Can You See Me part 13
BILA
HARUS MEMILIH
Risa mengerti betul
apa yang dirasakan bobby. Ia juga tidak menyangkal bahwa ia menyukai
Bobby. Hanya saja rsa
suka itu berbeda dengan rasa sukanya terhadap Viko. Beda antara cinta
dan persahabatan
memang tipis sekali. Ia memandang jendela kamarnya dengan muram. Di luar,
hujan turun dengan
rintik-rintik padahal hari masih siang.
Bobby pria yang baik
tapi entah mengapa Risa merasa bahwa Bobby bukanlah untuknya. Akan
lebih baik bila Bobby
menemukan orang lain yang berarti baginya. Sedangkan Viko.... Viko
mempercayai dan
mendukungnya disaat ia sedang sendiri, tanpa teman, tanpa ingatan dan segala
ketidak pastian.
Namun Viko ada disisinya, menerima dirinya apa adanya. Terlebih lagi, Viko
membuatnya tegar saat
berhadapan dengan kematian. Risa tahu bahwa ia mencintai pria yang
tepat.
Mungkin wajar dalam
hidup kau memiliki dan kehilangan. Namun ia tidak ingin kehilangan
siapapun dalam
hidupnya. Ia akan mengusahakan bagaimana caranya supaya dapat
mempertahankan
orang-orang yang dicintainya. Kalau perlu ia tidak usah memilih diantara
kedua orang itu. Risa
menghela napas panjang. Entah apakah hal ini yang terbaik untuk setiap
orang. Tapi kenapa
perasaannya tidak berkata demikian. Bukankah ia justru akan kehilangan
mereka berdua. Ia
tersadar dari lamunanya karena ketukan pintu. ‘tok tok tok’
“masuk.”
Risa melihat Letty
memegang pegangan pintu di atas kepalanya lalu duduk di sampingnya
sambil memeluk boneka
kelinci milik Risa.
“kakak, main yu,”
ajaknya.
“nggak. Kakak capek,”
jawab Risa menggeleng.
“kakak kenapa? Sakit
ya? Kok nggak pnggil dokter?” tanya Letty beruntun sembari naik ke
tempat tidurnya.
“kakak sehat-sehat
aja Cuma agak sedih,” kata Risa sambil memain-mainkan telinga boneka
kelinci yang dipeluk
Risa.
“sedih? Sedih kenapa?
Tanya Letty ingin tahu, Risa diam saja. Ia tidak mungkin mengatakannya
kepada adiknya yang
masih kecil. “karena Letty ya? Letty janji gak akan nakal lagi. Letty Cuma
pinjem boneka kelinci
kakak bentar.”
Risa tersenyum lalu
mengangkat Letty di pangkuannya.
“kakak sedih karena
di luar hujan,” kata Risa berbohong. “sini cium pipi kakak biar kakak
senang.”
“nggak mau ah. Napas
kakak senang,” kata Letty bergurau. Risa memandangnya galak, setengah
bergurau.
“apa?” tanya Risa
mengancam seolah berkata ‘berani-beraninya’. Letty terkikik geli. “awas
kamu ya...”
“kya kya kya, ampun ,
kya kakak ampun, wa...” pekik Letty kegelian sampai berguling-guling di
ranjang. Risa
menggelitiknya tak habis-habis, merasa perasaannya lebih riang.
Risa menghentikan
gelitikannya ketika Letty hampir tergelincir jatuh ke lantai. Dengan
terengahengah
Letty langsung
menghambur keluar kamar. Letty melongoknya dari balik pintu dan
mengejeknya ‘wek’.
Risa menyiapkan kedua tangannya, bersikap seperti hendak menggelitiknya,
Letty langsung kabur.
***
“berilah aku
kesempatan. Sekali saja. Ini satu-satunya permintaanku. Permintaanku yang
pertama dan yang
terakhir. Pertimbangkanlah Ris, aku sungguh-sungguh.”
“tapi Bobby..., aku
juga menyukaimu. Aku tertarik padamu. Tapi hanya sebatas sahabat. Banyak
perempuan yang
tertarik kepadamu, kau tidak pernah menyadarinya. Kau juga harus memberi
kesempatan pada salah
satu dari mereka.”
Risa berdiri dalam
penerangan cahaya lampu. Tiba-tiba saja Bobby memintanya bertemu di
taman kota. Berhubung
hubungan mereka mulai membaik, Risa menyanggupi kemauan
sahabatnya itu. Namun
ia tidak menyangka akan terlibat dalam pembicaraan seperti ini.
“tapi aku menyukaimu.
Perasaanku tulus. Berkali-kali aku ingin menyerah tapi tidak bisa.
Berilah kesempatan
padaku Ris. Aku mohon.”
“kenapa kau memohon
padaku padahal kau tahu apa jawabnya. Mungkin saja kau bisa cocok
dengan cewek lain.
Kau tidak akan pernah tahu sampai kau mengenal mereka, Bobby.”
“kau tidak mengerti.
Aku belum pernah jatuh cinta kepada seseorang seperti ini. Aku hampir gila
karenamu. Waktu kau
mengalami kecelakaan, semua orang mengira kau tidak ada harapan.
Tahukah kau apa yang
kurasakan? Aku sangat menyesal! Terlebih aku tidak bisa melakukan apaapa
untukmu. Aku tidak
berdaya, hanya bisa berdoa bagi kesembuhanmu. Aku berjanji bila kau
sembuh, aku akan
menebus penyesalanku ini.”
“oh, Bobby. Kau
sungguh tidak per...”
“dengarkan Ris.
Sekarang kau hidup. Aku teramat sangat senang. Tuhan telah mengabulkan
doaku. Aku berusaha
menepati janjiku supaya kelak tidak menyesal.”
“aku tahu perasaanmu.
Tapi tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Semua orang sudah
melakukan yang
terbaik. Kau tidak perlu menyesal atau merasa bersalah. Kau sangat baik
kepadaku selama ini.
Justru aku yang tidak pernah berbuat sesuatu untukmu. Aku tahu kau
sangat
memperhatikanku. Aku tidak bisa membalas semua yang telah kau lakukan untukku.
Aku
sangat berterima
kasih bisa mengenal dan mempunyai sahabat sepertimu.”
“hmmph, baiklah. Aku
mengaku, aku kalah. Tidak ada tempat bagiku diantara kalian berdua.
Tapi aku punya
beberapa pertanyaan. Pikirkanlah sebelum kau menjawabnya.”
“pertanyaan? Apa?”
“ingat ya, pikirkan
baik-baik. Seandainya kamu belum mengenal Viko, apa jawaban yang akan
kau berikan padaku.
Apakah kau akan menolakku?”
Risa merenung,
memikirkan baik-baik pertanyaan Bobby.
“hm.... mungkin
tidak. Mungkin saja aku akan menerimamu. Lagipula aku tidak punya alasan
untuk menlak. Kau
satu-satunya pria yang dekat denganku. Walaupun aku belum yakin benar
akan perasaanku, aku
akan mencobanya.”
“jadi kau menerimaku???
Lalu jika saat kita sedang berpacaran, kau bertemu dengan Viko.
Apakah kau akan
menyukainya?”
“ng...aku tak tahu.
Sungguh membingungkan. Perlukah aku menjawab semua pertanyaan ini?”
“menurutmu? Aku ingin
semuanya jelas. Aku tidak ingin bertanya-tanya tentang semua hal ini.
Itu sangat mengganggu
pikiranku. Bagiku ini sangat penting, lalu apa jawabanmu.”
“mungkin awalnya akan
biasa-biasa saja tapi ketika mengenalnya lebih jauh, aku bisa saja jatuh
cinta padanya.
Entahlah...”
“kau yakin bisa
bahagia bersamanya?”
“tentu saja.”
“tapi apa yang
terjadi kalau dia sendiri tidak yakin bisa membahagiakanmu. Aku tidak bisa
membiarkanu bersama
pria yang bahkan tidak yakin akan dirinya sendiri.”
“apa maksudmu?!
Kenapa kau begitu ingin tahu urusan orang lain. Aku seperti orang bodoh saja
menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan konyol ini.”
“kau tidak mengerti
Ris. Kau bukan orang lain bagiku.”
“oh sudahlah. Aku mau
pulang. Ada apa denganmu hari ini. Kau membuatku pusing.”
“Risa.”
Risa langsung membeku
mendengar suara yang sangat dikenalnya. Ia pun langsung menoleh
kaget.
“Viko? Apa yang kau
lakukan di sini? Sejak kapan kau datang? Bagaimana bisa kemari? Ini
bukan kebetulan kan?”
tanya Risa bertubi-tubi.
Tanpa sepengetahuan
Risa,Bobby dan Viko sudah merencanakan pertemuan ini. Viko yang
rupanya merasa tidak
yakin akan dirinya, ingin tahu bagaimana perasaan Risa pada Bobby.
“ng... aku mendengar
pembicaraan kalian. Aku datang karena sudah janjian dengan Bobby.”
“apa? Kenapa harus
sembunyi-sembunyi? Apa yang sebetulnya kalian rencanakan? Ini tidak
lucu. Kenapa kalian
mempermainkanku...”
“Ris, sebaiknya
hubungan kita jangan diteruskan. Sampai di sini saja. Aku sudah memikirkannya
baik-baik.”
“apa? Tapi kenapa?”
tanya Risa bingung sekaligus terperanjat. “kau tidak sedang bercanda kan?”
“tidak. Sebenarnya
aku tidak menginginkannya tapi setelah mendengar pembicaraan kalian, aku
jadi sadar.
Seharusnya aku tidak pernah datang dalam kehidupanmu,” nada suara Viko
terdengar
getir. Risa tidak
tahan menatap mata Viko. Ingin menangis rasanya. “aku ingin kau kembali
menjadi Risa yang
dulu.”
“aku masih tetap
seperti dulu,” balas Risa ngotot. “memangnya apa yang membuatmu
memutuskanku?”
“kurasa aku tidak
berhak menjadi kekasihmu. Kalau kau lebih berbahagia bersamanya, aku akan
meninggalkanmu,” kata
Viko tercekat seraya memantapkan diri.
“kau tahu apa yang
kau katakan? Mengapa kau begitu yakin? Kenapa kau begitu mudah
menyerah,” Risa tidak
menyangka bisa mendengar hal ini terucap dari mulut Viko. “dengar Vik,
aku mencintaimu.
Sangat mencintaimu. Apa itu belum cukup?”
“aku juga
mencintaimu. Aku sangat senang bisa melihatmu kembali. Kau membuat semangatku
kembali. Bagiku hal
itu sudah cukup. Aku lega kalau menyerahkanmu padanya. Dia akan...”
“hentikan! Kumohon
jangan katakan lagi. Aku tidak ingin mendengarnya. Ini tidak benar. Kau
tidak bisa berbuat
begini padaku. Aku benci sikapmu yang seperti ini. Kenapa kau mau
meninggalkanku? Tak
tahukah kau, aku sangat mencintaimu Viko...”
“aku serius Ris,”
ucap Viko meyakinkannya.
“tapi. Ta...” Risa
hendak protes tapi Viko sudah mencium lembut bibirnya. Matanya membelalak
kaget, tubuhnya
langsung lemas.
Tidak. Bukan ini yang
aku inginkan. Aku tidak menginginkan ciuman perpisahan. Terlalu
menyakitkan. Apa yang
harus kulakukan, batin risa meminta tolong. Air matanya merebak.
“tenang saja. Aku
tidk akan meninggalkanmu. Kita tetaplah teman baik. Sudahlah, jangan
menangis lagi. Kau
ini masih sama cengengnya seperti dulu,” kata Viko, memaksakan diri
tersenyum.
“Vik, kumohon ...
jangan menyerahkanku seperti hari itu. Aku tidak suka,” ratap Risa putus asa.
“nantinya kau akan
merasa lebih baik. Percayalah padaku.”
“kau ini sangat bodoh
Vik. Benar-bena bodoh.”
“jaga dia baik-baik,”
pesan Viko pada Bobby.
“pasti,” sahut Bobby
tegas.
“nah, sampa jumpa,”
ucap Viko sambil melamba ke arahnya.
“aku tidak akan
memaafkanmu Vik, aku ingin kau membayarnya kelak. Aku tidak akan lupa...”
seru Risa asal saja
untuk memperoleh secuil perhatian Viko.
“aku akan membayarnya
suatu saat. Aku janji. Kau tidak perlu khawatir,” kata Viko tenang,
membuat Risa lebih
terpuruk.
“Viko!” panggil Risa
menyayat.
Jangan memanggil
Ris.. dan jangan menatapku seperti itu, batin Viko. Kau membuatku lemah.
Aku ingin berada di
sisimu, menghiburu dan menghentikan tangismu. Susah payah aku
memutuskan untuk
meninggalkanmu. Aku tidak ingin berubah pikiran. Aku tidak akan
melupakanmu. Semua
kenangan kita bersama akan kusimpan dalam hatiku. Kau membuat
hidupku berubah.
Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu.
Aku sangat berterima
kasih padamu. Belum pernah aku merasa begitu dicintai seperti ini. Kurasa
aku juga tidak boleh
egois. Kau sudah mempunyai seseorang yang begitu menyayangi dan
mempertikanmu. Dia
tidak akan mengecewakanmu. Tapi kenapa hati ini ingin menjerit.
Mengapa ia tak kuasa
mengendalikan perasaannya. Risa... Risa... Risa... sampai kapanpun aku
ingin memanggil
namamu. Sepanjang hidupku aku ingin memanggilmu. Aku akan sangat
merindukanmu. Tanpa
disadarinya, Viko meneteskan air mata.
Tidak. Tidak. Ini
tidak benar. Viko... benarkah hubungan kita sampai di sini. Apakah semuanya
sudah berakhir? Aku
tidak ingin mempercayainya. Aku begitu menyukaimu. Hatiku sakit sekali.
Apakah semua kenangan
kita sudah kau lupakan? Sudah tidak tersisa lagi? Viko... tahukah kau...
kau telah mengambil
masa depanku. Apa yang akan kulakukan tanpa dirimu. Aku tidak ingin
kehilanganmu...
Bagaimana caranya
supaya kau tetap berada di sisiku. Bagaimana aku bisa meyakinkanmu. Aku
sudah melakukan
segalanya tapi kau tetap pergi. Percuma saja. Tak ada yang bisa kulakukan saat
ini. Tahukah kau
betapa sedihnya hanya bisa memandang sosokmu semakin jauh dariku. Aku
ingat pertama kali
kau menggandeng tanganku sewaktu kita baru saling mengenal. Saat itu kau
menuntunku di depan.
Aku merasa ingin berjalan sepanjang jalan bersamamu, menatap sosokmu
di dekatku.
“Viko....ini bohong
kan...” katanya lirih di tengah isak tangisnya.
“Ris, sudahlah.
Jangan bersedih lagi,” kata Bobby menghibur, sorot matanya sedih. “sudahlah
Ris. Kalian tetap
berteman. Kau masih bisa bertemu dan mengobrol kapan saja.”
“tidak. Aku harus
mengejarnya. Aku harus,” kata Risa mantap.
“percuma Ris. Kau
sudah dengar apa yang dikatakannya. Kau harus menerimanya,” kata Bobby
mengingatkan.
“tidak. Dengarkan
aku, Bobby. Walaupun dia meninggalkanku, aku akan mengejarnya. Tidak
perduli apa yang
dikatakannya atau dilakukannya, aku akan mengikutinya sampai kapanpun,”
tekad Risa. Tanpa
Viko, hidupnya tidak berarti.
“hmph.. baiklah,”
kata Bobby sambil menghela napas. “kupikir aku masih punya harapan,
ternyata tidak.
Sampai detik ini aku tetap kalah darinya. Dia pria baik. Kejarlah dia. Aku
berdoa
untukmu.”
“terimakasih Bobby...
kau tahu? Kau sangat berarti bagiku,” kata risa sambil memeluk sayang
sahabatnya itu.
“aku tahu, aku tahu.
Kau memang Risa yang kusayangi. Selamanya akan tetap kusayangi,” kata
Bobby pengertian
sambil menepuk punggung Risa untuk menenangkanya. Andai saja risa bisa
memeluknya setiap
saat, bersandar pada dirinya, batin Bobby penuh harap. Saat seperti ini tidak
akan terulang kembali
untuk yang kedua kalinya.
“kau juga, Bobby...”
balas Risa tulus.
Risa menatap Bobby
penuh terimakasih dengan mata sembapnya. Senyumnya begitu ramah dan
damai membuat siapa
pun yang melihatnya menjadi ikut tersenyum kepadanya. Risa melangkah
mundur perlahan,
masih tersenyum memandang sahabat terbaiknya sampai akhirnya uluran
tangannya dan Bobby
terlepas. Risa mengawasi Bobby sejenak sebelum ia memantapkan diri
lalu berbalik hendak
mengejar Viko. Risa tidak tahu begitu ia berpaling, senyum Bobby
langsung lenyap.
Bobby ingin sekali
menggapai tangan Risa yang baru saja terlepas darinya. Dengan begini ia
telah menyerahkan
sepenuhnya harapannya. Sedih rasanya menatap kepergian Risa yang seakan
ikut membawa pergi
hatinya. Entah dunia ini kejam atau tidak adil. Bobby merasa terjepit.
Padahal ia tak ingin
Risa pergi darinya tapi entah mengapa justru ia lepaskan. Mencintaimu
memang melelahkan,
tapi aku tidak pernah menyesal, batin Bobby sembari melihat satu-satunya
orang yang disukainya
menjauh darinya.
Kalau menyangkut
cinta, orang memang tidak boleh menyerah. Tapi ada kalanya kita harus
berhenti. Walaupun
menyakitkan, tapi ada perasaan bahagia saat kau melihat orang yang kau
sayangi berbahagia.
Bobby bersedia melakukan apa saja asal Risa bahagia. Sayangnya,
kebahagiaan Risa
bukan bersama dirinya.
“semoga kau bahagia
Ris,” gumam Bobby dan untuk pertama kalinya dia tersenyum.
Bobby mengambil napas
dalam, merasa lega. Ia yakin ia telah melakukan hal yang benar. Risa
seperti peri kecil
dalam dongeng yang menyebarkan kebahagiaan di mana-mana. Ia begitu manis,
polos dan jujur,
membuat semua orang yang mengenalnya tidak akan melupakannya. Risa sudah
beberapa meter di
depannya, Bobby mengawasi. Bobby mengalihkan pandang ke ujung jalan,
tiba-tiba dari ujung
jalan muncul sebuah mobil yang melaju dengan kencangnya. Salah satu
lampu depannya mati.
Bobby memicingkan mata melihat pengemudinya. Mereka mabuk. Mobil
itu oleng.
Jantung Bobby seakan
berhenti berdetak. Detik berikutnya ia memandang kearah Risa dengan
ngeri. Risa tepat
hendak menyebrang jalan. Risa tidak menyadari kedatangan mobil itu. Bobby
berlari sekuatnya,
berharap bisa mencegah apa yang akan terjadi. Ia memanggil-manggil Risa
namun Risa setengah
melamun sehingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Ia bisa merasakan
napasnya memburu,
rambutnya berkibar terhempas angin. Mengapa mereka belum
menyembunyikan
klaksonnya. Apa pengemudi itu tidak melihat Risa.
Hari makin larut.
Risa berjalan dengan terhuyung, ia merapatkan jaketnya. Kakinya masih terasa
lemas, ia belum sadar
dari shocknya. Udara malam itu dingin menusuk. Ia bingung, tak tahu apa
yang akan
dilakukannya. Viko baru saja memutuskannya. Risa masih bisa melihat sosoknya di
kejauhan. Ia ingin
berlari mengejarnya tapi apa yang harus ia katakan nanti? Kelihatannya Viko
sudah yakin dengan
keputusannya. Risa menunduk, sibuk berpikir.
Risa tidak mengerti
kenapa viko memutuskan hubungan mereka. Risa membuntuti viko tapi
tidak berani
mengejarnya. Napasnya sesenggukan. Air matanya tidak berhenti mengalir. Tentu
saja hal itu
membuatnya marah. Namun alih-alih marah, ia tidak bisa mengabaikan perasaan
sedih yang dideranya.
Ia tidak pernah menyangka segala harapannya kandas dalam sekejap.
Risa menatap punggung
Viko dalam gelapnya malam. Orang yang selalu ia rindukan akan
meninggalkannya. Risa
tidak rela. Ia tidak mau. Kenapa Viko tidak mau berterus terang padanya.
Risa tidak mengerti
apa yang Viko pikirkan tentangnya.
Risa memperhatikan
bahw Viko sudah dua kali berhenti sejenak di tepi jalan sebelum
melanjutkan
langkahnya. Namun Viko tidak menoleh ke belakang. Risa begitu putus asa. Tak
ada yang bisa
menolongnya. Tega-teganya Viko berbuat begini padanya. Ia menyebrang jalan
tanpa menoleh.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar teriakan parau memecah keheningan,
lamunanya langsung
buyar.
“RISA!RISA!AWAS!”
Risa hendak menoleh namun
mendadak tubuhnya serasa didorong paksa. Ada yang
mendorongnya begitu
kuat sampai ia jatuh tersungkur satu meter di depan. Risa menghantam
aspal kasar, tangan
yang menahan wajahnya terasa tergores panas.
Berikutnya Risa
dikagetkan dengan bunyi memekakkan telinga membelah malam disusul derak
mengerikan seperti
bunyi hantaman benda keras. Bunyinya memantul dan menjadi super keras
sehingga orang yang
berada di ujung duniapun bisa mendengarnya. Risa hendak bangkit dan
melihat apa yang
terjadi namun seluruh tubuhnya mengejang kesakitan akibat terbentur keras.
“auch...ssh,” Risa
merintih sambil memegang kakinya yang sakit serasa habis dipukuli dengan
tongkat sementara
tangannya sendiri terkilir.
Risa memejamkan mata,
rasa sakit di tubuhnya masih menjalar. Detik berikutnya ia mendengar
suara pintu mobil
yang dibuka dan langkah-langkah kaki. Risa menoleh, napasnya tertahan. Ia
baru saja terhindar
dari kecelakaan. Risa tidak percaya. Ada yang menyelamatkannya! Namun
bunyi memekakkan
itu... apakah ada yang tertabrak? Ya ampun, ia tidak berani percaya. Risa
ingin melihat lebih
jelas namun terhalang kerumunan kaki tak jauh darinya.
“hey, kenapa dia
tidur di sini. Hiks,” kata pria setengah baya itu cegukan.
“ANDY! DIA TERLUKA!
Andi kita menabraknya. Sudah kukatakan supaya berhati-hati.
Sadarlah Andy,” kata
seorang wanita dengan histeris.
“sayang....Hiks, dia
kan Cuma tidur. Biasalah gelandangan...,” umpat pria itu yang masih belum
sadar apa yang telah
dilakukannya.
“bukan. Sadarlah. Ya
tuhan... kita harus bagaimana,” kata wanita itu kehilangan akal, tampak
luar biasa panik.
Sekarang banyak orang
berdatangan ke arah mereka. Risa bangkit tertatih-tatih sambil
memegangi kakinya.
Seseorang terguling di depan mobil yang hampir menabraknya. Ia
menyeruak di antara
kerumunan orang lalu jantungnya terasa berhenti.
“Bobby...?Bobby?”
pekik Risa lemas.
Risa merasa dirinya
merosot ke aspal. Ia merangkak dengan lemas ke sbelah Bobby sementara
kerumunan orang di
sekitarnya memekik dan menjerit-jerit. Keadaan Bobby sangat mengerikan.
Darahnya mengucur
keluar, napasnya hampir habis. Risa sampai takut memegangnya, takut
justru akan
mempengaruhi keadaannya. Orang-orang hanya berdiri diam menyaksikan mereka
dan takut memindah
Bobby.
“panggil! Ambulans!”
sahut seseorang cepat.
“hai, kalian mau lari
kemana,” teriak suara berat.
“BERHENTI!” teriak
banyak suara.
“kami tidak salah.
Anak itu yang tiba-tiba muncul,” sahut wanita itu.
“hiks. Siapa suruh
dia tidur di sana,” pria itu tampak menyedihkan.
“kalian harus
bertanggungjawab. Pacarmu mabuk,” jawab seorang wanita bersuara lantang.
“tahan saja dia. Aku
tidak mau tahu,” sahut pacar pria mabuk itu.
“hiks, kalian mau
ikut berpesta?”
“diam kau brengsek,”
seru salah seorang kehabisan kesabaran.
“sudah, sudah. Jangan
bertengkar. Kita awasi saja ereka,” kata orang yang lain menenangkan.
Risa tidak
memperhatikan ribut-ribut itu. Bobby kesulitan bernapas. Risa memegang tangan
Bobby dan mendekatkan
wajah ke arahnya.
“hh..hhh..hhh,” Bobby
menarik napas dengan tersendat-sendat.
“Bobby...sadarlah
Bobby. Sadarlah,” Risa panik, menepuk-nepuk pelan wajah Bobby dengan
tangan gemetarnya.
“R..Ri...sa?”
“bertahanlah. Bobby
bertahanlah. Demi aku. Kumohon bertahanlah...” pinta Risa memelas.
“kk..ka..u
ss..se..lamat?” tanya Bobby susah payah, membuat air mata Risa semakin mengalir
deras. Ia bisa
merasakan bobby balas menggenggam erat tangannya.
“kenapa? Kenapa kau
melakukannya. Kau jadi seperti ini...” kata Risa terbata-bata memandang
wajah Bobby yang
menatapnya. “apa? Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.”
Risa mendekatkan
telinganya lalu mendengar suara sambar-samar Bobby.
“maaf...kan..a...ku..hhhh,”
Bobby menarik napas panjang lalu tubuhnya menjadi lemas.
Kepalanya terkula
lemas.
“Bobby? BOBBY! BOBBY!
Bangunlah... kau tidak boleh mati. Jangan mati bobby. Tuhan
kumohon... jangan
ambil dia. Jangan dia. Bobby kau tidak boleh mati. Jangan meninggalkanku,”
Risa mengguncang
tubuh sahabatnya. Ia menrengek dan menangis histeris. Kepalanya sangat
sakit. “TIDAAAAK!”
Bobby tidak bernapas,
Risa mendekatkan telinganya ke dada bobby tetapi tidak terdengar suara
detak jantung. Bobby
sudah mati. Mati. Tidak akan kembali. Sementara itu kerumunan orang di
belakangnya bertambah
ribut tak terkendali.
“Risa? Apa yang
terjadi?” tanya Viko yang datang karena suara ribut-ribut ini lalu menyadari
siapa yang tergeletak
di tanah. “ya ampuuun, Bobby?”
“Viko, Viko, katakan
ini tidak benar. Bobby tidak mati.”
***
Viko menatap hampa
tanah yang baru saja ditimbun di hadapannya.ia tidak menyangka hal ini
bisa terjadi.
Beberapa saat yang lalu ia masih bersamanya. Namun ia sudah tak ada lagi
sekarang.
Aku akan menjaga
Risa, kata Viko dalam hati sambil menatap gundukan itu. Risa pasti sangat
berarti bagimu
sampai-sampai kau bersedia mengorbankan nyawamu. Aku akan
membahagiakannya
seperti yang kau harapkan. Jangan khawatir. Aku tidak akan melepaskannya
apapun yang terjadi.
Aku tahu cinta itu
sulit didapat. Banyak yang harus dikorbankan. Kau yang mengajariku tentang
itu. Aku akan
mempertahankannya. Aku tidak akan mengecewakanmu dan Risa. Terimakasih
telah
memperhatikannya selama ini. Kau bisa pergi dengan tenang.
Risa tidak seberapa
ingat kejadian berikutnya. Semuanya berlalu begitu cepat. Hatinya sangat
sedih. Dia telah
kehilangan sahabat terbaiknya. Risa bahkan tidak sempat membalas semua
kebaikan Bobby
padanya. Segala yang ia miliki tidak akan sebanding dengan sahabatnya. Masamasa
mereka sewaktu
bersama di sekolah, pertengkaran mereka, rencana-rencana mereka, citacita
mereka. Kini
sekolahnya tak lagi sama seperti dulu, dengan ketiadaan Bobby. Bobby telah
datang dan pergi
mngisi lembaran hidupnya.
Angin membelai-bela
rambutnya. Risa sadar ia berada di pemakaman yang hendak selesai.
Angin bertiup agak
kencang. Risa memandang memar pada tangannya. Andai saja ia tidak
melamun, kecelakaan
dan semua kejadian ini pasti tidak akan terjadi. Semua orang memakai
pakaian serba hitam
dan tampak sedih.
Jessy dan jenny
terisak-isak. Si kembar juga sering menghabiskan waktu bersamanya dan Bobby.
Ulah mereka selalu
ada-ada saja. Mereka selalu bercanda dan tertawa riang bersama. Risa tidak
pernah melihat mereka
seperti ini, tampak sangat terpukul dan kacau. Hatinya tidak bisa lebih
sakit dari ini. Risa
tidak tahan mendengar sedu sedan di tempat itu. Ia lega ketika pemakaman
berakhir. Viko
bersamanya saat perjalanan pulang.
Mereka diam selama
perjalanan. Risa memandang kelebat bangunan dan pepohonan dari kaca
jendela, dirinya
tampak murung dan putus asa. Risa menyadari bahwa Viko menatapnya. Mobil
mereka berhenti dalam
antrian lampu merah. Risa menoleh ke arah Viko di sebelahnya.
“mulai sekarang..
tidak ada lagi kata ‘kau’ dan ‘aku’ tetapi...” kata viko hendak memberitahu.
“kita,” potong Risa
menyahut paham apa yang Viko pikirkan.
Mencari pria atau
wanita yang tepat itu penting, tetapi berusaha untuk menjadi pria atau wanita
yang tepat bagi
pasangan itu jauh labih penting.
0 komentar:
Post a Comment