafsu ingin
segera memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kesenangan.
ii.
Ego. Ketika
seorang pemuda terserempet oleh mobil ugal-ugalan, maka Id-nya (baca: hawa nafsu) ingin memukul kepada sopir yang kurang
ajar itu. Tetapi ketika diketahui bahwa supir ugal-ugalan itu ternyata anak
dari pak guru yang selama ini menolong membiayai studi anak muda itu maka
ketika itu Ego bekerja
menjembatani nafsu yang tidak bermoral dan tidak peduli terhadap realitas
dengan realitas bahwa supir itu adalah anak dari orang yang dia hormati dan
berjasa. Ego memperingatkan bahwa tindakan hakim sendiri terhadap orang
yang sudah dikenal akan berakibat serius dibelakang hari. Jadi, Ego
adalah subsistem yang berfungsi menjembatani tuntunan Id dengan realitas
di dunia luar. Ego menjadi penengah antara dorongan-dorongan hewani
manusia dengan pertimbangan-pertingan rasional dan realitas. Ego bekerja
berdasarkan prinsip realitas. Dengan Ego maka manusia mampu menundukkan
hasrat hewaniyah untuk hidup secara rasional sesuai dengan realitas yang
dihadapinya.
iii.
Superego . Sebagai
subsistem yang ketiga ini dapat dikatakan mewakili hal-hal yang ideal. Superego
menyerap norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia bukan hanya rasional
tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip nilai yang normatif. Oleh karena itu
superego dapat disebut sebagai hati nurani dan sebagi pengawas kepribadian.
Jika suatu ketika ego seseorang menuntut untuk menikahi seorang gadis karena
lamaran sudah diterima dan ia mampu untuk itu, tetapi disisi lain orang itu
tahu bahwa gadis itu telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya dan bahwa
ia hanya terpaksa terpaksa menuruti kemauan ayahnya yang “mata duitan”, maka
superego akan menekan hasrat ego ke alam bawah sadar. Meski dengan uang uang
dan kekuasaan seseorang akan merasa mampu mengatur perkawinan, tetapi hati
nuraninya tidak saanggup menzalimi dua orang yang sedang berkasih- kasihan.
Jika ia memaksakan diri menikahi gadis itu tetapi kemudian sang gadis bunuh
diri, maka ia akan merasa dihukum superego
dengan penyeselan dan perasaan bersalah. Menurut freud, ego terkadang tunduk kepada kemauan id, terkadang kepada superego.
Baik id maupun superego berada dialam bawah sadar manusia, ego lah yang berada di tengah, yaitu antara memenuhi tuntutan moral
( hati nurani atau superego ).
Jadi,
menurut teori psikoanalisa,
tingkah laku manusia itu sebenarnya merupakan
interaksi antara tiga subsistem itu, yaitu komponen biologis (hawa nafsu, Id) komponen psikologis (ego) dan komponen sosial (superego),
antara unsur hewani, akali dan nilai atau moral.
b.
Teori
Behaviourisme
Jika
psikoanalisa memfokuskan
perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa
yang ada di balik tingkah laku manusia (yang tidak tampak), maka teori
psikologi behaviourisme memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak
saja, yakni perilaku yang dapat diukur, diramal dan dulukiskan. Jadi, nampak
sekali bahwa behaviorisme merupakan reaksi terhadap teori psikoanalisa.
Manusia,
oleh teori behaviourisme disebut sebagai Homo Mechanicus, artinya manusia mesin.
Mesin adalah suatu benda yang bekerja tanpa ada motif dibelakangnya. Mesin
berjalan tidak karena adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan
semata-mata karena lingkungan sistemnya. Jika mobil kehabisan bensin pasti
tidak hidup, jika businya kotor juga mesin mati, jika unsur-unsur lingkungannya
lengkap pasti berjalan lancar. Tingkah laku mesin dapat di ukur, diramal, dan
dilukiskan. Manusia menurut teori behaviorisme juga demikian. Selain instink,
seluruh tingkah lakunya merupakan hasil belajar. Belajar ialah perubahan
perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Orang batak yang hidupnya
dipinggir pantai laut bicaranya selalu keras, karena lingkungan menuntut untuk
keras, yakni bersaing dengan suara ombak,sedangkan orang jawa yang hidupnya
diperkampungan yang lengang, bicaranya seperti bisik-bisik, karena lingkungan
tidak menuntut suara keras, bisik-bisik pun sudah terdengar.
Behaviourisme
tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau jelek, rasional atau
emosional. Behaviourisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia
dikendalikan oleh lingkungan. Manusia dalam pandangan teori behaviourisme
adalah makhluk yang sangat plastis, yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh
pengalamannya. Manusia menurut teori ini dapat dibentuk dengan menciptakan
lingkungan yang relevan. Seorang anak misalnya dapat dibentuk perilakunya
menjadi seorang penakut jika secara sistematis ia ditakut-takuti. Demikian juga
manusia dapat dibentuk menjadi pemberani, disiplin, cerdas, dungu dan
sebagainya dengan menciptakan lingkungan yang relevan.
Dalam
teori ini manusia dipandang sangat rapuh tak berdaya menghadapi lingkungan. Ia
dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa mampu melakukan perlawanan.
Aristoteles, yang dianggap sebagai cikal bakal teori behaviourisme memperkenalkan
teori tabula rasa, yakni bahwa manusia itu tak ubahnya meja lilin yang siap
dilukis dengan tulisan apa saja. Jika kita berpegang kepada teori ini maka kita
dapat mengatakan bahwa mahasiswa dapat dibentuk menjadi apa saja (penurut,
pemberontak, dan sebagainya) oleh dosennya atau oleh universitasnya, dan untuk
itu kurikulum serta alat-alat stilmulasinya bisa dirancang.
Sudah
barang tentu teori ini banyak juga yang mengkritik karena teori ini tidak dapat
menjawab fenomena perilaku yang hanya bisa diuraikan dengan motif, misalnya
bagaimana seorang raja muda yang justru meniggalkan tahta hanya untuk hidup
menjadi sufi, (sidarta gautama, atau ibrahim bin adham), atau para pendaki
gunung yang mempertaruhkan nyawanya , atau pejuang yang melakukan serangan kamikaze(bunuh diri) dengan meledakkan
dirinya bersama bom yang dibawanya.
c.
Teori Psikologi
Kognitif
Jika behaviourisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersikap terhadap
lingkungan maka psikologi kognitif menempatkan manusia sebagai makhluk yang
bereaksi secara aktif terhadap lingkungan, yakni dengan cara berpikir. Manusia
berusaha memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran
yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka manusia menurut teori kognitif ini
disebut sebagai homo sapien, yakni manusia yang berfikir.
Pusat perhatian
teori kognitif adalah pada bagaimana manusia memberi makna kepada stimuli.
Orang yang selalu sitakut-takuti, misalnya tidak mesti menjadi penakut seperti
yang dikatakan dalam teori behaviourisme tetapi boleh jadi ia akan berpikir
bahwa sesuatu yang menakutkan itu harus dilawan. Ia pun mungkin berfikir bahwa
ia ingin membalik keadaan yaitu justru ingin membuat takut kepada orang
yang suka menakut-nakuti.
Jadi
menurut teori ini, manusia tidak secara otomatis memberikan respon kepada stimuli, tidak otomatis takut
jika ditakut-takuti, tidak otomatis senang jika ada orang tersenyum kepadanya,
tidak otomatis patuh jika atasan menyuruhnya, tetapi ia aktif menafsirkan
stimuli yang dihadapinya. Ia berfikir apakah orang yang menakut-nakuti itu
memang orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasih sayang atau senyuman
gombal, apakah perintah atasan itu pantas dikerjakan atau tidak, dan
sebagainya. Jadi secara psikologis manusia adalah organisme yang aktif
menafsirkan, bahkan mendistorsi lingkungan.
Teori kognitif memang telah menempatkan kembali manusia sebagai
makhluk yang berjiwa, yang bukan hanya berfikir, tetapi juga berusaha menemukan
identitas dirinya.
d.
Teori psikologi
Humanistik
Psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang
positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang
memiliki cinta, kreatifitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Pusat
perhatian teori humanisme adalah pada makna kehidupan, masalah ini dalam
psikologi humanistis disebut Homo luden, yaitu manusia yang mengerti makna
kehidupan.
Menurut teori psikologi humanistik ini, setiap manusia hidup dalam
dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik), dan kehidupannya berpusat pada
dirinya itu. Perilaku manusia bukan dikendalikan oleh keinginan bawah sadarnya
(seperti teori psikoanalisa), bukan pula tunduk pada lingkungannya ( seperti
teori behaviourisme), tetapi berpusat pada konsep diri, yaitu pandangan atau
persepsi orang terhadap dirinya yang bisa berubah-ubah dan fleksibel sesuai
dengan pengalamannya dengan orang lain.
Psikologi humanistik memandang positif manusia. Menurut teori ini,
manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya.
Manusia juga cenderung ingin selalu mengkatualisasikan dirinya dalam kehidupan
yang bermakna. Setiap individu bereaksi terhadap situasi yang dihadapinya
(stimuli) sesuai konsep diri yang dimilikinya, an dunia dimana ia hidup.
Kecenderungan batiniah manusia selalu menuju kepada kesehatan dan keutuhan
diri. Jadi, dalam keadaan normal manusia cenderung berperilaku rasional dan
membangun (konstruktif) ia juga cenderung memilih jalan (pekerjaan, karir atas
jalan hidup) yang mendukung perkembangan dan aktualisasi dirinya.[1]
2. Konsep Manusia
Menurut Islam
Dalam al-Qur’an dan Hadist banyak
disebut tentang manusia menyangkut statusnya, hak, dan kewajibannya serta sifat
dan kecenderungannya. Dalam konteks Psikologi Dakwah, pembahasan yang relevan
adalah sisi dalam yang ada pada manusia yang mempengaruhi perilaku, baik akal,
hati, maupun tabiat-tabiat dasar manusia lainnya.
Sangat menarik dalam al-Qur’an
manusia disebut dengan nama insan (mahluk psikologis), basyar
(sebutan umum minus karakteristik), bani adam (biologis). Nama Insan
berasal dari kata nasiya-yansa (lupa), uns (mesra) dan nasa
yanusu (bergejolak). Insan mengadung pengertian makhluk psikologis
yang memiliki tabiat kemesraan, lupa dan bergejolak. Jadi dari segi bahasa saja
sudah tergambar kualitas psikologis manusia yang dinamis antara sadar dan lupa,
mesra dan benci dan bergejolak dan tenang. Sinergi dari positif dan negatifnya
potensi itu menentukan tingkat kemartabatan manusia. Sehingga dapat dijumpai
ada orang yang cinta buta, ada orang yang secara sadar melakukan kejahatan
karena didorong oleh kebencian, ada orang yang gelisah karena terlanjur berbuat
salah, dan ada juga yang dengan tenang melakukan kejahatan.
Ada dua status yang disandang
manusia seperti yang dimaksud dalam al-Qur’an menggambarkan kebesaran sekaligus
kelemahan manusia, yaitu status sebagai kholifah Allah dan sebagai
hamba-Nya atau ‘abdullah. Jadi manusia menurut al-Qur’an adalah besar padasatu
dimensi, tetapi juga kecil menurut dimensi yang lain. Barangkali karena dua
dimensi yang bertentangan ini lah maka manusia dalam merespon masalah terkadang
berjiwa besar, sportif, namun dilain kesempatan dia memiliki sifat penakut,
curang, putus asa dan lain-lain.[2]
Manusia sebagai makhluk psikologis
adalah makhluk yang berfikir, merasakan, dan berkehendak. Manusia adalah
makhluk yang memiliki dua dimensi, lahir dan batin, jiwa dan raga. Nafs (jiwa)
sebagai sisi dalam manusia disebut al-Qur’an sebagai sistem, (boleh disebut
sistem nafsani) yang memiliki subsistem qalb (hati) ‘aql (akal), bashiroh
(hati nurani), syahwat (penggerak perilaku) dan hawa (hawa
nafsu sebagai kekuatan penguji).
1)
Tentang Nafs (Jiwa)
atau Sistem Nafsani
Dalam bahasa Indonesia nafsu dikatakan sebagai dorongan nafsu yang
kuat untuk berbuat kurang baik. Al-Qur’an menjelaskan bahwa nafs diciptakan
Tuhan dalam keadaan sempurna, lengkap dan mampu menengarai keburukan dan
kebaikan.
2)
Kualitas Nafs
dan Tingkatannya
Kualitas Nafs seseorang bisa meningkat dan menurun, berkaitan
dengan sistem yang melibatkan tabiat dan fitrah. Secara eksplisit al-Qur’an
menyebut ada empat jenis nafs, yaitu:
a)
Ketika bayi
manusia lahir jiwa bayi itu dalam keadaan suci bersih secara fitri. Nah jiwanya
disebut nafzakiyyah, jiwa yang suci secara suci.
b)
Ketika
seseorang mencapai tingkat kesadarannya, dan berjumpa dengan realitas hidup
berupa kebaikan dan keburukan, hati kecilnya tetap ingin berada di jalur
kebenaran, tetapi daya tarik keburukan sangat kuat sehingga suka tergoda,
terjebak dalam keburukan. Ia sangat menyesali perbuatannya, tetapi masih
terulng pula perbuatan buruk itu. jiwa dalam keadaan demikian disebut nafs
lawwamah, yaitu jiwa yang selalu menyesali dirinya terjerumus kedalam
keburukan.
c)
Ketika
kesadaran terkalahkan oleh godaan keburukan, ketika akal sehatnya terkalahkan
oleh hawa nafsu bahkan dikendalikan oleh keburukan maka nafs dalam keadaan
seperti itu disebut an nafs al ammarah bissu’, yaitu jiwa yang selalu
cenderung kepada keburukan.
d)
Ketika
seseorang kesadarannya meningkat tinggi dan orientasinya hanya kepada kebaikan,
tetapi dalam satu dua hal masih tak tahan godaan, maka jiwa dalam keadaan
seperti itu disebut nafs musawwilah, yaitu jiwa yang bersih tetapi masih
tak tahan denga satu atau dua godaan.
e)
Jika seseorang
sudah sepenuhnya dikendalikan oleh kesadaran dan perilakunya konsisten dan
istiqomah terhadap kebenaran serta alergi terhadap keburukan baik horisontal
maupun vertikal, maka jiwa seperti itu disebut nafs mutmainah, yakni
jiwa yang tenang.
3)
Sistem Kerja
Nafs
Kerja nafs itu
bersistem dan memiliki subsistem dengan qalb (hati) menjadi manajernya.
Oleh karena itu sering dikatakan, orang itu bergantung hatinya, jika hatinya
baik maka perbuatannya baik, jika hatinya buruk maka perbuatannya buruk. Nafs
menampung apa yang sudah tidak disadari (alam bawah sadar) sedangkan hal-hal
yang disadari berada dalam kendali qalb (hati), oleh karena itu pahala dan dosa
dihitung dari perbuatan yang disadari oleh hati.
4)
Tentang Qalb
(Hati)
Secara lughawi qalbu artinya bolak bailik, merujuk pada hati
manusia yang tidak konsisten atau bolak-balik. Dalam perspektif psikologi,
qalbu atau kalbu atau hati adalah bagaikan kamar yang berada didalam ruang nafs
yang luas. Berbeda dengan nafs yang hanya menampung hal-hal yang sudah tidak
disadari, maka memori qalb atau hati menampung hal-hal yang sepenuhnya
disadari.
5)
Tentang Nurani
Nurani berasal dari kata arab nur (nuraniyyun) yang artinya cahaya.
Jadi hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati sebagai lubuk hati yang
dalam dan ia bersifat cahaya yang menerangi.
6)
Tentang Akal
Akal yang berasal dari bahasa arab aqala artinya adalah mengikat
atau menahan tetapi secara umum akal itu dipahami sebagai potensi yang
disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Namun menurut al-qur’an manusia
dalam aktifitas berfikit dan merasa tidak mesti hanya menggunakan akal atau
hanya hati, tetapi seperti kesemuanya (a’ql, nafs, qalb, basyirah).
7)
Tentang Syahwat
Secara lughawi syahwat artinya menyukai dan menyenangi, sedangkan
maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya.
8)
Tentang Hawa
(Hawa Nafsu)
Hawa mengandung arti kecenderungan kepada syahwat, juga mengandung
arti turun dari atas kebawah. Jadi hawa (hawa nafsu) adalah dorongan kepada
syahwat yang bersifat rendah.[3]
3. Perbandingan
Konsep Manusia Menurut Psikologi dan Islam
Konsep manusia menurut
psikologi sekurang-kurangnya ada empat pendekatan yaitu teori psikoanalisa yang
mengatakan bahwa manusia disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia
berkeinginan, yakni makhluk yang perilakunya digerakkan oleh
keinginan-keinginan yang terpendam, yang terpendam dialam bawah sadar. Teori
psikoanalisa memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa
yang dibalik tingkah laku manusia (yang tidak tampak). Menurut teori
Behaviourisme manusia disebut sebagai Homo
Mechanicus, artinya manusia mesin. Mesin berjalan tidak karena adanya
dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan
sistemnya. Teori behaviourisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersikap
pasif terhadap lingkungan. Menurut teori psikologi kognitif disebut sebagai Homo
Sapiens, yakni manusia yang berfikir. Disini manusia sebagai makhluk yang
bereaksi secara aktif dan meresponnya dengan pikiran yang dimilikinya.
Islam memandang manusia sebagai makhluk
tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu
makhlukNya karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan
sang pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnnya. Sekurang-kurangnya terdapat
empat ragam relasi manusia yang masing-masing memiliki kutub positif dan
negatif, yaitu :
i.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
(hablun minannas) yang ditandai oleh kesadaran untuk melakukan ‘amal
ma’ruf nahi munkar atau sebaliknya mengumbar nafsu-nafsu rendah.
ii.
Hubungan antar manusia (hablun
minannas) dengan usaha membina silaturrahmi atau memutuskannya.
iii.
Hubungan manusia dengan alam sekitar (hablun
minal ‘alam) yang ditandai upaya pelestarian dan pemanfaatn alam dengan
sebaik-baiknya atau sebaliknya menimbulkan kerusakan alam.
iv.
Hubungan manusia dengan sang
pencipta (bablun minallah) dengan kewajiban ibadah kepadanya atau
menjadi ingkar dan syirik kepadaNya.
Mengenai ragam dan corak relasi-relasi
itu perlu dijelaskan bahwa sekalipun manusia seakan-akan merupakan pusat
hubungan-hubungan (center of relatedness), tetapi dalam ajaran islam
pusat segalanya bukanlah manusia, melainkan sang pencipta sendiri yaitu Allahu
Rabbal ‘alamin. Dengan demikian landasan filsafat mengenai manusia dalam
ajaran islam bukan antroposentrisme, melainkan Theosentrisme, atau lebih
tepat Allah sentrisme.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman,Hanna
Djumhana . Integrasi Psikologi dengan Islam ,(Jakarta: pustaka
pelajar,2011).
Mubarok,
Achmad. Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press, 2014) .
[1]
Prof. Dr.H.achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press,
2014) hal. 44-54.
[2]
Prof. Dr.H.achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press,
2014) hal.55-56
[3]
Prof. Dr.H.achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press,
2014) hal.62-71
[4]
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam ,(Jakarta:
pustaka pelajar,2011)hal.54
0 komentar:
Post a Comment