December 24, 2015

Can You See Me part 8

PENGAKUAN RISA
Ayah keluar dari ruang kerjanya pukul 7, tampak letih berjalan ke ruang keluarga, ke tempat di  mana Risa sedang duduk dengan tenang membaca novelnya. Ayah duduk terhenyak di sebelahnya, melepas kacamatanya, meletakkan di meja lalu memijat-mijat alisnya.
Risa menutup novelnya setelah memberi pembatas di dalamnya terlebih dahulu, menawarkan diri untuk memijat pundak ayahnya yang disambut anggukan setuju. Mereka berbincang seru tentang buku bacaan favorit mereka. Sedangkan Viko sedang menerima telpon dari teman kuliahnya,
enta siapa kali ini. Risa heran kenapa cewek-cewek tak henti-hentinya menelpon berjam-jam. Entah apa yang dibicarakan, sementara Viko menjawab ogah-ogahan sambil memelintir-melintir kabel telpon.
“met malem. Mimpi indah ya,” kata Viko mengakhiri pembicaraan di telpon sementara Risa mendengus tidak puas.
“makan malam hari ini semua non Tata yang masak,” jelas bik Ti seraya membawa piring-piring dan sendok ke meja makan.
Viko yang baru saja menutup telpon dan menggosok-gosok sebelah telinganya yang panas karena terlalu lama menerima telpon berdiri mematung tak percaya.brisa melihat pandangan kakaknya dan merasa dirinya diremehkan.
“kalau ada yang gak lapar juga gak perlu makan kok,” kata Risa keras-keras di tengah ruangan.
“wah wah, ayah malah tambah laper nih. Makan yuk!” ajak ayah kepada kedua anaknya sambil mengalungkan lengannya ke leher Risa, menggiringnya ke meja makan disertai tatapan senang Risa.
Viko menurut, duduk di kursi kosong, masih menatap Risa dengan pandangan heran dan mulai mengambil lauk d meja dengan ragu-ragu. Mereka mulai makan sambil ngobrol sesekali.
“ayah baru tau kau punya bakat masak. Waktu muda dulu, ayah pinter masak, gak kalah deh sama masakan ibu-biu,” kata ayahnya bersemanga. “o iya Ko, sebentar lagi pergantian semester
kan? Menurut ayah sih gak perlu ngambil sks berlebih walau nilainya bagus, santai saja, yang penting selesai. Mahasiswa ayah kebanyakan pinter, ngambil sks diatas rata-rata yang kebanyakan diambil mahasiswa umumnya, eh malah kelabakan sama tugasnya. Akhirnya
nilainya malah turun di semester itu, stress berat.”
“ok yah, Viko menikmati hidup kok, gak keburu-buru. Empat tahun lebih dikit cukuplah. Kehidupan kampus kan gak selamanya bisa dialami,” jawab Viko.
“terutama cewek-ceweknya maksudnya,” sahut Risa mencibir. Ayah tersenyum geli dan menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya.
“ehm jelas. Di kampus, kakak tuh ibarat selebriti. Banyak cewek yang antri jadi pacar kakak, gak perlu repot-repot nyari, tinggal pilih,” katanya seraya menegakkan tubuh dan membusungkan dada seakan menjadi orang penting.
“kok gak ada yang jadi pacar kakak?” tanya Risa protes, teringat surat cinta Vivi, tanpa terasa meremas gelasnya dengan kencang.
“masalahnya kalo udah pacaran, mesti serius satu sama orang. Gak bisa ngobrol sama cewekcewek lain, gak seru dan gak bebas. Ntar cemburulah, marahlah, ngambeklah, minta diperhatiinlah, gak selese-selese, capek,” tuturnya sambil mengacung-acungkan garpunya
berputar-putar di udara.
“enak ya jadi orang muda, kalo tua tinggal keriput doang sisanya,” sahut ayah. “lusa ayah ada seminar di luar kota sama dosen yang lain juga. Ditambah hendak mengunjungi kenalan ayah.
Ayah pergi kira-kira seminggu, kalau bisa ayah akan pulang cepat. Viko, jaga adikmu ya. Tata mau oleh-oleh apa?”
“asiiiikk, oleh-oleh ya, enaknya apa ya...,” renung Risa bingung. “apa aja deh yah.”
“lho?! Viko juga mau, masa disuruh jaga Tata terus, udah kayak anjing penjaga gak dikasih apaapa sih,” tuntut Viko tidak mau kalah.
“ha ha ha, kupikir kamu gak akan minta. Kamu mau apa Viko?” tanya ayah.
“biasa yah mentahnya aja, duiiit, buat nambah uang jajan. Ya? Ya? Ya?” pinta Viko penuh harap sambil memberi isyarat dengan tangannya, alisnya bergerak naik turun.
“dasar MATA DUITAN!” timpal Risa.
“eh daripada lo, MATA BARANGAN!” balas Viko puas.
Kehabisan kata-kata Risa menusuk kentang gorengnya dengan energi berlebihan lalu menjejalkannya ke mulut, berusaha tidak menatap wajah Viko yang penuh kemenangan.
“sudah, sudah, kalian ini suka ribut akhir-akhir ini. Tapi ayah tau kalo kalian sebenarnya akrab. Ayah memang sibuk jadi ayah senang kalau kalian saling membantu,” kata ayah menenangkan mereka.
Risa dan Viko terdiam mendengar ucapan ayahnya ini. Risa tidak berani membayangkan apa yang terjadi bila berkurang lagi satu penghuni rumah ini. Selanjutnya mereka menghabiskan makan malam dalam diam, ayah terlebih dahulu selesai dan beranjak ke kamar tidur.
“jelek!” desis Risa kepada Viko.
“dasar pikachu!” balas Viko.
“ap? Apa? Pikachu?” Risa langsung bangkit berdiri lalu menarik napas dalam dan menenangkan diri. Secepatnya ia membereskan piringya tanpa suara ke dapur lalu masuk kamarnya. D meja makan, Viko duduk terdiam. Ia terus mengawasi sampai pintu kamar Anita menutup,
bertanya-tanya sendiri apa gerangan yang terjadi denga adiknya dan dirinya sendiri. Kenapa dia jadi suka menggoda adiknya, ada yang aneh, pikirnya. Anita adik yang baik, tegar bila menyangkut ibunya, biasanya pendiam dan serius, kadang-kadang sering emosi gara-gara
penyakitya, mengalihkan perhatiannya pada buku pelajaran.
Ia dan ayahnya sering menghibur Anita bila sedang sedih, memberinya dukungan dan menguatkannya. Tapi Anita yang sekarang begitu lain, periang, penuh semangat dan tenang.
Yang lebih membingungkannya adalah sorot mata adiknya saat menatapnya yang tidak bisa dilukiskannya dengan kata-kata. Viko tidak mengerti penyebab perubahan drastis pada adiknya ini.
***
Esok paginya, Risa sibuk membersihkan gudang. Banyak barang ditemukannya sehingga ia setengah melupakan tugas bersih-bersihnya. Ia lebih tertarik melihat-lihat barang –barang bekas di sana. Ada boneka beruang berukuran besar, masih bagus Cuma tampak kusam. Ada tumpukan koran bekas, buku-buku lama.
“uhuk uhuk, hem ehem,” Risa terbatuk-batuk, mengibas-ibaskan tangannya, debu beterbangan di sekitarnya ketika mencoba membuka lemari tua. “moga-moga gak ada kecoak. Aku paling benci kecoak.”
Di dalam lemari yang gelap itu terdapat tumpukan beberapa helai baju dan... perhatian Risa teralih pada kilau plastik manik-manik putih pada baju di dalamnya. Risa segera mengambilnya.
Baju di dalamnya terbungkus plastik tebal dan kelihatan seperti masih baru. Ternyata ini sebuah baju pengantin. Sungguh penemua yang mengejutkan.
“wow...” gumamnya terpana seraya membalik-balikkan baju yang sangat tebal itu. “coba ah.”
Ia belum pernah mencoba memakai baju pengantin. Risa begitu bersemangat sehingga hampir tersandung dalam ketergesaannya ke kamarnya. Tampa melepas pakaiannya terlebih dahulu, ia
langsung memakainya. Yup ini seukuranku, agak besar dikit, pikirnya gembira. Benar saja, baju itu tampak cocok dengannya. Risa asyik berputar-putar, memandangi bayangan dirinya di cermin ketika pintu terbuka.
“Ta, ayah berangkat sekarang, udah dijemput....” kata-kata ayahnya terputus melihat pemandangan tak terduga di hadapannya.
“eh maaf Yah, tadi gak sengaja nemu ini jadi langsung kucoba,” jelas Risa, buru-buru merapikan baju yang dipakainya.
Tapi ayahnya tampak tidak keberatan, sebaliknya memandang tercengang Risa selama beberapa saat.
“kau cantik sekali, mirip ibumu. Ko, Viko, sini bentar,” teriak ayahnya memanggil Viko. “sini Ta, gandeng lengan ayah.”
Ayah rupanya bernostalgia dengan berdiri di samping Risa seolah-olah menjadi pasangannya. Risa menggandeng lengan ayahnya, sambil menatap cermin, ia berpikir seandainya saja ia bisa mengenakan baju pengantin pada acara yang sebenarnya dalam hidupnya. Mendadak ia menatap wajah orang lain dari cermin dihadapannya lalu berbalik menoleh ke belakang. Viko muncul diambang pintu, tampak kaget sekaligus memandangnya terkagum-kagum. Terdengar klakson
mobil, ayahnya tersadar dan buru-buru hendak keluar.
“aduh sampai lupa. Jaga diri baik-baik ya, nanti malam ayah telpon,” kata ayah menepuk kepalanya lalu mencium kening Risa, memeluk singkat kedua anaknya bergantian dan menghambur secepat kilat.
Viko masih memandangnya takjub, ekspresi sayang terpancar dimatanya. Jangan memandangku seperti itu! Jangan menatapku seperti itu! Aku bukan Anita! Bukan Anita!
Aku Risa! Risa! Lalu ia segera melepaskan baju itu, kegembiraan yang tadi dirasakannya telah lenyap begitu cepat digantikan kesedihan.
“lihat apa?!” kata Risa ketus seraya membawa gaun itu dengan kedua tangannya, bermaksud mengembalikannya ke tempat semula. Dia melewati Viko begitu saja, matanya berkaca-kaca.
Dia cepat-cepat berjalan tampa menengok ke belakang. Tidak, tidak, jangan menangis, batinnya. Jangan sekarang. Dasar bodoh! Hatinya terasa pedih. Namun Risa tidak bisa menahannya lebih
lama lagi, air mata sekarang mula mengalir ke pipinya.
Risa tidak sadar, viko rupanya sepintas memperhatikan mata Risa berkaca-kaca. Viko membatin apakah Anita bgitu rindu pada ibu mereka. Tetapi kenapa Tata harus menatapnya seperti itu, belum lagi Tata tampaknya menjaga jarak dengan dirinya lebih daripada sebelumnya. Mengapa hanya ia? Mengapa tidak demikian terhadap ayahnya?
***
“akhirnya selesai juga,” kata Risa lega setelah memberi pita pada permen bintangnya yang trakhir. Risa menggenggam permen bintangnya, menatapnya seperti janjinya sewaktu ia baru datang beberapa hari kerumah ini, ia akan meletakkan bintang-bintangan yang dikemas seperti
bentuk peermen ke dalam toples kaca setiap tiga hari sekali.
Setiap malam Risa membuat bintang-bintang dari kertas kado yang berbeda, semuanya berwarna pastel, berwarna-warni dan terkesan ceria. Toples kacanya sekarang hampir penuh, Risa sengaja
meletakkan toples itu ditengah meja ruang keluarga yang kosong supaya semua orang, terlebih dia sendiri, dapat sering-sering memandanginya. Ini sekedar untuk mengisi waktu luangnya. Di samping itu, Risa diam-diam menaruh harapan pada setiap permen bintang yang dibuatnya.
Harapan agar ia, Viko dan ayah dapat selalu bersama. Ia sangat menyukai keluarga ini dan tidak menyesal harus berakhir dengan meninggalkan mereka. Toh ia telah diberi kesempatan mengenal
mereka.
Akhir-akhir ini, kondisi tubuhnya melemah. Ia mudah merasa pening, pandangannya kadang kabur seperti hendak pingsan, badannya nyeri dan lemas. Risa sekarang jarang keluar rumah, takut kalau-kalau terjadi apa-apa di luar. Di rubuhnya mulai muncul lebam kebiruan.
Ia sering tidur lebih awal sambil menahan rasa sakit di badannya. Ia membenamkan kepalanya pada bantal dan memekik kesakitan dalam suara teredam. Tubuhnya serasa memberontak.
Namun ia tidak ingin tampak lemah di depan Viko. Ia tidak ingin Viko memandangnya penuh rasa kasihan.
Saking asyiknya melamun, Risa lupa kalau diluar masih hujan, semakin deras malah. Ia memastikan jendela kamarmya sudah tertutup rapat supaya tidak ada air yang masuk sebelum akhirnya keluar kamar hendak menyimpan permen bintangnya yang terakhir. Risa tidak mendapati toples kacanya diruang keluarga lalu bertanya pada Bik Ti yang sedang menggosok baju. Bik Ti menggeleng tidak tahu. Ayah masih diluar kota, berarti satu-satunya orang yang belum ditanyainya adalah Viko.
Ia membuka kamar Viko tanpa mengetuk terlebih dahulu. Lampu kamar Viko dimatikan, satusatunya penerangan berasal dari lampu tidur di kedua sisi tempat tidur Viko. Jendela kamar itu mengeluarkan bunyi berisik akibat guyuran hujan deras. Ia melihat kakaknya duduk di lantai
memainkan gitarnya sambil merenung memandang toples kaca berisi bintang di meja sebelahnya, entah apa yang dilamunkannya. Cahaya dari luar ruangan menerobos masuk, Viko menoleh kaget dan melihat Anita telah berdiri di pintu.
“disini rupanya, kucari-cari dari tadi,” kata Risa seraya melintasi kamar Viko tanpa basabasi,
meraih toplesnya dan meletakkan permen bintang dibawanya, memandang sejenak dan hendak membawanya keluar kamar.
“Ta?” panggil Viko pelan, “kamu nggak pengen ngobrol bentar?”
Risa berhenti mendadak, merasa tidak bisa terus menerus menghindar, memberanikan diri kemudian duduk berhadapan dengan kakaknya. Dengan kaku ia membuka percakapan.
“ayah belum telpon juga ya? Kira-kira disana turun hujan gak ya?” tanya Risa yang sengaja menatap jendela kamar kakaknya. Mendengar suara Viko yang berat dan dalam saja sudah membuat hatinya mencelos.
“akhir-akhir ini kamu aneh Ta, dulu kita sering kumpul bareng,” kata Viko tidak menghiraukan pertanyaan Risa. “sepertinya kamu sengaja menjauh dariku. Melihatmu seperti ini, aku justru tambah cemas. Sebenarnya kamu kenapa sih Ta? Bahkan memandangku pun tidak.”
Risa agak gemetar, jantungnya berdebar kencang, pembicaraan seperti inilah yang ingin dihindarinya selama ini. Toples kaca dalam pangkuannya dipeluknya erat-erat. Berusaha tidak tampak gugup, ia perlahan memandang Viko.
“Nggak kok, Tata baek-baek aja,” kata Risa manis, tersenyum ganjil.
“jangan bohong. Kita besar bersama. Aku tau akhir-akhir ini ada yang gak beres. Kamu gak perlu menyembunyikan sesuatu sama kakakmu,” kata Viko, seraya menyandarkan gitarnya disampingnya.
“apa misalnya?” sahut Risa yang sekarang menatap toplesnya lekat-lekat.
“hm.. penyakitmu misalnya. Kau merasa tidak baik?”
Tiba-tiba Viko beranjak dari tempatnya dan mendekapnya erat-erat dalam pelukannya seakan menghibur adik kesayangannya. Ia sama sekali tidak siap untuk hal ini, napasnya tertahan, jantungnya serasa berhenti berdetak, ia tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
“TIDAK!!” bentak Risa sembari mendorong kakaknya kuat-kuat. Terdengar bunyi ‘duk’ keras saat Viko terdorong menatap dinding.
Keheningan yang memenuhi ruangan dipecahkan oleh suara detak jam weker di meja dan terpaan air hujan yang mengguyur jendela.
“KENAPA SIH TA?” bentak Viko kaget, menahan sakit akibat benturan punggungnya dengan dinding, tangannya meraba belakang punggungnya yang kesakitan. Viko rupanya tak menyangka adiknya berbuat seperti ini terhadapnya.
Risa tidak bermaksud mendorongnya, ia sama sekali tidak bermaksud demikian. Ia hanya terkejut, tak tahu harus berbuat apa dan tidak bisa menahan diri. Anita, Anita, Anita, kata-kata itu terngiang-ngiang dalam kepalanya. Ia tidak tahan terus menerus dipanggil dengan nama itu.
“AKU BUKAN ANITA!” teriak Risa sama kerasnya sambari menekankan kedua tangannya di telinganya, seolah dengan berlaku demikian ia tidak akan mendengar nama Anita dalam kepalanya. “oh tidak. Tidak. Bukan itu maksudku.”
Kata kata itu terucap begitu saja dari mulutnya, nada suaranya jelas-jelas kacau. Ia sendiri terkejut mendengarnya. Risa berusaha berdiri, tubuhnya gemetar, napasnya sesak. Perlahan matanya berkaca-kaca.
“Ap? Apa? Tentu saja kamu Anita!” jelas Viko yang sekarang bangkit, mengulurkan tangannya memegang bahu Risa, hendak menenangkannya.
“JANGAN SENTUH!” bentak Risa seraya menepis tangan Viko dengan tangan kirinya yang bebas. Tangan kananya masih memeluk erat toples kaca. “sudah ku...katakan... aku...bukan Anita. Aku Risa, hanya... itu yang kutahu.”
Sambil berkata demikian , airmatanya menetes. Risa mengguncang hebat, suaranya ikut bergetar. Ia terisak sedangkan air matanya mengalir tanpa henti selagi menatap wajah Viko yang penuh kekagetan. Kemudian ia berusaha menjelaskan hal yang dialaminya, hatinya kalut.
“aku..tidak tau ba.. bagaimana bisa berada dalam.. tubuh adikmu sejak di RS. Aku tidak mengenal kalian..., juga segala hal tentang Anita. Tapi aku tahu pasti bahwa namaku Risa. Aku bukannya berkepribadian ganda. Aku bingung harus bagamana karena selain namaku, aku tidak
ingat asal usulku,” jelas Risa. Perlahan ia melangkah mundur menjauhi Viko kearah pintu, berusaha menahan tangisnya.
Viko kelihatannya hendak mengatakan sesuatu, mulutnya bergerak-gerak, tapi tidak ada kata yang terucap. Viko hendak mendekatinya tapi segera mengurungkan niatnya mengingat Risa sangat kacau.
“aku tidak tahan kau terus menerus menganggapku sebagai Anita karena... karena... tanpa sadar... ak... aku.. menyukaimu.. jangan membuatku lebih merasa bersalah,” kata Risa cepat,
menatap Viko lekat-lekat. Tanpa berlama-lama lagi ia berbalik, membuka pintu dan berlari keluar.
Risa mengatur napasnya, berhenti diruang keluarga dan meletakkan toples. Ia tidak ingin memikirkan apa-apa termasuk kejadian yang baru saja terjadi. Ia beranjak menuju kamarnya namun mendadak tubuhnya lemas. Ia roboh ke lantai, matanya berkunang-kunang. Ia hendak
memanggil seseorang namun tidak mampu bersuara. Tak lama kemudian ia tidak sadarkan diri setelah sebelumnya mendengar jerit kaget bik Ti yang menggema diseluruh rumah.
***
Kemarin ayahnya berangkat keluar kota. Viko juga sudah libur sehingga ia bisa bersantai dirumah. Ia tidak pergi bersama teman-temannya karena harus menjaga Tata, siapa tahu nanti ada apa-apa. Ayahnya sudah berpesan kepadanya, ia juga tidak ingin merasa tidak bertanggung
jawab dan didera perasaan bersalah.
Viko menerima kiriman VCD film dari pengantar kaset yang mengantar dari toko tempatnya berlangganan.
“terima kasih ya pak. Kalo ada film baru lain, kirim besok ya,” kata Viko berpesan ketika pengantar kaset itu menyalakan motornya hendak pergi.
“beress, jangan kuatir,” sahut pria muda itu.
Viko menutup pagar, melihat-lihat judul fil dari tumpukan film ditangannya. Ia meminjam film serian, ada juga yang film-film bioskop. Siip, ia bisa menonton film-film ini seharian. Dengan langkah riang ia masuk kerumah dan meletakkan sewaannya di samping TV. Ia hendak memutar salah satu filmnya ketika tiba-tiba tersadar.
“oh iya, tadi aku kan lagi nyari kaos merahku. Kok gak pernah kelihatan ya,” gumam Viko teringat kaos kesayangannya. “biik. Biiik..”
Viko memanggil-manggil bibik, memandang berkeliling rumah seakan mengharap bibik keluar dari dapur, kamar, kamar mandi atau tempat lain.
“bibik lagi ke pasar. Kamu sih bangunya kesiangan,” jawab Risa yang baru keluar dari kamarnya, tangannya memegang gelas berisi coklat yang hampir habis.
“buat apa bangun pagi-pagi. Namanya juga libur,” balas Viko. Ia menyalakan DVD playernya.
“pinjam film apa?” tanya adiknya tertarik, melihat-lihat tumpukan film sambil meneguk habis minumannya. “Tau gitu aku nitip tadi.”
“mau titip apa? Besok orangnya nganter lagi, nanti biar kutelpon,” kata Viko sungguh-sungguh.
“apa ya... bentar-bentar. Shrek 3, incredible, madagaskar, the corpse bride, hmm.. apa lagi ya,” pikir Tata bersemangat. Mulut Viko sampai menganga memandangya.
“itu kan film anak-anak, ngapain dipinjam?” tanya Viko tak percaya lalu memberi usulan.
“nonton yang 17 tahun keatas aja kenapa.”
“itu juga termasuk 17 tahun keatas! Bagus kok. pokoknya aku mau besok dikirim,” kata Tata tegas, mengabaikan protes Viko.
“tap.. tapi.. masa aku ikut nonton film level anak-anak sih,” gumamnya.
Risa meletakkan tumpuka film ke tempat asalnya dan beranjak ke dapur. Viko setengah berpikir bagaimana kalau ia mminta adiknya membuatkan camilan. Kan cocok selagi nonton film. Maka dari itu Viko berjalan menyusul adiknya mengendap-endap lalu memeluk adiknya dari belakang.
“adiiikk,” kata Viko bermanis-manis, hendak membujuk Tata. Namun sebelum ia hendak mengatakan niatnya, pikirnya teralih oleh bunyi barang pecah di dekatnya.
Risa menjatuhkan gelas kosong ditangannya saking terkejutnya, membuat pecahannya bertebaran di lantai yang licin. Ia kaget setengah mati sekaligus panik karena dikejutkan Viko.
“ati-ati,” kata Viko spontan, menjauhkan adiknya dari pecahan gelas. Anita menatapnya galak.
“Viko! Kamu bikin orang kaget aja,” katanya lantang, tangannya gemetaran. “ngapain sih?!”
“udahlah gak penting. Kamu pergi cari sapu sana. Biar aku yang beresin ini,” perintah Viko, ia membungkuk dan mulai mengumpulkan pecahan kaca yang besar-besar.
Adiknya menurut, tak lama kemudian kembali membawa sapu dan pengkiki. Viko meraih sapu dan membersihkan kumpulan kacanya tadi.
“sini biar aku bantu,” kata adiknya tak mau kalah. Viko hendak mencegahnya, namun Tata terlanjur mengambil pecahan kaca yang lembut di bawah meja. “aduh.”
“nyerah deh, kamu aja yang bersihin. Aku mau bikin popcorn,” kata Tata biasa-biasa saja lalu beranjak ke dapur.
“dasar ceroboh,” kata Viko menggeleng-geleng kepala. Viko menyambar tangannya sementara Tata meronta hendak melepaskan pegangannya, jari tata yang terluka gemetar. “diobatin dulu tangannya.”
“iya tau. Lepasin dong,” kata Tata sambil menatapnya agak malu, pergelangan tangannya meronta hendak melepaskan diri. Viko sengaja menahannya, geli melihat ekspresi adiknya yang gelisah. “LEPAS!”
Viko melepasnya kaget. Adiknya menghambur cepat ke dapur. Adiknya memang galak, pikirnya.
“mungkin aku keterlaluan menggodanya,” gumam Viko, kembali menyapu lantai dengan hatihati, dalam hati merasa senang.
Setelah kejadian itu, Tata tidak mengajaknya bicara seharian. Adiknya juga tidak menonton film yang sudah dipinjamnya, asyik membaca terus di kamar. Mungkin masih marah kepadanya.
***
Hari berikutnya berlanjut dalam keheningan, kecuali celoteh bibik yang berkepanjangan. Mereka menghabiskan waktu untuk makan bersama dalam diam. Tata sudah tidak berlaku sedingin biasanya kepadanya, walau tetap saja situasinya agak kaku. Viko berkali-kali meliriknya,
mengamati apa saja yang tengah dilakukannya. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi adiknya
tampak pucat dan tidak sehat seperti kurang tidur.
“film pesananmu sudah datang, tuh aku taruh disana,” kata Viko memberitahunya, menunjuk
kiriman film baru dsebelah TV dengan dagunya.
“iya nanti aku tonton,” kata Tata sambil mengunyah nasinya. “kakak mau nonton juga?”
“enggak deh, maen komputer aja,” jawab Viko, teringat akan permainan balap mobilnya yang
sudah jarang dimainkannya.
“non, coba deh cicipi perkedel buatan bibik ini,” kata bibik sambil menyodorkan sepiring
perkedel yang baru digoreng.
“nggak bik makasih. Tata udah makan,” tolak adiknya.
“lho non, nasinya kan belum habis,” kata bibik histeris, melihat piring makan yang masih terisi
setengah.
“nggak ah. Aku udah kenyang. Gak muat,” jawab Tata enggan.
“makannya dikit banget Ta,” tegur Viko. “biasanya kamu kan makan terus kayak dinosaurus.”
“ye.. kata siapa,” sahut Tata mencibir. Ia menyetel film pesanannya dan membaringkan diri di
sofa, menonton dengan asyik.
Sementara itu bibik dan Viko hanya saling pandang tidak mengerti.
“kenapa ya den, non Tata akhir-akhir ini gak ada nafsu makan?” bisik bibik saat membelakangi
kursi Tata.
Viko hanya mengangkat bahu. Bibik menghela napas cemas.
Tanpa terasa Viko telah bermain selama dua jam. Di seberang taman, Viko bisa melihat bibik
sedang memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci. Matanya penat, ia membunyikan
buku-buku jarinya lalu bangkit berdiri hendak ke kamarnya. TV masih menyala tetapi ketika
Viko melihat adiknya, Tata rupanya sedang tertidur. Viko merasa prihatin.
“capek sekali ya?” gumamnya. Padahal adiknya tidak banyak melakukan kegiatan hari ini.
Viko mengambil selimut dari kamar Tata dan menyelimuti adiknya dengan selimut tebal. Kalau
sedang tidur begini, adiknya seperti anak manis yang polos. Viko memandangnya sejenak,
berpikir.
“kenapa kamu menolak berobat?” tanya Viko dalam seakan ingin memperoleh jawaban langsung
selagi menatap wajah polos adiknya.
Viko ganti menonton TV dan duduk di sofa panjang satunya sambil memperhatikan adiknya. Di
luar hujan rintik-rintik mulai turun menimbulkan bunyi gemerisik sewaktu memercik menimpa
helai-helai daun di taman. Sore yang tenang, pikirnya.
Tidur Tata gelisah. Kadang adiknya bergerak-gerak sampai Viko takut ia tergelincir jatuh.
Kadang bergumam tidak jelas yang lebih menyerupai rintihan. Viko mulai khawatir. Ia bangun
dari sofanya dan duduk berjongkok di sebelah adiknya. Ia meraba kening adiknya, keringat
dingin membasahi wajah dan leher adiknya.
“ta? Ta? Ta?” panggilnya pelan.
Tata terbangun setengah mengantuk.
“um.. jam berapa?” tanya adiknya, matanya menyipit silau habis bangun tidur.
“sudah jam 5. Kamu tidur di kamar aja. Disini dingin.” Saran Viko khawatir.
Mendadak adiknya bersikap sigap dan menatapnya dengan pandangan menuduh.
“ngapain kakak disini? Tanyanya ketus. “sejak kapan?”
“nonton TV. Emangnya aku mau duduk disampingmu terus kayak gini,” balas Viko tersinggung
karena adiknya tampak anti.
Tata menyadari nada suara Viko sehingga tidak berkata apa-apa lagi. Ia lalu menyibak selimut
dan menentengnya kembali ke kamar.
***
Viko tidak tahan dengan kelakuan Anita. Sekarang ia bisa memastikan bahwa Tata memang
menghindarinya. Tapi kenapa? Sekarang adiknya seperti sedang menyembunyikan rahasia
darinya. Viko yang tidak mengetahui apa yang dipikirkan adiknya, merasa serba salah. Adiknya
tidak pernah berlaku dingin terhadapnya. Memang tidak ungkin Tata membencinya. Bila
dibandingkan dengan Tata yang dulu, Tata bersikap jauh lebih ramah dan terbuka terhadapnya,
tidak serba rahasia.
Viko menimbang-nimbang apakah penyakitnya mulai parah lagi sehingga emosi adiknya
menjadi labil. Tapi apa salahnya sehingga ia patut dijauhi. Masa sih Tata iri dengan
kesehatannya. Kelihatannya semua ini tidak berhubungan dengan penyakit adiknya.
Bila mengingat-ingat waktu yang lalu, Tata tidak sepenuhnya menghindarinya. Pada suatu
kesempatan Tata justru tampak dekat sekali dengannya, seperti saat ia mengalami kecelakaan dan bila bertengkar mulut. Ada lagi yang aneh, tatapan Tata kepadanya yang berubah-ubah.
Kadang sorot matanya tampak terluka, kadang sedih, kadang seperti merindukan sesuatu, kadang seperti hendak menanyakan sesuatu.
Viko berkali-kali berusaha mendekati adiknya namun sia-sia saja. Tata rupanya bertekad bersikap seperti biasa walau Viko tahu sikapnya itu hanya untuk menutupi keganjilan ini.
Herannya, Viko juga jadi tidak sabaran. Dari waktu ke waktu ia melihat adiknya seperti orang lain saja.
Ia sendiri tidak mengerti kenapa tindakannya jadi begitu emosional. Wajar kalau suatu kali adiknya tidak akrab dengannya. Tapi ini beda. Viko tidak terima dijauhi oleh adiknya. Kelakuan Tata berubah semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Mungkin bibik tidak menyadarinya.
Sedangkan ayahya menganggap Tata berubah karena tidak terbiasa diam dirumah atau karena Tata sedang mengalami masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Masalahnya mana ada sih orang
yang berubah drastis dalam waktu singkat.
***
Baru saja Viko menggotong adiknya yang pingsan ke kamarnya. Betul dugaannya, kondisi adiknya semakin lemah. Entah sampai kapan bisa bertahan. Viko memandangnya sedih. Tadi ia berdebat seru di kamarnya. Viko masih belum bisa menerima bahwa adik yang terbaring di
depannya kini bukanlah adiknya, melainkan orang lain. Viko tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi, namun memang benar bahwa sifat adiknya berubah total. Inilah penjelasan yang masuk akal kenapa adiknya bertingkah aneh.
Di luar, hujan masih turun dengan derasnya membuat suara kendaraan yang lewat di depan rumah mereka teredam. Kalau begitu apakah ia salah telah memperlakukan orang ini sebagai adiknya selama ini? Kenapa Risa tidak memberitahunya sejak awal? Tidak. Aku tidak akan
percaya kalau ia mengatakannya sejak dulu. Kalau aku jadi dia, aku pasti tidak bisa mengatakan sejujurnya, pikir Viko.
Benarkah orang ini bukan adiknya? Benarkah jiwa di dalamnya lain? Lalu dimanakah Anita?
Bagaimana keadaannya? Bagaimana mungkin selama ini ia tinggal dengan orang yang berbeda.
Ia kan tidak mengenalnya. Tapi benarkah ia tidak mengenalnya. Bukankah selama ini ia tahu
betul sifat-sifatnya, sampai-sampai sempat membuatnya tertarik. Tapi... Risa itu sebenarnya
orang yang bagaimana...
Ya, tanpa sadar dirinya telah tertarik pada anak ini. Selama ini ia memungkirinya karena tahu betul ia menyukai adiknya sendiri. Jadi ia merubah perasaan itu menjadi perasaan ingin
melindungi dan menjaga adik kesayangannya. Namun setelah tahu bahwa adiknya bukanlah Anita melainkan Risa, ia menjadi tahu bagaimana harus bersikap padanya. Bukankah sulit mencintai seseorang yang berada dalam tubuh orang yang dikenalnya. Perasaannya akan
bercampur aduk. Mungkin inilah yang membuat Risa tidak tahan. Ia tidak keberatan tidak mengetahui siapa Risa, seperti apakah dia. Toh Risa bersikap terbuka terhadap keluarganya selama ini.
Dari tadi dia memikirkan dirinya terus, bagaiman dengan perasaan Risa. Risa pasti tertekan
mengalami semua ini, tidak ingat asal usulnya, kenyataan penyakit yang di deritanya pasti
membuatnya merana. Apa yang sedang terjadi disini, semuanya terdengar aneh, membuat kepalanya sakit karena berpikir keras. Walaupun begitu, Risa sama sekali tidak menunjukan
tanda-tanda sedih atau marah. Selama ini Risa justru tampak ceria, bawel, pelit, galak dan ketus, pikir Viko sambil tersenyum sendiri. Di samping itu ia juga sangat perhatian. Begitu cepatnya ia
beradaptasi dengan keluarganya.
Entah suatu keanehan atau entah suatu keajaiban bagi Viko. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Aku harus bagaimana, pikirnya.
“Risa... kau sampai segitu sedihnya tadi,” kata Viko dalam bisikan, menatap adiknya yang masih tertidur, “maafkan aku. Aku pasti membuatmu menderita.”
Akhirnya ia bisa menemukan perbedaan rasa sayangnya terhadap Anita dan terhadap Risa. Rasa
sukanya jelas berbeda. Masalahnya sekarang, akankah ia akan kehilangan Risa juga di saat ia
baru menyadari perasaannya ini. Bagaimana ia harus berbicara kepada Risa nanti? Apa yang
harus di katakannya? Ia takut akan bersikap lain kepada Risa. Yang pasti ia harus memperbaiki
salah paham di antara mereka selama ini.
Viko mengenang kembali saat-saat semenjak adiknya sadar di RS hingga saat ini. Kadang ia tertawa, kadang malu sendiri, kadang merasa diriya bodoh. Belum lagi kejadian di kamar mandi
waktu dulu, ia merasa kehilangan muka saking malunya. Sudahlah, toh semuanya sudah berlalu.
Bukan main, kehadiran Risa di rumahnya telah memberi berbagai macam kenangan yang berkesan baginya.

Back To Can You See Me Prolog

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates