December 26, 2015

Can You See Me part 12

HATI YANG BIMBANG
“kamu lagi mikir apa? Kelihatannya serius sekali,” tanya Viko. Ini yang ketiga kalinya ia dan
Risa bertemu di kafe favorit mereka.
“hm,..” kata Risa masih sibuk termenung lalu mnjelaskannya lambat-lambat, “aku kan belum
memaafkanmu. Ingat kan kejadian RS waktu dulu? Aku bingung bagaimana kau harus
membayarnya.”
“ya ampun... kau masih mengingatnya ya,” kata Viko tak habis pikir, tak menyangka sempatsempatnya
Risa membuat perhitungan dengannya. “kupikir kamu lagi mikirin apa. Ndak tahunya
Cuma masalah itu. Maaf deh...”
“Cuma masalah itu?!” sahut Risa galak, matanya membelalak sebesar mata burung hantu. Viko
sempat seram memandangnya. “aku kan kesal banget. Untung aja kita bisa ketemu lagi. Nah, ayo
bayar,” runtut Risa, memiringkan kepala menantang.
“bayar gimana? Pake uang atau apa?” tanya Viko bingung, putus asa tidak tahu harus berbuat
apa.
“yak gak tau. Pokonya bukan uanglah, emangnya aku mata duitan kayak kamu,” kata Risa
sengit. “makanya dari tadi aku bingung...”
“hm...oke oke, aku tahu,” kata Viko sambil berpikir keras.
Viko tidak tahu kenapa ia harus menanggapi serius permintaan Risa. Mungkin ia memang harus
menebus kesalahannya, batinnya. Lalu mendadak ia mendapat ide. “baiklah.”
Ia meraih kedua telapak tngan Risa di atas meja. Viko menatap Risa mantap. Risa
memandangnya bertanya-tanya. Risa diam, menunggu. Apa yang hendak dilakukan Viko, batin
Risa.
“ehem ehem,” Viko berlagak resmi, “saudari Risa. Apakah anda bersedia mndampingi saudara
Viko baik dalam senang maupun duka, muda maupun tua, ganteng maupun jelek?” kata Viko
setengah bergurau. Walaupun begitu ia nampak serius.
Risa mengangkat alis, menilai apakah Viko sedang mengajaknya bercanda. Ketika Viko tampak
serius menunggu jawaban darinya. Ia pun menjawab.
“bersedia,” jawab Risa seraya menahan tawa karena tidak menyangka Viko bisa mengatakan hal
sekonyol ini, “kecuali saat kau sedang buang gas.”
Viko tertawa terbhak-bahak, matanya sampai berair. Risa tersenyum ke arahnya. Senyumnya
manis sekali. Viko mengenali senyum ini sama seperti saat Risa sedang menjadi Anita. Senyum
yng dirindukannya selma ini.
“kamu ini bisa saja,” ledek Risa yang tampak lebih riang dan santai.
“jadi selama ini kamu bertemu dengannya Ris?” kata suara lain menyela. Mereka tidak
menyadari kedatangan pria itu.
“apa yang kamu lakukan di sini Bobby?” tanya Risa kaget.
“seharusnya aku yang menanyakan itu padamu,” balasnya sengit.
“kamu mengenalnya Ris?” tanya Viko dengan pandangan bertanya.
“dia sahabatku di sekolah,” jawab risa cepat. “biar kujelaskan Bobby...”
“kenapa kau tidak mengatakan terus terang kepada kami?” potong Bobby terluka. “selama ini
kami mencemaskanmu. Apakah dia lebih penting dari kami? Lebih penting dariku?”ada
Ada penekanan pada ucapan terakhir Bobby. Bobby menatap Risa dan Viko bergantian. Apakah
Risa menganggap hubungan mereka ini hanya lelucon.
“tunggu dulu. Ini tidak seperti yang kau bayangkan,” kata Risa buru-buru.
“tidak seperti yang kubyangkan? Jadi kamu mau bilang kalau kamu tidak sedang berpacaran
dengannya?” tanya Bobby tidak percaya. Ekspresinya berubah. “katakan padaku ris sejak kapan
kau mengenalnya? Kamu menganggap au ini apa?”
Bobby merasa dikhianati oleh Risa, sahabat yang diam-diam ia sukai selama ini. Ia tidak ingin
mendengar penjelasan apa pun. Ia tidak menyangka Risa berusaha menyembunyikan kenyataan
ini darinya. Hatinya marah dan kecewa. Semua perhatiannya selama ini apakah hanya dianggap
sebagai agin lalu. Semua pengorbanannya dan harapannya tampak tidak berarti. Bagaimana bisa
penantiannya selama dua tahun ini bisa digantikan dengan orang yang baru dikenal Risa. Risa
telah memberikan harapan kosong padanya.
“kamu Bobby kan?” tanya Viko, teringat perjumpaan mereka d bengkel sepeda motor waktu
dulu.
“ya. Aku tidak menyangka kita akan berteu lagi. Dunia ini sempit ya,” kata Bobby geram,
berusaha menahan agar tidak menonjok pria yang lebih tinggi darinya itu.
“Bobby, aku baru saja mengenalnya,” ucap Viko yang bingung dengan sikap Bobby. Benarkah
ini Bobby yang sempat dikenalnya dulu?
“baru kenal? Tapi hubungan kalian sudah sejauh ini. Hebat juga,” sindir Bobby yang tidak bisa
mengendalikan amarahnya.
“Bobby kumohon dengarkan aku,” kata Risa memelas. Bobby memandangnya galak.
“kau berbohong Ris. Kenapa harus sembunyi-sembunyi. Takut kami akan mengganggu kalian?
Kata Bobby menusuk.
“Bobby ini sungguh tidak seperti yang kau kira. Aku tidak bermaksud membohongimu,” kata
risa yang sekarang benar-benar panik.
“tidak bermaksud membohongiku? Manis sekali. Cukup Ris. Aku paham. Tidak perlu kau
jelaskan lagi,” kata Bobby tegas.
Bobby melangkah keluar secepatnya. Selagi ia menarik pintu, ia mendengar Risa berkata kepada
Viko.
“aku harus mengejarnya. Aku harus menjelaskan salah paham ini. Kau tidak perlu mengantarku
pulang,” ucap risa buru-buru.
“baiklah.”
Bobby bisa mendengar Risa memanggil-manggil namanya dari belakang. Namun ia sangat
terpukul, ia tidak ingin bertemu dengan Risa saat ini. Maka Bobby melangkah dengan cepat,
berbelok tajam di tikungan lalu melihat toko elektronik superbesar di ujung jalan. Lagu yang
diputar dari dalam toko membahana sampai ke jalanan. Tanpa berlama-lama lagi Bobby
melangkah masuk. Ia menyelipkan diri di antara barang-barang elektronik berukuran besar
sehingga terhalang pandangan.
Saat berikutnya ia melihat Risa sedang kebingungan mencarinya, mondar-mandir sepanjang
jalan itu. Ia bisa melihat risa dari kaca toko yang transparan. Risa sekarang putus asa, kehilangan
jejak. Risa melangkah dengan lesu, kepalanya menunduk lalu bersandar pada kaca etalase toko
di dekatnya, menatap langit kelam di atasnya. Mereka hanya terpisah beberapa meter. Baik Risa
maupun Bobby terdiam lama. Belum mereka berdebat seperti ini.
Lagu berikutnya mengalun sedih mencerminkan perasaannya saat itu. Bobby mendengarkan
dengan seksama. ia tahu bahwa Risa juga sedang mendengarkan lagu ini diluar.
...cause all that’s left has gone away
And there’s nothing there for you to prove
Oh , look what you’ve done
You’ve made a fool of everyone
Oh well, it seems likes such fun
Until you lose what you had won
Give me back my point of view
Cause I just can’t think for you
I can hardly hear you say
“what should I do?”, well you choose...
Bobby tahu ia tidak benar-benar marah terhadap Risa. Ia juga tidak ingin membuat Risa sedih.
Hanya saja ia ingin sekali Risa memberi kesempatan padanya sekali saja untuk menjadi orang
yang paling dibutuhkan. Bobby tidak keberatan bila Risa membohonginya beberapa kali atau
bahkan beratus-ratus kali, asalkan Risa bersedia berada di sisinya. Ia sangat mengenal Risa. Risa
bukanlah orang macam itu, Risa pasti punya alasan kuat menyembunyikan hal ini dari temanteman
dekatnya. Toh ini semua hanyalah masalah waktu. Bobby tidak tahu pada saat itu bukan
hanya dirinya yang merasa merana. Saat itu, Risa dan Viko juga merasa kesepian.
Viko masih belum meninggalkan kafe itu. Ia terdiam memandang minumannya. Ia lupa bahwa
Risa telah kembali ke asalnya. Ia baru sadar bahwa ia tidak mengenal kehidupan Risa saat ini.
Bagaimana dengan keluarganya, teman-temanya, pemikirannya, seklahnya atau apakah Risa
telah mempunyai seseorang yang dicintai sebelum bertemu dengannya, apakah perasaan Risa
terhadapnya telah berubah. Viko merasa bersalah ia tidak pernah menanyakan hal itu kepada
Risa. Ia terlalu gembira mengetahui bahwa Risa masih hidup.
“apakah hubunganku saat ini bisa berthan lama?” gumamya lesu, eneguk habis minumannya.
Risa bersandar lemas pada kaca toko. Ia takut kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya terlebih ia
merasa bersalah terhadap Bobby. Risa bingung bagaimana harus menceritakannya namun ia tahu
belum saatnya untuk memberitahu mereka. Yang pasti, ia harus menjelaskan secepatnya. Bobby
pasti akan menghindarinya. Ia tidak ingin Bobby menjauhinya. Ia tahu bahwa ia telah melukai
perasaannya.
“apa yang sebaiknya kulakukan,” desah Risa mengharap petunjuk. Alunan lagu yang di
dengarnya dari dalam toko membuat perasaannya semakin merasa bersalah.
Oh , look what you’ve done
You’ve made a fool of everyone
Oh well, it seems likes such fun
Until you lose what you had won
Saat lagu berjudul Look What You’ve Done oleh grup JET itu berakhir, Risa beranjak pergi. Tak
lama kemudian Bobby mengintipnya sembunyi-sembunyi dari pintu toko. Risa berjalan dengan
lambat seolah tidak punya tujuan. Viko mengawasinya dari baik kaca kafe, namun ia hanya bisa
membiarkan Risa yang tengah berwajah murung lewat begitu saja. Belum pernah ia begini sedih.
Mungkin saat ini ia harus berlapang dada dan berharap risa telah menemukan orang yang tepat
baginya. Seharusnya ia sudah menyerah dan berharap suatu hari nanti mereka dapat berteman
dan berbicara seperti biasa.
“jika aku benar-benar berarti bagimu, menolehlah ke belakang. Menolehlah. Menolehlah,”
gumam Bobby penuh harap kepada sosok Risa dari belakang.
Lalu Risa mendadak berhenti melangkah lalu berputar ke belakang. Bobby bersembunyi tepat
pada waktunya, menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Risa menoleh ke belakang,
berharap bisa melihat Bobby dan menjelaskan apa yang terjadi namun jalanan itu penuh berisi
orang banyak yang tidak dikenalnya.
Bobby terhenyak, bersandar pada pintu toko, tidak menghiraukan pengunjung yang melihatnya
curiga saat masuk ke dalam toko. Bobby mengintip Risa kembali, Risa berjalan menuju tikungan
lalu lenyap dari pandangan. Sekarang ia tahu, ia tidak bisa berhenti mencintai Risa saat ini.
Mungkin akan menyakitkan dan melelahkan jika ia terus bersikap seperti ini. Tetap saja, ia tidak
mau menyerah sampai dirinya sendiri memutuskan untuk berhenti.
***
Bobby kembali ke kafe. Sebenarnya dia bermaksud menemui temannya di lantai atas.
Langkahnya terhenti begitu melihat Viko masih duduk di salah satu meja.
Viko menyadari kehadirannya. Bobby hendak langsung menghambur menaiki tangga namun
Viko lebih dulu menghampirinya.
“Kumohon, jangan salah paham pada Risa. Aku bisa menjelaskannya.”
“jangan bermain-main dengan Risa,” ancam Bobby.
“apa?” tanya Viko tidak paham.
“aku mengenal Risa jauh lebih dulu darimu. Sedangkan kau, seberapa dalam kau mengenalnya?
Apa saja yang telah kau lakukan untuknya? Kau membuatnya berubah. Risa lebih memilih kau
dibanding teman-temannya sejak kecil.”
“aku tidak mengerti.”
Bobby memandang Viko sengit. “aku akan merebutnya drimu. Kamu gak pantas jadi pacarnya.
Kamu gak menyadarinya?”
“apa maksudmu?” kata Viko terperanjat.
“dengar,” potong Bobby. “aku ingn kau mundur. Kau hanya akan menyakitinya pada akhirnya.”
Sambil berkata begitu, Bobby membuang muka lalu menaiki anak tangga, meninggalkan Viko
yang kebingungan mendengar kata-katanya.
Viko terdiam. Ia baru menyadari bahwa banyak yang tidak diketahuinya mengenai Risa. Tentang
orang-orang terdekatnya, tentang kehidupan mereka sebelum bertemu dll. Ucapan Bobby ada
benarnya. Dan bila Risa berubah, ini karena salahnya.
Sebenarnya apa yang disukai Risa dari dirinya? Kenangan? Yang menyatukan ereka hanyalah
sepenggal kisah masa lalu. Sedangkah masa lalu adalah masa lalu...
Viko belum pernah jatuh cinta pada seseorang seperti ini. Namun ketika mengalaminya, ia
menjadi tidak yakin dan tidak percaya diri. Entah mengapa, ia merasa tidak tenang. Bukankah
semuanya berlangsung seperti yang diharapkan? Tetapi terasa ada yang mengganjal.
Jessy dan Jenny
Jessy dan Jenny sedang mengikuti pelajaran terakhir sebelum pulang sekolah yaitu sejarah.
Karena gurunya sibuk mencatat dan menjelaskan tanpa memperhatikan ke arah murid-murid,
maka Jessy dan Jenny yang duduk berjauhan saling berkirim surat. Mereka menulis di secarik
kertas yang dilipat-lipat kemudian meminta bantuan teman-teman untuk mengedarkannya.
Eh, Jessy. Kamu lihat sikap Risa sama Bobby beberapa hari ini gak? Mereka kok agak aneh ya.
Kayak gak kenal aja. Kamu tahu gak ada apa?
Iya sama. Aku juga ngerasa gitu. Tapi aku gak tahu kenapa. Trus kita harus gimana?
Aku juga bingung harus gimana. Kamu bantuin cari ide dong. Waktu istirahat tadi Bobby gak
nongol, Risa juga kayak gak ada apa-apa. Bikin orang bingung aja. Ntar pulang sekolah pasti gak
ada acara kumpul-kumpul lagi. Aku takut mau tanya langsung ke Risa atau Bobby. Emangnya
mereka mau kayak gini sampe kapan....
Duh jangan jelasin panjang lebar gitu dong. Aku juga jadi bngung. Sekarang kita jadi bertiga lagi
deh. Ntar aku pinjem catatanmu ya. Aku males nyatet nih. Lagipula pak Dito ini ngomong apa
sih, gak ngerti.
Serius dikit dong! Kita kan lagi mbicarain tentang Risa sama Bobby. Kita harus menyelidiki
sendiri. Tapi gimana ya caranya?
Jangan bilang kita harus jadi mata-mata trus ngikutin mereka tiap hari mulai dari pergi ke WC,
pulang sekolah, ikut nonton sepakbola, ikut belanja macm-macem. Aku gak mau ikutan! Nyerah,
capek, ngeselin, buang-buang waktu dan tenaga.
Kok malah kamu yang protes sih? Sapa bilang kita mau jadi mata-mata. Aku juga gak suka.
Pokoknya kita mesti tanya mereka satu persatu kalo ada kesempatan. Kalo bsa kita selesaikan
hari ini juga.
Kayak maen detektif aja. Ya udahlah. Tapi sepertinya masalahnya gawat deh. Kamu yakin bisa
nyelesaiin dalam waktu satu hari?
Itu kan Cuma perumpamaan adikku tersayaang... menurutku juga gitu. Kayaknya mereka habis
bertengkar hebat. Serem juga. Kita harus hati-hati Jes. Jangan sampai menyinggung perasaan
mereka. Tau-tau kita bisa kena getahnya.
Kena getah? Lengket dong. He he he becanda. Serius banget sih. Iya aku tahu, aku kan bukan
anak kecil lagi.
Sayangnya kamu tuh sering salah bicara di saat yang nggak tepat. Sadar nggak sih? Ntar...kalo
ketemu salah satu dari mereka, jangan sampai nyebut-nyebut nama Risa dan Bobby. Oke? Udah
ah aku gak selesai-selesai nyatet nih.
***
“eh, eh, Bobby. Hus hus, eh salah. Hei Bobby. BOBBY!” teriak Jessy tanpa sadar karena
jengkel. Bobby tidak mengacuhkannya. Untungnya Bobby menoleh.
“kenapa sih? Berisik tau.”
Bel pulang sekolah baru saja berdering. Sesuai rencana, Jessy berusaha mencegat Bobby ketika
melintas melewati kelasnya sementara Jenny sedang mencari Risa.
“kamu sih pura-pura gak denger,” gerutu Jessy sebal berusaha menyamakan langkahnya dengan
langkah Bobby yang terburu-buru. “habis gini ada acara gak? Temenin aku makan di kantin ya?
Laper nih.”
“gak bisa. Minta temenin kembaranmu aja. Mana dia?” tanya Bobby lalu memandang
berkeliling.
“sakit perut. Sekarang lagi di kamar mandi, gak tau kapan selesainya. Ayolah, temenin aku
makan dng. Makan sendirian kan sepi,” bujuk Jessy dengan sorot mata memelas, dalam hati
memuji aktingnya.
Bobby tampak bimbang tapi tak tega juga.
“okelah.”
“thank you,” kata Jessy manis.
Jessy dan Bobby makan dalam diam. Tak lama kemudian Jenny muncul.
“hallo Bobby,” sapanya, tampak puas dengan Jessy.
“udah selesai setornya(buang air)?” tanya Bobby sambil menelan nasi gorengnya.
“apa?” kata Jenny tidak paham, memberi pandangan bertanya kepada Jessy. Jessy mengedipngedip
memberi tanda sambil menyantap baksonya. Jenny cepat-cepat menjawab, “eh oh iya.”
“eh Bob. Nanti malam dateng ke rumahku ya. Aku bingung mau nulis proposal gimana ke kepala
sekolah. Kamu kan lebih pengalaman,” kata Jenny serius, meminta tolong.
Jenny baru tahun ini mengikuti OSIS sedangkan Bobby sudah 3 tahun ikut OSIS.
“ntar malem? Emang kapan harus diserahin?” tanya Bobby sementara Jenny memesan teh botol.
“lusa. Aduh aku beneran bngung nih. Belum lagi tugasku numpuk. Tolong dong....” kata Jenny
memelas. Di sebelahnya Jessy tersedak baksonya.
“bolehlah,” jawab Bobby berbaik hati, “tapi aku bsanya jam 7. Gimna?”
“terserah deh, yang penting bisa. Tertolong akhirnya, makasih ya,” kata Jenny bersyukur.
Bobby sedang mnghabiskan es jeruknya ketika ia melihat si kembar menyedot teh botol masingmasing
dengan gugup. Jenny tidak sadar ia masih menyedot tehnya yang sudah habis sedangkan
Jessy justru meniup sedotannya sehingga menimbulkan gelembung-gelembung dalam teh
botolnya.
“kalian berdua ini kenapa sih?” tanyanya heran bercampur curiga. Si kembar tampak salah
tingkah.
“apanya?” tanya Jenny biasa-biasa saja sementara Jessy tergopoh-gopoh hendsk meminum
obatnya. “ya ampun Jes! Gak boleh minum obat sekarang, kan habis minum teh. Jadinya netral
kan di lambung. Kamu ngedengerin pelajaran kimia gak sih?”
“oh iya ya,” kata Jessy meminta maaf lalu memasukkan kembali obatnya. Untungnya Bobby
sudah tidak bersikap curiga lagi kepada mereka.
“aku balik dulu ya,” sahut Bobby, memanggul tasnya. “sampai ntar malem.”
“eh, nanti perlu kutelpon apa gak? Sapa tau kamu lupa,” kata Jenny masuk akal.
“nggak perlu. Aku ingat kok. yuk,” jawab Bobby cepat lalu meninggalkan mereka berdua yang
tersenyum gembira.
“yes,” pekik Jessy girang begitu Bobby menghilang dari pandangan.
“Tos,” kata Jenny sambil mengangkat tangan kanannya. Jessy melakukan hal yang sama lalu
menepukkan tangan mereka.
“Risa ada telpon tuh dari Jenny,” kata mamanya kepada Risa yang sedang menonton TV siaran
malam bersama ayah dan Letty.
“oh iya bentar,” sahut Risa yang langsung berdiri dan berlari tergesa-gesa, menerima gagang
telpon yang diulurkan mama. “halo.”
“eh Ris. Kamu bisa ke tempat kami sekarang gak?” tanya Jenny misterius.
“sekarang???” tanya Risa sambil mendongak memandang jam dinding di seberang ruangan,
dahinya mengernyit. Hampir ja tujuh. “ada apa emangnya?”
“kami punya kejutan. Kamu harus datang ya,” kata Jenny bersemangat.
Risa memilin-milin rambutnya, tampak bingung. Ia hendak menolak tapi merasa tidak enak.
“tapi ini kan sudah malam. Apa nggak bisa nunggu sampai besok?” tanyanya khawatir.
“halo, halo Ris. Aku punya sesuatu nih. Datang ya,” sahut suara Jessy.
“deh Jessy mnggir dong. Justru kejutannya hari in kalau besok gak seru, ho ho ho,” kata Jenny
jenaka, membuat Risa tambah penasaran.
“hm,...bukan binatang peliharaan kan?” tanya Risa menebak, teringat tentang Jessy yang sudah
tidak berminat mempunyai binatang-binatang peliharaan.
“binatang? Binatang apa?” tanya Jessy tidak mengerti, menandakan tebakannya salah.
“boleh aku bawa Letty juga? Takut nih malam-malam sendirian ke tempat kalian,” tanya Risa
bergidik, membayangkan jalanan yang sepi.
“eh. Jangan. Jangan,” cegah Jessy tiba-tiba, membuat Risa kaget. “maksudku kan bahaya buat
Letty. Orangkan lebih tertarik nyulik dia daripada kamu. Iya kalau penculiknya mau nyulik dia
aja, kalau mau nyulik kalian berdua gimana? Kan mending nyulik satu daripada dua sekalig...”
“kamu ini ngomong apa sih? Sana gantian,” potong Jenny, rupanya si kembar sedang rebutan
telpon. Risa menunggu sambil menahan tawa. “ya ampun Ris, rumah kita kan dekeeet banget.
Bentar aja juga nyampe. Takut banget sih!”
“tumben kalian nyiapin kejutan. Bikin orang penasaran aja. Ya udah deh. Aku berangkat
sekarang,” jawab Risa akhirnya. Di seberang terdengar sorakan gembira si kembar.
“ya udah. Kami tunggu. Buruan!” seru Jenny sebelum menutup telpon.
Risa naik ke kamarnya mengambil jaket lalu berpamitan kepada Letty dan orang tuanya.
“ati-ati Ris,” kata ayah.
“ada apa ya,” kata mama ingin tahu.
“Letty juga mau dapat kejutan,” ucap Letty kecewa.
Risa menutup pintu pagar, berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke kanan kiri.
“awas kalo Cuma main-main,” gumamnya kedinginan seraya memikirkan hukuman yang pantas
bagi si kembar bila mengerjainya.
***
“Jenny ada tante?” tanya Bobby dari balik pagar. Sepeda motornya diparkir di samping pagar
kuning rumah si kembar. “lho?!” komentar ibu si kembar bingung, “Jenny sama Jessy hari ini
menginap dirumah neneknya. Bobby nggak tahu ya?”
“apa? Jenny kok gak bilang ya, lupa barangkali,” kata Bobby ikut-ikutan bingung. “boleh saya
tahu alamat mereka?”
“Jalan diponegoro nomor 5. Tante minta maaf ya, merepotkanmu saja. Awas kalau Jenny pulang
nanti, biar ibu nasehati.”
“gak usah tante. Biar saya susul ke sana,” kata Bobby, maklum mengingat ketololan yang biasa
dilakukan si kembar.
“ya sudah. Hati-hati ya,” sahut ibu Jenny lalu melangkah masuk rumah.
Agak kecewa, Bobby naik ke atas motornya. Ketika ia hendak memasang helm keatas kepalanya,
ia melihat sosok seseorang yang berjalan agak menunduk di ujung jalan bergerak ke arahnya.
Sosok itu sperti dikenalnya. Semakin mendekat lalu Bobby mengenalinya.
“Risa,” gumamnya. “apa artinya ini...”
Risa mendongak dan telah melihatnya juga. Sejenak mereka bertatapan tidak mengerti dalam
diam.
“Bob..Bobby?” tanya Risa tak percaya.
Kemudian Risa berbalik dan melangkah pergi. Sebenarnya Risa masih marah karena Bobby
meninggalkannya begitu saja tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Ditambah lagi
sikap Bobby yang berlagak seolah tidak melihatnya sewaktu di sekolah membuatnya kesal. Pasti
ini rencana Jessy dan Jenny, pikirnya. Bodohnya aku, percaya begitu saja.
“he Ris, tunggu,” teriak Bobby yang melangkah turun dari motornya lalu mengejar Risa.
Risa tidak berhenti. Bobby terpaksa mengejar dan meraih tangannya.
“tunggu Ris. Dengarkan aku. Sebentar saja,” kata Bobby kepada Risa yang menatapnya galak,
menghadang langkahnya.
“kenapa aku harus mendengarkanmu? Kamu kan tidak mau mendengarku, jadi kita impas,” seru
Risa ketus lalu mendorong Bobby agar menyingkir.
“Ris. Ris, dengarkan aku dulu. Aku tahu aku terlalu emosi waktu itu. Aku mintamaaf,” kata
Bobby serius, membuat Risa menghentikan langkahnya dan berbalik memandangnya.
“aku minta maaf Ris. Kamu mau kan memaafkanku?”
“hm... baiklah,” kata Risa riang mendadak air mukanya tampak bersahabat. Risa sendiri tidak
betah berlama-lama bertengkar dengan Bobby. “apa yang kamu lakukan disini?”
“oh Jenny memintaku membantunya membuat proposal . tidak tahunya mereka malah menginap
ke tempat neneknya,” kta Bobby lega bisa berbaikan dengan Risa. “kamu sendiri ngapain jalanjalan
sendirian malam-malam begini?”
“oh, itu.. si kembar memintaku datang. Ada kejutan katanya. Karena penasaran aku datang saja,”
kata Risa agak kaku.
Mereka terdiam lagi, mencerna informasi ini lalu keduanya tertawa. Mereka pasti bodoh. Si
kembar telah mengerjai mereka dengan lihai. Namun usaha Jessy dan Jenny tidak sia-sia.
“kelihatannya Jenny tidak perlu bantuan,” kata Bobby berubah haluan, Risa mengangguk setuju.
Bobby mengambil motornya lalu berhenti di sebelah Risa. “mau ku antar sampai rumah?”
“oh nggak, jalan kaki saja. Dekat kok. trims,” kata Risa menolak ajakan Bobby.
“benerrrr?”
“bener. Aha kamu pikir aku takut ya,” kata Risa becanda, “maaf ya, anda sa...ngat benar.”
Mereka tertawa. Memang beginilah seharusnya keadaan disaat mereka bersama.
“aku pulang dulu deh. Kamu ke arah sana kan?” tanya Risa sembari menunjuk ke ujung jalan
yang berlawanan. Sementara itu Bobby memutar motornya.
“eh Ris. Sebenarnya alasanku marah waktu itu karena.... aku suka kamu,” kata Bobby tiba-tiba,
membuat Risa sendiri mematung karena kaget.
“o...oh...begitu,” kata Risa bereaksi, agak tercengang. Ia sendiri tidak tahu apa yang
dikatakannya. Lalu menyesal sendiri karena ucapannya terdengar tolol.
“hati-hati ya pulangnya. Dah,” kata Bobby singkat lalu pergi, meninggalkan Risa yang seakan
tampak seperti selongsong kosong.
Risa tidak sadar ia masih berdiri di dekat rumah si kembar. Lamunanya buyar ketika ada mobil
yang melintas. Ia beranjak pergi, merasakan wajahnya memerah. Ia tidak percaya pada apa yang
bau didengarnya. Ia pernah menduganya tapi tidak menyangka bahwa hal ini benar-benar terjadi.
Tiba-tiba ia sudah tiba di rumah, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dari keluarganya dan
langsung menaiki tangga menuju kamarnya. Di atas, Risa bisa mendengar suara orang tuanya
sayup-sayup.
“lihat dia.”
“segitu kagetnya sampai tidak bisa bicara.”
“kira-kira apa ya kejutannya.”
“apa dia kena serangan jantung seperti Jessy?”

“entahlah.”

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates