Can You See Me part 12
HATI
YANG BIMBANG
“kamu lagi mikir apa?
Kelihatannya serius sekali,” tanya Viko. Ini yang ketiga kalinya ia dan
Risa bertemu di kafe
favorit mereka.
“hm,..” kata Risa
masih sibuk termenung lalu mnjelaskannya lambat-lambat, “aku kan belum
memaafkanmu. Ingat
kan kejadian RS waktu dulu? Aku bingung bagaimana kau harus
membayarnya.”
“ya ampun... kau
masih mengingatnya ya,” kata Viko tak habis pikir, tak menyangka
sempatsempatnya
Risa membuat
perhitungan dengannya. “kupikir kamu lagi mikirin apa. Ndak tahunya
Cuma masalah itu.
Maaf deh...”
“Cuma masalah itu?!”
sahut Risa galak, matanya membelalak sebesar mata burung hantu. Viko
sempat seram
memandangnya. “aku kan kesal banget. Untung aja kita bisa ketemu lagi. Nah, ayo
bayar,” runtut Risa,
memiringkan kepala menantang.
“bayar gimana? Pake
uang atau apa?” tanya Viko bingung, putus asa tidak tahu harus berbuat
apa.
“yak gak tau. Pokonya
bukan uanglah, emangnya aku mata duitan kayak kamu,” kata Risa
sengit. “makanya dari
tadi aku bingung...”
“hm...oke oke, aku
tahu,” kata Viko sambil berpikir keras.
Viko tidak tahu
kenapa ia harus menanggapi serius permintaan Risa. Mungkin ia memang harus
menebus kesalahannya,
batinnya. Lalu mendadak ia mendapat ide. “baiklah.”
Ia meraih kedua
telapak tngan Risa di atas meja. Viko menatap Risa mantap. Risa
memandangnya
bertanya-tanya. Risa diam, menunggu. Apa yang hendak dilakukan Viko, batin
Risa.
“ehem ehem,” Viko
berlagak resmi, “saudari Risa. Apakah anda bersedia mndampingi saudara
Viko baik dalam
senang maupun duka, muda maupun tua, ganteng maupun jelek?” kata Viko
setengah bergurau.
Walaupun begitu ia nampak serius.
Risa mengangkat alis,
menilai apakah Viko sedang mengajaknya bercanda. Ketika Viko tampak
serius menunggu
jawaban darinya. Ia pun menjawab.
“bersedia,” jawab
Risa seraya menahan tawa karena tidak menyangka Viko bisa mengatakan hal
sekonyol ini,
“kecuali saat kau sedang buang gas.”
Viko tertawa
terbhak-bahak, matanya sampai berair. Risa tersenyum ke arahnya. Senyumnya
manis sekali. Viko
mengenali senyum ini sama seperti saat Risa sedang menjadi Anita. Senyum
yng dirindukannya
selma ini.
“kamu ini bisa saja,”
ledek Risa yang tampak lebih riang dan santai.
“jadi selama ini kamu
bertemu dengannya Ris?” kata suara lain menyela. Mereka tidak
menyadari kedatangan
pria itu.
“apa yang kamu
lakukan di sini Bobby?” tanya Risa kaget.
“seharusnya aku yang
menanyakan itu padamu,” balasnya sengit.
“kamu mengenalnya
Ris?” tanya Viko dengan pandangan bertanya.
“dia sahabatku di
sekolah,” jawab risa cepat. “biar kujelaskan Bobby...”
“kenapa kau tidak
mengatakan terus terang kepada kami?” potong Bobby terluka. “selama ini
kami mencemaskanmu.
Apakah dia lebih penting dari kami? Lebih penting dariku?”ada
Ada penekanan pada
ucapan terakhir Bobby. Bobby menatap Risa dan Viko bergantian. Apakah
Risa menganggap
hubungan mereka ini hanya lelucon.
“tunggu dulu. Ini
tidak seperti yang kau bayangkan,” kata Risa buru-buru.
“tidak seperti yang
kubyangkan? Jadi kamu mau bilang kalau kamu tidak sedang berpacaran
dengannya?” tanya
Bobby tidak percaya. Ekspresinya berubah. “katakan padaku ris sejak kapan
kau mengenalnya? Kamu
menganggap au ini apa?”
Bobby merasa
dikhianati oleh Risa, sahabat yang diam-diam ia sukai selama ini. Ia tidak
ingin
mendengar penjelasan
apa pun. Ia tidak menyangka Risa berusaha menyembunyikan kenyataan
ini darinya. Hatinya
marah dan kecewa. Semua perhatiannya selama ini apakah hanya dianggap
sebagai agin lalu.
Semua pengorbanannya dan harapannya tampak tidak berarti. Bagaimana bisa
penantiannya selama
dua tahun ini bisa digantikan dengan orang yang baru dikenal Risa. Risa
telah memberikan
harapan kosong padanya.
“kamu Bobby kan?”
tanya Viko, teringat perjumpaan mereka d bengkel sepeda motor waktu
dulu.
“ya. Aku tidak
menyangka kita akan berteu lagi. Dunia ini sempit ya,” kata Bobby geram,
berusaha menahan agar
tidak menonjok pria yang lebih tinggi darinya itu.
“Bobby, aku baru saja
mengenalnya,” ucap Viko yang bingung dengan sikap Bobby. Benarkah
ini Bobby yang sempat
dikenalnya dulu?
“baru kenal? Tapi
hubungan kalian sudah sejauh ini. Hebat juga,” sindir Bobby yang tidak bisa
mengendalikan
amarahnya.
“Bobby kumohon
dengarkan aku,” kata Risa memelas. Bobby memandangnya galak.
“kau berbohong Ris.
Kenapa harus sembunyi-sembunyi. Takut kami akan mengganggu kalian?
Kata Bobby menusuk.
“Bobby ini sungguh
tidak seperti yang kau kira. Aku tidak bermaksud membohongimu,” kata
risa yang sekarang
benar-benar panik.
“tidak bermaksud
membohongiku? Manis sekali. Cukup Ris. Aku paham. Tidak perlu kau
jelaskan lagi,” kata
Bobby tegas.
Bobby melangkah
keluar secepatnya. Selagi ia menarik pintu, ia mendengar Risa berkata kepada
Viko.
“aku harus
mengejarnya. Aku harus menjelaskan salah paham ini. Kau tidak perlu mengantarku
pulang,” ucap risa
buru-buru.
“baiklah.”
Bobby bisa mendengar
Risa memanggil-manggil namanya dari belakang. Namun ia sangat
terpukul, ia tidak
ingin bertemu dengan Risa saat ini. Maka Bobby melangkah dengan cepat,
berbelok tajam di
tikungan lalu melihat toko elektronik superbesar di ujung jalan. Lagu yang
diputar dari dalam
toko membahana sampai ke jalanan. Tanpa berlama-lama lagi Bobby
melangkah masuk. Ia
menyelipkan diri di antara barang-barang elektronik berukuran besar
sehingga terhalang
pandangan.
Saat berikutnya ia
melihat Risa sedang kebingungan mencarinya, mondar-mandir sepanjang
jalan itu. Ia bisa
melihat risa dari kaca toko yang transparan. Risa sekarang putus asa,
kehilangan
jejak. Risa melangkah
dengan lesu, kepalanya menunduk lalu bersandar pada kaca etalase toko
di dekatnya, menatap
langit kelam di atasnya. Mereka hanya terpisah beberapa meter. Baik Risa
maupun Bobby terdiam
lama. Belum mereka berdebat seperti ini.
Lagu berikutnya
mengalun sedih mencerminkan perasaannya saat itu. Bobby mendengarkan
dengan seksama. ia
tahu bahwa Risa juga sedang mendengarkan lagu ini diluar.
...cause all that’s
left has gone away
And there’s nothing
there for you to prove
Oh , look what you’ve
done
You’ve made a fool of
everyone
Oh well, it seems
likes such fun
Until you lose what
you had won
Give me back my point
of view
Cause I just can’t
think for you
I can hardly hear you
say
“what should I do?”,
well you choose...
Bobby tahu ia tidak
benar-benar marah terhadap Risa. Ia juga tidak ingin membuat Risa sedih.
Hanya saja ia ingin
sekali Risa memberi kesempatan padanya sekali saja untuk menjadi orang
yang paling
dibutuhkan. Bobby tidak keberatan bila Risa membohonginya beberapa kali atau
bahkan beratus-ratus
kali, asalkan Risa bersedia berada di sisinya. Ia sangat mengenal Risa. Risa
bukanlah orang macam
itu, Risa pasti punya alasan kuat menyembunyikan hal ini dari temanteman
dekatnya. Toh ini
semua hanyalah masalah waktu. Bobby tidak tahu pada saat itu bukan
hanya dirinya yang
merasa merana. Saat itu, Risa dan Viko juga merasa kesepian.
Viko masih belum
meninggalkan kafe itu. Ia terdiam memandang minumannya. Ia lupa bahwa
Risa telah kembali ke
asalnya. Ia baru sadar bahwa ia tidak mengenal kehidupan Risa saat ini.
Bagaimana dengan
keluarganya, teman-temanya, pemikirannya, seklahnya atau apakah Risa
telah mempunyai
seseorang yang dicintai sebelum bertemu dengannya, apakah perasaan Risa
terhadapnya telah
berubah. Viko merasa bersalah ia tidak pernah menanyakan hal itu kepada
Risa. Ia terlalu
gembira mengetahui bahwa Risa masih hidup.
“apakah hubunganku
saat ini bisa berthan lama?” gumamya lesu, eneguk habis minumannya.
Risa bersandar lemas
pada kaca toko. Ia takut kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya terlebih ia
merasa bersalah
terhadap Bobby. Risa bingung bagaimana harus menceritakannya namun ia tahu
belum saatnya untuk
memberitahu mereka. Yang pasti, ia harus menjelaskan secepatnya. Bobby
pasti akan
menghindarinya. Ia tidak ingin Bobby menjauhinya. Ia tahu bahwa ia telah
melukai
perasaannya.
“apa yang sebaiknya
kulakukan,” desah Risa mengharap petunjuk. Alunan lagu yang di
dengarnya dari dalam
toko membuat perasaannya semakin merasa bersalah.
Oh , look what you’ve
done
You’ve made a fool of
everyone
Oh well, it seems
likes such fun
Until you lose what
you had won
Saat lagu berjudul
Look What You’ve Done oleh grup JET itu berakhir, Risa beranjak pergi. Tak
lama kemudian Bobby
mengintipnya sembunyi-sembunyi dari pintu toko. Risa berjalan dengan
lambat seolah tidak punya
tujuan. Viko mengawasinya dari baik kaca kafe, namun ia hanya bisa
membiarkan Risa yang
tengah berwajah murung lewat begitu saja. Belum pernah ia begini sedih.
Mungkin saat ini ia
harus berlapang dada dan berharap risa telah menemukan orang yang tepat
baginya. Seharusnya
ia sudah menyerah dan berharap suatu hari nanti mereka dapat berteman
dan berbicara seperti
biasa.
“jika aku benar-benar
berarti bagimu, menolehlah ke belakang. Menolehlah. Menolehlah,”
gumam Bobby penuh
harap kepada sosok Risa dari belakang.
Lalu Risa mendadak
berhenti melangkah lalu berputar ke belakang. Bobby bersembunyi tepat
pada waktunya,
menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Risa menoleh ke belakang,
berharap bisa melihat
Bobby dan menjelaskan apa yang terjadi namun jalanan itu penuh berisi
orang banyak yang
tidak dikenalnya.
Bobby terhenyak,
bersandar pada pintu toko, tidak menghiraukan pengunjung yang melihatnya
curiga saat masuk ke
dalam toko. Bobby mengintip Risa kembali, Risa berjalan menuju tikungan
lalu lenyap dari
pandangan. Sekarang ia tahu, ia tidak bisa berhenti mencintai Risa saat ini.
Mungkin akan
menyakitkan dan melelahkan jika ia terus bersikap seperti ini. Tetap saja, ia
tidak
mau menyerah sampai
dirinya sendiri memutuskan untuk berhenti.
***
Bobby kembali ke
kafe. Sebenarnya dia bermaksud menemui temannya di lantai atas.
Langkahnya terhenti
begitu melihat Viko masih duduk di salah satu meja.
Viko menyadari
kehadirannya. Bobby hendak langsung menghambur menaiki tangga namun
Viko lebih dulu
menghampirinya.
“Kumohon, jangan
salah paham pada Risa. Aku bisa menjelaskannya.”
“jangan bermain-main
dengan Risa,” ancam Bobby.
“apa?” tanya Viko
tidak paham.
“aku mengenal Risa
jauh lebih dulu darimu. Sedangkan kau, seberapa dalam kau mengenalnya?
Apa saja yang telah kau
lakukan untuknya? Kau membuatnya berubah. Risa lebih memilih kau
dibanding
teman-temannya sejak kecil.”
“aku tidak mengerti.”
Bobby memandang Viko
sengit. “aku akan merebutnya drimu. Kamu gak pantas jadi pacarnya.
Kamu gak
menyadarinya?”
“apa maksudmu?” kata
Viko terperanjat.
“dengar,” potong
Bobby. “aku ingn kau mundur. Kau hanya akan menyakitinya pada akhirnya.”
Sambil berkata
begitu, Bobby membuang muka lalu menaiki anak tangga, meninggalkan Viko
yang kebingungan
mendengar kata-katanya.
Viko terdiam. Ia baru
menyadari bahwa banyak yang tidak diketahuinya mengenai Risa. Tentang
orang-orang
terdekatnya, tentang kehidupan mereka sebelum bertemu dll. Ucapan Bobby ada
benarnya. Dan bila
Risa berubah, ini karena salahnya.
Sebenarnya apa yang
disukai Risa dari dirinya? Kenangan? Yang menyatukan ereka hanyalah
sepenggal kisah masa
lalu. Sedangkah masa lalu adalah masa lalu...
Viko belum pernah
jatuh cinta pada seseorang seperti ini. Namun ketika mengalaminya, ia
menjadi tidak yakin
dan tidak percaya diri. Entah mengapa, ia merasa tidak tenang. Bukankah
semuanya berlangsung
seperti yang diharapkan? Tetapi terasa ada yang mengganjal.
Jessy
dan Jenny
Jessy dan Jenny
sedang mengikuti pelajaran terakhir sebelum pulang sekolah yaitu sejarah.
Karena gurunya sibuk
mencatat dan menjelaskan tanpa memperhatikan ke arah murid-murid,
maka Jessy dan Jenny
yang duduk berjauhan saling berkirim surat. Mereka menulis di secarik
kertas yang
dilipat-lipat kemudian meminta bantuan teman-teman untuk mengedarkannya.
Eh, Jessy. Kamu lihat
sikap Risa sama Bobby beberapa hari ini gak? Mereka kok agak aneh ya.
Kayak gak kenal aja.
Kamu tahu gak ada apa?
Iya sama. Aku juga
ngerasa gitu. Tapi aku gak tahu kenapa. Trus kita harus gimana?
Aku juga bingung
harus gimana. Kamu bantuin cari ide dong. Waktu istirahat tadi Bobby gak
nongol, Risa juga
kayak gak ada apa-apa. Bikin orang bingung aja. Ntar pulang sekolah pasti gak
ada acara
kumpul-kumpul lagi. Aku takut mau tanya langsung ke Risa atau Bobby. Emangnya
mereka mau kayak gini
sampe kapan....
Duh jangan jelasin
panjang lebar gitu dong. Aku juga jadi bngung. Sekarang kita jadi bertiga lagi
deh. Ntar aku pinjem
catatanmu ya. Aku males nyatet nih. Lagipula pak Dito ini ngomong apa
sih, gak ngerti.
Serius dikit dong!
Kita kan lagi mbicarain tentang Risa sama Bobby. Kita harus menyelidiki
sendiri. Tapi gimana
ya caranya?
Jangan bilang kita
harus jadi mata-mata trus ngikutin mereka tiap hari mulai dari pergi ke WC,
pulang sekolah, ikut
nonton sepakbola, ikut belanja macm-macem. Aku gak mau ikutan! Nyerah,
capek, ngeselin,
buang-buang waktu dan tenaga.
Kok malah kamu yang
protes sih? Sapa bilang kita mau jadi mata-mata. Aku juga gak suka.
Pokoknya kita mesti
tanya mereka satu persatu kalo ada kesempatan. Kalo bsa kita selesaikan
hari ini juga.
Kayak maen detektif
aja. Ya udahlah. Tapi sepertinya masalahnya gawat deh. Kamu yakin bisa
nyelesaiin dalam
waktu satu hari?
Itu kan Cuma
perumpamaan adikku tersayaang... menurutku juga gitu. Kayaknya mereka habis
bertengkar hebat.
Serem juga. Kita harus hati-hati Jes. Jangan sampai menyinggung perasaan
mereka. Tau-tau kita
bisa kena getahnya.
Kena getah? Lengket
dong. He he he becanda. Serius banget sih. Iya aku tahu, aku kan bukan
anak kecil lagi.
Sayangnya kamu tuh
sering salah bicara di saat yang nggak tepat. Sadar nggak sih? Ntar...kalo
ketemu salah satu
dari mereka, jangan sampai nyebut-nyebut nama Risa dan Bobby. Oke? Udah
ah aku gak
selesai-selesai nyatet nih.
***
“eh, eh, Bobby. Hus
hus, eh salah. Hei Bobby. BOBBY!” teriak Jessy tanpa sadar karena
jengkel. Bobby tidak
mengacuhkannya. Untungnya Bobby menoleh.
“kenapa sih? Berisik
tau.”
Bel pulang sekolah
baru saja berdering. Sesuai rencana, Jessy berusaha mencegat Bobby ketika
melintas melewati
kelasnya sementara Jenny sedang mencari Risa.
“kamu sih pura-pura
gak denger,” gerutu Jessy sebal berusaha menyamakan langkahnya dengan
langkah Bobby yang
terburu-buru. “habis gini ada acara gak? Temenin aku makan di kantin ya?
Laper nih.”
“gak bisa. Minta
temenin kembaranmu aja. Mana dia?” tanya Bobby lalu memandang
berkeliling.
“sakit perut.
Sekarang lagi di kamar mandi, gak tau kapan selesainya. Ayolah, temenin aku
makan dng. Makan
sendirian kan sepi,” bujuk Jessy dengan sorot mata memelas, dalam hati
memuji aktingnya.
Bobby tampak bimbang
tapi tak tega juga.
“okelah.”
“thank you,” kata
Jessy manis.
Jessy dan Bobby makan
dalam diam. Tak lama kemudian Jenny muncul.
“hallo Bobby,”
sapanya, tampak puas dengan Jessy.
“udah selesai
setornya(buang air)?” tanya Bobby sambil menelan nasi gorengnya.
“apa?” kata Jenny tidak
paham, memberi pandangan bertanya kepada Jessy. Jessy mengedipngedip
memberi tanda sambil
menyantap baksonya. Jenny cepat-cepat menjawab, “eh oh iya.”
“eh Bob. Nanti malam
dateng ke rumahku ya. Aku bingung mau nulis proposal gimana ke kepala
sekolah. Kamu kan
lebih pengalaman,” kata Jenny serius, meminta tolong.
Jenny baru tahun ini
mengikuti OSIS sedangkan Bobby sudah 3 tahun ikut OSIS.
“ntar malem? Emang
kapan harus diserahin?” tanya Bobby sementara Jenny memesan teh botol.
“lusa. Aduh aku
beneran bngung nih. Belum lagi tugasku numpuk. Tolong dong....” kata Jenny
memelas. Di
sebelahnya Jessy tersedak baksonya.
“bolehlah,” jawab
Bobby berbaik hati, “tapi aku bsanya jam 7. Gimna?”
“terserah deh, yang
penting bisa. Tertolong akhirnya, makasih ya,” kata Jenny bersyukur.
Bobby sedang
mnghabiskan es jeruknya ketika ia melihat si kembar menyedot teh botol
masingmasing
dengan gugup. Jenny
tidak sadar ia masih menyedot tehnya yang sudah habis sedangkan
Jessy justru meniup
sedotannya sehingga menimbulkan gelembung-gelembung dalam teh
botolnya.
“kalian berdua ini
kenapa sih?” tanyanya heran bercampur curiga. Si kembar tampak salah
tingkah.
“apanya?” tanya Jenny
biasa-biasa saja sementara Jessy tergopoh-gopoh hendsk meminum
obatnya. “ya ampun
Jes! Gak boleh minum obat sekarang, kan habis minum teh. Jadinya netral
kan di lambung. Kamu
ngedengerin pelajaran kimia gak sih?”
“oh iya ya,” kata
Jessy meminta maaf lalu memasukkan kembali obatnya. Untungnya Bobby
sudah tidak bersikap
curiga lagi kepada mereka.
“aku balik dulu ya,”
sahut Bobby, memanggul tasnya. “sampai ntar malem.”
“eh, nanti perlu
kutelpon apa gak? Sapa tau kamu lupa,” kata Jenny masuk akal.
“nggak perlu. Aku
ingat kok. yuk,” jawab Bobby cepat lalu meninggalkan mereka berdua yang
tersenyum gembira.
“yes,” pekik Jessy
girang begitu Bobby menghilang dari pandangan.
“Tos,” kata Jenny
sambil mengangkat tangan kanannya. Jessy melakukan hal yang sama lalu
menepukkan tangan
mereka.
“Risa ada telpon tuh
dari Jenny,” kata mamanya kepada Risa yang sedang menonton TV siaran
malam bersama ayah
dan Letty.
“oh iya bentar,”
sahut Risa yang langsung berdiri dan berlari tergesa-gesa, menerima gagang
telpon yang diulurkan
mama. “halo.”
“eh Ris. Kamu bisa ke
tempat kami sekarang gak?” tanya Jenny misterius.
“sekarang???” tanya
Risa sambil mendongak memandang jam dinding di seberang ruangan,
dahinya mengernyit.
Hampir ja tujuh. “ada apa emangnya?”
“kami punya kejutan.
Kamu harus datang ya,” kata Jenny bersemangat.
Risa memilin-milin
rambutnya, tampak bingung. Ia hendak menolak tapi merasa tidak enak.
“tapi ini kan sudah
malam. Apa nggak bisa nunggu sampai besok?” tanyanya khawatir.
“halo, halo Ris. Aku
punya sesuatu nih. Datang ya,” sahut suara Jessy.
“deh Jessy mnggir
dong. Justru kejutannya hari in kalau besok gak seru, ho ho ho,” kata Jenny
jenaka, membuat Risa
tambah penasaran.
“hm,...bukan binatang
peliharaan kan?” tanya Risa menebak, teringat tentang Jessy yang sudah
tidak berminat
mempunyai binatang-binatang peliharaan.
“binatang? Binatang
apa?” tanya Jessy tidak mengerti, menandakan tebakannya salah.
“boleh aku bawa Letty
juga? Takut nih malam-malam sendirian ke tempat kalian,” tanya Risa
bergidik,
membayangkan jalanan yang sepi.
“eh. Jangan. Jangan,”
cegah Jessy tiba-tiba, membuat Risa kaget. “maksudku kan bahaya buat
Letty. Orangkan lebih
tertarik nyulik dia daripada kamu. Iya kalau penculiknya mau nyulik dia
aja, kalau mau nyulik
kalian berdua gimana? Kan mending nyulik satu daripada dua sekalig...”
“kamu ini ngomong apa
sih? Sana gantian,” potong Jenny, rupanya si kembar sedang rebutan
telpon. Risa menunggu
sambil menahan tawa. “ya ampun Ris, rumah kita kan dekeeet banget.
Bentar aja juga
nyampe. Takut banget sih!”
“tumben kalian
nyiapin kejutan. Bikin orang penasaran aja. Ya udah deh. Aku berangkat
sekarang,” jawab Risa
akhirnya. Di seberang terdengar sorakan gembira si kembar.
“ya udah. Kami
tunggu. Buruan!” seru Jenny sebelum menutup telpon.
Risa naik ke kamarnya
mengambil jaket lalu berpamitan kepada Letty dan orang tuanya.
“ati-ati Ris,” kata
ayah.
“ada apa ya,” kata mama
ingin tahu.
“Letty juga mau dapat
kejutan,” ucap Letty kecewa.
Risa menutup pintu
pagar, berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke kanan kiri.
“awas kalo Cuma
main-main,” gumamnya kedinginan seraya memikirkan hukuman yang pantas
bagi si kembar bila
mengerjainya.
***
“Jenny ada tante?”
tanya Bobby dari balik pagar. Sepeda motornya diparkir di samping pagar
kuning rumah si
kembar. “lho?!” komentar ibu si kembar bingung, “Jenny sama Jessy hari ini
menginap dirumah
neneknya. Bobby nggak tahu ya?”
“apa? Jenny kok gak
bilang ya, lupa barangkali,” kata Bobby ikut-ikutan bingung. “boleh saya
tahu alamat mereka?”
“Jalan diponegoro
nomor 5. Tante minta maaf ya, merepotkanmu saja. Awas kalau Jenny pulang
nanti, biar ibu
nasehati.”
“gak usah tante. Biar
saya susul ke sana,” kata Bobby, maklum mengingat ketololan yang biasa
dilakukan si kembar.
“ya sudah. Hati-hati
ya,” sahut ibu Jenny lalu melangkah masuk rumah.
Agak kecewa, Bobby
naik ke atas motornya. Ketika ia hendak memasang helm keatas kepalanya,
ia melihat sosok
seseorang yang berjalan agak menunduk di ujung jalan bergerak ke arahnya.
Sosok itu sperti
dikenalnya. Semakin mendekat lalu Bobby mengenalinya.
“Risa,” gumamnya.
“apa artinya ini...”
Risa mendongak dan
telah melihatnya juga. Sejenak mereka bertatapan tidak mengerti dalam
diam.
“Bob..Bobby?” tanya
Risa tak percaya.
Kemudian Risa
berbalik dan melangkah pergi. Sebenarnya Risa masih marah karena Bobby
meninggalkannya
begitu saja tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Ditambah lagi
sikap Bobby yang
berlagak seolah tidak melihatnya sewaktu di sekolah membuatnya kesal. Pasti
ini rencana Jessy dan
Jenny, pikirnya. Bodohnya aku, percaya begitu saja.
“he Ris, tunggu,”
teriak Bobby yang melangkah turun dari motornya lalu mengejar Risa.
Risa tidak berhenti.
Bobby terpaksa mengejar dan meraih tangannya.
“tunggu Ris.
Dengarkan aku. Sebentar saja,” kata Bobby kepada Risa yang menatapnya galak,
menghadang
langkahnya.
“kenapa aku harus
mendengarkanmu? Kamu kan tidak mau mendengarku, jadi kita impas,” seru
Risa ketus lalu
mendorong Bobby agar menyingkir.
“Ris. Ris, dengarkan
aku dulu. Aku tahu aku terlalu emosi waktu itu. Aku mintamaaf,” kata
Bobby serius, membuat
Risa menghentikan langkahnya dan berbalik memandangnya.
“aku minta maaf Ris.
Kamu mau kan memaafkanku?”
“hm... baiklah,” kata
Risa riang mendadak air mukanya tampak bersahabat. Risa sendiri tidak
betah berlama-lama
bertengkar dengan Bobby. “apa yang kamu lakukan disini?”
“oh Jenny memintaku
membantunya membuat proposal . tidak tahunya mereka malah menginap
ke tempat neneknya,”
kta Bobby lega bisa berbaikan dengan Risa. “kamu sendiri ngapain jalanjalan
sendirian malam-malam
begini?”
“oh, itu.. si kembar
memintaku datang. Ada kejutan katanya. Karena penasaran aku datang saja,”
kata Risa agak kaku.
Mereka terdiam lagi,
mencerna informasi ini lalu keduanya tertawa. Mereka pasti bodoh. Si
kembar telah
mengerjai mereka dengan lihai. Namun usaha Jessy dan Jenny tidak sia-sia.
“kelihatannya Jenny
tidak perlu bantuan,” kata Bobby berubah haluan, Risa mengangguk setuju.
Bobby mengambil
motornya lalu berhenti di sebelah Risa. “mau ku antar sampai rumah?”
“oh nggak, jalan kaki
saja. Dekat kok. trims,” kata Risa menolak ajakan Bobby.
“benerrrr?”
“bener. Aha kamu
pikir aku takut ya,” kata Risa becanda, “maaf ya, anda sa...ngat benar.”
Mereka tertawa.
Memang beginilah seharusnya keadaan disaat mereka bersama.
“aku pulang dulu deh.
Kamu ke arah sana kan?” tanya Risa sembari menunjuk ke ujung jalan
yang berlawanan.
Sementara itu Bobby memutar motornya.
“eh Ris. Sebenarnya
alasanku marah waktu itu karena.... aku suka kamu,” kata Bobby tiba-tiba,
membuat Risa sendiri
mematung karena kaget.
“o...oh...begitu,”
kata Risa bereaksi, agak tercengang. Ia sendiri tidak tahu apa yang
dikatakannya. Lalu
menyesal sendiri karena ucapannya terdengar tolol.
“hati-hati ya
pulangnya. Dah,” kata Bobby singkat lalu pergi, meninggalkan Risa yang seakan
tampak seperti
selongsong kosong.
Risa tidak sadar ia
masih berdiri di dekat rumah si kembar. Lamunanya buyar ketika ada mobil
yang melintas. Ia
beranjak pergi, merasakan wajahnya memerah. Ia tidak percaya pada apa yang
bau didengarnya. Ia
pernah menduganya tapi tidak menyangka bahwa hal ini benar-benar terjadi.
Tiba-tiba ia sudah
tiba di rumah, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dari keluarganya dan
langsung menaiki
tangga menuju kamarnya. Di atas, Risa bisa mendengar suara orang tuanya
sayup-sayup.
“lihat dia.”
“segitu kagetnya
sampai tidak bisa bicara.”
“kira-kira apa ya
kejutannya.”
“apa dia kena
serangan jantung seperti Jessy?”
“entahlah.”
0 komentar:
Post a Comment