Can You See Me part 8
PENGAKUAN
RISA
Ayah keluar dari
ruang kerjanya pukul 7, tampak letih berjalan ke ruang keluarga, ke tempat di mana Risa sedang
duduk dengan tenang membaca novelnya. Ayah duduk terhenyak di sebelahnya, melepas
kacamatanya, meletakkan di meja lalu memijat-mijat alisnya.
Risa menutup novelnya
setelah memberi pembatas di dalamnya terlebih dahulu, menawarkan diri untuk memijat pundak
ayahnya yang disambut anggukan setuju. Mereka berbincang seru tentang buku bacaan favorit
mereka. Sedangkan Viko sedang menerima telpon dari teman kuliahnya,
enta siapa kali ini.
Risa heran kenapa cewek-cewek tak henti-hentinya menelpon berjam-jam. Entah apa yang
dibicarakan, sementara Viko menjawab ogah-ogahan sambil memelintir-melintir kabel telpon.
“met malem. Mimpi
indah ya,” kata Viko mengakhiri pembicaraan di telpon sementara Risa mendengus tidak puas.
“makan malam hari ini
semua non Tata yang masak,” jelas bik Ti seraya membawa piring-piring dan sendok ke meja
makan.
Viko yang baru saja
menutup telpon dan menggosok-gosok sebelah telinganya yang panas karena terlalu lama
menerima telpon berdiri mematung tak percaya.brisa melihat pandangan kakaknya dan merasa
dirinya diremehkan.
“kalau ada yang gak
lapar juga gak perlu makan kok,” kata Risa keras-keras di tengah ruangan.
“wah wah, ayah malah
tambah laper nih. Makan yuk!” ajak ayah kepada kedua anaknya sambil mengalungkan
lengannya ke leher Risa, menggiringnya ke meja makan disertai tatapan senang Risa.
Viko menurut, duduk
di kursi kosong, masih menatap Risa dengan pandangan heran dan mulai mengambil lauk d meja
dengan ragu-ragu. Mereka mulai makan sambil ngobrol sesekali.
“ayah baru tau kau
punya bakat masak. Waktu muda dulu, ayah pinter masak, gak kalah deh sama masakan
ibu-biu,” kata ayahnya bersemanga. “o iya Ko, sebentar lagi pergantian semester
kan? Menurut ayah sih
gak perlu ngambil sks berlebih walau nilainya bagus, santai saja, yang penting selesai.
Mahasiswa ayah kebanyakan pinter, ngambil sks diatas rata-rata yang kebanyakan diambil
mahasiswa umumnya, eh malah kelabakan sama tugasnya. Akhirnya
nilainya malah turun
di semester itu, stress berat.”
“ok yah, Viko
menikmati hidup kok, gak keburu-buru. Empat tahun lebih dikit cukuplah. Kehidupan kampus kan
gak selamanya bisa dialami,” jawab Viko.
“terutama cewek-ceweknya
maksudnya,” sahut Risa mencibir. Ayah tersenyum geli dan menggeleng-gelengkan
kepala mendengarnya.
“ehm jelas. Di
kampus, kakak tuh ibarat selebriti. Banyak cewek yang antri jadi pacar kakak,
gak perlu repot-repot
nyari, tinggal pilih,” katanya seraya menegakkan tubuh dan membusungkan dada seakan menjadi
orang penting.
“kok gak ada yang
jadi pacar kakak?” tanya Risa protes, teringat surat cinta Vivi, tanpa terasa meremas gelasnya
dengan kencang.
“masalahnya kalo udah
pacaran, mesti serius satu sama orang. Gak bisa ngobrol sama cewekcewek lain, gak seru dan
gak bebas. Ntar cemburulah, marahlah, ngambeklah, minta diperhatiinlah, gak
selese-selese, capek,” tuturnya sambil mengacung-acungkan garpunya
berputar-putar di
udara.
“enak ya jadi orang
muda, kalo tua tinggal keriput doang sisanya,” sahut ayah. “lusa ayah ada seminar di luar kota
sama dosen yang lain juga. Ditambah hendak mengunjungi kenalan ayah.
Ayah pergi kira-kira
seminggu, kalau bisa ayah akan pulang cepat. Viko, jaga adikmu ya. Tata mau oleh-oleh apa?”
“asiiiikk, oleh-oleh
ya, enaknya apa ya...,” renung Risa bingung. “apa aja deh yah.”
“lho?! Viko juga mau,
masa disuruh jaga Tata terus, udah kayak anjing penjaga gak dikasih apaapa sih,” tuntut Viko
tidak mau kalah.
“ha ha ha, kupikir
kamu gak akan minta. Kamu mau apa Viko?” tanya ayah.
“biasa yah mentahnya
aja, duiiit, buat nambah uang jajan. Ya? Ya? Ya?” pinta Viko penuh harap sambil memberi
isyarat dengan tangannya, alisnya bergerak naik turun.
“dasar MATA DUITAN!”
timpal Risa.
“eh daripada lo, MATA
BARANGAN!” balas Viko puas.
Kehabisan kata-kata
Risa menusuk kentang gorengnya dengan energi berlebihan lalu menjejalkannya ke
mulut, berusaha tidak menatap wajah Viko yang penuh kemenangan.
“sudah, sudah, kalian
ini suka ribut akhir-akhir ini. Tapi ayah tau kalo kalian sebenarnya akrab. Ayah memang sibuk
jadi ayah senang kalau kalian saling membantu,” kata ayah menenangkan mereka.
Risa dan Viko terdiam
mendengar ucapan ayahnya ini. Risa tidak berani membayangkan apa yang terjadi bila
berkurang lagi satu penghuni rumah ini. Selanjutnya mereka menghabiskan makan malam dalam
diam, ayah terlebih dahulu selesai dan beranjak ke kamar tidur.
“jelek!” desis Risa
kepada Viko.
“dasar pikachu!”
balas Viko.
“ap? Apa? Pikachu?”
Risa langsung bangkit berdiri lalu menarik napas dalam dan menenangkan diri. Secepatnya ia
membereskan piringya tanpa suara ke dapur lalu masuk kamarnya. D meja makan, Viko
duduk terdiam. Ia terus mengawasi sampai pintu kamar Anita menutup,
bertanya-tanya
sendiri apa gerangan yang terjadi denga adiknya dan dirinya sendiri. Kenapa dia jadi suka menggoda
adiknya, ada yang aneh, pikirnya. Anita adik yang baik, tegar bila menyangkut ibunya,
biasanya pendiam dan serius, kadang-kadang sering emosi gara-gara
penyakitya,
mengalihkan perhatiannya pada buku pelajaran.
Ia dan ayahnya sering
menghibur Anita bila sedang sedih, memberinya dukungan dan menguatkannya. Tapi
Anita yang sekarang begitu lain, periang, penuh semangat dan tenang.
Yang lebih
membingungkannya adalah sorot mata adiknya saat menatapnya yang tidak bisa dilukiskannya dengan
kata-kata. Viko tidak mengerti penyebab perubahan drastis pada adiknya ini.
***
Esok paginya, Risa
sibuk membersihkan gudang. Banyak barang ditemukannya sehingga ia setengah melupakan
tugas bersih-bersihnya. Ia lebih tertarik melihat-lihat barang –barang bekas di sana. Ada boneka
beruang berukuran besar, masih bagus Cuma tampak kusam. Ada tumpukan koran bekas,
buku-buku lama.
“uhuk uhuk, hem
ehem,” Risa terbatuk-batuk, mengibas-ibaskan tangannya, debu beterbangan di sekitarnya ketika
mencoba membuka lemari tua. “moga-moga gak ada kecoak. Aku paling benci kecoak.”
Di dalam lemari yang
gelap itu terdapat tumpukan beberapa helai baju dan... perhatian Risa teralih pada kilau
plastik manik-manik putih pada baju di dalamnya. Risa segera mengambilnya.
Baju di dalamnya
terbungkus plastik tebal dan kelihatan seperti masih baru. Ternyata ini sebuah baju pengantin.
Sungguh penemua yang mengejutkan.
“wow...” gumamnya
terpana seraya membalik-balikkan baju yang sangat tebal itu. “coba ah.”
Ia belum pernah
mencoba memakai baju pengantin. Risa begitu bersemangat sehingga hampir tersandung dalam
ketergesaannya ke kamarnya. Tampa melepas pakaiannya terlebih dahulu, ia
langsung memakainya.
Yup ini seukuranku, agak besar dikit, pikirnya gembira. Benar saja, baju itu tampak cocok
dengannya. Risa asyik berputar-putar, memandangi bayangan dirinya di cermin ketika pintu terbuka.
“Ta, ayah berangkat
sekarang, udah dijemput....” kata-kata ayahnya terputus melihat pemandangan tak
terduga di hadapannya.
“eh maaf Yah, tadi
gak sengaja nemu ini jadi langsung kucoba,” jelas Risa, buru-buru merapikan baju yang dipakainya.
Tapi ayahnya tampak
tidak keberatan, sebaliknya memandang tercengang Risa selama beberapa saat.
“kau cantik sekali,
mirip ibumu. Ko, Viko, sini bentar,” teriak ayahnya memanggil Viko. “sini Ta, gandeng lengan
ayah.”
Ayah rupanya
bernostalgia dengan berdiri di samping Risa seolah-olah menjadi pasangannya. Risa menggandeng
lengan ayahnya, sambil menatap cermin, ia berpikir seandainya saja ia bisa mengenakan baju
pengantin pada acara yang sebenarnya dalam hidupnya. Mendadak ia menatap wajah orang lain dari
cermin dihadapannya lalu berbalik menoleh ke belakang. Viko muncul diambang pintu,
tampak kaget sekaligus memandangnya terkagum-kagum. Terdengar klakson
mobil, ayahnya
tersadar dan buru-buru hendak keluar.
“aduh sampai lupa.
Jaga diri baik-baik ya, nanti malam ayah telpon,” kata ayah menepuk kepalanya lalu
mencium kening Risa, memeluk singkat kedua anaknya bergantian dan menghambur secepat
kilat.
Viko masih
memandangnya takjub, ekspresi sayang terpancar dimatanya. Jangan memandangku
seperti itu! Jangan menatapku seperti itu! Aku bukan Anita! Bukan Anita!
Aku Risa! Risa! Lalu
ia segera melepaskan baju itu, kegembiraan yang tadi dirasakannya telah lenyap begitu cepat
digantikan kesedihan.
“lihat apa?!” kata
Risa ketus seraya membawa gaun itu dengan kedua tangannya, bermaksud mengembalikannya ke
tempat semula. Dia melewati Viko begitu saja, matanya berkaca-kaca.
Dia cepat-cepat
berjalan tampa menengok ke belakang. Tidak, tidak, jangan menangis, batinnya. Jangan sekarang.
Dasar bodoh! Hatinya terasa pedih. Namun Risa tidak bisa menahannya lebih
lama lagi, air mata
sekarang mula mengalir ke pipinya.
Risa tidak sadar,
viko rupanya sepintas memperhatikan mata Risa berkaca-kaca. Viko membatin apakah Anita bgitu
rindu pada ibu mereka. Tetapi kenapa Tata harus menatapnya seperti itu, belum lagi Tata
tampaknya menjaga jarak dengan dirinya lebih daripada sebelumnya. Mengapa hanya ia? Mengapa
tidak demikian terhadap ayahnya?
***
“akhirnya selesai
juga,” kata Risa lega setelah memberi pita pada permen bintangnya yang trakhir. Risa
menggenggam permen bintangnya, menatapnya seperti janjinya sewaktu ia baru datang beberapa hari
kerumah ini, ia akan meletakkan bintang-bintangan yang dikemas seperti
bentuk peermen ke
dalam toples kaca setiap tiga hari sekali.
Setiap malam Risa
membuat bintang-bintang dari kertas kado yang berbeda, semuanya berwarna pastel,
berwarna-warni dan terkesan ceria. Toples kacanya sekarang hampir penuh, Risa
sengaja
meletakkan toples itu
ditengah meja ruang keluarga yang kosong supaya semua orang, terlebih dia sendiri, dapat
sering-sering memandanginya. Ini sekedar untuk mengisi waktu luangnya. Di samping itu, Risa
diam-diam menaruh harapan pada setiap permen bintang yang dibuatnya.
Harapan agar ia, Viko
dan ayah dapat selalu bersama. Ia sangat menyukai keluarga ini dan tidak menyesal harus
berakhir dengan meninggalkan mereka. Toh ia telah diberi kesempatan mengenal
mereka.
Akhir-akhir ini,
kondisi tubuhnya melemah. Ia mudah merasa pening, pandangannya kadang kabur seperti hendak
pingsan, badannya nyeri dan lemas. Risa sekarang jarang keluar rumah, takut kalau-kalau
terjadi apa-apa di luar. Di rubuhnya mulai muncul lebam kebiruan.
Ia sering tidur lebih
awal sambil menahan rasa sakit di badannya. Ia membenamkan kepalanya pada bantal dan
memekik kesakitan dalam suara teredam. Tubuhnya serasa memberontak.
Namun ia tidak ingin
tampak lemah di depan Viko. Ia tidak ingin Viko memandangnya penuh rasa kasihan.
Saking asyiknya
melamun, Risa lupa kalau diluar masih hujan, semakin deras malah. Ia memastikan jendela
kamarmya sudah tertutup rapat supaya tidak ada air yang masuk sebelum akhirnya keluar kamar
hendak menyimpan permen bintangnya yang terakhir. Risa tidak mendapati toples
kacanya diruang keluarga lalu bertanya pada Bik Ti yang sedang menggosok baju. Bik Ti
menggeleng tidak tahu. Ayah masih diluar kota, berarti satu-satunya orang yang belum ditanyainya
adalah Viko.
Ia membuka kamar Viko
tanpa mengetuk terlebih dahulu. Lampu kamar Viko dimatikan, satusatunya penerangan berasal
dari lampu tidur di kedua sisi tempat tidur Viko. Jendela kamar itu mengeluarkan bunyi
berisik akibat guyuran hujan deras. Ia melihat kakaknya duduk di lantai
memainkan gitarnya
sambil merenung memandang toples kaca berisi bintang di meja sebelahnya, entah apa
yang dilamunkannya. Cahaya dari luar ruangan menerobos masuk, Viko menoleh kaget dan
melihat Anita telah berdiri di pintu.
“disini rupanya,
kucari-cari dari tadi,” kata Risa seraya melintasi kamar Viko tanpa basabasi,
meraih toplesnya dan
meletakkan permen bintang dibawanya, memandang sejenak dan hendak membawanya
keluar kamar.
“Ta?” panggil Viko
pelan, “kamu nggak pengen ngobrol bentar?”
Risa berhenti
mendadak, merasa tidak bisa terus menerus menghindar, memberanikan diri kemudian duduk
berhadapan dengan kakaknya. Dengan kaku ia membuka percakapan.
“ayah belum telpon
juga ya? Kira-kira disana turun hujan gak ya?” tanya Risa yang sengaja menatap jendela kamar
kakaknya. Mendengar suara Viko yang berat dan dalam saja sudah membuat hatinya
mencelos.
“akhir-akhir ini kamu
aneh Ta, dulu kita sering kumpul bareng,” kata Viko tidak menghiraukan pertanyaan Risa.
“sepertinya kamu sengaja menjauh dariku. Melihatmu seperti ini, aku justru tambah cemas.
Sebenarnya kamu kenapa sih Ta? Bahkan memandangku pun tidak.”
Risa agak gemetar,
jantungnya berdebar kencang, pembicaraan seperti inilah yang ingin dihindarinya selama
ini. Toples kaca dalam pangkuannya dipeluknya erat-erat. Berusaha tidak tampak gugup, ia
perlahan memandang Viko.
“Nggak kok, Tata
baek-baek aja,” kata Risa manis, tersenyum ganjil.
“jangan bohong. Kita
besar bersama. Aku tau akhir-akhir ini ada yang gak beres. Kamu gak perlu menyembunyikan
sesuatu sama kakakmu,” kata Viko, seraya menyandarkan gitarnya disampingnya.
“apa misalnya?” sahut
Risa yang sekarang menatap toplesnya lekat-lekat.
“hm.. penyakitmu
misalnya. Kau merasa tidak baik?”
Tiba-tiba Viko
beranjak dari tempatnya dan mendekapnya erat-erat dalam pelukannya seakan menghibur adik
kesayangannya. Ia sama sekali tidak siap untuk hal ini, napasnya tertahan, jantungnya serasa
berhenti berdetak, ia tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
“TIDAK!!” bentak Risa
sembari mendorong kakaknya kuat-kuat. Terdengar bunyi ‘duk’ keras saat Viko terdorong
menatap dinding.
Keheningan yang
memenuhi ruangan dipecahkan oleh suara detak jam weker di meja dan terpaan air hujan
yang mengguyur jendela.
“KENAPA SIH TA?”
bentak Viko kaget, menahan sakit akibat benturan punggungnya dengan dinding, tangannya
meraba belakang punggungnya yang kesakitan. Viko rupanya tak menyangka adiknya berbuat
seperti ini terhadapnya.
Risa tidak bermaksud
mendorongnya, ia sama sekali tidak bermaksud demikian. Ia hanya terkejut, tak tahu
harus berbuat apa dan tidak bisa menahan diri. Anita, Anita, Anita, kata-kata
itu terngiang-ngiang
dalam kepalanya. Ia tidak tahan terus menerus dipanggil dengan nama itu.
“AKU BUKAN ANITA!”
teriak Risa sama kerasnya sambari menekankan kedua tangannya di telinganya, seolah
dengan berlaku demikian ia tidak akan mendengar nama Anita dalam kepalanya. “oh tidak.
Tidak. Bukan itu maksudku.”
Kata kata itu terucap
begitu saja dari mulutnya, nada suaranya jelas-jelas kacau. Ia sendiri terkejut
mendengarnya. Risa berusaha berdiri, tubuhnya gemetar, napasnya sesak. Perlahan matanya berkaca-kaca.
“Ap? Apa? Tentu saja
kamu Anita!” jelas Viko yang sekarang bangkit, mengulurkan tangannya memegang bahu Risa,
hendak menenangkannya.
“JANGAN SENTUH!”
bentak Risa seraya menepis tangan Viko dengan tangan kirinya yang bebas. Tangan kananya
masih memeluk erat toples kaca. “sudah ku...katakan... aku...bukan Anita. Aku Risa,
hanya... itu yang kutahu.”
Sambil berkata
demikian , airmatanya menetes. Risa mengguncang hebat, suaranya ikut bergetar. Ia terisak sedangkan
air matanya mengalir tanpa henti selagi menatap wajah Viko yang penuh kekagetan. Kemudian
ia berusaha menjelaskan hal yang dialaminya, hatinya kalut.
“aku..tidak tau ba..
bagaimana bisa berada dalam.. tubuh adikmu sejak di RS. Aku tidak mengenal kalian...,
juga segala hal tentang Anita. Tapi aku tahu pasti bahwa namaku Risa. Aku bukannya
berkepribadian ganda. Aku bingung harus bagamana karena selain namaku, aku
tidak
ingat asal usulku,”
jelas Risa. Perlahan ia melangkah mundur menjauhi Viko kearah pintu, berusaha menahan
tangisnya.
Viko kelihatannya
hendak mengatakan sesuatu, mulutnya bergerak-gerak, tapi tidak ada kata yang terucap. Viko
hendak mendekatinya tapi segera mengurungkan niatnya mengingat Risa sangat kacau.
“aku tidak tahan kau
terus menerus menganggapku sebagai Anita karena... karena... tanpa sadar... ak... aku..
menyukaimu.. jangan membuatku lebih merasa bersalah,” kata Risa cepat,
menatap Viko
lekat-lekat. Tanpa berlama-lama lagi ia berbalik, membuka pintu dan berlari keluar.
Risa mengatur
napasnya, berhenti diruang keluarga dan meletakkan toples. Ia tidak ingin memikirkan apa-apa
termasuk kejadian yang baru saja terjadi. Ia beranjak menuju kamarnya namun mendadak
tubuhnya lemas. Ia roboh ke lantai, matanya berkunang-kunang. Ia hendak
memanggil seseorang
namun tidak mampu bersuara. Tak lama kemudian ia tidak sadarkan diri setelah sebelumnya
mendengar jerit kaget bik Ti yang menggema diseluruh rumah.
***
Kemarin ayahnya
berangkat keluar kota. Viko juga sudah libur sehingga ia bisa bersantai dirumah. Ia tidak
pergi bersama teman-temannya karena harus menjaga Tata, siapa tahu nanti ada apa-apa. Ayahnya
sudah berpesan kepadanya, ia juga tidak ingin merasa tidak bertanggung
jawab dan didera
perasaan bersalah.
Viko menerima kiriman
VCD film dari pengantar kaset yang mengantar dari toko tempatnya berlangganan.
“terima kasih ya pak.
Kalo ada film baru lain, kirim besok ya,” kata Viko berpesan ketika pengantar kaset itu
menyalakan motornya hendak pergi.
“beress, jangan
kuatir,” sahut pria muda itu.
Viko menutup pagar,
melihat-lihat judul fil dari tumpukan film ditangannya. Ia meminjam film serian, ada juga yang
film-film bioskop. Siip, ia bisa menonton film-film ini seharian. Dengan langkah riang ia
masuk kerumah dan meletakkan sewaannya di samping TV. Ia hendak memutar salah satu filmnya
ketika tiba-tiba tersadar.
“oh iya, tadi aku kan
lagi nyari kaos merahku. Kok gak pernah kelihatan ya,” gumam Viko teringat kaos
kesayangannya. “biik. Biiik..”
Viko
memanggil-manggil bibik, memandang berkeliling rumah seakan mengharap bibik
keluar dari dapur, kamar,
kamar mandi atau tempat lain.
“bibik lagi ke pasar.
Kamu sih bangunya kesiangan,” jawab Risa yang baru keluar dari kamarnya, tangannya
memegang gelas berisi coklat yang hampir habis.
“buat apa bangun
pagi-pagi. Namanya juga libur,” balas Viko. Ia menyalakan DVD playernya.
“pinjam film apa?”
tanya adiknya tertarik, melihat-lihat tumpukan film sambil meneguk habis minumannya. “Tau gitu
aku nitip tadi.”
“mau titip apa? Besok
orangnya nganter lagi, nanti biar kutelpon,” kata Viko sungguh-sungguh.
“apa ya...
bentar-bentar. Shrek 3, incredible, madagaskar, the corpse bride, hmm.. apa
lagi ya,” pikir Tata
bersemangat. Mulut Viko sampai menganga memandangya.
“itu kan film
anak-anak, ngapain dipinjam?” tanya Viko tak percaya lalu memberi usulan.
“nonton yang 17 tahun
keatas aja kenapa.”
“itu juga termasuk 17
tahun keatas! Bagus kok. pokoknya aku mau besok dikirim,” kata Tata tegas, mengabaikan
protes Viko.
“tap.. tapi.. masa
aku ikut nonton film level anak-anak sih,” gumamnya.
Risa meletakkan
tumpuka film ke tempat asalnya dan beranjak ke dapur. Viko setengah berpikir bagaimana kalau ia
mminta adiknya membuatkan camilan. Kan cocok selagi nonton film. Maka dari itu Viko
berjalan menyusul adiknya mengendap-endap lalu memeluk adiknya dari belakang.
“adiiikk,” kata Viko
bermanis-manis, hendak membujuk Tata. Namun sebelum ia hendak mengatakan niatnya,
pikirnya teralih oleh bunyi barang pecah di dekatnya.
Risa menjatuhkan
gelas kosong ditangannya saking terkejutnya, membuat pecahannya bertebaran di lantai
yang licin. Ia kaget setengah mati sekaligus panik karena dikejutkan Viko.
“ati-ati,” kata Viko
spontan, menjauhkan adiknya dari pecahan gelas. Anita menatapnya galak.
“Viko! Kamu bikin
orang kaget aja,” katanya lantang, tangannya gemetaran. “ngapain sih?!”
“udahlah gak penting.
Kamu pergi cari sapu sana. Biar aku yang beresin ini,” perintah Viko, ia membungkuk dan mulai
mengumpulkan pecahan kaca yang besar-besar.
Adiknya menurut, tak
lama kemudian kembali membawa sapu dan pengkiki. Viko meraih sapu dan membersihkan
kumpulan kacanya tadi.
“sini biar aku
bantu,” kata adiknya tak mau kalah. Viko hendak mencegahnya, namun Tata terlanjur mengambil
pecahan kaca yang lembut di bawah meja. “aduh.”
“nyerah deh, kamu aja
yang bersihin. Aku mau bikin popcorn,” kata Tata biasa-biasa saja lalu beranjak ke dapur.
“dasar ceroboh,” kata
Viko menggeleng-geleng kepala. Viko menyambar tangannya sementara Tata meronta hendak
melepaskan pegangannya, jari tata yang terluka gemetar. “diobatin dulu tangannya.”
“iya tau. Lepasin
dong,” kata Tata sambil menatapnya agak malu, pergelangan tangannya meronta hendak
melepaskan diri. Viko sengaja menahannya, geli melihat ekspresi adiknya yang gelisah. “LEPAS!”
Viko melepasnya
kaget. Adiknya menghambur cepat ke dapur. Adiknya memang galak, pikirnya.
“mungkin aku
keterlaluan menggodanya,” gumam Viko, kembali menyapu lantai dengan hatihati, dalam hati merasa
senang.
Setelah kejadian itu,
Tata tidak mengajaknya bicara seharian. Adiknya juga tidak menonton film yang sudah
dipinjamnya, asyik membaca terus di kamar. Mungkin masih marah kepadanya.
***
Hari berikutnya
berlanjut dalam keheningan, kecuali celoteh bibik yang berkepanjangan. Mereka menghabiskan waktu
untuk makan bersama dalam diam. Tata sudah tidak berlaku sedingin biasanya kepadanya,
walau tetap saja situasinya agak kaku. Viko berkali-kali meliriknya,
mengamati apa saja
yang tengah dilakukannya. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi adiknya
tampak pucat dan
tidak sehat seperti kurang tidur.
“film pesananmu sudah
datang, tuh aku taruh disana,” kata Viko memberitahunya, menunjuk
kiriman film baru
dsebelah TV dengan dagunya.
“iya nanti aku
tonton,” kata Tata sambil mengunyah nasinya. “kakak mau nonton juga?”
“enggak deh, maen
komputer aja,” jawab Viko, teringat akan permainan balap mobilnya yang
sudah jarang
dimainkannya.
“non, coba deh cicipi
perkedel buatan bibik ini,” kata bibik sambil menyodorkan sepiring
perkedel yang baru
digoreng.
“nggak bik makasih.
Tata udah makan,” tolak adiknya.
“lho non, nasinya kan
belum habis,” kata bibik histeris, melihat piring makan yang masih terisi
setengah.
“nggak ah. Aku udah
kenyang. Gak muat,” jawab Tata enggan.
“makannya dikit
banget Ta,” tegur Viko. “biasanya kamu kan makan terus kayak dinosaurus.”
“ye.. kata siapa,”
sahut Tata mencibir. Ia menyetel film pesanannya dan membaringkan diri di
sofa, menonton dengan
asyik.
Sementara itu bibik
dan Viko hanya saling pandang tidak mengerti.
“kenapa ya den, non
Tata akhir-akhir ini gak ada nafsu makan?” bisik bibik saat membelakangi
kursi Tata.
Viko hanya mengangkat
bahu. Bibik menghela napas cemas.
Tanpa terasa Viko
telah bermain selama dua jam. Di seberang taman, Viko bisa melihat bibik
sedang memasukkan
baju-baju kotor ke dalam mesin cuci. Matanya penat, ia membunyikan
buku-buku jarinya
lalu bangkit berdiri hendak ke kamarnya. TV masih menyala tetapi ketika
Viko melihat adiknya,
Tata rupanya sedang tertidur. Viko merasa prihatin.
“capek sekali ya?”
gumamnya. Padahal adiknya tidak banyak melakukan kegiatan hari ini.
Viko mengambil selimut
dari kamar Tata dan menyelimuti adiknya dengan selimut tebal. Kalau
sedang tidur begini,
adiknya seperti anak manis yang polos. Viko memandangnya sejenak,
berpikir.
“kenapa kamu menolak
berobat?” tanya Viko dalam seakan ingin memperoleh jawaban langsung
selagi menatap wajah
polos adiknya.
Viko ganti menonton
TV dan duduk di sofa panjang satunya sambil memperhatikan adiknya. Di
luar hujan
rintik-rintik mulai turun menimbulkan bunyi gemerisik sewaktu memercik menimpa
helai-helai daun di
taman. Sore yang tenang, pikirnya.
Tidur Tata gelisah.
Kadang adiknya bergerak-gerak sampai Viko takut ia tergelincir jatuh.
Kadang bergumam tidak
jelas yang lebih menyerupai rintihan. Viko mulai khawatir. Ia bangun
dari sofanya dan
duduk berjongkok di sebelah adiknya. Ia meraba kening adiknya, keringat
dingin membasahi
wajah dan leher adiknya.
“ta? Ta? Ta?”
panggilnya pelan.
Tata terbangun
setengah mengantuk.
“um.. jam berapa?”
tanya adiknya, matanya menyipit silau habis bangun tidur.
“sudah jam 5. Kamu
tidur di kamar aja. Disini dingin.” Saran Viko khawatir.
Mendadak adiknya
bersikap sigap dan menatapnya dengan pandangan menuduh.
“ngapain kakak
disini? Tanyanya ketus. “sejak kapan?”
“nonton TV. Emangnya
aku mau duduk disampingmu terus kayak gini,” balas Viko tersinggung
karena adiknya tampak
anti.
Tata menyadari nada
suara Viko sehingga tidak berkata apa-apa lagi. Ia lalu menyibak selimut
dan menentengnya
kembali ke kamar.
***
Viko tidak tahan
dengan kelakuan Anita. Sekarang ia bisa memastikan bahwa Tata memang
menghindarinya. Tapi
kenapa? Sekarang adiknya seperti sedang menyembunyikan rahasia
darinya. Viko yang
tidak mengetahui apa yang dipikirkan adiknya, merasa serba salah. Adiknya
tidak pernah berlaku
dingin terhadapnya. Memang tidak ungkin Tata membencinya. Bila
dibandingkan dengan
Tata yang dulu, Tata bersikap jauh lebih ramah dan terbuka terhadapnya,
tidak serba rahasia.
Viko
menimbang-nimbang apakah penyakitnya mulai parah lagi sehingga emosi adiknya
menjadi labil. Tapi
apa salahnya sehingga ia patut dijauhi. Masa sih Tata iri dengan
kesehatannya.
Kelihatannya semua ini tidak berhubungan dengan penyakit adiknya.
Bila mengingat-ingat
waktu yang lalu, Tata tidak sepenuhnya menghindarinya. Pada suatu
kesempatan Tata
justru tampak dekat sekali dengannya, seperti saat ia mengalami kecelakaan dan bila bertengkar
mulut. Ada lagi yang aneh, tatapan Tata kepadanya yang berubah-ubah.
Kadang sorot matanya
tampak terluka, kadang sedih, kadang seperti merindukan sesuatu, kadang seperti hendak
menanyakan sesuatu.
Viko berkali-kali berusaha
mendekati adiknya namun sia-sia saja. Tata rupanya bertekad bersikap seperti
biasa walau Viko tahu sikapnya itu hanya untuk menutupi keganjilan ini.
Herannya, Viko juga
jadi tidak sabaran. Dari waktu ke waktu ia melihat adiknya seperti orang lain saja.
Ia sendiri tidak
mengerti kenapa tindakannya jadi begitu emosional. Wajar kalau suatu kali adiknya tidak akrab
dengannya. Tapi ini beda. Viko tidak terima dijauhi oleh adiknya. Kelakuan Tata berubah semenjak
kepulangannya dari rumah sakit. Mungkin bibik tidak menyadarinya.
Sedangkan ayahya
menganggap Tata berubah karena tidak terbiasa diam dirumah atau karena Tata sedang mengalami
masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Masalahnya mana ada sih orang
yang berubah drastis
dalam waktu singkat.
***
Baru saja Viko
menggotong adiknya yang pingsan ke kamarnya. Betul dugaannya, kondisi adiknya semakin
lemah. Entah sampai kapan bisa bertahan. Viko memandangnya sedih. Tadi ia berdebat seru di
kamarnya. Viko masih belum bisa menerima bahwa adik yang terbaring di
depannya kini
bukanlah adiknya, melainkan orang lain. Viko tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi, namun memang
benar bahwa sifat adiknya berubah total. Inilah penjelasan yang masuk akal kenapa adiknya
bertingkah aneh.
Di luar, hujan masih
turun dengan derasnya membuat suara kendaraan yang lewat di depan rumah mereka teredam.
Kalau begitu apakah ia salah telah memperlakukan orang ini sebagai adiknya selama ini?
Kenapa Risa tidak memberitahunya sejak awal? Tidak. Aku tidak akan
percaya kalau ia
mengatakannya sejak dulu. Kalau aku jadi dia, aku pasti tidak bisa mengatakan sejujurnya, pikir
Viko.
Benarkah orang ini
bukan adiknya? Benarkah jiwa di dalamnya lain? Lalu dimanakah Anita?
Bagaimana keadaannya?
Bagaimana mungkin selama ini ia tinggal dengan orang yang berbeda.
Ia kan tidak
mengenalnya. Tapi benarkah ia tidak mengenalnya. Bukankah selama ini ia tahu
betul sifat-sifatnya,
sampai-sampai sempat membuatnya tertarik. Tapi... Risa itu sebenarnya
orang yang
bagaimana...
Ya, tanpa sadar
dirinya telah tertarik pada anak ini. Selama ini ia memungkirinya karena tahu betul ia menyukai
adiknya sendiri. Jadi ia merubah perasaan itu menjadi perasaan ingin
melindungi dan
menjaga adik kesayangannya. Namun setelah tahu bahwa adiknya bukanlah Anita melainkan Risa,
ia menjadi tahu bagaimana harus bersikap padanya. Bukankah sulit mencintai seseorang
yang berada dalam tubuh orang yang dikenalnya. Perasaannya akan
bercampur aduk.
Mungkin inilah yang membuat Risa tidak tahan. Ia tidak keberatan tidak mengetahui siapa
Risa, seperti apakah dia. Toh Risa bersikap terbuka terhadap keluarganya selama ini.
Dari tadi dia
memikirkan dirinya terus, bagaiman dengan perasaan Risa. Risa pasti tertekan
mengalami semua ini,
tidak ingat asal usulnya, kenyataan penyakit yang di deritanya pasti
membuatnya merana.
Apa yang sedang terjadi disini, semuanya terdengar aneh, membuat kepalanya sakit
karena berpikir keras. Walaupun begitu, Risa sama sekali tidak menunjukan
tanda-tanda sedih
atau marah. Selama ini Risa justru tampak ceria, bawel, pelit, galak dan ketus, pikir Viko sambil
tersenyum sendiri. Di samping itu ia juga sangat perhatian. Begitu cepatnya ia
beradaptasi dengan
keluarganya.
Entah suatu keanehan
atau entah suatu keajaiban bagi Viko. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Aku
harus bagaimana, pikirnya.
“Risa... kau sampai
segitu sedihnya tadi,” kata Viko dalam bisikan, menatap adiknya yang masih tertidur, “maafkan
aku. Aku pasti membuatmu menderita.”
Akhirnya ia bisa
menemukan perbedaan rasa sayangnya terhadap Anita dan terhadap Risa. Rasa
sukanya jelas
berbeda. Masalahnya sekarang, akankah ia akan kehilangan Risa juga di saat ia
baru menyadari
perasaannya ini. Bagaimana ia harus berbicara kepada Risa nanti? Apa yang
harus di katakannya?
Ia takut akan bersikap lain kepada Risa. Yang pasti ia harus memperbaiki
salah paham di antara
mereka selama ini.
Viko mengenang
kembali saat-saat semenjak adiknya sadar di RS hingga saat ini. Kadang ia tertawa, kadang malu
sendiri, kadang merasa diriya bodoh. Belum lagi kejadian di kamar mandi
waktu dulu, ia merasa
kehilangan muka saking malunya. Sudahlah, toh semuanya sudah berlalu.
Bukan main, kehadiran
Risa di rumahnya telah memberi berbagai macam kenangan yang berkesan baginya.
Back To Can You See Me Prolog
0 komentar:
Post a Comment