Can You See Me part 2
TIGA
SEKAWAN
Satu bulan yang
menegangkan dan menguras tenaga telah berlalu. Sekolah berakhir di pagi hari karena
hari ini merupakan hari terakir ujian. Murid2 tidak pernah terlihat secerah dan
selega ini. Di sela2 hiruk pikuknya murid yang sibuk mendiskusikan soal ujian,
mengira2 hasil rapor, merencanakan akhir pekan atau liburan mendatang, Risa
menunggu ketiga sahabatnya di dekat lapangan parkir.
Mereka berencana
untuk menghabiskan sisa waktu hari itu bersama-sama. Lalu muncullah si
kembar, keduanya
menggunakan sumpit khusus rambut untuk menggelung rambutnya, tampak bersemangat.
Jenny melambaikan tangan dari kejauhan. Jessy rupanya belum sarapan karena dia membawa
bekal di tangan.
“Bobby belum datang”,
kata Jessy seraya memandang berkeliling. Tangannya membuka bekal, mengambil
sepotong roti lapis susun tiga dari dalamnya dan mulai melahapnya.
“hari ini mau
ngapain?” tanya Risa mencari ide.
“hm... aku pengen
beli ice cream, beli coklat sama kue, jalan2 di Mall, makan siang, maen
internet, pergi ke
toko buku, berenang, minjem VCD atau nonton bioskop juga bisa,” jawab
Jessy menggebu-gebu.
“seminggu baru nyampe
rumah kalo gitu critanya,” sahut Risa.
“aku sih pengen pinjam
komik buuaaaanyak di perpustakaan dekat rumah,” kata Jenny mantap seraya
merentangkan tangannya, rupanya berusaha menjelaskan seberapa banyak yang
dimaksud itu.
“kalian bisa membaca
dirumahku kalo gitu. Aku mau menunjukkan hamster mini,kukasih nama Taro,baru
beli kemarin. Eh kebetulan! Nyokap mau bikin kue,nih ada daftar belanjaanbut bahan2nya,”seru
Risa ceria disertai tatapan mata berbinar-binar dari si kembar.
“setuju! Makan kue
sambil baca komik, pas banget. He he he,” kata Jenny dengan sorot mata
jahil.
“wow hamster! Pasti
lucu banget,coba kalo kita punya peliharaan ya,”ujar Jessy prihatin
memandang saudaranya.
“orang rumah gak
bakal mbolehin, belum lagi ngerawatnya bikin repot. Mending gak punya,
percaya deh,”kata
Jenny pengertian.
“lagipula binatang
bisa nyebarin virus ganas,”sahut Risa menakut-nakuti. “coba liat deh,
contohnya ada virus
SARS, ada juga virus flu burung. Hayo, berani?”
“beneran?” tanya
Jessy kaget.
“o beneerrr,” Risa
dan Jenny menyahut bersamaan,tampak meyakinkan.
Jessy menyipitkan
mata memandang mereka tidak yakin, alisnya terangkat, namun akhirnya
menghela napas. Ia
menunduk, tampak kecewa. Jenny dan Risa saling lirik. Jenny berbicara
dalam bahasa mulut
yang berkata ‘oke’ kepada Risa. Jessy tiba2 mendongak, membuat mereka berdua buru2
melihat kearah lain.
“Lho! Toska apa nggak
cemburu?” tanya Jessy yang sudah kehilangan minat mempunyai
binatang peliharaan
kepadanya.
“nggak tuh. Toska
malah tertarik, duduk manis didepan kandang Taro. Mungkin baru kali ini
melihat hamster,”
kata Risa menjawab pertanyaan Jessy yang aneh menurutnya.
Saat itu, Bobby
menyeruak diantara kerumunan dan berlari menghampiri mereka.
“oh ini dia yang kita
tunggu2!” kata Jenny dengan pandangan agak simpati.
“um.. sorry.. gak
bisa.. ikut.. kalian. Ada.. pertandingan... sepakbola.. mendadak,” sengal Bobby
putus2. Tampaknya ia berlari secepat yang dia bisa untuk menemui mereka,
keringat mengalir dari dahi membasahi pelipis. Setelah mengatur napas ia baru
bisa berbicara dengan lancar.
“anak2 rupanya
beranggapan hari ini harus dirayakan, karena itu diadakan pertandingan
sepakbola dan aku
ikut dalam tim. Kalian bisa ikut menonton.”
Sementara Risa, Jenny
dan Jessy saling pandang. Mereka bertiga suka menonton pertandingan basket dan
voli tetapi tidak dengan sepakbola. Bagaimanapun juga mereka kurang memahami permainan
itu.
“ng.. ada yang harus
kami kerjakan,” jawab Jessy berbohong. “kalau begitu sampai besok.”
“besok kita kumpul
lagi,” kata Risa.
“baiklah kalo begitu,
sampa juma!” balas Bobby nyengir.
Ia secepat kilat
mengambil sepotong roti dari kotak bekal yang terbuka ditangan Jessy, yang
tampak kaget dan
hendak mengatakan sesuatu namun terhalang mulutnya yang penuh, lalu
berlari kembali
menyusul gerombolan teman2nya.
“pergi sekarang?”
tanya Jenny sambil menggandeng lengan sahabatnya dan perlahan menuju
pintu gerbang.
Sementara mereka
berjalan ke pintu gerbang, murid2 sudah berkerumun ditepi lapangan
sepakbola. Semuanya
tampak tak sabar dan ingin memberi semangat pada grup yang diidolakan.
Para pemainnya yang
sudah tiba di lapangan melakukan pemanasan selagi menunggu teman
yang lainnya. Di
perbatasan pintu gerbang, Risa memberi salam pada pak satpam.
Hari ini tidak
sepanas biasanya,langit berawan dan cuacanya cerah. Mereka memutuskan untuk membeli
bahan2 di toko khusus makanan untuk membuat kue sekaligus membeli camilan untuk
dirumah. Toko ini merupakan satu2nya toko makanan terlengkap di daerah tempat tinggal
mereka. Terdapat berbagai bahan untuk membuat kue dan memasak, buah2an, hiasan
untuk tart hingga menyediakan peralatan memasak. Jessy dan Jenny membeli keju
untuk bahan isi roti, mentega, susu, sereal serta buah pir. Setelah selesai
belanja, Risa menunggu diluar toko sedang si kembar sedang memakan ice cream
untuk dinikmati dalam perjalanan pulang. Risa mengamati lalu lalang kendaraan
di depannya sambil mengingat-ingat apakah ia sudah membeli semua bahan yang
diperlukannya. Ibunya menerima pesanan kue, Risa sering membantu. Saat itu
trotoar sepi, ia melihat murid2 sedikit lebih muda dari usianya melintas. Pasti
mereka juga sudah selesai ujian, pikirnya. Lalu pandangannya teralih di
tikungan jalan tak jauh dari tempatnya menunggu, sekitar 2 meter, 2 orang ibu2
sedang melihat-lihat etalase toko sambil mendiskusikan sesuatu. Seseorang
diantaranya menggendong bayi mungil beranting.
Lalu perhatiannya
teralih pada seorang anak laki2 yang muncul dari balik rok ibunya sambil
menggenggam
botolkecil air sabun. Ia mulai meniup dan membuat gelembung sabun beterbngan di
udara. Anak itu memekik kegirangan, meloncat-loncat senang, kadang menyentuh
bola sabunnya dengan tangan atau sepatu sehingga pecah di udara. Dilihat dari
seragam dan topinya kelihatan masih TK, Risa menyimpulkan, dalam hati merasa
iri bisa main gelembung sabun dengan gembiranya.
Lalu mendadak topi
yang dipakainya menggelinding diantara lalu lalang kendaraan ke sisi jalan. Anak
itu menarik-narik rok ibunyauntuk mendapatkan perhatiannya namun ibunya terlalu
sibuk berbicara. Anak itu mulai menggapai-gapai topinya ke tepi jalan. Ini
mulai gawat, pikir Risa sambil memandang sekitarnya. Saat itu lampu lalu lintas
merah tapi ini tikungan tajam. Kendaraan bisa lewat setiap saat dan pasti tidak
sempat mengerem karena pandangan terhalang.
Tanpa pikir panjang,
Risa berlari kearah anak yang sekarang sudah berada ditengah jalan,
menjulurkan tangannya
dan menangkap anak tersebut. Detik berikutnya terdengar bunyi klakson mobil,
suara rem yang nyaring. Risa otomatis mendorong anak itu kesebrang tanpa ragu.
Mobil pertama yang melaju dari arah tikungan sempat berhenti tapi mobil
dibelakangnya yang berusaha menyelip dengan kecepatan normal sama sekali tidak
menuga apa yang ada di depannya.
Melihat mobil yang
meluncur ke arahnya, dalam detik terakhir Risa memejamkan mata ngeri. Tabrakan tidak bisa
dihindari, ia merasa dirinya terlempar. Saat Risa terhempas di tanah, ia sempat mendengar
tangis anak itu dan teriakan orang disekelilingnya termasuk jeritan ngeri memekakkan telinga
Jessy dan Jenny. Lambat laun suara itu terdengar menjauh, pandangannya kabur
lalu sunyi.
“bagaimana
kejadiannya?” tanya Bobby mendesak, ekspresinya kaget bercampur khawatir sampai2 wajahnya
pucat seputih dinding.
Bobby datang kerumah
sakit tiga setengah jam kemudian setelah sebelumnya mendapat telpon dari Jenny.
Ia masih mengenakan pakaian sepakbolanya yang kotor dan basah oleh keringat. Ia
bersama Jenny berdiri didepan kamar tempat dimana Risa sedang diperiksa. Orang
tua Risa ada didalam bersama dokter.
Jenny
menjelaskansemampunya karena ia terus terisak mengingat kecelakaan tadi.
Walaupun begitu, Bobby
mendengarkan dengan penuh perhatian. Bobby memperhatikan bibir Jenny yang berdarah.
Rupanya Jenny sangat ketakutan sehingga tidak menyadari telah menggigit bibir bawahnya
sendiri.
“apakah lukanya
parah?” tanyanya.
“oh Bob. Kamu nggak
melihat sih. Parah banget. Darahnya menggenang dimana-mana. Risa
sama sekali nggak
sadar waktu dibawa kesini. Aku takut banget,” kata Jenny dengan suara parau. Bobby
terdiam lama. Dia tidak sanggup memikirkan yang terburuk. Ia mondar-mandir,
memandang sekeliling
dengan tidak fokus. Tangannya mengepal kencang.
“dokter belum
mengatakan apa2?” tanyanya kemudian.
“belum. Dari tadi
masih sibuk memeriksa Risa,” kata Jenny mengusap air matanya.
“kalau begitu
keadaannya belum pasti,” gumam Bobby aalalu menyadari Jessy tidak ada.
“dimana Jessy?”
“pulang. Aku menelpon
ibu untuk menjemputnya. Kelihatannya ia butuh istirahat. Jantungnya pasti shock
tadi. Aku langsung cepat2 menyuruhnya minum obat dan berkali-kali
meyakinkannya bahwa
Risa tidak akan apa2,” jelas Jenny. Matanya merah bengkak.
“bagaimana dengan orang
yang menabraknya?” tanya Bobby geram.
“sudah dibawa ke
kantor polisi. Walaupun sepenuhnya bukan kesalahan orang itu namunkurasa ia
akan ditahan atau didenda,” jawab Jenny. Wajahnya sekarang sangat marah.
Dua puluh menit
kemudian, pintu kamar terbuka. Dokter keluar diiringi suster. Bobby dan Jenny masuk
kedalam. Ibu Risa rupanya menangis tidak terkendali, rambutnya acak2an,
tindakannya gelisah, tangannya meremas-remas bajunya. Penampilannya kacau
seakan habis dirampok. Ayah Risa berdiri sambil merangkul bahu istrinya,
memandang anaknya dengan sangat cemas. Matanya merah, berkali-kali menekan
wajahnya dengan telapak tangannya yang lebar, tak sanggup berkata-kata.
Jenny memekik. Bobby
melihat Risa terbaring dengan gips di sekeliling lehernya. Kepala Risa dibalut
perban tebal. Darah rupanya terus merembes keluar mewarnai perban putih.
Tubuhnya lecet dan luka2 di banyak tempat. Bobby memejamkan mata sejenak, tidak
sanggup melihat pemandangan ngeri dihadapannya. Matanya terasa berair pedih.
Baru saja ia bersama Risa, tahu2 Risa sudah dalam keadaan begini.
Orangtua Risa melihat
kedatangan mereka dan mengangguk. Jenny mendekati ibu Risa.
“bagaimana keadaannya
tante?” tanyanya takut.
“tante juga tidak
tahu,” katanya terisak tidak tahan lalu memeluk Jenny.
“dokter akan
mengoprasinya beberapa jam lagi.luka di kepalanya harus dijahit, sebelumnya
mereka harus
mendapatnya foto rontgen tengkorak Risa,” kata ayah Risa memberi penjelasan.
Rupanya ia sudah
menguasai diri dan pasrah kepada tuhan dan pengobatan RS.
“dia tidak patah
tulang kan?” tanya Bobby ngeri. Bobby pernah melihat beberapa temannya yang tulangnya
patah akibat kecelakaan sepeda motor.
“entahlah,” kata ayah
Risa menggelengkan kepala. “kelihatannya ada beberapa tulang yang
terkilir tapi tidak
sampai patah. Yang paling mengkhawatirkan adalah gegar otak di belakang
kepalanya.”
“gegar otak?” ulang
Bobby luar biasa kaget.
“ya. Ia pasti tidak
dapat menahan jatuhnya. Gegar otak berat, membuatnya koma. Bila sembuh pun
banyak kemungkinan yang bisa terjadi,” jawabnya sambil susah payah menelan
ludah.
“lalu setelah
dioperasi, ia akan sembuh?” tanya Jenny memandang pasangan suami istri itu bergantian.
“kemungkinan yang
terburuk ia bisa lumpuh, hilang ingatan atau kurang dapat memaksimalkan fungsi
otaknya, begitu kata dokter, mengingat sarafnya terluka. Operasi ini akan
sangat menentukan kesembuhannya,” kata ayah Risa getir.
Mereka terdiam seolah
menunggu keajaiban. Bobby ingin melakukn sesuatu. Ia tidak tahan tidak bisa
berbuat apa2 . namun ia hanya bisa pasrah seperti yang lainnya. Andai saja tadi
ia ikut bersama ketiga sahabatnya, mungkin hal ini bisa dihindari. Namun takdir
sudah ditentukan tuhan. Ia hanya bisa berdoa dan berharap. Kelak ia berjanji
akan menebus ketidakmampuannya saat ini kepada Risa.
Bobby, Jessy dan jenny
datang mengunjungi Risa sehari setelah dia dioperasi. Kedua orang
tuanya memberitahukan
bahwa Risa belum boleh dijenguk. Ia masih belum sadar. Mereka
bertiga saling
memandang cemas. Mereka pulang dengan patah semangat karena keadaan Risa tidak
menunjukkan tanda2 kemajuan. Hampir setiap hari dalam seminggu pertama Risa
dirawat di RS, mereka datang menjenguknya sepulang sekoah. Orangtua Risa memberitahukan
kepada mereka bahwa dokter tidak bisa memperkirakan kapan Risa akan sadar.
Entah ini pertanda baik atau buruk. Namun mereka tetap datang menjenguk,
lagipula tahun ajaran akan segera berakhir. Disekolah hanya ada pertandingan
olahraga antar kelas. Dua minggu lagi mereka akan menerima rapor lalu mulai libur.
Beberapa minggu
kemudian, mereka benar2 putus asa karena Risa tampaknya tidak akan
bangun. Hal yang sama
dirasakan oleh orang tua Risa. Sulit rasanya hanya bisa menunggu dalam semua
ketidakpastian. Dokter mengatakan bahwa kondisi ini bisa berlanjut sampai lama.
Mungkin sebulan,
setengah tahun atau satu tahun. Tidak ada yang tahu. Harapan kesembuhan
Risa sangat tipis. Si
kembar sudah lama mengenal keluarga Risa. Terkadang Jessy dan Jenny datang
menjenguk disertai orangtua mereka. Sementara itu, Risa tidur dengan tenang,
wajahnya terlihat segar walau agak pucat. Mereka berharap suatu saat nanti Risa
hadir kembali di tengah2 mereka.
0 komentar:
Post a Comment