Can You See Me part 10
KEMBALI
Risa membuka mata,
pikirannya masih mengambang. Pertama kali terlihat olehnya langit-langit
kamar, ia mengangkat
tangannya, membalik-baliknya. Tangannya tergores di sana-sini, luka di
sikunya mengering.
Ini aku..., aku sudah kembali, pikirnya. Perutnya mual, bibirnya kering. Ia
memegang pipinya,
agak sakit ketika disentuh. Alat bantu pernapasan yang menyelubungi mulut
dan hidungnya
dilepasnya.
“aku kembali?”
katanya seolah terhipnotis. “aduuuhh,” Risa meraba kepalanya, mendapatinya
sedang terbalut
perban tebal kemudian melihatnya ke seluruh ruangan.
Kamar itu kosong, di
sebelahnya bergantungan selang, tabung infus. Lalu ia sadar sedang berada
di RS. Badannya kaku
sekali seperti robot. Tulang rusuknya terasa ngilu ketika digerakkan. Risa
menatap jendela di
seberang, memandang langit biru di atasnya.
“mimpi? Tapi terasa
nyata,” Risa terdiam, berusaha mengingat-ingat mimpi atau kenyataan yang
telah di jalaninya.
Semuanya bagaikan
kilasan film yang diputar mundur, Risa membayangkan bagaimana rumah
tempatnya tinggal,
orang-orang di dalamnya (ayah yang serius, Viko yang usil, Bik Ti yang
selalu menemainya di
rumah), apa saja hal yang dilakukannya selama berada di sana. Betapa
berbeda tempat ia
berada sekarang dengan yang dulu. Lalu ia membandingkan dengan dirinya
yang sekarang. Ia
teringat bayangan mobil yang melaju kencang ke arahnya, keluarganya
(ibu,ayah,adiknya),
rumahnya, teman-temannya.
Aduuh kepalanya sakit
sekali. Apa semua itu hanya mimpi? Aku tidak ingin terbangun, aku lebih
betah tinggal di
sana. Aku ingin bersama orang yang kucintai. Kalau saja semua itu benar,
berarti
dia sudah pernah
meninggal. Ia masih tidak bisa percaya. Aku harus memastikannya, tapi mulai
dari mana? Risa
merasa agak kesulitan bernapas dan memakai kembali maskernya. Pada saat
yang sama pintu
berderit membuka, melihat Risa sadar, orang itu menjerit.
“RISA!! LIHAT, RISA
SUDAH SADAR!! Cepat panggilkan dokter.”
Ibunya berlari
menghampiri, memegang tangannya dan menangis tersedu-sedu.
“oh Risa, biu
pikir.., ibu pikir kamu gak akan pernah sadar. Terimakasih tuhan. Ibu hampir
putus
asa Ris, berdoa tiap
hari supaya kau bisa sembuh,” wajah ibunya sangat sedih, matanya merah
bengkak. “ibu
sangat-sangat senang. Ini keajaiban.”
“bu, jangan begini.
Risa gakpapa kok, gak sakit Cuma agak pusing,” hibur Risa.
“gara-gara pengemudi
bego itu kamu jadi begini. Tenang aja ya Ris, kamu pasti sembuh. Kita
bisa kumpul lagi di
rumah.”
“Risa sudah berapa
lama di sini?”
“hampir dua bulan.
Lukamu parah sekali, gegar otak berat. Dokter takut kalau seandainya kamu
sadar nantinya kamu
lumpuh atau kena gangguan saraf lainnya. Tapi kamu gakpapa kan Ris?
Ada yang aneh?”
“ndak, badan Risa
bisa gerak.”
Dokter datang
tergesa-gesa didampingi ayah, adiknya sekarang setengah bersembunyi di
belakang ibunya.
“Ris, kamu gakpapa
kan? Masih ingat papa?” taya ayah Risa, tampak sangat khawatir.
“masih.”
“apa yang kamu
rasakan sekarang?” tanya dokter cepat-cepat seraya memeriksa denyut
jantungnya, memeriksa
rongga mulutnya sewaktu Risa menjulurkan lidah.
“mual, pengen muntah
dari tadi, pusing, agak meriang,” tutur Risa rinci.
“di sini sakit? Di
sini? Yang ini?” tanya dokter yang menekan perutnya di tempat yang berbedabeda.
“jangan banyak gerak
dulu ya, luka di kepalamu masih belum sembuh. Banyak banyak
istirahat, nanti
suster memberi obat penenang.”
“istirahat saja ya
Ris, ayah dan ibu tunggu di luar,” kata ayahnya. Kedua orang tuanya mengikuti
dokter keluar kamar.
Suster sedang meminumkan obat lalu menyusul ke luar. Risa
memperhatikan adiknya
masih tinggal, memandangnya takut-takut. Risa tersenyum,
mengajaknya bicara,
masih menahan mual.
“Letty gak kangen
kakak?”
“kak Risa jangan
tidur teruss,” jawab Letty sambil mendekat ke arahnya. “Letty sepi di rumah.”
“kalo kakak udah bisa
bangun, kita pergi maen ya. Letty mau kan jalan-jalan sama kakak?”
“mauuu. Janji ya,
kalo bo’ong harus beliin Letty coklat yang banyak.”
“janji!! Letty bisa
ambilin cermin di meja gak? Bawa ke sini.”
Adiknya menurut
patuh, membawa cermin yang tergeletak di meja ke tangannya. Risa
memandang dirinya
beberapa detik. Ini memang wajahnya, tapi ada bekas lebam-lebam membiru
di sisi kiri wajahnya
seprti salah satu tokoh memakai topeng dalam film ‘phantom of the opera’.
Oh.. bagus, pikirnya,
kenapa pas di muka sih. Untung saja hanya lebam bukannya luka, kalau
sembuh tidak
meninggalkan bekas. Perban di kepalanya membuatnya ngeri, ia tidak berani
sering-sering
menggerakkan kepalanya.
“aduh!” pekik Risa
kesakitan saat meraba perban di belakang kepalanya.
“kakak hati-hati
dong, kepala kakak kan habis di operasi, lama sembuhnya, jadi wajar kalau
sakit. Kata mama sih
dijahit pakai benang sama jarum gitu.”
“oh pantas. Serem
juga.”
“kak, Letty punya
temen baru,” kata adiknya tiba-tiba.
“namanya Rivan, waktu
kapan datang ke sini sama orang tuanya. Itu lho.. yang di dorong kakak
sewaktu di jalan.”
“oh... anak itu,”
kata Risa mendadak paham. “dia ke sini? Ngapain?”
“njenguk kakak, bawa
buah. Mama papanya bilang terima kasih sama cepet sembuh.”
“hmm...” tanggap
Risa, kepalanya mulai terasa pening dan berat. “Letty tunggu mama di sini ya,
kakak ngantuk, mau
tidur.”
Risa terbangun satu
jam berikutnya, merasa lebih baik. Ketika ia membuka mata, kedua orang
tuanya sudah berada
di samping tempat tidurnya. Mereka tersenyum memandangnya. Tak jauh
dari situ ia melihat
Letty tertidur di kursi.
“sudah bangun Ris,”
kata papanya ramah.
“mau minum?” tanya
mama khawatir. Risa mengangguk.
Risa yakin
pengalamannya bukan sekedar mimpi. Bila hal itu adalah kenyataan berarti ada
kemungkinan Anita
juga kembali ke tubuh asalnya. Tapi bukankah selama ini dia terus tidak
sadarkan diri di
rumah sakit. Jadi bagaimana dengan Anita. Apakah yang ia alami selama ini
memang mimpi?
“o iya , Risa harus
pergi,” atanya tiba-tiba, beranjak turun dari ranjang, melupakan gelas air
minum yang di
sodorkan mamanya. Ia baru saja teringat akan Viko, namun kedua tangannya
ditahan oleh ayahnya.
“Ris, jangan. Kamu
mau kemana?” tanya ayahnya. Berusaha mencegahnya keluar.
“Risa harus bertemu
dia. Dia pasti khawatir,” kata Risa, bertekad untuk tetap pergi.
“dia siapa?” tanya
papa bingung, tidak mengerti. Mengira Risa sedang terguncang.
Mama berlari panik ke
arahnya.
“mama mohon Ris,
jangan ke mana-mana. Kamu baru sadar,” kata mama histeris.
“tapi ini penting
ma,” kata Risa menegaskan. “mama nggak ngerti.”
Ia sangat merindukan
Viko. Ia tidak bisa berlama-lama di sini. Ia harus memastikan sesuatu.
Namun sebelum ia
sampai di pintu, kepalanya sakit luar biasa. Dirinya roboh ke lantai.
Mama berteriak-teriak
panik memanggil suster. Risa merasa tubuhnya menjadi ringan karena di
gendong papanya
kembali ke ranjang. Sejenak kemudian ia disuntik penenang, membuatnya
melupakan semuanya
sejenak, semuanya termasuk tentang Viko.
***
Risa masih melewatkan
3 minggu berikutnya di RS. Ia rutin menelan obat pengurang rasa mual
dan pusing, tak lupa
disuntik setiap hari serta menjalani berbagai tes dan terapi . Risa sudah biasa
dengan makanan RS
walau diam-diam Risa meminta ibunya membawakan makanan dari rumah
sebagai tambahan.
Perban tebal di kepalanya sudah dilepas, diganti dengan kapas dan tensoplas
walaupun lukanya
masih terasa sakit. Bobby, Jenny dan Jessy datang menjenguk begitu tahu
Risa sudah sadar.
Mereka tampak bahagia dan tak sabar bisa berkumpul bersama lagi. Jessy
rupanya shock berat
melihat dirinya ditabrak obil.
“aku gak akan mau
nyebrang jalan kalo gak ada orang di kanan kiriku,” kataya.
“dijadiin tameng
maksudnya?” sindir Bobby.
“jangan khawatir
ketinggalan pelajaran, masih awal-awal kok!” hibur Jenny tidak menghiraukan
Bobby dan Jessy,
rupanya tau kegelisahan Risa.
Risa ingin sekali
meninggalkan RS secepatnya, ia bosan terkurung terus di dalam. Selain itu ia
harus menjalani
kehidupannya seperti biasa. Namun hal yang paling membuatnya termotiasi
adalah Viko. Risa
terobsesi dengan kejadian yang dialaminya sewaktu ia tidak sadarkan diri. Ia
yakin sekali bahwa
itu adalah kenyataan, bukan sekedar mimpi. Kadang khawatir bila Viko tidak
akan mengenalinya
atau berubah pikiran tidak mau menerimanya dll. Risa masih mengingat
daerah di sekitar
rumah itu, berharap mempunyai bekal informasi cukup sehingga suatu saat ia
bisa menemukannya.
***
Tahun ini Risa dan
Bobby sekelas sedangkan si kembar berbeda kelas dengannya. Walaupu
begitu, Jessy dan
Jenny berada dalam kelas yang sama. Orang tua si kembar meminta kepala
sekolah supaya
meletakkan mereka dalam kelas yang sma, supaya Jenny bisa mengawasi Jessy
setiap saat.
Risa sering bengong
di kelas, menatap hampa buku di hadapannya, atau sering tidak
berkonsntrasi
menyimak pembicaraan teman-temannya. Bobby rupanya berniat menjaga Risa
dimanapun mereka
berada, menawarkan diri mengantarnya pulang. Dari kejauhan Bobby dering
mengamatinya seolah
takut ia mendadak jatuh pingsan atau apa. Jessy dan Jenny juga
berkelakuan sama.
Mereka senang ia sembuh, mentraktirnya macam-macam, menghiburnya
dengan obrolan lucu.
Tetapi Risa selalu
teringat bayangan Viko dimanapun dan kapanpun dia berada. Orangtuanya
belum membolehkan
dirinya keluar sendirian. Sebenarnya Risa bisa mengajak si kembar tapi
akan merepotkan kalo
harus menjelaskan ke mana ia akan pergi , bagaimana dan kenapa ia ingin
ke sana. Dalam hati
Risa sudah tidak berniat membagi kenangan bersama Viko dengan orang
lain. Lagipula Risa
tidak sepenuhnya tahu letak rumah itu sehingga butuh waktu mencarinya.
Jakarta kan luas,
pikirnya. Ia harus meyakinkan orangtuanya bahwa ia benar-benar sudah
sembuh walau ia
sendiri tidak yakin.
“Ris? Ris? HALLO...?”
kata Bobby seraya mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah Risa.
“Hah?” Risa menoleh
ke arah suara itu berasal. Ia lupa sedang makan bersama sahabatnya di
warung dekat sekolah.
Ia tidak sadar asih menyedot gelas minumannya yang sudah kosong.
“kamu ngelamunin apa
sih?” tanya Bobby.
“iya ada apa sih?
Cerita dong,” bujuk Jenny.
“AKU TAU! AKU TAU!”
pekik Jessy gembira. Mengacungkan telunjuknya.
“apanya?” kontan
Jenny dan Bobby bertanya, memandang Jessy dengan serius. Sedangkan Risa
menatapnya tertarik.
“eh,eh, lho apa ya?”
Jessy balas bertanya sambil berusaha mengingat, dahinya mengernyit.
“sorry lupa,” katanya
buru-buru meminta maaf.
“huh payah!” kata
Jenny tampak kecewa. Bobby hannya bisa geleng-geleng kepala melihat
tingkah Jessy.
“tapi kayaknya ada hubungannya
sama penyebab kemurungan Risa,” kata Jessy. Mereka bertiga
langsung memandang ke
arahnya.
“aku kenapa
emangnya?” tanya Risa tampak heran.
“biar kuberitahu,”
jawab Bobby sambil menghitung dengan jarinya. “sering ngelamun, lebih
banyak diemnya, pelupa,
sering salah jalan, gak fokus setiap ada pembicaraan dll.”
“AKU INGAT! AKU
INGAT!” pekik Jessy.
“apanya?” tanya Jenny
dan Bobby lebih keras dari yang tadi karena bosan.
“ini disebut sindrom
apa gitu. Yang pasti sesudah mengalami kerusakan otak, otaknya perlu
memperbaiki diri,”
jawab Jessy tidak yakin.
“kamu ini ngelawak
atau apa sih?” tanggap Bobby.
“trus apa
hubungannya?” tanya Jenny serius.
“ya karena itu
mempengaruhi kejiwaan dan...” omonganya terputus begitu melihat tampang
Jessy dan Bobby.
“udah deh tanya aja sama sumbernya langsung.”
“aku gakpapa, Cuma
belum biasa aja,” jawab Risa singkat.
Melihat Risa tidak
ingin berbicara lebih lanjut tentang hal ini, merekapun terpaksa puas dengan
jawaban Risa.
***
Di dekat sini, belok
kiri, lurus sampai ada tiang listrik, belok kiri lagi, trus diantara pagar
coklat
dan pagar hijau. Risa
berjalan sepanjang perumahan menuju rumah yang dimaksud. Semuanya
cocok, batinnya
senang, melompat-lompat riang seraya menatap sekeliling. Ini dia, rumah ini.
Risa menatap mengenang
saat-saat ia berada di dalamnya. Tidak ada yang berubah, pikirnya.
Lalu ia memberanikan
diri membunyikan bel di pagar. Ia mendengar bunyi bel yang menggema
lalu hening. Risa
menunggu-nunggu, mengintip di sela-sela pagar, mengira bik Ti atau ayah atau
Viko keluar dari
dalam rumah tapi tak satupun orang yang dimaksud kelihatan.
“cuma mimpi ya,”
gumamnya kecewa namun tak membuatnya putus asa.
Rumah itu tampak
tidak berpenghuni. Sudah berkali-kali ia membunyikan bel tapi tidak ada
jawaban. Risa
bersandar pada pagar, menundukkan kepala memandang kakinya. Matahari
bersinar terik. Lalu
Risa dikejutkan oleh suara langkah kaki mendekat dan bayangan orang di
tanah yang makin lama
makin panjang, Risa mendongak penuh harap. Oh..., nenek tetangga
sebelah sekedar lewat.
Risa menatapnya. Orang itu bertanya pada Risa, menatapnya curiga.
“mau cari siapa?”
“eh, saya teman
kuliahnya anak yang tinggal di sini,” kata Risa mencari alasan.
“oh, mereka baru saja
pindah.”
“apa? Pindah? Tapi
pindah kemana?” tanya Risa mendesak.
“tidak tahu. Mereka
langsung pindah tak lama setelah putrinya meninggal. Pastinya rumah ini
mempunyai banyak
kenangan tentang istri dan putrinya yang sudah meningga.”
“mereka tidak
meninggalkan nomor telepon atau apa begitu?” tanya Risa yang sekarang yakin
bahwa hal yang
dialaminya itu kenyataan.
“kau kan teman
kuliahnya, kenapa tidak tanya saja ke anaknya?” jawab nenek itu seraya
meninggalkan dirinya
yang mematung tak berdaya.
Setelah 15 menit
berlalu, Risa menatap rumah itu untuk yang terakhir kalinya sebelum beranjak
pergi. Harapannya
sirna, ia tidak bisa lagi bertemu Viko, ia tidak mempunyai petunjuk apapun
kecuali... mendadak
ia sadar, masih ada satu tempat yang belum dikunjunginya, tempat kuliah
Viko! Ia kembali
bersemangat lalu dengan bergegas menuju universitas tempat Viko kuliah. Ia
sudah hampir sampai
ketika sadar bahwa anak kuliah sekarang sedang libur panjang pergantian
tahun ajaran, 2-3
bulan. Masih lama sekali kalau begitu, batinnya kecewa, menghentikan
langkahnya dan
berbalik pergi, kembali murung. Ditambah lagi ia tidak bisa membayangkan
dirinya menanyakan
kelas baru Viko kepada siapa saja yang ditemuinya seperti yang dulu pernah
dilakukannya.
Sekarang ini dia kan bukan siapa-siapa.
Belum pernah selama
hidupnya, ia merasa begini merana. Ia tidak sadar kemana ia pergi.
Pikirannya seakan
mendengung-dengung di dalam kepalanya, setiap saat akan meledak.
Mengapa ingin bertemu
saja sulit sekali. Apakah tindakannya mencari Viko ini benar.
Bagaimana kalau
mereka sama sekali tidak mengharapkan kedatangannya. Seandainya bisa
bertemu, apakah Viko
mengenalinya?
Risa menghela napas,
menengadah dan melihat papan bertuliskan FLORIMA- toko bunga
langganannya. Bunga,
katanya dalam hati, adalah satu-satunya hal yang dapat menghiburnya. Ia
membuka pintu dan merasakan
wangi aneka macam bunga turut menyegarkan dirinya. Untuk
pertama kali ia
dibuat melupakan semua masalahnya. Risa memandang berkeliling, kadang
berhenti sekedar
mencium aroma bunga yang diminatinya. Semuanya masih segar dan indah.
Setelah puas melihat-lihat,
ia membeli 7 tangkai bunga mawar putih kesukaannya. Risa berpesan
agar bunga mawarnya
tidak perlu diikat, ia ingin membawanya dengan tangannya. Seperti biasa,
tante pemilik toko
menawarkan jasa pengirimannya, menyodorkan kartu namanya, tetapi Risa
menjawab.
“terima kasih, saya
tidak memerlukannya, sudah hafal nomornya.”
Risa sempat mendengar
tante itu berkomentar di belakangnya sewaktu ia berbalik.
“bagaimana mungkin?
Dia kan baru datang kali ini,” katanya bingung kepada diri sendiri.
Risa melihat jam
tangannya dan terkejut sendiri sudah pukul 5 sore. Ia harus cepat pulang karena
tadi tidak
memberitahukan kemana ia pergi kepada keluarganya. Mereka akan sangat khawatir.
Risa langsung
bergegas sampai-sampai tidak memperhatikan pandangannya. Ia menabrak
seseorang di pintu
saat hendak meninggalkan toko itu. Tanpa sadar setangkai bunga mawar
putihnya lepas dari
genggamannya dan terjatuh ke lantai. Risa buru-buru meminta maaf tanpa
melihat siapa yang
ditabraknya, yang pasti seorang pria jangkung.
***
“duuuh, jangan
dorong-dorong,” kata Jessy sebal.
“geser dikit knapa
sih?” kata Bobby kepada Jenny
“shhh, kalo kalian
ribut nanti kita ketinggalan jejak,” jawab Jenny mengatasi suara ribut
kawannya.
Sebenarya mereka
bertiga sedang dalam misi rahasia menjadi mata-mata. Tentunya yang dimatamatai
adalah sahabat
mereka, Risa. Kemarin lusa, mereka mengajak Risa untuk bepergian
bersama hari ini.
Namun Risa dengan tegas menolak dikarenakan ada hal mendesak yang harus
dilakukannya. Apa
tepatnya hal tersebut, Risa tidak mau memberitahu mereka. Risa tampak
tidak ingin
mendiskusikannya sehingga membuat penasaran. Oleh karena itu, diam-diam mereka
sepakat untuk
menguntit Risa.
“sebenarnya dia mau
ke mana sih?” tanya Jenny, memicingkan mata, memandang Risa di
kejauhan.
“panasnyaaa,” keluh
Jessy tidak perduli seraya mengipasi wajah dengan tangannya walaupun
sama sekali tidak
membantu.
“ayo mulai bergerak,”
kata Bobby memberi komando kepada si kembar.
Mereka
mengendap-endap sepanjang jalan dan terhenti, berpura-pura tertarik dengan
etalase
toko. Sedapat mungkin
Risa tidak boleh menyadari kehadiran mereka. Setelah cukup jauh dan
aman, Bobby meraih
lengan Jenny, menyuruhnya mengikuti langkahnya.
“eh. Stop, stop!”
kata Jenny tiba-tiba begitu menyadari Jessy tidak ada.
Bobby dan Jenny
menoleh ke belakang dan melihat Jessy berjarak tiga meter dari mereka sedang
berbicara dengan
pasangan setengah baya.
“ngapain sih tuh
anak,” gerutu Jenny sebl sambil berjalan tidak sabar ke arah adiknya.
“...iya, pokoknya
lurus aja. Setelah perempatan pertama belok kanan, abis itu ada pertigaan belok
kiri. Sehabis dari
sana tanya aja sama orang sekitar,” ulang Jessy berbaik hati pada suami istri
yang menanyakan
jalan.
“hm...” gumam pria
itu seraya berusaha mngingat petunjuk Jessy kemudian tampak puas.
“terimakasih yah
dik.”
“sama-sama,” kata
Jessy. Di sebelahnya, Jenny ikut mengangguk lalu cepat-cepat menarik
tangan Jessy.
“kamu ini! Bilang
dong kalo mau ngapain,” kata Jenny menasehati. Jessy rupanya diam saja.
“ntar jangan sampai
terpisah lagi, ok. Yuk,” sahut Bobby begitu mereka datang.
Stelah 20 menit
berjalan, mereka berhenti di tikungan perumahan, melongokkan kepala
sembunyi-sembunyi
mengawasi Risa. Dari situ mereka melihat Risa sedang menunggu di depan
pagar suatu rumah.
“rumah siapa tuh?”
tanya Jenny penasaran. “kamu tau Jess?”
“nggak tuh.
Seumur-umur aku kenal Risa, gak pernah kesini. Buka rumah saudaranya kok,”
jawab Jessy dalam
bisikan.
“aku juga gak tahu.
Ada kepentingan apa ya?” kata Bobby ingin tahu.
“udah ah capek, panas
banget lagi. Kita tanya langsung aja yuk!” usul Jessy tanpa pikir panjang
ia menampakkan diri
di tikungan.
Jenny dan Bobby
kontan terkejut dan langsung menyambar kerah baju dan pundak Jessy,
menariknya dan
menyuruhnya tetap bersembunyi. Untung saja saat itu Risa sedang menunduk
menatap jalan.
“sabar dong,” kata
Bobby kepada Jessy.
“nanti usaha kita
tadi jadi sia-sia,” timpal Jenny. “Risa kan kelihatannya gak ingin memberitahu
kita.”
Mereka melewatkan
sisa waktu itu dengan berjalan hilir mudik, berusaha mengatasi kebosanan
sampai akhirnya Risa
beranjak dari rumah itu dan berjalan ke arah mereka.
“kelihatannya dia gak
bertemu siapapun ya?”
“orangnya pada pergi
semua kali,”
“dia mau ngapain
sih?”
“ssst dia ke sini,
buruan kabur!” kata Jessy. Mereka langsung buru-buru pulang untuk menyusun
rencana kembali.
0 komentar:
Post a Comment