December 26, 2015

Can You See Me part 14

10 TAHUN KEMUDIAN
“Bobby, kamu sudah siap?” panggil Risa nyaring.
“iya bentar,” sahut suara melengking di kejauhan.
“Bobby, kamu di mana?” panggil Risa, berkeliling rumah mencari Bobby dan berhenti ketika
melihat Bobby meringkuk dibawah meja makan. Risa menariknya, tangan kirinya berkacak
pinggang, “apa yang kamu lakukan disitu?”
“mengambil mobilku ma,” jawab Bobby menengadah memandang mamanya sambil tersenyum,
memperlihatkan satu gigi depannya yang tanggal. Bobby buru-buru menyembunyikan mainan
mobil-mobilannya dibelakang punggungnya begitu melihat tatapan marah Risa.
“ayo kita sudah hampir terlambat kerumah kakek,” kata risa cepat, berjongkok sehingga sejajar
dengan anaknya, dengan kilat memasukkan baju dan merapikan rambut Bobby dengan tangan.
“kamu tidak perlu membawa mainanmu.”
“tapi ma...” protes Bobby sambil memandang sayang pada mobil mainan di tangannya namun
perhatiannya teralih oleh kedatangan papanya.
“berangkat sekarang Ris?” tanya Viko, menyelipkan kacamata kedalam kantong bajunya lalu
mengambil kunci mobil dari saku celananya.
“nah, selesai,” kata Risa puas sambil mengecup kening Bobby, tersenyum, lalu bangkit berdiri.
“tapi ma, aku mau....” kata Bobby merengek sambil menarik-narik rok Risa namun risa tidak
menghiraukannya.
“aduh, dimana aku meletakkan tasku,” kata Risa bingung lalu bergegas mencarinya di kamar.
“kenapa Bob?” tanya Viko ramah seraya menggendong Bobby yang bermuka muram menuju
halaman depan.
“boleh aku bawa ini pa?” tanyanya penuh harap, memperlihatkan mainannya. “boleh ya.”
“hm...papa rasa tidak perlu,” jawab Viko bijasana lalu cepat-cepat menghibur ketika melihat
Bobby tampak tidak bersemangat pergi. “kakek akan menghadiahkan mainan baru buatmu.”
“benar??? Horeee,” seru Bobby dengan mata bersinar-sinar, kembali bersemangat lalu memaksa
turun, kembali masuk rumah. “aku lupa topiku,” katanya seraya berlari-lari riang.
Viko mengawasinya sampai menghilang dari pandangan dengan maklum. Benar-benar pelupa,
sama seperti ibunya, batinnya. Tanpa terasa Bobby sudah sebesar ini. Bobby baru berusia enam
tahun. Tapi tingkahnya lebih dewasa daripada anak seumurannya. Ia sangat penurut dan
pengertian sehingga tidak membuat mereka repot.
Sewaktu tahu anak mereka laki-laki, kami memberinya nama Bobby, dengan harapan bisa
mengingat Bobby, sahabat risa di masa lalu, setiap saat dalam hati mereka. Viko mengerti betapa
Risa sangat mnghargai sahabatnya itu. Selain itu, jika saja bukan karena mereka, Bobby tentunya
tidak akan meninggal. Pada saat itu Risa keluar dari dalam rumah menenteng tas dan bungkusan
besar sambil berkomat-kamit sendiri.
“...kunci kamar, jendela ditutup, kompor sudah mati, bawaan untuk ayah, tas, kurang apalagi
ya...” kata Risa, berhenti ketika melihatnya lalu memandang berkeliling seolah mencari sesuatu.
“lho?! Bobby mana?”
“di dalam, lagi ngambil topi. Sudahlah jangan serius gitu, santai dikit,” bujuk Viko seraya
mengedipkan mata kepada Risa yang tampak kelewat sibuk.
Risa membuka mulut hendak membantah tapi mengurungkan niatnya, memandangnya sewot.
“baik. Baik. Aku mau ngeluarin mobil dulu,” kata Viko buru-buru, melihat tatapan membakar
Risa.
“hmph... biar kujemput Bobby,” gumam risa menghela napas. Namun sebelum ia masuk ke
dalam rumah, Bobby sudah muncul duluan memakai topi terbalik, tampak senang dan bergaya.
“ayo mama, nanti telat,” ajak Bobby gembira, menirukan cara bicara mamanya. Risa sampai
terheran-heran melihat sikapnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat anaknya begitu
bersemangat.
Risa mengunci pintu, menggiring Bobby keluar pagar dimana Viko sudah menunggu didalam
mobil dan yang terakhir menggembok pintu pagar. Risa duduk menemani Bobby di bangku
belakang. Sepanjang perjalanan menuju rumah ayah Viko, Bobby berceloteh tanpa henti. Ia
menceritakan tentang temannya yang bernama Anastasia, Riki anak tetangga sebelah yang
kemarin bermain di rumah, buku cerita kesukaannya, menerka apakah dirumah kakeknya ada ice
cream. Risa menanggapi sepintas-sepintas. Sekarang risa sedang menasehati Bobby supaya tidak
mengacau di sana atau membuat repot kakeknya.
“dan ingat! Nanti kalo ketemu kakek bilang apa?” tanya Risa mengetes, menahan Bobby dengan
kedua tangannya agar tidak tersungkur ketika Viko mengerem mobil mendadak.
“SELAMAt ULANG TAHUN KAKEK!” seru Bobby lantang, merentangkan tangannya lebarlebar.
“pinterrr,” kata Risa ceria lalu memeluk Bobby dengan senang.
Di bangku depan, Viko tertawa geli. Sedari tadi ia menyimak percakapan istri dan anaknya,
kadang memandang mereka dari kaca spion. Risa memberi pandangan menegur padanya. Viko
tahu betul hal yang membuat Bobby gembira adalah setiap berkunjung kerumah ayahnya, Bobby
pasti diberi hadiah sperti permen, bku gambar, pensil warna, balok susun. Tapi tadi ia
membocorkan rahasia bahwa ayahnya akan memberikan mainan baru kepada Bobby.
Mereka akhirnya tiba dirumah ayah Viko. Begitu pintu rumah dibuka, terdengar suara ramai dari
dalamnya. Bibik yang membuka pintu tampak senang melihat kedatangan mereka.
“halo non, apa kabar? Sudah ditunggu-tunggu daritadi,” katanya seraya menjabat tangan Risa.
“ayo ayo masuk.”
“baik baik bik,” jawab Risa lalu melihat lebih banyak orang dirumah itu. Sementara itu
dibeakangnya, bibik sibuk menyapa Viko dan Bobby.
“lho den Bobby tambah tinggi ya.”
Ayah dan Viko datang menghampirinya dengan rindu, tampak tua dengan rambut putihnya. Ia
memeluk Risa singkat.
“selamat ulang tahunyah,” bisik Risa. “ini kado buat ayah.”
“terimakasih, senang rasanya bisa kumpul lagi,” kata ayah Viko menerima bingkisan dari tangan
Risa terharu selagi risa mencium kilat kedua pipinya.
“SELAMAT ULANG TAHUN KAKEK!” seru Bobby mendadak dari sebelahnya seperti yang
sudah direncanakan. Risa tersenyum geli.
“o... Bobby. Kakek kangen sekali,” katanya seraya memeluk Bobby dan menepuk pundaknya.
Bobby mencium kedua pipi kakeknya. “kamu sudah besar ya.”
“dari dulu kakek bilang sudah besar, berarti sama aja dong sama tahun lalu,” kata Bobby polos
namun masuk akal. Ayah mertuanya hanya terkekeh.
“selamat ulang tahun ayah,” kata Viko, memeluk ayahnya penuh rindu.
Risa menoleh ke arah lain dan melihat orang tuanya bersama Letty sedang asyik menuang
minuman ke dalam gelas-gelas kosong. Risa menghampiri mereka.
“rokmu pendek banget ya let,” kata Risa sambil lalu.
“ah, kakak ini. Namanya juga remaja,” sahut Letty centil.
“oh hai Bobby.”
“ha tante,” Risa mendengar anaknya menyapa Letty. Ia melirik mereka dan melihat Letty
cemberut disapa seperti itu.
“bukan tante. Panggil aja kakak. Ingat ya! Kaaakak bukan tante,” kata Letty pelan-pelan
menasehati.
“iya tante. Eh maksudku kakak. Kok aneh ya,” jawab Bobby menurut sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
“halo pa, ma,” sapa Risa penuh nyaman.
“mama sudah tahu kamu pasti datang telat,” kata mamanya sambil memberi pandangan penuh
arti kepada ayahnya seakan berkata ‘betul kan dugaanku’ .
“sehat-sehat aja Ris?” tanya ayahnya. “eh ini cucu kakek.”
Bobby digendong oleh ayahnya dan mendapat ciuman di dahinya.
“halo kakek. Halo nenek,” sapa Bobby dengan suara mungilnya.
“Bobby mau minum apa? Nenek ambilin ya,” tanya ibu Risa.
“apa kabar pa, ma,” sapa Viko yang muncul di sebelah Risa. “kamu tambah cantik aja Let.”
Letty tersipu-sipu malu. Risa melirik Viko sekilas namun Viko justru diam-diam mengalungkan
tangan ke sekeliling pinggangnya dan menariknya mendekat ke arahnya. Sekarang ganti Risa
yang tersipu-sipu walaupun tidak ditunjukkannya. Risa berpikir bahwa suaminya ini pandai
sekali mengambil hati orang.
“ayo ayo ini kuenya,” kata suara bibik membahana, mengatasi suara ribut disana, membuat
perhatian mereka teralih.
Maka hari itu mreka bergembira ria merayakan ulang tahun ayah Viko. Ayah Viko meniup lilin
diatas kue tart lalu memotong dan membagi-bagikannya kepada semua orang. Viko asyik
memotret momen-momen itu. Tak lama kemudian mereka menyantap masakan sedap yang
disediakan bibik. Bibik bahkan ikut makan bersama mereka di meja. Bibik sudah menyediakan
meja panjang khusus untuk acara ulang tahun ini.
Bobby asyik berbicara dengan ayah Viko dan orang tuanya. Bibik asyik mengobrol dengan Letty
dan Viko. Risa hanya mendengar percakapan yang berlangsung di meja itu sambil mengenang
masa lalunya. Ia sangat merindukan saat seperti ini. Semua orang terdekatnya berkumpul
bersama merayakan sesuatu, memeriahkan suasana dan terkadang bernostalgia.
“Bobby nggak pengen punya adik?” tanya ayah Viko tiba-tiba dari ujung meja, membuat Risa
tersedak sedangkan Viko menyemburkan sebagian air yang tengah diminumnya.
“pengen!” jawab Bobby spontan. “aku pengen punya adik perempuan.”
Orang tua Risa memandang kearahnya. Risa dan Viko segera menguasai diri dan berpura-pura
tidak mendengar pembicaraan ini sehingga tidak perlu berkomentar.
“oh iya let, sekolahmu gimana?” tanya risa mencari topik pembicaraan.
“biasa aja kak. Sering-sering dong maen ke rumah. Sepi juga nggak ada kakak,” kata Letty.
Risa mengangguk lalu melihat ke seberang meja. Rupanya ayah mertuanya masih membicarakan
masalah anak bersama orang tuanya.
“kalau gitu minta adik sama mama papamu dong,” kata ayah Risa menganjurkan kepada Bobby.
Gawatnya, Bobby menanggapi serius ucapan kakeknya.
“pa, Bobby minta adik,” seru Bobby menuntut, mulutnya penuh makanan. “sekarang!”
“wah wah wah. Papa ragu Bobby bisa jaga adik. Jangan-jangan nanti malah rebutan mainan,”
kata viko menanggapi, dengan gugup meneguk minumannya.
“enggak kok enggak, janji ya? Ya? Ya?” kata Bobby rewel.
“mirip siapa ya?” bisik Risa menyindir seraya mendekatkan wajahnya ke telinga Viko.
Viko tersenyum geli mendengarnya. Rengekan Bobby benar-benar mengingatkan akan dirinya
dulu.
“kenapa sih tiba-tiba pengen punya adik?” tanya risa menegur, mengatasi suara ribut anaknya.
“gakpapa non. Jaman bibik dulu punya anak sembilan itu biasa,” kata bibik mendukung, risa
hanya bisa menunduk lesu mendengar ucapan bibiknya. Satu anak saja sudah cukup menguras
perhatian apalagi sembilan, batinnya.
“mereka berdua ini seperti pengantin baru saja,” kata ayah Viko sambil tersenyum genit. “jadi
iri...”
“mama ini ngomong apa sih,” tegur Viko malu-malu.
“muka kakak merah tuh,” goda Letty ikut nimbrung.
“enggak,” kata Risa cepat, memberi tatapan mengancam kepada adiknya.
“papa pengen gendong cucu lagi lho Vik,” kata ayah Risa ikut-ikutan, membuat Viko tidak
nyaman, bergerak gelisah di kursinya.
Risa dan viko saling pandang sejenak. Viko memandangnya kemudian tersenyum. Risa
menatapnya, ia tahu betul apa yang ada dalam pikiran Viko. Rasanya baru kemarin mereka
saling mengenal. Cara yang aneh untuk bertemu. Lalu ia pun tersenyum. Dalam sekejap Risa
melupakan bahwa mereka berada ditengah keluarga mereka yang sekarang sedang mengamati
mereka berdua. Keheningan akhirnya dipecahkan oleh seruan bawel Bobby.
“AKU MINTA ADIK!”

-The End-

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates