Can You See Me part 14
10
TAHUN KEMUDIAN
“Bobby, kamu sudah
siap?” panggil Risa nyaring.
“iya bentar,” sahut
suara melengking di kejauhan.
“Bobby, kamu di
mana?” panggil Risa, berkeliling rumah mencari Bobby dan berhenti ketika
melihat Bobby
meringkuk dibawah meja makan. Risa menariknya, tangan kirinya berkacak
pinggang, “apa yang
kamu lakukan disitu?”
“mengambil mobilku
ma,” jawab Bobby menengadah memandang mamanya sambil tersenyum,
memperlihatkan satu
gigi depannya yang tanggal. Bobby buru-buru menyembunyikan mainan
mobil-mobilannya
dibelakang punggungnya begitu melihat tatapan marah Risa.
“ayo kita sudah
hampir terlambat kerumah kakek,” kata risa cepat, berjongkok sehingga sejajar
dengan anaknya,
dengan kilat memasukkan baju dan merapikan rambut Bobby dengan tangan.
“kamu tidak perlu
membawa mainanmu.”
“tapi ma...” protes
Bobby sambil memandang sayang pada mobil mainan di tangannya namun
perhatiannya teralih
oleh kedatangan papanya.
“berangkat sekarang
Ris?” tanya Viko, menyelipkan kacamata kedalam kantong bajunya lalu
mengambil kunci mobil
dari saku celananya.
“nah, selesai,” kata
Risa puas sambil mengecup kening Bobby, tersenyum, lalu bangkit berdiri.
“tapi ma, aku
mau....” kata Bobby merengek sambil menarik-narik rok Risa namun risa tidak
menghiraukannya.
“aduh, dimana aku
meletakkan tasku,” kata Risa bingung lalu bergegas mencarinya di kamar.
“kenapa Bob?” tanya
Viko ramah seraya menggendong Bobby yang bermuka muram menuju
halaman depan.
“boleh aku bawa ini
pa?” tanyanya penuh harap, memperlihatkan mainannya. “boleh ya.”
“hm...papa rasa tidak
perlu,” jawab Viko bijasana lalu cepat-cepat menghibur ketika melihat
Bobby tampak tidak
bersemangat pergi. “kakek akan menghadiahkan mainan baru buatmu.”
“benar??? Horeee,”
seru Bobby dengan mata bersinar-sinar, kembali bersemangat lalu memaksa
turun, kembali masuk
rumah. “aku lupa topiku,” katanya seraya berlari-lari riang.
Viko mengawasinya
sampai menghilang dari pandangan dengan maklum. Benar-benar pelupa,
sama seperti ibunya,
batinnya. Tanpa terasa Bobby sudah sebesar ini. Bobby baru berusia enam
tahun. Tapi
tingkahnya lebih dewasa daripada anak seumurannya. Ia sangat penurut dan
pengertian sehingga
tidak membuat mereka repot.
Sewaktu tahu anak
mereka laki-laki, kami memberinya nama Bobby, dengan harapan bisa
mengingat Bobby,
sahabat risa di masa lalu, setiap saat dalam hati mereka. Viko mengerti betapa
Risa sangat mnghargai
sahabatnya itu. Selain itu, jika saja bukan karena mereka, Bobby tentunya
tidak akan meninggal.
Pada saat itu Risa keluar dari dalam rumah menenteng tas dan bungkusan
besar sambil
berkomat-kamit sendiri.
“...kunci kamar,
jendela ditutup, kompor sudah mati, bawaan untuk ayah, tas, kurang apalagi
ya...” kata Risa,
berhenti ketika melihatnya lalu memandang berkeliling seolah mencari sesuatu.
“lho?! Bobby mana?”
“di dalam, lagi
ngambil topi. Sudahlah jangan serius gitu, santai dikit,” bujuk Viko seraya
mengedipkan mata
kepada Risa yang tampak kelewat sibuk.
Risa membuka mulut
hendak membantah tapi mengurungkan niatnya, memandangnya sewot.
“baik. Baik. Aku mau
ngeluarin mobil dulu,” kata Viko buru-buru, melihat tatapan membakar
Risa.
“hmph... biar
kujemput Bobby,” gumam risa menghela napas. Namun sebelum ia masuk ke
dalam rumah, Bobby
sudah muncul duluan memakai topi terbalik, tampak senang dan bergaya.
“ayo mama, nanti
telat,” ajak Bobby gembira, menirukan cara bicara mamanya. Risa sampai
terheran-heran
melihat sikapnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat anaknya begitu
bersemangat.
Risa mengunci pintu,
menggiring Bobby keluar pagar dimana Viko sudah menunggu didalam
mobil dan yang
terakhir menggembok pintu pagar. Risa duduk menemani Bobby di bangku
belakang. Sepanjang
perjalanan menuju rumah ayah Viko, Bobby berceloteh tanpa henti. Ia
menceritakan tentang
temannya yang bernama Anastasia, Riki anak tetangga sebelah yang
kemarin bermain di
rumah, buku cerita kesukaannya, menerka apakah dirumah kakeknya ada ice
cream. Risa
menanggapi sepintas-sepintas. Sekarang risa sedang menasehati Bobby supaya
tidak
mengacau di sana atau
membuat repot kakeknya.
“dan ingat! Nanti
kalo ketemu kakek bilang apa?” tanya Risa mengetes, menahan Bobby dengan
kedua tangannya agar
tidak tersungkur ketika Viko mengerem mobil mendadak.
“SELAMAt ULANG TAHUN
KAKEK!” seru Bobby lantang, merentangkan tangannya lebarlebar.
“pinterrr,” kata Risa
ceria lalu memeluk Bobby dengan senang.
Di bangku depan, Viko
tertawa geli. Sedari tadi ia menyimak percakapan istri dan anaknya,
kadang memandang
mereka dari kaca spion. Risa memberi pandangan menegur padanya. Viko
tahu betul hal yang
membuat Bobby gembira adalah setiap berkunjung kerumah ayahnya, Bobby
pasti diberi hadiah
sperti permen, bku gambar, pensil warna, balok susun. Tapi tadi ia
membocorkan rahasia
bahwa ayahnya akan memberikan mainan baru kepada Bobby.
Mereka akhirnya tiba
dirumah ayah Viko. Begitu pintu rumah dibuka, terdengar suara ramai dari
dalamnya. Bibik yang
membuka pintu tampak senang melihat kedatangan mereka.
“halo non, apa kabar?
Sudah ditunggu-tunggu daritadi,” katanya seraya menjabat tangan Risa.
“ayo ayo masuk.”
“baik baik bik,”
jawab Risa lalu melihat lebih banyak orang dirumah itu. Sementara itu
dibeakangnya, bibik
sibuk menyapa Viko dan Bobby.
“lho den Bobby tambah
tinggi ya.”
Ayah dan Viko datang
menghampirinya dengan rindu, tampak tua dengan rambut putihnya. Ia
memeluk Risa singkat.
“selamat ulang
tahunyah,” bisik Risa. “ini kado buat ayah.”
“terimakasih, senang
rasanya bisa kumpul lagi,” kata ayah Viko menerima bingkisan dari tangan
Risa terharu selagi
risa mencium kilat kedua pipinya.
“SELAMAT ULANG TAHUN
KAKEK!” seru Bobby mendadak dari sebelahnya seperti yang
sudah direncanakan.
Risa tersenyum geli.
“o... Bobby. Kakek
kangen sekali,” katanya seraya memeluk Bobby dan menepuk pundaknya.
Bobby mencium kedua
pipi kakeknya. “kamu sudah besar ya.”
“dari dulu kakek
bilang sudah besar, berarti sama aja dong sama tahun lalu,” kata Bobby polos
namun masuk akal.
Ayah mertuanya hanya terkekeh.
“selamat ulang tahun
ayah,” kata Viko, memeluk ayahnya penuh rindu.
Risa menoleh ke arah
lain dan melihat orang tuanya bersama Letty sedang asyik menuang
minuman ke dalam
gelas-gelas kosong. Risa menghampiri mereka.
“rokmu pendek banget
ya let,” kata Risa sambil lalu.
“ah, kakak ini.
Namanya juga remaja,” sahut Letty centil.
“oh hai Bobby.”
“ha tante,” Risa
mendengar anaknya menyapa Letty. Ia melirik mereka dan melihat Letty
cemberut disapa
seperti itu.
“bukan tante. Panggil
aja kakak. Ingat ya! Kaaakak bukan tante,” kata Letty pelan-pelan
menasehati.
“iya tante. Eh
maksudku kakak. Kok aneh ya,” jawab Bobby menurut sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
“halo pa, ma,” sapa
Risa penuh nyaman.
“mama sudah tahu kamu
pasti datang telat,” kata mamanya sambil memberi pandangan penuh
arti kepada ayahnya
seakan berkata ‘betul kan dugaanku’ .
“sehat-sehat aja
Ris?” tanya ayahnya. “eh ini cucu kakek.”
Bobby digendong oleh
ayahnya dan mendapat ciuman di dahinya.
“halo kakek. Halo
nenek,” sapa Bobby dengan suara mungilnya.
“Bobby mau minum apa?
Nenek ambilin ya,” tanya ibu Risa.
“apa kabar pa, ma,”
sapa Viko yang muncul di sebelah Risa. “kamu tambah cantik aja Let.”
Letty tersipu-sipu
malu. Risa melirik Viko sekilas namun Viko justru diam-diam mengalungkan
tangan ke sekeliling
pinggangnya dan menariknya mendekat ke arahnya. Sekarang ganti Risa
yang tersipu-sipu
walaupun tidak ditunjukkannya. Risa berpikir bahwa suaminya ini pandai
sekali mengambil hati
orang.
“ayo ayo ini kuenya,”
kata suara bibik membahana, mengatasi suara ribut disana, membuat
perhatian mereka
teralih.
Maka hari itu mreka
bergembira ria merayakan ulang tahun ayah Viko. Ayah Viko meniup lilin
diatas kue tart lalu
memotong dan membagi-bagikannya kepada semua orang. Viko asyik
memotret momen-momen
itu. Tak lama kemudian mereka menyantap masakan sedap yang
disediakan bibik.
Bibik bahkan ikut makan bersama mereka di meja. Bibik sudah menyediakan
meja panjang khusus
untuk acara ulang tahun ini.
Bobby asyik berbicara
dengan ayah Viko dan orang tuanya. Bibik asyik mengobrol dengan Letty
dan Viko. Risa hanya
mendengar percakapan yang berlangsung di meja itu sambil mengenang
masa lalunya. Ia
sangat merindukan saat seperti ini. Semua orang terdekatnya berkumpul
bersama merayakan
sesuatu, memeriahkan suasana dan terkadang bernostalgia.
“Bobby nggak pengen
punya adik?” tanya ayah Viko tiba-tiba dari ujung meja, membuat Risa
tersedak sedangkan
Viko menyemburkan sebagian air yang tengah diminumnya.
“pengen!” jawab Bobby
spontan. “aku pengen punya adik perempuan.”
Orang tua Risa
memandang kearahnya. Risa dan Viko segera menguasai diri dan berpura-pura
tidak mendengar
pembicaraan ini sehingga tidak perlu berkomentar.
“oh iya let,
sekolahmu gimana?” tanya risa mencari topik pembicaraan.
“biasa aja kak.
Sering-sering dong maen ke rumah. Sepi juga nggak ada kakak,” kata Letty.
Risa mengangguk lalu
melihat ke seberang meja. Rupanya ayah mertuanya masih membicarakan
masalah anak bersama
orang tuanya.
“kalau gitu minta
adik sama mama papamu dong,” kata ayah Risa menganjurkan kepada Bobby.
Gawatnya, Bobby
menanggapi serius ucapan kakeknya.
“pa, Bobby minta
adik,” seru Bobby menuntut, mulutnya penuh makanan. “sekarang!”
“wah wah wah. Papa
ragu Bobby bisa jaga adik. Jangan-jangan nanti malah rebutan mainan,”
kata viko menanggapi,
dengan gugup meneguk minumannya.
“enggak kok enggak,
janji ya? Ya? Ya?” kata Bobby rewel.
“mirip siapa ya?”
bisik Risa menyindir seraya mendekatkan wajahnya ke telinga Viko.
Viko tersenyum geli
mendengarnya. Rengekan Bobby benar-benar mengingatkan akan dirinya
dulu.
“kenapa sih tiba-tiba
pengen punya adik?” tanya risa menegur, mengatasi suara ribut anaknya.
“gakpapa non. Jaman
bibik dulu punya anak sembilan itu biasa,” kata bibik mendukung, risa
hanya bisa menunduk
lesu mendengar ucapan bibiknya. Satu anak saja sudah cukup menguras
perhatian apalagi
sembilan, batinnya.
“mereka berdua ini
seperti pengantin baru saja,” kata ayah Viko sambil tersenyum genit. “jadi
iri...”
“mama ini ngomong apa
sih,” tegur Viko malu-malu.
“muka kakak merah
tuh,” goda Letty ikut nimbrung.
“enggak,” kata Risa
cepat, memberi tatapan mengancam kepada adiknya.
“papa pengen gendong
cucu lagi lho Vik,” kata ayah Risa ikut-ikutan, membuat Viko tidak
nyaman, bergerak
gelisah di kursinya.
Risa dan viko saling
pandang sejenak. Viko memandangnya kemudian tersenyum. Risa
menatapnya, ia tahu
betul apa yang ada dalam pikiran Viko. Rasanya baru kemarin mereka
saling mengenal. Cara
yang aneh untuk bertemu. Lalu ia pun tersenyum. Dalam sekejap Risa
melupakan bahwa
mereka berada ditengah keluarga mereka yang sekarang sedang mengamati
mereka berdua.
Keheningan akhirnya dipecahkan oleh seruan bawel Bobby.
“AKU MINTA ADIK!”
-The
End-
0 komentar:
Post a Comment