Islam sebagai Agama Dakwah Universal
I.
PENDAHULUAN
Islam
adalah agama risalah yang dikembangkan oleh Nabi Muhamad SAW dari sudut kota Mekkah
Almukaromah yang kemudian diteruskan oleh para Sahabat, Aulia, Waliyullah dan
Para Ulama dan sampailah kepada kita semua. Perkembangan Islam di Indonesia
yang dibawa oleh para Waliyullah menyebar dengan pesatnya, penyebaran agama
Islam di Indonesia pada khususnya dan di Bumi Nusantara pada umumnya dilakukan dengan
cinta kasih tanpa sedikit pun prilaku kekerasan dalam menyampaikan ajaran ajarannya.
Selain Islam sebagai agama tauhid Islam juga sebagai agama akhlak atau agama
budhi atau dalam istilah Jawa adalah “Budhi Pekerti” Prilaku yang baik yang
merupakan cerminan dari hubungan ketauhidan seseorang dalam menetapi kewajibannya
menegakan syariat Islam.Sehingga dalam perkembangannya Islam sangat mudah diterima
dikalangan masyarakat khususnya diwilayah Nusantara ini. Dan Islam diIndonesia adalah mayoritas
dari agama-agama yang berkembang di Indonesia, Namun dari banyaknya pemeluk
agama Islam di Indonesia, Pemeluk agama Islam tidak semena-mena terhadap pemeluk
agama lain.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
makna islam sebagai agama dakwah?
2. Bagaimana
dakwah dan universalisme islam?
3. Bagaimana
konsekuensi universalisme dakwah terhadap peradaban umat manusia?
III.
PEMBAHASAN
A. Makna
islam sebagai agama dakwah
Menurut Thomas W. Arnold, agama dakwah
ialah agama yang memiliki kepentingan suci untuk menyebarkan kebenaran dan
menyadarkan orang kafir sebagaimana dicontohkan sendiri oleh penggagas agama
itu dan diteruskan oleh para penggantinya. Agama Islam, Kristen dan budha
termasuk agama dakwah. Sedangkan agama yahudi, majusi, dan hindu termasuk agama
non dakwah.
Doktrin dakwah dalam Islam, diungkap Al-Qur’an
sendiri dan dibuktikan melalui jejak rekam sejarah Rasulullah saw, sahabat, dan
para ulama. Dalam literatur-literatur dakwah, argument tekstual yang merujuk
hal tersebut biasanya dimuat dalam bahasan mengenai kewajiban dakwah. Al-qur’an
misalnya menyuruh umat Islam untuk menyiapkan komite khusus yang berprofesi
sebagai da’I, atau mensyaratkan dakwah sebagai jalan untuk mewujudkan sebuah
masyarakat ideal. Disisi lain, hidup rosul sendiri secara praktis dibaktikan
untuk mengajak orang untuk masuk islam (beriman, mengimani kenabian Muhammad)
atau minimal agar mereka bersikap Islam (berIslam, hidup secara damai).
Dakwah
Islam bukansebuah propaganda, baik dalam niat, cara maupun tujuanya. Niat
dakwah adalah ikhlas, tulus karena Allah SWT, serta bebas dari unsur-unsur
subjektivitas. Dakwah tidak boleh dikotori oleh kepentingan-kepentingan tertanam.
Demikian itu didasari oleh watak keuniversal Tuhan, menjadi tidak relevan.
Dakwah harus disampaikan secara jujur,
terbuka, dan bebas. Kata jujur dalam dakwah setara dengan kata al-ballagh dalam al-Qur’an, yaitu menyampaikan
kebenaran secara transparan, apa adanya, tanpa unsure kebohongan dan manipulasi.
Adapun terbuka dalam dakwah, mengacu pada sikap rendah hati, mengakui keterbatasan,
bersedia menerima kritik dan menerima perbaikan dari luar.
Tujuan
dakwah pada hakikatnya adalah mencapai kebenaran tertinggi, yaitu beriman dan lalu
berserah diri secara total kepada kehendak Allah. Kebenaran yang dituju dakwah adalah
kebenaran yang tertanam sejak manusia lahir sebagai bawaan (nature, fithrah)
yang inheren dan intrinsic dalam diri setiap orang. Kebenaran itu, pada awalnya,
dengan identitas dan atribut-atribut social dan biologis manusia seperti jenis kelamin,
agama, ras, dan warna kulit.
Jadi, Islam
sebetulnya tidak lain dari sikap hidup yang condong kepada kebenaran dan kemanusiaan.
[1]
B. Dakwah
dan Universalisme Islam
Islam dalam pengertianya yang
esensial adalah sebuah sikap hidup yang berpihak kepada kebenaran dan keluhuran
budi pekerti. Sebagai pengusung kebenaran dan nilai-nilai universal, Islam
dengan sendirinya berwatak inklusif dan terbuka, serta diharapkan menjadi milik
semua komunitas umat manusia dimuka bumi. Inilah salah satu makna dari universalisme
Islam yang ternyata tak hanya bersifat keluar, tetapi juga kedalam.Dalam
al-Qur’an misalnya, Rasulullah disuruh menyampaikan bahwa ia bukan seorang rasul
yang terpisah dari rasul-rasul lainya.
Manifestasi Islam sendiri dapat beraneka
ragam, mengikuti zaman dan tempat. Kendati beragam, tetapi keragaman manifestasi
Islam itu diikat oleh komitmen untuk berbagi kepada wujud yang satu, yaitu
Allah SWT, antara lain dengan sikap pasrah kepada-Nya. Jadi Islam itu
universal, karena ia merupakan titik temu dari semua ajaran agama yang benar.
Sementara itu, tugas umat Nabi Muhammad dalam konteks keuniversalan ini,
menurut al-Qur’an adalah menjadi umat penengah dan saksi atas sekalian umat manusia.
Makna lain dari universalisme Islam
dapat di telusuri dari watak kelenturan ajaran Islam sendiri. Ajaran Islam
mengklaim sebagai yang melampaui jangkauan tutorial dan waktu. Dasar dari keyakinan
ini adalah kenyataan bahwa al-Qur’an hanya member ketentuan-ketentuan yang
bersifat umum dan global atas persoalan kemanusiaan yang selalu berubah. Jika ditemukan
penjelasan al-Qur’an yang terperinci, biasanya hal demikian hanya sedikit dan itupun
yang berkaitan dengan watak dasar manusia yang tidak mungkin berubah.
Makna berikutnya dari universalisme
dakwah adalah menjadikan Islam sebagai agama universal-kosmopolitan. Artinya tujuan
dakwah adalah menjadikan agar seruannya diterima oleh semua manusia, terlepas dari
ikatan-ikatan territorial dan waktu. Kehidupan manusia itu amat dinamis yaitu cepat
berubah, dan plural yaitu amat beraam. Menjadikan dakwah universal berarti mengharuskan
Islam untuk dapat disesuaikan dengan dinamika kehidupan manusia. Jika demikian,
berarti dakwah harus berwatak progresif dan antisipatif dalam arti berorientasi
kedepan, dan mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia
secara keseluruhan.[2]
C. Konsekuensi
universalisme dakwah terhadap peradaban umat manusia
Konsekuensi berarti akibat yang akan terjadi jika
ada/terjadi sesuatu keadaan tertentu. Yang dimaksud keadaan tertentu. Sedangkan
universalisme aliran yg meliputi segala-galanya, penerapan nilai dan norma
secara umum.[3]
Peradaban, paling tidak pada implikasinya dapat
dimaknai sebagai kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini demikian, karena sebuah
peradaban mengharuskan adanya aspek kemajuan dan perbaikan taraf hidup kemanusiaan,
baik dari segi materi maupun pengetahuan. Tradisi masyarakat dalam sebuah
komunitas berperadaban, juga berbeda secara kontras dengan masyarakat primitif
(badui). Dalam masyarakat beradab, dikenal adanya norma-norma hidup bersama,
keteraturan hidup, dan kesetiaan kepada pemimpin. Berbeda dengan masyarakat
badui, masyarakat berperadaban menilai bahwa hidup bersosial adalah suatu
kebutuhan yang tidak dapat ditolak (al-insan
madaniyyun bi al-tab’i). dalam hidup masyarakat sosial, ada hak dan
kewajiban antar individu yang mesti didistribusikan secara merata agar tidak
terjadi konflik. Untuk itu, perlu disusun sebuah norma-norma hidup bersama yang
dikelola oleh sebuah keteraturan sistem dibawah naungan pemimpin.
Masyarakat memberikan loyalitasnya kepada
pemimpin selama ia mampu menjamin berjalannya norma-norma itu dan memelihara
stabilitas masyarakat. Kehidupan masyarakat dengan norma dan sistem nilai yang
dianutnya, serta puncak-puncak kemajuan yang dicapainya baik material maupun
intelektual disebut dan dinamakan budaya atau peradaban (arab: tamaddun, dari
akar kata din dan/atau madinah).
Dakwah menyeru pada umat manusia agar hidup dalam
sebuah masyarakat yang berkeadaban. Untuk mencapai cita-cita ini, paling tidak
dakwah harus dimaknai sebagai rekayasa melahirkan masa depan peradaban islam
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Dakwah mengajak umat manusia agar membangun kehidupan yang damai.
2.
Untuk menuju damai tersebut, diperlukan suatu norma atau hukum, agar
yang kuat tidak menindas yang lemah.
3.
Dakwah menyeru kepada kesadaran moral manusia.
4.
Dakwah menyeru kepada egalitarianism, emansipasi, dan kesetaraan gender.
Untuk mencapai harapan
maupun cita-cita diatas, dengan sendirinya dakwah islam, seperti doktrin islam
itu sendiri, haruslah bersifat terbuka dan bukan tertutup. Ini berarti, dakwah
harus membuka ruang yang lebar untuk adanya kritik konstruktif dari pihak manapun
di satu sisi, dan perlunya inovasi dan penyempurnaan yang terus menerus dan
berkelanjutan di sisi yang lain. [4]
IV.
KESIMPULAN
Islam
sebagai agama dakwah harus dipahami oleh seluruh lapisan umat Islam, karena itu
pemahaman mengenai hal ini harus disampaikan secara terarah, terkoordinasi,
terpadu dan berkelanjutan. Tugas ini terutama sekali harus dilaksanakan oleh
para ulama, juru dakwah, cendekiawan, praktisi dan pengamat dakwah. Bila ini
bisa direalisasikan, niscaya cepat atau lambat akan tumbuh kesadaran untuk
melaksanakan dakwah secara pribadi, walau menurut kemampuan masing-masing.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami sampaikan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada
kesalahan, penulis mohon maaf sebesar-besarnya.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Ilyas. Filsafat Dakwah, Jakarta : Prenada
group, 2011
0 komentar:
Post a Comment