December 26, 2015

Can You See Me part 9

MENJELANG AKHIR
Risa tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di tempat tidurnya. Kepalanya sakit sewaktu ia
terbangun di pagi hari. Ia mengalihkan pandangan ke sisi tempat tidurnya dan melihat sebuah
kursi yang ditempati Viko. Viko tertidur, kepalanya terkulai di kaki tempat tidurnya. Risa
berusaha mengulang saat-saat terakhir dimana ia masih sadar lalu teringat bahwa ia terjatuh
dalam perjalanan ke kamarnya kemarin malam. Risa menegakkan diri, bersandar pada bantalnya,
tanpa sengaja membuat Viko terbangun. Risa tidak berani memandang Viko. Ia menoleh kearah
lain dan menatap kosong ke depan dalam diam.
“kau sudah bangun? Dokter datang memeriksamu tadi malam. Mau sarapan?” tanyanya.
Melihat Risa bertekad tidak ingin berbicara dan memandangnya, Viko melanjutkan,
“maafkan aku. Tidak seharusnya aku membuatmu tertekan. Sebenarnya... aku tidak mau percaya,
tapi perlahan aku sadar kau memang bukan seperti adikku. Jangan berlagak tidak
menghiraukanku begini. Selama ini aku bertanya-tanya kau begitu berbeda, sebenarnya aku
tertarik padamu. Itu sebabnya aku selalu tidak tahan tidak menggodamu.”
Risa menoleh ke arahnya, Viko berbicara formal. Tidak seperti Viko yang biasanya.
“kau tidak marah padaku?? Tidak bertanya-tanya di mana Anita?” tanyanya takut-takut.
“menurutku ini suatu keajaiban. Dokter sudah memvonis kau tidak akan sadar, terus dalam
keadaan koma sampai akhirnya kau meninggal sewaktu kau di rumah sakit dulu,” jelas Viko,
rupanya sudah memikirkannya masak-masak. “begitu melihatmu sangat sehat dan kuat, aku
berpikir mungkin dokter keliru mendiagnosamu. Jadi aku tidak lagi khawatir. Di mana pun Anita
berada sekarang, aku yakin dia sedang berbahagia. Sedari kecil ia berjuang melawan
penyakitnya. Kami sudah siap seandainya tuhan hendak mengambil nyawanya kapan aja. Sampai
kapanpun dia adalah adikku dan bagian dari keluarga kami. Sekarang, yang membuatku resah
adalah kau. Kau tidak seharusnya mengalami ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan
untuk menolongmu.”
Risa terdiam. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
“sudahlah, buat apa dipikirkan. Aku tidak apa-apa,” jawab Risa jujur.
Tiba-tiba ia teringat pengakuannya semalam dan merasa mukanya merah padam. Ia melirik Viko
hati-hati, melihat dengan tatapan ingin tahu bagaimana reaksi Viko terhadap kejadian semalam.
Ia pasti tampak tolol tadi malam, berteriak dan menangis tak terkendali. Belum lagi pingsan
tanpa direncanakan dan pada saat yang tidak tepat pula. Begitu ia melihat Viko sedang
menatapnya juga, ia cepat-cepat memalingkan muka.
“kenapa?” tanya Viko khawatir.
“oh enggak. Maksudku yang ‘itu’ tadi malam lupakan saja. Aku agak emosi,” kata Risa cepat
lalu pura-pura memandang jendela. Entah Viko mengerti ucapannya atau tidak.
“oh yang ‘itu’,” kata Viko paham sambil menahan tawa. “sayang ya gak sempet kurekam biar
bisa kudengerin sekali-sekali.”
Risa langsung menoleh memandangnya, wajahnya memerah malu namun ia berusaha tampak
galak.
“apa sih maksudmu? Tanyanya menuduh, tangannya berkacak pinggang. “nggak lucu tau.”
Senyum di wajah Viko langsung lenyap. Viko kembali menguasai diri lalu menatapnya lekatlekat,
tampak serius. Viko geli melihat Risansalah tingkah karena tidak tahan dipandangi.
“ke..napa?” tanya Risa takut-takut melihat ekspresi Viko.
Viko masih menatapnya dalam diam, membuatnya salah tingkah. Ia berpura-pura tidak
melihatnya tapi ia tidak bisa mengabaikannya lama-lama.
“kenapa sih!” seru Risa tidak nyaman, sekarang benar-benar geisah melihat tatapan Viko
kepadanya.
Viko perlahan bangkit dari kursinya lalu duduk di tempat tidurnya. Pelan-pelan Viko
mencondongkan wajah ke arahnya, membuat Risa mendorong kepalanya ke belakang. Pasti Viko
sedang menggodanya. Dasar menyebalkan! Mereka sudah dekat sekali sekarang. Mata mereka
seakan mengandung aliran listrik. Tiba-tiba.. ‘PLAK’. Risa memukul pelan dahi Viko,
membuatnya mundur ke belakang.
“ups, sori tadi ada nyamuk,” kata Risa tidak berdosa seraya mengibas-ibaskan tangannya.
“mana nyamuknya?” tanya Viko sebal, memegang dahinya.
“nggak kena,” sahut Risa singkat, pura-pura kecewa lalu memandang Viko galak. “mana
sarapanku? Bawain cepet!”
“iya-iya,” jawab Viko menurut, memandangnya dengan pandangan penuh selidik.
“eh Vik,” cegah Risa tiba-tiba yang tiba-tiba teringat sesuatu yang penting, ekspresi wajahnya
tampak serius.
“apa?” tanya Viko penuh tanya.
“ng.. tolong jangan bilang pada ayah ya kalo aku habis pingsan. Gimana?” tanya Risa gelisah.
Viko tampak berpikir sejenak lalu menjawab, “beress.”
***
Kepulangan ayah disambut meriah oleh Risa. Seminggu tidak bertemu sudah membuatnya
kangen. Ayah memberinya buku tebal berisi aneka masakan plus gambar. Ada masakan Eropa,
Asia dll. Risa senang sekali. Walaupun tidak bisa membuatnya, setidaknya ia puas
memandanginya. Viko sama sekali tidak menyebut perihal penyakitnya pada ayah. Untung saja.
Ayah dan Viko sedang menonton Tv sedangkan Risa duduk berselubung selimut sambil
membuka-buka buku resepnya, terlihat asyik membaca.
“ayah mau mandi dulu. Dari tadi pagi belum mandi,” kata ayah sambil melepas kacamatanya.
“pantas saja, kupikir bau kecut dari mana,” gurau Viko. Ayah tersenyum lalu melangkah masuk
kekamarnya.
Risa sedang mengamati gambar roast baron of lamb ketika Viko berpindah duduk di sebelahnya.
“asyik banget sih Ris. Menarik ya?” tanya Viko tertarik.
“he eh. Eh, ada apa?” tanya Risa begitu melihat gelagat aneh Viko yang tampak bimbang.
“ng.. ini. Aku ingin memberimu sesuatu,” selagi Vko berkata begitu, ia menarik keluar kalung
dari sakunya lalu memberikannya pada Risa.
“buat aku? Kenapa tiba-tiba...,” kata Risa kaget tanpa memandang kalung di atas telapak
tangannya. Baru kali ini Viko memberinya hadiah.
“biar adil kan,” potong Viko cepat, Risa mengernyit. “maksudku, ayah memberikanmu oleh –
oleh buku-buku ini. Karena aku tidak punya sesuatu yang bisa diberi jadi aku ngasih ini.”
Risa mengamati kalung pemberian Viko, bandulnya berbentuk hati berwarna biru. Ciee.. bisa
juga Viko ini. Risa jadi senyum-senyum sendiri. Lho?! Kok warnanya jadi bersemburat hijau?
Sekarang malah jadi hijau seluruhnya. Risa mengedip-ngedip, mengira ada yang salah dengan
matanya.
“ini namanya batu warna. Warnanya terus berubah-ubah,” kata Viko menjelaskan. “bagian
dasarnya berkelip-kelip. Jadi kamu seperti melihat langit bertabur bintang. Kamu kan suka
melihat bintang jadi kupikir pasti menyukainya...”
Selagi Viko berkata begitu, Risa memperhatikan bandul itu perlahan berubah menjadi oranye,
kuning, jingga, ungu seperti melihat aurora di daerah kutub. Perkataan Viko memang benar, batu
warna itu seperti langit dan kelip-kelip halus pada dasarnya seperti hamparan bintang di seantero
galaksi. Risa pernah melihat hamparan bintang di luar angkasa di TV. Semakin lama Risa
mengamatinya, ia semakin menyukainya. Risa tidak percaya, ia seperti sedang memandang
langit yang sesungguhnya dalam tangannya.
“ya ampun Viko. Ini.. ini indah sekali. Sangat indah,” kata Risa kesulitan mengungkapkan
perasaannya, masih terkagum-kagum.
“suka? Aku titip pada Erik sewaktu tahu ia mau berlibur di luar negeri,” kata Viko turut senang.
“makasih ya. Aku sukaaa banget,” kata Risa sambil memeluk Viko dengan sayang.
“kamu kalo gini baru kelihatan manisnya, biasanya judesnya minta ampun,” kata Viko
menyindir. Ia suka Risa bermanja-manja padanya.
“heh?! Dasar jelek,” kata Risa sebal sembari menjiwit pipi Viko karena telah merusak suasana
hatinya.
“awas kamu ya,” seru Viko tidak terima.
Viko balas menggelitik adiknya, membuat Risa tertawa-tawa geli sampai terbatuk-batuk. Setelah
Viko berhenti menggelitiknya, Risa mengatur napas, rambutnya kusut berantakan. Sebagai
gantinya ia mengacak rambut Viko. Viko ganti menyelubunginya dengan selimut lalu Risa
membalas dengan melempar bantalan kursi. Maka perang berlanjut sampai beberapa menit
kemudian.
“walah, walah kalian ini kayak anak kecil aja.”
Risa dan Viko menghentikan pertempurannya dan menoleh memandang ayahnya yang tampak
segar sehabis mandi. Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Mereka langsung
membereskan kekacauan yang mereka buat. Risa mengambil buku-buku dan selimut yang
berserakan di lantai sambil merapihkan rambutnya, Viko mengambil bantalan kursi yang
terdapat di meja makan.
***
Risa senang sekali bisa keluar bersama lagi. Ia duduk di belakang bersama Viko. Ia berkali-kali
menoleh ke Viko, tersenyum dengan gembira. Viko balas tersenyum namun Risa memperhatikan
bahwa sikap Viko agak tegang, tidak seperti biasanya. Selain itu Viko tampak kurang senang
dengan kepergian mereka. Risa jadi bingung sendiri karena tidak mengerti apa alasannya, Risa
memberi pandangan bertanya, seolah menanyakan ‘kenapa?’. Namun Viko hanya tersenyum
menggeleng dan memegang tangannya.
Kemarin ia pingsan lagi, tiba-tiba tubuhnya serasa ditusuk-tusuk, tiba-tiba matanya menjadi
kabur setelah itu tidak ingat apa-apa. Ayah, Viko dan bik Ti sampai cemas setengah mati.
Sebenarnya ia menikmati duduk dikursi mobil yang nyaman, namun tubuhnya terasa lemas.
Bahkan untuk bernapas pun ia merasa agak sulit. Energinya serasa terkuras habis. Namun ia
sanggup bergerak dan beraktivitas seperti biasanya dengan mengerahkan sisa kekuatannya.
Terlebih bila ia sedang merasa bersemangat, penyakitnya tidak akan bisa menghentikannya.
Risa memandang jalan-jalan di luar kaca jendela. Risa tidak hafal dengan jalan di sekitar situ,
maklum, dia kan memang baru tinggal di sini. Mula-mula ia tidak mengenal jalan yang mereka
lalui sepanjang perjalanan tapi selepas 10 menit kemudian ia mulai mengenal jalan yang mereka
lalui. Risa gembira karena rupanya ia masih mengingatnya, walaupun baru sekali melintasi jalan
ini. Kalau tidak salah ia melewati jalan ini sepulang dari rumah sakit dulu.
Tiba-tiba Risa tersadar. Tunggu! Tunggu dulu! Apakah keluarganya hendak membawanya
kembali ke rumah sakit tanpa sepengetahuannya? Risa berusaha tidak mempercayainya. Dari sini
ke RS butuh waktu 10 menit. Tidak mungkin, pikirnya. Dadanya serasa dihantam. Perasaannya
mengatakan bahwa itulah yang akan terjadi. Mendadak jantungnya berdegup kencang. Dengan
ngeri ia memandang Viko. Viko menatapnya tersenyum lalu menyadari ekspresi tak percaya di
wajah Risa. Senyum Viko langsung memudar, rupanya kaget karena Risa tampak sudah
mengetahui rencana mereka. Viko menggenggam tangan kanannya erat-erat seolah
menguatkannya.
Sepanjang perjalanan yang seakan berjalan cepat itu, Risa dan Viko saling berpandangan seolah
berbicara menggunakan telepati. Tisa masih tidak bisa percaya. Ia berusaha mengucapkan
sesuatu namun saking terkejutnya ia tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya ia memberanikan diri
bertanya.
“a...ayah?” tanyanya memberanikan diri, suaranya bergetar.
“kenapa Ta?” tanya ayah yang memandangnya dari kaca spion.
“oh, nggak. Nggak apa-apa.”
Begitu mendengar suara ayahnya, ia lngsung terdiam. Dia sudah kalah. Dia tidak bisa menentang
keinginan ayahnya. Tapi tetap saja sebagian dirinya tidak bisa menerima, tangannya gemetar. Ia
memandang Viko seakan bertanya ‘Apa yang harus kulakukab?’. Namun jawaban diam Viko
menandakan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Viko mengawasinya terus, takut ia akan berusaha
melarikan diri, sorot matanya sedih dan penuh rasa kasihan. Tak lama kemudian mereka sampai
di parkiran rumah sakit.
Lapangan parkir tampak padat seperti biasa walaupun jarang terlihat orang berlalu lalang. Viko
turun duluan lalu membuka pintu mobil di sebelah tempat duduk Risa, menunggunya. Risa
keluar dengan kaki goyah lalu memandang ayahnya.
“ayah. Kenapa ayah tidak memberitahuku?” tayanya meminta penjelasan. Ia merasa dikhianati.
“aku tidak mau yah. Ayah tahu itu.”
“ayah tahu,” jawabnya muram.
“lalu kenapa?” teriaknya putus asa. “ayah berjanji padaku.”
“kau juga telah melanggar janji Tata,” kata ayahnya dengan suara rendah.
“janji apa?”
“kau berjanji akan memberitahu ayah begitu kau merasakan sesuatu. Kau ingat?” kata ayahnya
mengingatkan. “ayo, ayah sudah memesan tempat untukmu.”
Risa tidak memungkirinya. Ia tahu telah berjanji seperti itu. Ia menurut saja digiring dengan
diapit ayah dan Viko. Tapi ia tidak mengatakannya semata-mata agar tidak dirawat di RS.
Bangunan RS tampak menjulang tinggi dan kokoh. Jendela-jendelanya tampak sepi dan dingin.
Di tengah jalan, ia melepas pegangan kedua pria itu. Sekarang air matanya merebak.
“ayah, kumohon... aku tidak mau. Benar-benar tidak mau,” pinta Risa serak, menggeleng
kepalanya kuat-kuat.
“ayah harus berusaha yang terbaik Ta supaya kelak ayah tidak menyesal. Ayah tidak bisa
membiarkanmu begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa,” kata ayah menahan tangannya,
setengah menariknya. Risa meronta tidak mau. “ayah mohon Ta. Sekarang giliranmu untuk
menuruti kemauan ayah.”
“tapi yah, aku tidak mau dirawat di RS,” kata Risa getir. Sekarang air matanya berlinang.
“tidak bisa Ta. Ayah akan menjagamu,” kata ayahnya berusaha menenangkan dan menariknya ke
dalam.
RS sama saja seperti penjara baginya. Ia tidak tahan membayangkan dirinya menghabiskan
waktunya di tempat ini. Melihat ayahnya berkeras, ia dengan kasar melepas pegangan ayahnya
lalu berpaling pada Viko di belakangnya yang merupakan satu-satunya harapannya. Jika harapan
terakhirnya ini tidak bisa maka ia tidak bisa apa-apa lagi.
“Viko. Viko. Kumohon Vik. Jangan bawa aku masuk,” kata Risa lemas sampai berlutut di
depannya. “tolong aku Vik. Aku mohon.”
Risa menarik-narik baju Viko, benar-benar memohon padanya, air matanya terus mengucur.
Viko sendiri tampak sedang tersiksa namun tidak punya pilihan.
“sudahlah. Kamu akan baik-baik saja,” katanya seraya mengangkat Risa berdiri. Risa menarik
kerah bajunya.
“APANYA YANG BAIK-BAIK SAJA,” bentak Risa, suaranya tercekat. “aku tahu Vik. Kalau
aku masuk, aku tidak akan pernah keluar.
Dadanya terasa sesak. Napas Risa sampai tersendat-sendat. Viko memandangnya dengan mata
berkaca-kaca seolah berkata ‘aku juga tidak mau memasukkanmu ke RS tapi kamu harus’. Viko
sedih melihatnya seperti ini. Dengan berat hati Viko merangkulnya.
“kamu akan baik-baik saja. Aku janji. Ayo, kamu tidak bisa seperti ini terus,” kata Viko
memantapkan diri, membawa Risa ke kamar perawatannya. Risa berjalan melalui koridor
panjang dengan perasaan hampa.
Ia tahu, sia-sia saja melawan. Ia diam saja dan menurut, sedapat mungkin tidak berbicara. Ia
takut hatinya akan semakin terluka. Lorong itu seakan tak berujung. Berada di sini justru
membuatnya ngeri. Sekarang ia tahu apa yang dirasakan Anita selama ini. Semua memang demi
kebaikannya. Padahal ia tidak keberatan, sama sekali tidak keberatan menahan rasa sakitnya.
Suster telah menggantikan bajunya sementara ayah dan Viko menunggu di luar lalu
menggiringnya naik ke atas tempat tidur. Selama ini baru kali ini ia merasa begitu tersiksa,
melihat keluarganya datang menjenguk dan menjaganya sedangkan ia hanya beristirahat tanpa
bisa melakukan hal yang diinginkannya. Sama sekali tidak bebas. Entah apa yag ditunggunya
selama berada di sini. Mungkin ia hanya bisa menunggu kematian datang menjemputnya dan
membebaskannya. Emosinya sudah mereda tetapi sekali-sekali air matanya menetes. Suster
keluar ruangan, ayah dan Viko masuk, memandangnya. Risa memlingkan wajah menatap langit
biru dan tumbuhan hijau di luar jendela.
“ayah akan menemui dokter Hasan sebentar,” ia mendengar ayahnya berbicara kepada Viko lalu
bergegas ke luar ruangan.
Sekarang tinggal mereka berdua dalam kamar itu namun Risa tidak menunjukkan tanda-tanda
menyadari kehadirannya. Ia menghapus air mata yang baru saja mengalir, menatap sedih ke luar
jendela.
“maafkan aku Risa..” kata Viko memulai. “aku tahu kamu tidak akan suka.”
Risa diam saja. Ia tidak ingin mendengar kata maaf lagi. Apalagi artinya permintaan maaf itu.
Risa menelan ludah dengan getir, menyadari nasib tengah melawannya.
“kamu boleh marah padaku, membenciku, tidak menghiraukanku. Aku tidak keberatan. Tapi
perhatikanlah dirimu,” kata Viko dengan suara sedih.
Risa menatap hampa ke depan. Ia memang sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun,
terlebih kepada mereka yang membawanya kemari. Namun ia tidak bisa membenci Viko.
Kenapa Viko harus berkata seperti itu di saat ia sedang berusaha membuat Viko jera dengan
tidak mengacuhkannya. Risa menarik napas teraur, menenangkan diri. Perlahan ia menguasai diri
dan menoleh ke arah Viko, menatap pria yang disukainya dan membandingkannya dengan saat
pertama kali ia bertemu Viko.
“di sini ya pertama kali kita bertemu. Kamu sudah banyak berubah.”
“eh?” kata Viko tak paham.
“pertama kali bermula di RS dan berakhir di RS pula,” kata Risa melanjutkan, mengabaikan
ekspresi tidak mengerti di wajah Viko. Lalu tanpa diinginkannya, ia tersenyum.
“oh...” komentar Viko bingung naun agak lega melihat Risa tersenyum.
“aku tidak akan memaafkanmu,” kata Risa tiba-tiba, raut wajahnya mendadak berubah menjadi
dingin. “suatu saat aku akan memintamu membayarnya.”
***
Satu minggu lebih berlalu tanpa kejadian berarti kecuali penyakitnya yang bertambah parah.
Setiap hari selalu sama, disuntik, minum obat, diperiksa dan hal-hal biasa lainnya. Risa
merasakan sakit hampir setiap hari. Rasa sakitnya serasa berlipat ganda disertai suasana hatinya
yang buruk. Sama sekali tidak ada kenangan indah yang menghiburnya. Pikirannya serasa
ditutup dalam kamar itu. Dokter rupanya telah memberinya suntikan pengurang rasa sakit.
Risa mudah sekali merasa lelah. Ia lebih sering tidur atau memejamkan mata di saat ia tidak
ingin berbicara. Ayah dan Viko hanya memandangnya putus asa. Mungkin segala pengobatan
dan fasilitas ini sedikit memperpanjang umurnya, tapi tidak dengan semangat hidupnya. Ia juga
tidak ada nafsu makan sehingga terpaksa diinfus.
Beberapa hari kemudian kesehatannya menurun drastis, ia sempat mengalami koma.
Perasaannya tak karuan, tubuhnya sakit sekali. Ia tidak berdaya. Dokter melakuka segala hal
yang menurutnya perlu dilakukan walau tidak banyak memberi perubahan.
Pada suatu malam, Risa bangun dari tidurnya. Ia melihat keluar jendela. Di sana, bintang-bintang
berkelip dengan indahnya seperti permata. Risa membatin apakah ia akan pergi ke sana setelah
meninggal. Lalu berpikir bahwa ia tidak keberatan menjadi bintang. Setidaknya orang-orang bisa
melihatnya di langit malam yang cerah. Ia geli sendiri, sejak kapan pikirannya jadi kekanakkanakan.
Ia menoleh dan melihat Viko sedang bergiliran menjaga malam ini. Viko mengatakan sesuatu
tetapi Risa seakan tidak bisa mendengarnya.
“bagaimana perasaanmu,” ulang Viko lebih keras di telinganya. Ia berada di dekatnya. Viko
menggenggam erat tangannya dan meletakkan di pipinya.
Risa tersenyum sebagai jawaban. Di luar kemauannya, ia memiringkan badannya ke kanan lalu
meraba wajah Viko dengan tangannya yang berselang infus. Mula-mula ia meraba rambutnya,
dahi, alis, hidung, pipi, bibir lalu dagunya. Lalu membayangkan wajah Viko dalam gelap. Ia
membuka matanya lagi lalu memandang wajah Viko dihadapannya.
Risa ingin sekali menangis, tangannya agak gemetar, tapi tidak ada air mata yang keluar. Hatinya
menjerit sakit sekali. Ia hanya bisa tersenyum. Senyumnya sedih dan memilukan. Walau ia tidak
berbicara satu patah kata pun namun tampaknya ia sedang bercerita banyak hal kepada Viko.
Viko menatapnya dengan mata merah, berusaha sebisa mungkin tidak menangis.
Risa mengangkat kalung di lehernya, sengaja menunjukkannya pada Viko. Kalung bentuk hati
yang istimewa. Ia mengingatnya dengan sangat jelas. Viko memberikannya pada hari
kepulangan ayahnya dari luar kota. Mereka pun tersenyum. Tanpa sadar Viko menitikkan air
mata. Risa mengusapnya, menggelengkan kepala seakan berkata ‘jangan menangis’ lalu
tersenyum.
Risa kembali mengatur letak tubuhnya, menengadah menatap langit-langit lalu mulai tertidur.
Risa mungkin sudah tertidur lamaa sekali. Ia tidak tahu. Yang diingatnya berikutnya adalah
suara-suara orang banyak memanggilnya. Dengan susah payah Risa membuka matanya perlahan.
Mula-mula kbur lalu menjadi jelas seolah ada yang menyorotnya dengan lampu. Ia melihat
orang-orang yang tidak dikenalnya atau lebih tepatnya orang yang dikenalnya tapi tidak bisa
dikenalinya. Pikirannya hampa saat ini.
“kamu bisa mendengarku?”
“dokter, bagaimana kedaannya?”
“kamu bisa mendengarku?”
“kenapa dia belum sadar juga dokter?”
“Anita, kamu bisa mendengarku?
“Anita kamu baik-baik saja? Anita kamu bisa mendengar ayah? Dokter, lakukan sesuatu.”
Suara-suara itu begitu ribut. Aku buka Anita, katanya dalam hati. Matanya mulai kabur lagi. Dia
bisa mendengar suara pria yang dikenalnya memanggil namanya diantara keramaian.
“Ris. Ris. Bangunlah Risa.”
Risa yang hendak menutup matanya kembali membuka mata namun penglihatannya sudah
sangat kabur sekarang. Ia bisa melihat sosok-sosok dalam bayang-bayang putih yang redup.
Viko.. ia di sini..? aku ingin melihatnya. Namun segigih apapun ia ingin melihatnya, matanya
tetap tidak bisa melihat jelas. Akhirnya ia menyerah. Ia bisa merasakan matanya perlahan
menutup. Kita akan bertemu lagi.
***
Viko tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Ia tak mau mempercayainya. Tanpa sadar ia
melangkah mundur setengah terhuyung, menjauhi tubuh adiknya yang terbaring kaku. Matanya
terbelalak kaget, ia menggeleng-geleng kepala tak percaya sampai merasa dirinya menabrak
dindng di belakangnya. Viko bersandar lemas lalu merosot ke lantai. Ia terduduk di lantai RS
yang dingin.
Tidak. Tidak mungkin. Ia tidak menyangka akan kehilangan secepat ini. Viko terhenyak
beberapa lama menatap dalam pandangan kosong ke tempat tidur di depannya, belum sembuh
dari keterkejutannya. Sementara itu dokter menunduk sedih karena tak mampu berbuat apa-apa
lagi. Ayahnya menjerit memanggil-manggil nama Anita sambil menangis tak karuan.
Tak lama kemudian dokter keluar diikuti suster di belakangnya. Sekarang ayahnya menarik
badan Anita lalu memeluknya sambil berkata sendiri dengan sedih. Rambut panjang adiknya
tergerai anggn, kepalanya terkulai di bahu ayahnya, tangannya menjuntai lemas di sisi tubuhnya.
Selama beberapa saat Viko mengira adiknya belum benar-benar meninggal. Tetapi setelah
menunggu lama dalam kekagetannya akhirnya ia tersadar... bahwa adiknya, lebih tepatnya Risa
tidak akan kembali.
“maafkan ayah nak. Ayah memang tak berguma...”
Viko tidak ingin terus berada di sini, menyaksikan segala kengerian ini. Dia harus pergi. Tak
peduli ke manapun. Yang pasti ia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Maka Viko bangkit
dengan kaki gemetar. Dengan limbung ia berjalan keluar. Berjalan dan berjalan... rasanya ia baru
tiba di luar RS. Cahaya matahari di siang hari menyilaukan matanya. Ia berjalan menuji tempat
parkir, hendak mengambil motornya.
Ia sangat sadar. Ia bisa melihat sekelilingnya dengan jelas. Sebelum tahu apa yang dilakukannya,
ia sudah mengendarai motornya di tengah keramaian lalu lintas. Tiba-tiba saja ia berada di
lapangan basket dan bermain seharian seorang diri. Ia tidak mempedulikan terik matahari yang
menyengat kulitnya atau keringat yang membasahi badannya. Ia terasa bermain tanpa henti
sampai sore. Dengan napas hampir habis, Viko duduk di kursi di ujung lapangan, menatap
lapangan kosong yang sama seperti keadaan hatinya saat ini.
Ia pergi tanpa berpamitan pada ayahnya. Ia tidak perduli. Ayahnya pasti sangat sibuk saat ini. Ia
tidak mau memikirkan apapun. Viko berusaha menutup pikirannya. Setidaknya ia berhasil tidak
memikirkan apa-apa selama beberapa jam kemudian. Dia memacu motornya dengan kencang di
sepanjang jalan mengelilingi kota, berharap angin dingin yang menusuk kulitnya membawa pergi
semua penderitaannya.
Viko belum pulang ke rumah, ia menghentikan motornya di tengah bukit yang sepi. Ia
memandang gemerlapnya lampu kota di bawahnya lalu merebahkan diri di lapangan berumput
yang landai. Tubuhnya kelelahan namun ia merasa belum cukup lelah. Viko memandang
hamparan bintang di atasnya, dikendalikannya, ia teringat Risa, betapa Risa suka memandang
bintang di malam hari. Bintang-bintang berkelip seakan tersenyum kepadanya. Tiba-tiba
kepalanya seakan meledak.
“Ris... haruska kamu pergi?”
Hatinya serasa sakit sekali dicabik-cabik. Sangat sakit. Jauh lebih sakit dari yang dirasakannya
sepanjang hari ini. Perasaan sedih yang ditahannya semenjak tadi keluar tidak bisa dibendung.
Air matanya mengalir. Dia tidak benar-benar tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang
berharga. Sesuatu yang dijaganya seperti menjaga nyawa sendiri. Sampai hari ini tiba.
“mengapa aku bahkan tidak isa mempertahankan apa yang aku miliki,” gumamnya pedih.
Andai saja waktu bisa diputar mundur, ia pasti akan menghargai dengan sungguh-sungguh.
Kemana perginya semua orang yang dicintainya. Mengapa mereka semua meninggalkan
sendirian.
Di saat ia tahu apa yang membuat hidupnya berani, apa yang membuatnya bersemangat, ia justru
kehilangan. Ia merasa bahagia berada di sisi Risa, hal yang tidak pernah dirasakannya selama ini
ketika bersama orang lain. Ia marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak mampu menjaga Risa
dengan baik. Padahal mereka baru saja saling terbuka.
“lalu apa artinya hidupku sekarang Risa?” tanyanya memandang langit yang jauh di atasnya. Ia
ingin dirinya ikut terbang ke sana.
“serahkan dompetmu anak uda,” sahut suara berat yang tidak dikenalnya tiba-tiba dari
kegelapan. Perlahan Viko bisa mendengar langkah kaki yang mendekat.
Viko bangkit dengan sigap. Di hadapannya tampak tiga wajah asing, dua diantaranya mengayunayunkan
pisau yang berkilap do kegelapan malam. Segera saja ketiga pria itu mengepungnya.
“cepat serahkan uangmu!” kata salah seorang yang berbadan besar sambil memain-mainkan
pisau di tangannya.
Viko yang tidak berminat berurusan dengan pria-pria ini, mengambil dompetnya lalu
menyerahkan isinya. Mereka tertawa senang, tampak puas.
“nah sekarang pergilah,” kata Viko bersabar.
“penampilannya tidak sekuat nyalinya,” kata pria kurus kering sembari mengitari Viko,
memandang penuh minat.
“serahkan juga kunci motormu. Cepat!” seru pria bertubuh besar sambil menodongkan pisau ke
arahnya.
Viko geram, ia mengepalkan buku-buku jarinya. Ia benar-benar malas meladeni mereka, namun
ia tidak punya pilihan.
“pergilah. Kalian sudah mengambil uangku,” ucap Viko ekarang tampak garang.
“o... mau nantang ya. Kita lihat saja...”
Detik berikutnya mereka menyerang Vik bertubu-tubi. Viko menghajar mereka satu persatu.
Salah seorang pria itu berhasil melukai tangannya dengan pisau. Viko balas memelintir
lengannya kuat-kuat sehingga pria itu menjatuhkan pisaunya. Lalu meninjunya. Ia menendang,
memukul dan menghantam yang lainnya dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Lima menit
kemudian pria-pria itu tumbang berguling kesakitan di rerumputan. Mereka mengumpat lalu lari
terbirit-birit tanpa menoleh ke belakang.
Napasnya memburu, jantungnya berdetak kencang. Viko melihat salah satu pisau mereka
tergeletak di dekat kakinya. Masih terengah-engah, Viko mengangkat dan memandang kedua
tangannya. Kulit pada buku-buku jarinya mengelupas dan berdarah saking kerasnya ia meninju
pria-pria tadi. Ia melihat lengannya yang tersayat lebar dan dalam, darah mengucur tanpa henti.
Anehnya, ia sama sekali tidak merasakan sakitnya.
Luka dalam hatinya jauh lebih sakit berkali-kali lipat dibanding luka akibat berkelahi. Viko
menyalakan motornya. Ia harus hidup. Ia tidak bleh begini terus. Mungkin ia telah kehilangan
segalanya. Hidupnya tidak akan seindah dulu. Namun, ia harus bertahan demi ayahnya. Ayahnya
juga sama menderitanya seperti dirinya. Mulai saat ini, dirinya merupakan satu-satunya orang
yang membuat ayahnya bertahan.
Benar kata Risa. Ia tidak benar-benar kehilangan Risa. Risa akan terus hidup dalam hatinya
selama ia masih mempunyai kenangan akan dirinya. Risa pernah datang dalam hatinya dan tidak
akan pergi dari situ. Viko memakai helmnya dan pulang kembali ke rumah.

Back To Can You See Me Epilog

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates