December 24, 2015

Can You See Me part 2

TIGA SEKAWAN
Satu bulan yang menegangkan dan menguras tenaga telah berlalu. Sekolah berakhir di pagi hari karena hari ini merupakan hari terakir ujian. Murid2 tidak pernah terlihat secerah dan selega ini. Di sela2 hiruk pikuknya murid yang sibuk mendiskusikan soal ujian, mengira2 hasil rapor, merencanakan akhir pekan atau liburan mendatang, Risa menunggu ketiga sahabatnya di dekat lapangan parkir.
Mereka berencana untuk menghabiskan sisa waktu hari itu bersama-sama. Lalu muncullah si
kembar, keduanya menggunakan sumpit khusus rambut untuk menggelung rambutnya, tampak bersemangat. Jenny melambaikan tangan dari kejauhan. Jessy rupanya belum sarapan karena dia membawa bekal di tangan.
“Bobby belum datang”, kata Jessy seraya memandang berkeliling. Tangannya membuka bekal, mengambil sepotong roti lapis susun tiga dari dalamnya dan mulai melahapnya.
“hari ini mau ngapain?” tanya Risa mencari ide.
“hm... aku pengen beli ice cream, beli coklat sama kue, jalan2 di Mall, makan siang, maen
internet, pergi ke toko buku, berenang, minjem VCD atau nonton bioskop juga bisa,” jawab
Jessy menggebu-gebu.
“seminggu baru nyampe rumah kalo gitu critanya,” sahut Risa.
“aku sih pengen pinjam komik buuaaaanyak di perpustakaan dekat rumah,” kata Jenny mantap seraya merentangkan tangannya, rupanya berusaha menjelaskan seberapa banyak yang dimaksud itu.
“kalian bisa membaca dirumahku kalo gitu. Aku mau menunjukkan hamster mini,kukasih nama Taro,baru beli kemarin. Eh kebetulan! Nyokap mau bikin kue,nih ada daftar belanjaanbut bahan2nya,”seru Risa ceria disertai tatapan mata berbinar-binar dari si kembar.
“setuju! Makan kue sambil baca komik, pas banget. He he he,” kata Jenny dengan sorot mata
jahil.
“wow hamster! Pasti lucu banget,coba kalo kita punya peliharaan ya,”ujar Jessy prihatin
memandang saudaranya.
“orang rumah gak bakal mbolehin, belum lagi ngerawatnya bikin repot. Mending gak punya,
percaya deh,”kata Jenny pengertian.
“lagipula binatang bisa nyebarin virus ganas,”sahut Risa menakut-nakuti. “coba liat deh,
contohnya ada virus SARS, ada juga virus flu burung. Hayo, berani?”
“beneran?” tanya Jessy kaget.
“o beneerrr,” Risa dan Jenny menyahut bersamaan,tampak meyakinkan.
Jessy menyipitkan mata memandang mereka tidak yakin, alisnya terangkat, namun akhirnya
menghela napas. Ia menunduk, tampak kecewa. Jenny dan Risa saling lirik. Jenny berbicara
dalam bahasa mulut yang berkata ‘oke’ kepada Risa. Jessy tiba2 mendongak, membuat mereka berdua buru2 melihat kearah lain.
“Lho! Toska apa nggak cemburu?” tanya Jessy yang sudah kehilangan minat mempunyai
binatang peliharaan kepadanya.
“nggak tuh. Toska malah tertarik, duduk manis didepan kandang Taro. Mungkin baru kali ini
melihat hamster,” kata Risa menjawab pertanyaan Jessy yang aneh menurutnya.
Saat itu, Bobby menyeruak diantara kerumunan dan berlari menghampiri mereka.
“oh ini dia yang kita tunggu2!” kata Jenny dengan pandangan agak simpati.
“um.. sorry.. gak bisa.. ikut.. kalian. Ada.. pertandingan... sepakbola.. mendadak,” sengal Bobby putus2. Tampaknya ia berlari secepat yang dia bisa untuk menemui mereka, keringat mengalir dari dahi membasahi pelipis. Setelah mengatur napas ia baru bisa berbicara dengan lancar.
“anak2 rupanya beranggapan hari ini harus dirayakan, karena itu diadakan pertandingan
sepakbola dan aku ikut dalam tim. Kalian bisa ikut menonton.”
Sementara Risa, Jenny dan Jessy saling pandang. Mereka bertiga suka menonton pertandingan basket dan voli tetapi tidak dengan sepakbola. Bagaimanapun juga mereka kurang memahami permainan itu.
“ng.. ada yang harus kami kerjakan,” jawab Jessy berbohong. “kalau begitu sampai besok.”
“besok kita kumpul lagi,” kata Risa.
“baiklah kalo begitu, sampa juma!” balas Bobby nyengir.
Ia secepat kilat mengambil sepotong roti dari kotak bekal yang terbuka ditangan Jessy, yang
tampak kaget dan hendak mengatakan sesuatu namun terhalang mulutnya yang penuh, lalu
berlari kembali menyusul gerombolan teman2nya.
“pergi sekarang?” tanya Jenny sambil menggandeng lengan sahabatnya dan perlahan menuju
pintu gerbang.
Sementara mereka berjalan ke pintu gerbang, murid2 sudah berkerumun ditepi lapangan
sepakbola. Semuanya tampak tak sabar dan ingin memberi semangat pada grup yang diidolakan.
Para pemainnya yang sudah tiba di lapangan melakukan pemanasan selagi menunggu teman
yang lainnya. Di perbatasan pintu gerbang, Risa memberi salam pada pak satpam.
Hari ini tidak sepanas biasanya,langit berawan dan cuacanya cerah. Mereka memutuskan untuk membeli bahan2 di toko khusus makanan untuk membuat kue sekaligus membeli camilan untuk dirumah. Toko ini merupakan satu2nya toko makanan terlengkap di daerah tempat tinggal mereka. Terdapat berbagai bahan untuk membuat kue dan memasak, buah2an, hiasan untuk tart hingga menyediakan peralatan memasak. Jessy dan Jenny membeli keju untuk bahan isi roti, mentega, susu, sereal serta buah pir. Setelah selesai belanja, Risa menunggu diluar toko sedang si kembar sedang memakan ice cream untuk dinikmati dalam perjalanan pulang. Risa mengamati lalu lalang kendaraan di depannya sambil mengingat-ingat apakah ia sudah membeli semua bahan yang diperlukannya. Ibunya menerima pesanan kue, Risa sering membantu. Saat itu trotoar sepi, ia melihat murid2 sedikit lebih muda dari usianya melintas. Pasti mereka juga sudah selesai ujian, pikirnya. Lalu pandangannya teralih di tikungan jalan tak jauh dari tempatnya menunggu, sekitar 2 meter, 2 orang ibu2 sedang melihat-lihat etalase toko sambil mendiskusikan sesuatu. Seseorang diantaranya menggendong bayi mungil beranting.
Lalu perhatiannya teralih pada seorang anak laki2 yang muncul dari balik rok ibunya sambil
menggenggam botolkecil air sabun. Ia mulai meniup dan membuat gelembung sabun beterbngan di udara. Anak itu memekik kegirangan, meloncat-loncat senang, kadang menyentuh bola sabunnya dengan tangan atau sepatu sehingga pecah di udara. Dilihat dari seragam dan topinya kelihatan masih TK, Risa menyimpulkan, dalam hati merasa iri bisa main gelembung sabun dengan gembiranya.
Lalu mendadak topi yang dipakainya menggelinding diantara lalu lalang kendaraan ke sisi jalan. Anak itu menarik-narik rok ibunyauntuk mendapatkan perhatiannya namun ibunya terlalu sibuk berbicara. Anak itu mulai menggapai-gapai topinya ke tepi jalan. Ini mulai gawat, pikir Risa sambil memandang sekitarnya. Saat itu lampu lalu lintas merah tapi ini tikungan tajam. Kendaraan bisa lewat setiap saat dan pasti tidak sempat mengerem karena pandangan terhalang.
Tanpa pikir panjang, Risa berlari kearah anak yang sekarang sudah berada ditengah jalan,
menjulurkan tangannya dan menangkap anak tersebut. Detik berikutnya terdengar bunyi klakson mobil, suara rem yang nyaring. Risa otomatis mendorong anak itu kesebrang tanpa ragu. Mobil pertama yang melaju dari arah tikungan sempat berhenti tapi mobil dibelakangnya yang berusaha menyelip dengan kecepatan normal sama sekali tidak menuga apa yang ada di depannya.
Melihat mobil yang meluncur ke arahnya, dalam detik terakhir Risa memejamkan mata ngeri. Tabrakan tidak bisa dihindari, ia merasa dirinya terlempar. Saat Risa terhempas di tanah, ia sempat mendengar tangis anak itu dan teriakan orang disekelilingnya termasuk jeritan ngeri memekakkan telinga Jessy dan Jenny. Lambat laun suara itu terdengar menjauh, pandangannya kabur lalu sunyi.
“bagaimana kejadiannya?” tanya Bobby mendesak, ekspresinya kaget bercampur khawatir sampai2 wajahnya pucat seputih dinding.
Bobby datang kerumah sakit tiga setengah jam kemudian setelah sebelumnya mendapat telpon dari Jenny. Ia masih mengenakan pakaian sepakbolanya yang kotor dan basah oleh keringat. Ia bersama Jenny berdiri didepan kamar tempat dimana Risa sedang diperiksa. Orang tua Risa ada didalam bersama dokter.
Jenny menjelaskansemampunya karena ia terus terisak mengingat kecelakaan tadi. Walaupun begitu, Bobby mendengarkan dengan penuh perhatian. Bobby memperhatikan bibir Jenny yang berdarah. Rupanya Jenny sangat ketakutan sehingga tidak menyadari telah menggigit bibir bawahnya sendiri.
“apakah lukanya parah?” tanyanya.
“oh Bob. Kamu nggak melihat sih. Parah banget. Darahnya menggenang dimana-mana. Risa
sama sekali nggak sadar waktu dibawa kesini. Aku takut banget,” kata Jenny dengan suara parau. Bobby terdiam lama. Dia tidak sanggup memikirkan yang terburuk. Ia mondar-mandir,
memandang sekeliling dengan tidak fokus. Tangannya mengepal kencang.
“dokter belum mengatakan apa2?” tanyanya kemudian.
“belum. Dari tadi masih sibuk memeriksa Risa,” kata Jenny mengusap air matanya.
“kalau begitu keadaannya belum pasti,” gumam Bobby aalalu menyadari Jessy tidak ada.
“dimana Jessy?”
“pulang. Aku menelpon ibu untuk menjemputnya. Kelihatannya ia butuh istirahat. Jantungnya pasti shock tadi. Aku langsung cepat2 menyuruhnya minum obat dan berkali-kali
meyakinkannya bahwa Risa tidak akan apa2,” jelas Jenny. Matanya merah bengkak.
“bagaimana dengan orang yang menabraknya?” tanya Bobby geram.
“sudah dibawa ke kantor polisi. Walaupun sepenuhnya bukan kesalahan orang itu namunkurasa ia akan ditahan atau didenda,” jawab Jenny. Wajahnya sekarang sangat marah.
Dua puluh menit kemudian, pintu kamar terbuka. Dokter keluar diiringi suster. Bobby dan Jenny masuk kedalam. Ibu Risa rupanya menangis tidak terkendali, rambutnya acak2an, tindakannya gelisah, tangannya meremas-remas bajunya. Penampilannya kacau seakan habis dirampok. Ayah Risa berdiri sambil merangkul bahu istrinya, memandang anaknya dengan sangat cemas. Matanya merah, berkali-kali menekan wajahnya dengan telapak tangannya yang lebar, tak sanggup berkata-kata.
Jenny memekik. Bobby melihat Risa terbaring dengan gips di sekeliling lehernya. Kepala Risa dibalut perban tebal. Darah rupanya terus merembes keluar mewarnai perban putih. Tubuhnya lecet dan luka2 di banyak tempat. Bobby memejamkan mata sejenak, tidak sanggup melihat pemandangan ngeri dihadapannya. Matanya terasa berair pedih. Baru saja ia bersama Risa, tahu2 Risa sudah dalam keadaan begini.
Orangtua Risa melihat kedatangan mereka dan mengangguk. Jenny mendekati ibu Risa.
“bagaimana keadaannya tante?” tanyanya takut.
“tante juga tidak tahu,” katanya terisak tidak tahan lalu memeluk Jenny.
“dokter akan mengoprasinya beberapa jam lagi.luka di kepalanya harus dijahit, sebelumnya
mereka harus mendapatnya foto rontgen tengkorak Risa,” kata ayah Risa memberi penjelasan.
Rupanya ia sudah menguasai diri dan pasrah kepada tuhan dan pengobatan RS.
“dia tidak patah tulang kan?” tanya Bobby ngeri. Bobby pernah melihat beberapa temannya yang tulangnya patah akibat kecelakaan sepeda motor.
“entahlah,” kata ayah Risa menggelengkan kepala. “kelihatannya ada beberapa tulang yang
terkilir tapi tidak sampai patah. Yang paling mengkhawatirkan adalah gegar otak di belakang
kepalanya.”
“gegar otak?” ulang Bobby luar biasa kaget.
“ya. Ia pasti tidak dapat menahan jatuhnya. Gegar otak berat, membuatnya koma. Bila sembuh pun banyak kemungkinan yang bisa terjadi,” jawabnya sambil susah payah menelan ludah.
“lalu setelah dioperasi, ia akan sembuh?” tanya Jenny memandang pasangan suami istri itu bergantian.
“kemungkinan yang terburuk ia bisa lumpuh, hilang ingatan atau kurang dapat memaksimalkan fungsi otaknya, begitu kata dokter, mengingat sarafnya terluka. Operasi ini akan sangat menentukan kesembuhannya,” kata ayah Risa getir.
Mereka terdiam seolah menunggu keajaiban. Bobby ingin melakukn sesuatu. Ia tidak tahan tidak bisa berbuat apa2 . namun ia hanya bisa pasrah seperti yang lainnya. Andai saja tadi ia ikut bersama ketiga sahabatnya, mungkin hal ini bisa dihindari. Namun takdir sudah ditentukan tuhan. Ia hanya bisa berdoa dan berharap. Kelak ia berjanji akan menebus ketidakmampuannya saat ini kepada Risa.
Bobby, Jessy dan jenny datang mengunjungi Risa sehari setelah dia dioperasi. Kedua orang
tuanya memberitahukan bahwa Risa belum boleh dijenguk. Ia masih belum sadar. Mereka
bertiga saling memandang cemas. Mereka pulang dengan patah semangat karena keadaan Risa tidak menunjukkan tanda2 kemajuan. Hampir setiap hari dalam seminggu pertama Risa dirawat di RS, mereka datang menjenguknya sepulang sekoah. Orangtua Risa memberitahukan kepada mereka bahwa dokter tidak bisa memperkirakan kapan Risa akan sadar. Entah ini pertanda baik atau buruk. Namun mereka tetap datang menjenguk, lagipula tahun ajaran akan segera berakhir. Disekolah hanya ada pertandingan olahraga antar kelas. Dua minggu lagi mereka akan menerima rapor lalu mulai libur.
Beberapa minggu kemudian, mereka benar2 putus asa karena Risa tampaknya tidak akan
bangun. Hal yang sama dirasakan oleh orang tua Risa. Sulit rasanya hanya bisa menunggu dalam semua ketidakpastian. Dokter mengatakan bahwa kondisi ini bisa berlanjut sampai lama.
Mungkin sebulan, setengah tahun atau satu tahun. Tidak ada yang tahu. Harapan kesembuhan
Risa sangat tipis. Si kembar sudah lama mengenal keluarga Risa. Terkadang Jessy dan Jenny datang menjenguk disertai orangtua mereka. Sementara itu, Risa tidur dengan tenang, wajahnya terlihat segar walau agak pucat. Mereka berharap suatu saat nanti Risa hadir kembali di tengah2 mereka.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates