Can You See Me part 3
KENYATAAN
YANG MENANTI
Risa merasa dirinya
telah lama tertidur, ia mendengar suara desau angin yang kenang di kedua telinganya.
Dirinya bagaikan melayang di tengah pusaran angin di sekitarnya. Rasanya begitu
tenang dan nyaman. Dia tidak bisa berpikir atau mengingat apa2 kecuali bertanya
pada dirinya sendiri apakah ia sudah mati. Herannya ia sama sekali tidak takut
karena perasaan yang dialaminya sekarang begitu tenang.
Ia melihat segalanya
berwarna putih dan ada bayangan seseorang di hadapannya. Risa membatin, agak
ngeri, ‘siapa? Kamu siapa? Aku mengenalmu?’ Namun sosok itu diam saja.
Risa tidak bisa
melihatnya dengan jelas, hanya berupa bayangan gelap seseorang yang diam tak bergerak.
Tiba2 saja sosok itu lenyap. Segalanya serba putih sekarang. Ia tidak tau harus
melakukan apa. Sampai
kapan dia harus diam dalam kesunyian seperti ini. Maka Risa berusaha bangun
tapi gagal. Ia mencoba lagi dan lagi.
Risa membiasakan dirinya
dengan apa yang dilihatnya, memastikan bahwa yang dilihatnya ini nyata. Sekujur
tubuhnya terasa berat dan lemah, ia merintih dan mendengar suara berat
seseorang tak jauh
darinya.
“kau sudah sadar?
Baik2 saja? Apa yang kau rasakan?”
Risa menolehkan kepalanya
perlahan kearah suara itu, ia tidak menyadari kehadirannya
sebelumnya. Pria itu
menghampirinya tergesa-gesa lalu menyeka keringat dingin di wajahnya, ekspresi
wajahnya cemas. Risa membiasakan diri sebentar, setengah bermimpi. Ia belum
mati, pikirnya.
“Minumlah sedikit,”
kata suara tadi membujuk.
Tubuh Risa serasa
agak terangkat dan bibirnya menyentuh permukaan gelas yang dingin. Risa meneguk
air yang diberikan padanya, merasa lega, perlahan ia sadar sepenuhnya. Seorang
pria muda bertubuh jangkung meletakkan segelas air ke meja disebelahnya,
rambutnya agak acak2an lalu seorang pria setengah baya berkacamata persegi
muncul mendatangi kearahnya.
“dia sudah sadar
Yah,” kata pria yang pertama dilihat Risa.
“oh syukurlah,” sahut
pria setengah baya kepada pria muda itu lalu memeluk Risa. “kau baik2 saja
anakku? Ayah khawatir sekali, sudah dua hari kau tidak sadarkan diri. Katakan
saja apa yang kau butuhkan, akan kuambikan.”
“aku dimana? Apa yang
terjadi?” tanya Risa pelan dan sadar bahwa suaranya terdengar lain dari biasanya.
“rumah sakit. Kau
tiba2 pingsan saat tiba dirumah dengan basah kuyup. Ayah menyuruh kakak untuk
menjemputmu tapi kau sudah pulang dari sekolah lebih dulu. Pastinya kau tak
menyangka akan hujan deras. Dasar bandel! Kemarin baru saja cuci darah. Nah
istirahatlah dulu, kau pasti lelah,” katanya ramah sambil tersenyum.
Risa mengangguk paham
tapi ia tidak ingat apa2 dan bagaimana dia bisa pingsan. Semuanya
terasa asing, kedua
pria di dekatnya sama sekali tidak dikenalnya. Dia memandang mereka
bergantian dengan
pandangan menilai. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali ayahnya sendiri?
Ia mendengarkan
percakapan dalam bisikan kedua pria itu selagi ia berpura-pura tidur namun
sedang berfikir keras
mengingat sesuatu yang dapat membantunya. Belum pernah perasaannya sekalut itu.
“viko, ayah tadi
bertemu dokter Hasan. Ia mungkin bisa sadar kali ini namun tidak ada lain kali.
Kalau saja ada yang
bisa kulakukan, ia putriku satu2nya, mirip sekali dengan ibunya. Ayah
bingung...” suaranya
menghilang dalam isak tertahan.
“sudahlah Yah. Kita
tahu hari ini bisa terjadi kapan saja. Yang penting kita sudah melakukan
yang terbaik dan
membahagiakannya. Tuhan masih memberi kita satu kesempatan. Aku paham, Anita
anak dan adik yang baik. Kita tidak ingin kehilangan dia.”
Hah?! Tunggu! Tunggu
dulu! Anita? Aku Anita? Aku bukan Anita. Aku.. aku.. namaku.. ia
berkonsentrasi susah
payah, dahinya mengernyit tegang, menahan nafas. Aku R...R..Rr..Rr...
“Risa!” Risa terkejut
tanpa sadar menyebut namanya sendiri, matanya terbelalak, nafasnya
tersengal-sengal. Kedua
pria tersebut menoleh, mengerumuni tempat tidur tempatnya terbaring.
“ada apa nak? Kau
kenapa? Aku akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu. Viko, kau temani
dia ya?”kata sang ayah. Viko mengangguk, perlahan duduk di kursi disamping
Risa.
Risa berusaha
mengingat lebih banyak tapi ia hanya bisa mengingat namanya saja. Dia yakin
bahwa ia bukan Anita.
Tapi kenyataan akan dirinya yang tidak mengingat segala hal tentang Risa
semakin membingungkannya. Dia merasa terperangkap alam tubuh orang lain dan
tidak bisa mengetahui dirinya yang sebenarnya. Mereka akan menyangka aku gila
kalau aku menyangkal bukan Anita, pikirnya. Bagaimana ini. Apa yang terjadi.
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Dimana Anita yang asli. Apa aku sudah
gila atau hilang ingatan.
“kenapa Tata?”
panggilnya, “mau cepat pulang?”
“kak, ada cermin
gak?” tanya Risa sangat panik.
“bentar, kalo gak
salah ada dilaci,” kata Viko sambil menggeledah laci susun tiga disbelahnya.
“ini”
Risa mengambilnya,
mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya dan terpekik kaget. Wajah yang
balas memandangnya dari cermin sangat asing. Tangannya mulai gemetar. Ia meraba
wajahnya dengan tangan kirinya. Bagaimana ini. Kenapa dia sama sekali tidak
mengenali wajahnya. Bukan . ini bukan diriku, pirkirnya. Memang, dia tidak
ingat apa2. Tapi ia punya perasaan akan bayangan dirinya yang samar2 yang jelas
berbeda dengan perempuan dalam cermin ini.
“nggak jelek2 amat
kok,” hibur kakaknya begitu melihat ekspresi wajahnya.
Tanpa bisa berpikir
lebih jauh, kepalanya pening. Risa mendongak memandang kakaknya atau yang
mengaku sebagai kakaknya. Ia merengkuh tangan kakaknya, menggenggamna erat2
seakan mengharap dukungan. Kata2 yang ia tanyakan berikutnya sama sekali lain
dari apa yang dipikirkannya.
“Viko, ibu.. dimana?”
tanya Risa seraya mengedarkan pandang keseluruh ruangan tanpa
menyadari ekspresi
terkejut kakaknya. Setidaknya dia bisa berkonsultasi dengan sesama
perempuan, dia akan
lebih dimengerti, harapnya.
“apa?” tanya Viko
bingung. “kau pasti bermimpi bertemu dengannya tadi. Kau selalu berharap bisa
bertemu dengannya.
Aku tidak mengerti
kenapa kau bisa mewarisi penyakit leukimia ibu.”
Risa melongo
memandang Viko. Dirinya semakin bertambah bingung.
“oya, ini pertama
kalinya memanggil namaku, Ta. Wah wah.. gak sopan nih anak,” lanjutnya
kemudian buru2
menambahkan , “bercanda lho! Pengen lebih akrab nih ceritanya..”
Apa? Leukimia? Jadi
ibunya sudah meninggal? Terlebih lagi dia sendiri akan meninggal?
Jawaban ini lebih
mengejutkan dari semua yang ia alami sampa tidak bisa berkata-kata atau
melakukan hal lain.
Siapa dirinya tidak lagi penting sekarang, mengingat ia akan meninggal. Apa maksud
semua ini. Risa sibuk berpikir sehingga tidak benar2 memperhatikan ucapan Viko Untung
saja perhatian kakaknya teralih dengan kedatangan dokter keluarganya menunggu
diluar sementara Risa diperiksa dan diberi suntikan pengurang rasa sakit. Risa
memanfaatkan waktu ini untuk bertanya sejelas-jelasnya kepada dokter.
“bagaimana keadaan
saya dok?”
“kau beruntung bisa
selamat kali ini. Ini keajaiban. Aku sama sekali tidak menyangka. Tuhan
rupanya memberimu
kesempatan,” katanya terus terang, tampak takjub.
“maksud dokter?”
“kadang prediksi
dokter bisa saja salah. Semua tergantung ‘yang diatas’. Kamu tidak ingn
dirawat untuk jangka
panjang?”
“dirawat? Tapi saya
merasa baik2 saja.”
“memang, kelihatannya
kondisi tubuhmu membaik dengan cepat. Tapi cepat atau lambat kau
harus dirawat
disini,”katanya memberi pendapat selagi memeriksa detak jantung Risa.
“ayahmutelah berusaha
keras mengobatimu sejak hampir sepuluh tahun yang lalu begitu
mengetahui
penyakitmu. Dan kamu berhasil bertahan hingga sekarang. Dia benar2
menyayangimu.”
Risa tidak tahu ia
harus gembira atau bagaimana mendengarnya, jadi ia memaksakan diri
tersenyum. Sepuluh
tahun.. sepuluh tahun.. Risa tidak menyangka ada orang yang mengidap
leukimia sampa
sepuluh tahun. Bukankah kebanyakan penderitanya berumur pendek?
“lalu.. sampai kapan
saya bisa bertahan dok?” kata Risa berbesar hati, “katakan sejujurnya, aku tidak
keberatan, toh aku mengidap penyakit ini sudah lama.”
“yah.. asal minum
obat tepat waktu, rajin check up, cuci darah, istirahat cukup, kamu pasti bisa bertahan,”
jelas dokter.
“sampai berapa lama?”
desak Risa, gelisah membayangkan dirinya harus menjalani serangkaian petunjuk
dokter.
“baiklah, aku tidak
bisa berbohong. Kita sudah lama mengenal. Anita, jujur saja, bisa satu bulan, dua
bulan, tiga bulan. Tidak ada yang tau pasti, tergantung daya tahan tubuhmu,”
jawab dokter dengan enggan.
“APA?” kata Risa otomatis,
nada suaranya jelas2 terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka
hidupnya bakal
sesingkat itu. Wajah Risa murung. Hanya beberapa bulan? Cepat sekali...
“dengar Anita, kamu
tidak boleh bepergian tanpa ditemani seorang keluarga atau teman,” saran dokter
bertampang gemuk itu selagi suster sedang memeriksa tensi darahnya. “kamu tidak
tau betapa paniknya ayah dan kakakmu sewaktu mereka membawamu kesini.”
“kapan saya boleh
pulang?” tanyanya sopan.
“sebenarnya kamu
tidak boleh pulang. Tapi ayahmu berkeras ingin membawamu pulang,” nada suara
dokter itu sangat tidak setuju. “kamu yakin tidak ingin dirawat disini?”
“tidak,” jawab Risa
tegas. Ia ngeri bisa membayangkan dirinya terkurung selama sisa hidupnya di RS
seperti narapidana. “jadi kapan saya boleh pulang dok?”
“setidaknya tunggulah
sampai besok lusa,” katanya singkat sambil bersiap meninggalkan
ruangan diiringi
suster di belakangnya. “Jaga dirimu baik2.”
Risa bertanya-tanya
dalam hati apa yang harus ia lakukan. Tuhan pasti mempunyai maksud
tersendiri dibalik
semua ini. Risa tidak marah atau menolak menerima kenyataan. Tidak ada
waktu untuk
memikirkannya, sia-sia.
Satu-satunya yang
bisa ia lakukan hanya memanfaatkan hidupnya yang terbatas ini bersama
orang2 yang sama
sekali baru baginya. Lagipula kelihatannya mereka orang baik. Aku harus
tegar, sebisanya
tidak merepotkan dan membuat keluarga ini khawatir, putusnya mantap. Tak
lama kemudian, ayah
dan Viko muncul.
“syukurlah kau sudah
sadar. Ayah pamit pulang dulu, kakakmu berkeras menjagamu sendiri
malam ini. Lusa ayah
akan mengantarmu pulang,” ujar ayahnya sambil mengecup lembut
keningnya dan
membelai rambutnya.
“tenang saja Yah,
besok ayah masih harus kerja kan,” sahut Viko pengertian.
“pulanglah Yah, aku
baik2 saja,” balas Risa, berusaha tersenyum menenangkan.
Ayahnya dengan berat
hati meninggalkan ruangan diantar Viko. Risa akan merasa terharu
melihat dirinya
begitu diperhatikan kalau saja tidak sedang pusing memikirkan kejadian ini.
Tentu ia tahu bahwa
Anitalah yang sebenarnya mereka pedulikan. Tetapi kenyataan bahwa
mereka hidup tanpa
seorang ibu ditambah putri yang sakit-sakitan seolah memberi kesedihan
berlarut-larut dalam
keluarga ini, membuatnya tidak tega.
Risa merasa kaku
dalam keheningan di ruangan itu, bagaimanapun juga ia tidak mengenal
mereka. Malam ini
terasa amat panjang. Risa bermalam ditemani kakaknya. Ia tidak tahu
bagaimana hubungan
Anita dengan kelurarganya sehingga ia bingung hendak berkat a apa.
Risa lebih tidak
mengerti akan kondisi tubuhnya yang terasa nyeri seakan ada memar-memar
yang tidak terlihat.
Ada apa sih dengan badan ini, pikirnya sebal. Viko muncul kembali ke
kamarnya, kelihatan
lega, sambil memijat-mijat pundaknya yang pegal.
“akhirnya aku
berhasil membujuk ayah untuk pulang,” kata Viko yang sekarang duduk di tempat tidurnya,
berusaha membetulkan sandaran Risa.
Keadaan hening
kembali. Setelah melihat adiknya tidak berkomentar atau hendak berbicara,
maka Viko melanjutkan
obrolannya.
“maafkan kakak, Ta,”
kata Viko seraya memeluk adiknya, Risa membiarkan dirinya dipeluk
walaupun hal ini
diluar kemauannya. “kalau aku bisa menjagamu dengan bak, tentunya kamu
tidak akan berada
disini. Kakak merasa saangaat menyesal. Kakak takut sekali melihatmu,
mengira tidak ada
kesempatan untuk meminta maaf padamu.”
Risa yang masih dalam
pelukan erat kakaknya, bingung harus berkata apasehingga ia
menanggapi tanpa
berpikir terlebih dahulu.
“ng..
itu..sebenernya..eh..” kata Risa salah tingkah lalu cepat-cepat menutupi kecanggungannya.
“sudahlah, tidak
apa-apa.”
“hm..baiklah, yang
penting kamu sudah sehat. Kakak sangat bersyukur,” kata Viko sambil
melepas pelukannya,
kembali menegakkan diri. Viko memegang kedua lengan Risa, sedikit
mengguncangnya sambil
berkata serius, “berjanjilah padaku! Kau tidak akan bertindak ceroboh lagi.
Paham?”
“baik,” jawabnya patuh,
mengira-ngira tindakan ceroboh apa yang bisa dilakukannya di
kemudian hari.
“nah, lebih baik kamu
tidur sekarang,” kata Viko mengakhiri percakapan, mencium dahinya
sekilas. Viko
merapikan selimutnya, menyuruhnya tidur lalu berjalan ke jendela dan menyibak
tirainya. Diluar langit sudah gelap, kakaknya berdiri termenung menatap ke
bawah dibalik jendela. Risa belum pernah mengamati kakaknya sejelas ini. Ia
memandang bayangan Viko yang terpantul di jendela.
Tubuhnya jangkung dan
tegap, tangannya kekar dan kuat, rambutnya hitam lurusnya agak
panjang, matanya
kadang menyorot sedih. Apakah ia percaya kalau aku mengatakan bahwa aku bukan
adiknya. Bukankah hal itu justru membuat Viko bertambah khawatir.
Aku harus melupakan
diriku sementara ini, pikirnya serius. Tapi Risa merasa bersalah begitu
teringat bahwa ia
berada dalam tubuh Anita dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Dimanakah
Anita? Apakah Anita
sudah meninggal? Apakah keluarganya akan menyadari bahwa ia bukan Anita? Apakah
yang sebenarnya terjadi padanya? Mengapa ia tidak ingat tentang dirinya? Lalu bagaimana
dengan keluarganya yang sebenarnya? Risa berusaha tidak mengiraukan
pertanyaanpertanyaan yang tidak akan pernah terjawab ini. Dia sadar bahwa ia
merasa kesepian, taakut dan terasing saat itu. Tanpa terasa ia menguap lalu
memejamkan mata, berharap ketika terbangun nanti, ia sudah kembali ke tempat
aslinya.
***
Risa terbangun tepat
saat makan pagi, Viko membantu menyuapinya didampingi suster yang mengawasinya. Risa
sama sekali tidak senang dengan makanan RS yang mencakup bubur, sebutir bola daging
berukuran kecil, telur rebus dan sayur. Semuanya sudah ditakar terlebih
dahulu, porsinya
sedikit dan rasanya tawar. Risa ingn sekali tidak menghabiskan makanan itu
walaupun ia lapar sekali. Andai saja susternya tidak memandanginya penuh senyum
seakan dia anak yang manis dan penurut, pikirnya kecewa. Setelah selesai
menyantap telurnya, suster membawa piring makanannya. Risa malah merasa lebih
lapar dari sebelumnya.
“Viko, eh Kak,”
panggil Risa ragu-ragu.
“gakpapa kok, panggil
Viko aja kalo kamu lebih suka gitu,” jawab Viko.
“ng..sekolahku
gimana?” tanya Risa khawatir.
“tahun ajaran baru
sebulan lagi dimulai. Tapi ayah sudah memberi tahu kepala sekolahmu kalau kamu
udah berhenti,” kata Viko. “kamu bisa istirahat dirumah, kalau bosan ya
jalan-jalan yang deket-deket aja. Tapi kalo mau pergi kemana ntar kakak temenin
deh.”
“oh..” gumam Risa.
Syukurlah, pikirnya, ia terhindar bertemu teman-teman dan guru yang tidak ia
kenal. “berarti nganggur dong!” sahutnya kemudian, tak percaya. Ia bisa tidur
dan bangun sesukanya, melakukan apa saja yang diinginkan.
Begitu bebas tanpa
takut ada yang melarang. Ini sesuatu yang hebat atau malah mengerikan
baginya.
Viko geli mendengar
komentarnya ini.
“nggak juga, kamu
bisa bantu kakak ngerjain tugas atau bantu ngetik atau bantu bik Ti di dapur.
O iya aku lupa, kamu
kan sama sekali gak bisa masak. Hua ha ha.”
“huh, maunya,” sahut
Risa ketus setengah bercanda.
“ngambek niihh. Anak
mnja bisa ngambek juga. Berarti sudah sehat dong sekarang,” gurau
Viko. “Lho?! Mau
kemana?”
Risa menegakkan
tubuhnya, kakinya turun dari tempat tidur.
“kamar mandi,” jawab
Risa singkat.
Ia berjalan, awalnya
agak terhuyung namu Viko segera membantu menuntunnya hingga kedepan
pintu kamar mandi.
“udah, kakak tunggu
diluar aja!” kata Risa tegas.
“ntar kalo ada
apa-apa, pencet bel di dalam ya.”kata Viko.
Sebagian kata-katanya
teredam bunyi pintu yang setengah di banting.
“aku bukan anak kecil
tau! Udah sembuh kok!” gerutu Risa dari dalam kamar mandi.
Tertatap olehnya
cermin besar di kamar mandi. Cantik! Cantik sekali perempuan ini, yang tentu
saja ia sedang
mengagumi dirinya sendiri. Matanya balas memandangnya teliti dari cermin.
Tubuhnya tinggi
semampai, rambutnya terurai panjang, agak kusut.
Dia terus mengamati
dirinya sendiri di cermin selama beberapa saat sampai akhirnya dia
mengulurkan sebelah
tangannya sampai menyentuh cermin. Sejenak telapak tangan kananya
terlihat bersentuhan
dengan telapak tangan dicermin. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu tanpa
terasa ia bergumam pada
sosok di cermin itu,
“halo!”
Mau tak mau Risa
teringat sepotong kalimat ayahnya yang didengarnya kemarin lusa. “..ia mirip
ibunya..”Risa
melnjutkan,
“kau mirip sekali
dengan ibumu,” tangannya sekarang berada seakan sedang membelai rambut
sosok dalam cermin,
tanpa sadar ia tersenyum sedih, yang dibalas senyum sosok itu. Inilah
Anita, katanya dalam
hati. Hatinya terasa pedih dan merana.
“kau harus memberiku
kekuatan. Terus terang, apakah kau tau saat ini aku sedang sangat
gelisah? Semuanya
baru bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang berlangsung saat ini,” katanya
putus asa, mengangkat
bahu tanda putus asa, tenggorokannya tercekat, susah payah menelan
ludah.
Seandainya saja Anita
dalam cermin itu hidup, Risa pasti sudah meminta petunjuk apa yang
harus dilakukannya.
Akhirnya ia menguatkan diri. Risa berputar-putar di depan cermin, melihat
dirinya sejelas
mungkin dari berbagai sudut.
“tenang saja. Aku
akan menjaga kondisi badanmu dengan baik,” katanya berjanji.
Risa tidak bisa
berlama-lama karena terdengar bunyi ketukan di pintu. Risa menahan rasa sedih
ini lalu keluar.
“lama banget. Nih
ganti baju dulu, ayah lagi dalam perjalanan ke sini,” kata Viko.
Perjalanan pulang
dari RS sedkit mencerahkan suasana hatinya. Risa senang bisa melihat
suasana diluar.
Padatnya kendaraan di jalan raya, para pejalan kaki berjalan berpasangan
sepanjang trotoar,
seorang tukang becak yang tertidur pulas dalam becaknya sendiri, orang-orang
keluar dari toko
sambil menenteng belanjaan, papan iklan dimana-mana, langit diatasnya begitu
terang, pepohonan
tampa sekelebat bayangan dari dalam mobil mereka. Mereka berada dalam
antrian panjang lampu
merah saat ini. Keheningan saat menunggu membuatnya agak merasa
canggung.
“kamu gakpapa Ta?
Mukamu pucat,” kata ayahnya tiba-tiba ketika menoleh ke belakang, melihat
keadaanya, membuat
Risa terlonjak. Viko membalikkan badan, memandangnya juga.
“apa? Oh nggakpapa,
perasaan ayah aja,” kata Risa sembari menarik napas. Ayahnya rupanya
tidak sependapat.
Bunyi klakson
kendaraan dibelakang mereka yang bertubi-tubi menandakan lampu lalu lintas
sudah hijau.
“ayah, kita sekarang
di kota mana?” tanya Risa, ingin tau perihal keberadaannya.
Ayahnya menatap Risa
dengan pandangan keheranan melalui kaca spion, rupanya mengira Risa
sedang bercanda .
viko menanggapi lebih dulu setengah bergurau sambilmemandangnya dengan
ekspresi tidak
percaya,
“wah wah wah..
terlalu lama tidur membuatmu terbelakang rupanya. Dari juara satu mendadak
jadi berubah satu
dari belakang. Benar-benar ironis.”
“Malang. Memangnya
kamu mengira kita akanpergi kemana?” tanya ayahnya.
“oh kupikir kita akan
liburan ke suatu tempat,” kata Risa cepat-cepat mencari alasan, dalam hati merasa menyesal
karena telah menanyakan pertanyaan aneh dan berharap keluarganya tidak curiga.
Ayah rupanya salah
menanggapi pertanyaan Risa dengan mengatakan hal diluar bayangannya.
“jangan khawatir...,”
kata ayah menenangkan. Di belakang, Risa tampak tidak tahu apa pastinya yang perlu
dikhawatirkan. “ayah sudah bicara kepada kepala sekolahmu, mengatakan kalau kau
berobat diluar
negeri. Tentunya berita itu pasti tersebar ke teman-teman sekolahmu. Jadi
mereka tidak akan repot
mengganggumu dengan telepon-telepon atau kunjungan yang membuatmu tidak senang.”
“benarkar???” tanya
Risa girang padahal dia sudah tahu jawabnya. Horeee! Dia bebas! Tidak ada telepon! Tidak ada
kunjungan! Sudah cukup merepotkan berusaha mengenal ayah dan Viko
tanpa ditambah
serombongan anak yang tidak dikenalnya.
“seumpama aku bertemu
salah satu teman Anita...,” gumamnya seraya berandai ia tenga disapa orang yang kira-kira
mengenalnya dijalan. “aha! Aku bisa pura-pura kena Amnesia. Kalau diajak
bicara ya tinggal
ngangguk atau geleng kepala lalu buru-buru bilang harus pulang. Yang paling penting jangan
berlama-lama. Hmm .. ke juga.”
Risa sibuk melihat
pemandangan diluar kaca mobil sambil mengira-ngira kemungkinan tidak disangka-sangka apa
saja yang bakalan dihadapinya. Dia juga tidak mengenal perilaku Anita sehari hari. Hal itu
tidak akan banyak berpengaruh, pikirnya. Setelah 20 menit
berlalu, mereka tiba dirumah. Viko membawa masuk barang-barang, Risa
mengikuti di
belakangnya sementara ayah memasukkan mobil ke garasi. Mula-mula Risa merasa canggung sekaligus
gembira ketika hendak masuk rumah. Maka ia masuk dengan perlahan sambil melihat-lihat.
Saking sibuknya mengamati, ia berjalan tidak melihat kedepan sehingga
tanpa sadar hampir
menabrak seseorang di tikungan kamar mandi. Orang itu berteriak kencang sampai Risa terkejut
setengah mati.
“NON TATA! Ya ampun
Non.. Bibik senang sekali Non pulang,” kata perempuan setengah
baya, agak gendut
tapi energik sambil menyalaminya tanpa henti. “segar waras. Gusti Allah
matur nuwun. Bibik
doain Non terus, biar cepet sembuh.”
Risa terpukau
mendengar kata-kata Bibik pengurus rumah yang meledak-ledak, kepalanya
mengangguk naik turun,
“terima kasih, Bik.
Bibik baiiikk banget,” kata Risa akrab, memeluk Bibiknya, seakan sudah
lama mengenal Bibik
ini.
“Bibik buatin teh
bentar ya Non,” kata Bibik yang sedang senang bukan main, menghambur cepat kedapur. Kesan pertama Risa
adalah rumah itu nyaman sekali. Di bagian tengah rumah terdapat taman
berbentuk lingkaran
yang merupakan pusat sama halnya seperti alun-alun kota. Dari ruang keluarga, ruang
makan, dapur, kamar pembantu dan kamar tidur yang terletak di seberang dapat melihat kearah taman.
Sebagian besar dinding yang menghadap taman dipenuhi jendela dan pintu. Sinar matahari
menerangi bagian dalam rumah disertai hembusan angin sepoi. Disebelah kiri taman terdapat
ruangan kecil yang terpisah dari ruang lainnya. Ruang ini adalah ruang kerja berisi komputer,
sebuah lemari penuh buku, rak buku gantung, peta daerah, telepon yang
bentuknya sama dengan
telepon diruang keluarga. Kamar yang ada diseberangtaman tidak ditempati, hanya
kamar tamu jika ada saudara yang menginap.
Ruang tengah terdiri
dari ruang keluarga dan meja makan yang terletak bersebelahan tanpa sekat. Rumah itu mempunyai
dua kamar mandi. Kamar mandi yang satu bisa digunakan oleh siapa saja,
letaknya didekat meja
makan dan ruang tamu, disebelah dapur. Sedangkan kamar mandi satunya berada didalam kamar
ayah. Ruang tamu dibatasi oleh folding door yang ditutup hanya pada malam hari.
“wow, jadi ini
kamarku,” kata Risa gembira melihat dinding kamarnya yang bercat ungu. Sebenarnya kamar itu
kecil tapi Risa sangat menyukainya. Dia sedang asyik menjungkat-jungkit tempat tidurnya yang
empuk sambil melihat barang-barang di dalam kamar dengan kagum. Ada lampu tidak lucu, jam
meja bentuk bunga dan coca cola, fotonya, poster spice Girls dan seorang perempuan Indian,
kotak tempat kosmetik, lemari berisi album fotonya dan buku bacaan seperti
komik dan novel,
piano mini, radio, rak kaset serta lemari baju. Risa sebenarnya agak sungkan
harus tinggal disini
sekaligus merasa berdebar-debar.
“senang ya Non bisa
pulang kerumah?” tanya bibik begitu melihat tingkahnya sambil melihat
teh.
“he’eh” kata Risa
mengiyakan sambil menyeruput tehnya.
“kalau perlu apa-apa,
bibik ada didapur,”pesan bibik saat meninggalkan ruangan. Risa memandang
kembali kamar itukemudian ayahnya muncul dipintu. Risa tersenyum. Ayahnya duduk
disebelahnya.
“bagaimana?senang?”
“iya”
“Mm.. Ta?” ucap
ayahnya berhati-hati.
“apa”
“ayah sudah mengatur
kepergianmu ke Singapura bulan depan. Kamu setuju kan?”
“ke Singapura?
Ngapain?”saking terkejutnya, Risa sampai lupa berkata formal kepada ayahnya.
“ya berobat, seperti
biasa,” kata ayah kaget, setengah kecewa melihat Risa kurang tertarik pada ajakannya.
“ayah harap kamu
tidak menolaknya. Ayah akan melakukan apapun asal ayah bisa melihatmu lebih lama. Kita
harus tetap berjuang bersama. Kamu tidak boleh menyerah. Mau kan?”
“Ng.. iya,” jawab
Risa bingung, matanya bergerak-gerak gelisah. “tapi nanti Tata pikir-pikir dulu aja Yah. Tata ngerasa
baek-baek aja kok.”
“baik, baik..ayah
tidak akan memaksamu. Tapi pertimbangkanlah masak-masak,”kata ayah
pasrah, membelai
kepala Risa. “sana, pergi tidur. Kamu kan belum sembuh benar.”
“tapi yah, ini kan
asih siang?”kata Risa yang jelas-jelas bingung,melihat kearah jendela yang terang benderang.
“ya udah kalo kamu
tidak mengantuk.”
“Hei Ta, kakak punya
buku bacaan nih. Baru beli kemarin,”kata Viko dari ambang pintu seraya melempar 2 majalah ke
pangkuannya lalu beralih pergi.
“yok, trims,”Risa
menyahut lalu membuka-buka halamannya.
“ayah tinggal dulu
ya, kamu santai-santai aja baca buku,”kata ayah sambil menepuk bahunya.
Risa tersenyum
mengangguk.
Malamnya, Risa
menghenyakkan diri dikasurnya yang empuk. Hari ini dia telah melakukan sederet kegiatanyang
umum seperti makan siang, mandi, menonton TV bersama ayah, makan malam.
Walaupun begitu ia
masih merasa tegang. Ia harus bisa menyesuaikan diri secepatnya karena disinilah, di dekat
orang-orang inilah ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya.
“Anita..,” katanya
tiba-tiba, matanya memandang langit-langit kamarnya, “kamu dimana,?”
Memang susah kalau
mau tak mau kau harus bertindak seperti orang lain. Ia harus memulai segalanya dari nol,
membuatnya merasa cepat lelah. Ditambah lagi persoalan lan yang untuk sementara ia lupakan.
Ia agak sedih dengan segala keterasingan ini namun ia tidak takut mati. Jika ia meninggal
nanti, paling tidak ia merasa lega, tidak perlu memikirkan apa-apa. Risa pun tertidur tanpa sempat
mematikan lampu kamarnya.
0 komentar:
Post a Comment