Can You See Me part 5
PENEMUAN
TIDAK TERDUGA
Malam itu begitu
cerah, bintang-bintang berpendar bagai permata, Risa memandang dari jendela
kamarnya. Ia sama
sekali tidak bisa tidur. Ia beruntung bisa melihat bintang dilangit malam tanpa
awan, membuat hatinya
tenang dan nyaman. Bintang-bintang itu ada yang berkelompok. Risa
berusaha menebak
bentuk-bentuk yang mungkin dirangkai gugus bintang itu. Tapi sejauh ini ia
hanya bisa melihat
satu kelompok bintang yang berbentuk seperti layang-layang. Setelah puas
mengamati, Risa
menutup tirai kelambu.
Ia sudah di
ranjangnya kemudian mengalihkan pandang pada kotak musik besar di meja riasnya,
di sebelah vas bunga
yang penuh berisi mawar putih segar yang ia petik dari taman. Risa
mengamatinya sebentar
sebelum akhirnya membuka kotaknya, sekedar membuatnya melakukan
sesuatu untuk mengisi
waktu luangnya. Dua orang penari dansa berputar-putar. Risa menikmati
melodinya yang indah
sambil memandang pasangan dansa itu, agak melamun, terbuai alunan
musiknya yang lembut.
Setelah agak lama, suaranya menjadi tidak teratur dan sumbang.
“lho?! Nggak
kuapa-apakan kok,” gumam Risa bingung lalu mengguncang-guncang kotak musik
di tangannya,
berharap suaranya menjadi jelas kembali. Namun tampaknya tidak berhasil.
Risa bermaksud
mengecek batrainya. Ia mengamati sisi kotak itu dengan seksama, mencari-cari
di mana letak
bateranya. Ia mengangkat kedua penari itu, otomatis bagian dasarnya ikut
terangkat. Yang
mengejutkan adalah bahwa di dalamnya tidak hanya terdapat baterai tetapi
tersimpan buku harian
kecil.
Risa ragu-ragu
mengambilnya, menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri seolah takut ada yang
memarahinya. Ia tidak
tahu apakah bijaksana membiarkan dirinya membaca buku harian orang
lain. Bukankah dia
sekarang Anita. Setidaknya buku harian ini bisa membantunya mengetahui
segala sesuatu
tentang Anita, pikirnya. Risa membuka-buka sekilas. Ternyata Anita tidak
menulis setiap hari,
hanya mencatat hal-hal penting yang terjadi atau menulis curahan perasaan
dan pemikirannya.
Beberapa tulisan yang menarik perhatiannya adalah sebagai berikut.
Ini sudah yang kesekian
kalinya aku pergi ke Singapura untuk cuci darah. Aku sering bertanyatanya
sampai kapan harus
seperti ini. Pengobatan ini memang berhasil memperpanjang umurku
selama
bertahun-tahun, tapi bagiku hidup tidak lagi indah. Alasanku bertahan hidup
adalah ayah
dan kakak, terutama
ayah..
Ayah bekerja keras
mencari uang demi pengobatanku. Aku sampai kasihan melihat ayah seperti
ini. Aku tidak ingin
mengecewakannya. Aku ingin bersama mereka lebih lama. Aku ingin
membalas kebaikan
mereka. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali belajar untuk
sekolahku.
Teman-teman begitu
antusias merencanakan masa depan dan cita-cita mereka. Mereka kadang
menelpon ingin tahu
keadaanku, datang berkunjung ke rumah, menghibur, menasehati dan
macam-macam.
Tampaknya Cuma formalitas. Aku berterimakasih tapi sikap mereka yang
berlebihan membuatku
tidak nyaman.
Ibu... aku sangat
merindukanmu, aku ingin bersamamu Bu. Tenang dan aman dalam pelukanmu,
tidak perlu
mengkhawatirkan apa pun, tidak perlu berpikir apa-apa. Biu tahu betul bagaimana
harus menghiburku dan
menenangkanku. Tahukah kau Bu, hidupku begini hampa... Ayah dan
kakak menjagaku
dengan sangat baik, aku sangat berterimakasih pada mereka. Tapi tetap saja
hatiku merasa sedih.
Ibu...
***
Esok harinya Risa
bangun satu jam lebih pagi dari biasanya, membuka tirai dan jendela kamar.
Di luar langit masih
gelap. Ia menghirup udara pagi yang menyegarkan dalam-dalam lalu
beranjak menyisir
rambut di depan cermin.
Beruntung kamar mandi
masih kosong, maka Risa langsung mandi dan menyikat gigi. Ia sering
rebutan kamar mandi
denganViko di pagi hari. Biasanya Risa mengalah karena mengingat Viko
mempunyai kepentingan
lebih mendesak hendak ke kampus.
Memasak merupakan
salah satu hobinya saat ini. Dia senang sekali bisa membuat berbagai
makanan yang
diinginkannya tanpa kesulitan. Padahal dia baru pertama kali membuat
makananmakanan
tersebut. Walaupun
begitu, tampaknya Risa tahu betul bahan-bahan apa saja yang
dibutuhkan dan cara
pembuatannya. Rasa masakannya juga enak. Mau tidak mau ia mengakui
dirinya berbakat. Bik
Ti kadang ingin membantunya tapi Risa menolak dengan alasan Bibik
masih punya banyak
pekerjaan dan harus memasak untuk keluarga.
Risa menikmati
hari-harinya dengan riang gembira. Ia sangat menyukai ayah yang serius tapi
baik hati, Viko tukang
usil, Bik Ti yang cerewet kalo sudah mulai bercerita. Dari ketiga orang
itu, Risa merasa
lebih akrab dengan Viko. Mungkin karena usia yang sebaya jadi Risa merasa
lebih rileks
berbicara dengan Viko.
Walaupun sudah
tinggal bersama cukup lama, Risa tetap saja tidak bisa menghilangkan sedikit
ganjalan bahwa
sebetulnya ia bukan bagian keluarga itu. Wajar kalau ia merasa sungkan atau
bagaimana, ia kan
masih tergolong baru mengenal mereka.
Tadi malam Risa
membaca buku harian Anita dengan teliti. Menarik sekali membaca tulisan
tangan seseorang,
seakan kau bisa melihat bagaimana orang itu sebenarnya. Menurutnya, Anita
agak jenuh dengan
hidupnya yang seakan diatur.
Ayah ada tugas diluar
kota, Bik Ti sedang belanja ke pasar, sedangkan Viko sepertinya masih
tidur di kamar,
kelihatannya Viko masuk ke kampus agak siang hari ini. Risa sedang menyiapkan
makanan untuk
disantap sambil menonton acara kesukaannya nanti.
“hmm.. kenyalnya udah
ok,” kata Risa sambil mematikan api kompor yang baru dipakainya
untuk merebus. Di sebelahnya,
bau harum saus yang dibuatnya memenuhi dapur.”ups, hampir lupa, sausnya juga
udah matang.”
Sewaktu Risa
mengambil piring, dilihatnya Viko masuk ke dapur, membuka kulkas dan mengambil jus jeruk.
Risa tidak menghiraukan kedatangannya lalu meniriskan masakannya.
Viko melihat Risa
yang sibuk dengan terheran-heran karena ia tahu pasti adiknya tidak pernah dan tidak suka
memasak. Risa menuang saus tomat campur daging giling yang masih hangat ke
atasnya lalu
mengambil keju dari atas lemari.
“bikin apa nih?”
tanya Viko ingin tahu sambil mencium aroma masakan Risa.
“PASTA,” jawab Risa
singkat seraya menyerut keju diatasnya.
“coba dong..” kata
Viko memelas dengan perut lapar.
“boleh,” sahutnya.
Risa menyuapkan satu sendok penuh ke dalam mulut kakaknya. “nih.”
“mm.. enak,” komentar
Viko sambil mengunyah yang sekarang malah ingin memakan habis
sepiring pasta hangat
d hadapannya. “buatin satu dong.”
“gak ada waktu,
buru-buru,” tolak Risa sembari mengisi gelasnya dengan air hingga penuh.
“buru-buru apa?”
tanya Viko penasaran, mengusap sisa jus jeruk di mulutnya.
“mau nonton film
kartun di TV. Makan aja sisa sarapan tadi pagi, masih ada tuh di lemari.”
“FILM KARTUN???”
tanya Viko tak percaya. “ya ampuunn, kamu ini umur berapa sih?”
Namun Risa tidak
mempedulikan ucapannya.
“aduh udah jam
segini! Bisa telat nih,” kata Risa yang sekarang menghambur secepat kilat ke
ruang keluarga sambil
membawa makanan dan minumannya, duduk manis, dan mulai menonton
acara kesukaannya.
Sebentar saja ia sudah tertawa-tawa kegelian.
Viko tersenyum
melihat adiknya begitu senang. Setengah kecewa karena ia tidak bisa makan pasta, ia membuka
lemari dan mengambil makanan sisa sarapan tadi pagi.
Sorenya, Risa
membuatkan ayahnya secangkir kopi hangat. Bibik sedang berbenah di kamar sedangkan Viko ada
kerja kelompok di rumah temannya. Ayahnya sedang membawa kumpulan tugas mahasiswanya
yang menggunung tinggi di ruang keluarga. Risa merasa kagum dengan ayahnya. Ayahnya
sekarang memberi nilai pada makalah yang baru dibacanya dengan menggunakan spidol
hitam, lalu menghisap rokok di tangannya.
“ayah!” tegur Risa
sambil mengambil batang rokok yang tinggal setengah dari tangan ayahnya, meletakkannya di
asbak lalu menyodorkan kopi yang baru dibuatnya. “jangan merokok terus!
Mau kopi?”
“terimakasih,” kata ayahnya
yang matanya tampak jenuh lalu menyeruput kopi hangatnya. Ia tidak tampak marah
karena Risa mengambil paksa rokoknya.
“Tata tahu hampir
tidak mungkin lepas dari kebiasaan merokok. Tapi Tata mohon, ayah bisa
mengurangi jatah
merokok setiap harinya. Dikuranginya pelan-pelan aja,” kata Risa cemas.
“janji ya.”
“kenapa memangnya”
tanya ayahnya heran. “kamu nggak suka bau asapnya ya?”
“ya iya sih,” jawab
Risa jujur, merasa tidak enak sendiri. “sebenarnya nggakpapa sih tapi kalo
kayak gini caranya,
lama-lama ayah bisa ngabisin satu pak sehari. Nggak baik lho. Apalagi
merokok di ruang
ber-AC, bahaya banget yah.”
“iya juga ya. Ayah
sendiri sampai nggak merasa,”kata ayahnya sembari melihat puntungpuntung
rokok di asbak.
“Tata pernah dengar
kalo kebiasaan merokok bisa dilupakan dengan mengunyah permen karet.
Tapi akhirnya jadi
kecanduan permen karet juga. Repot juga sih. Aku gak tahu manjur atau
enggak. Mungkin nggak
cocok buat ayah, ntar malah giginya lubang semua. Sebaiknya gimana
ya,” kata Ris serius,
bingung mencari solusi. Ayahnya terdiam menatapinya. Risa buru-buru
berkata, “Tata gak
bermaksud melarang lho. Hanya saja perlu dikura..”
“sudah sudah. Ayah
tahu. Kamu mencemaskan ayah ya? Jangan khawatir. Ayah akan membatasi
diri mulai sekarang,”
kata ayah pengertian, membuat Risa lega karena maksudnya tersampaikan
sehingga tidak perlu
menjelaskan panjang lebar.
“bener yah? Ayah mau
mendengarku saja aku sudah senang,” kata Risa lalu memeluk sayang
ayahnya.
“kamu ini. Ada-ada
saja,” kata ayah tak habis pikir lalu menepuk pundak anaknya.
Risa sekarang
tertarik dengan kumpulan tugas yang sudah dinilai. Ia mengambil satu untuk
dilihat-lihat
sekilas.
“kalau aku yang jadi
mahasiswi ayah, kira-kira ayah ngasih nilai berapa ya?” tanya Risa ingin
tahu menatap ayahnya,
setengah bercanda. Ayahnya balas memandangnya curiga dari balik
kacamatanya.
“wah wah wah. Gak
boleh KKN lho.” Jawab ayahnya yang ingin tertawa mendengarnya.
“sudah kuduga,” kata
Risa paham sambil membalik-balik halamannya. “oh iya, masalah berobat
itu..”
Risa tidak
menyelesaikan kalimatnya. Ia sengaja menunggu ayahnya mengucapkan sesuatu. Risa takut ia akan salah
bicara.
“kamu sudah
memikirkannya”
Risa mengangguk. Ia
sudah memikirkannya semalaman menimbang semua kemungkinan. Risa sebenarnya mau-mau
saja berobat tapi umurnya toh sudah tidak akan lama lagi. Walaupun sudah
berobat, Risa sangsi
bahwa usianya bisa lebih lama setengah tahun. Selain itu sampai kapan ia harus memperpanjang
umurnya. Belum lagi biaya pengobatan yang mahal dan menyita waktu.
Risa tidak yakin ia
akan bahagia bila menjalaninya.
Mungkin ia merasa
bersalah terhadap Anita karena tidak bisa menjaga kondisi kesehatannya. Tapi setelah membaca
buku harian milik Anita, Risa yakin dengan keputusannya. Anita pasti mengerti. Ia bukanlah
Anita dan kali ini ia bisa mengutarakan pendapatnya. Dengan menjalani
kehidupan sewajarnya,
Risa justru merasa lebih baik. Entah apakah ayahnya akan setuju dengan pendapatnya ini.
“lalu kapan kamu mau
pergi berobat?”
“tidak yah... ayah
salah paham. Aku menolak untuk berobat,” kata Risa mantap. Ayahnya sampai
bangkit dari kursi
saking terkejutnya. “mengertilah yah.”
“apa? Kamu tidak mau?
Tapi kenapa?” tanya ayahnya terperanjat, kembali duduk di samping
Risa, menatap Risa
lekat-lekat seakan dia salah mendengar.
“bukannya Tata
menolak niat ayah atau bagaimana tapi Tata lebih suka menjalaninya seperti sekarang ini,”
jawabnya hati-hati. Ayahnya tampak tidak puas dengan jawabannya. “aku tidak
akan menyesal yah.
Aku jamin.”
“tapi nak, apa kau
sadar dengan apa yang baru kau ucapkan?” tanya ayahnya tak percaya.
“aku tidak apa-apa
yah. Jangan terlalu khawatir. Semua orang toh akan mengalaminya juga. Walau berobat atau
tidak, yang pasti aku tetap sayang ayah. Tata tahu ayah selalu mengusahakan
yang terbaik. Tata
mengertiii sekali,” katanya mantap. Mata ayahnya sampai berkaca-kaca, campuran kecewa dan
terharu.
“tapi nak, apa kamu
sudah yakin? Maksud ayah, benar-benar yakin?”
Risa mengangguk
yakin, membuat ayahnya merasa putus asa dan berusaha mencari cara untuk membujuk Risa namun
akhirnya menyerah karena melihat keputusan anaknya tidak bisa
diganggu gugat.
“nanti... kalau
sewaktu-waktu kamu berubah pikiran, katakan saja. Semuanya belum terlambat,”
kata ayah
menganjurkan.
“baiklah,” jawab Risa
menghargai, “tapi pendapatku tidak akan berubah.”
“tapi Ta, kenapa ayah
tetap merasa tidak enak? Ayah tidak ingin memaksamu sebetulnya. Tapi apakah kamu tidak mau
memberi ayah kesempatan sekali lagi?” tanya ayahnya bersikeras.
“aku mau memberi
kesempatan pada diriku sendiri yah. Inilah jalan yang kupilih. Aku tau resikonya. Aku sangat
senang kalau ayah bisa mnegerti,” kata Risa berusaha meyakinkan.
“baiklah, baiklah.
Ayah tahu suatu saat kamu akan menolak. Hanya saja ayah tidak menyangka,”
kata ayahnya sedih
memeluknya. “maafkan ayah ya.”
“sudahlah yah,” kata
Risa menenangkan sambil menepuk-nepuk pundak ayahnya.
“tapi kamu harus
berjanji satu hal pada ayah,” ucapnya serius. Mimik ayahnya sampai terlihat sangar.
“apa?” tanya Risa
penasaran.
“kalau kamu merasakan
sesuatu, segera katakan kepada ayah, mengerti?” kata ayahnya. Risa tahu betul apa yang
dimaksud dengan ‘merasakan sesuatu’ itu.
“janji,” jawab Risa
singkat. Ayahnya tersenyum lebar.
Mereka tampak lebih
akrab lalu Risa menemani ayahnya memeriksa tugas di meja sepanjang
hari itu, walau ia
memperhatikan bahwa ayahnya berkali-kali meliriknya cemas.
***
Hari minggu berarti
waktunya bersantai, setidaknya Risa bersantai sepanjang waktu, tetapi begitulah halnya bagi
ayah dan Viko. Mereka sepakat akan bepergian bersama ke supermakrket.
Risa sebetulnya heran
melihat pria seperti ayah dan kakaknya belanja di supermarket. Bukankah kebanyakan yang
berbelanja ibu-ibu atau perempuan? Kemudian ia sadar bahwa ia satu-satunya
perempuan yang
tersisa dari anggota keluarga itu.
Setibanya disana,
ayah menuju bagian elektronik yang menjual kamera digital dan komputer model baru. Ayah
berbincang seru dengan pegawai toko dan kelihatannya akan memakan waktu
lama. Maka Risa
belanja ditemani Viko. Orang-orang yang melihat ia dan Viko sebagai pasangan muda-mudi,
mengira mereka sedang berpacaran.
“vik, kuliah itu
kayak apa sih?” tanya Risa tiba-tiba selagi melihat tanggal kadaluarsa barang yang hendak dibeli.
“hm,.. gimana ya.
Biasa aja sih, lebih bebas, harus bisa ngatur waktu, pelajarannya lebih sulit, temen-temennya lebih
banyak, dosennya aneh-aneh,” jawab Viko setelah mengatasi kekagetan karena Risa tiba-tiba
menyebut namanya.
“enak gak?”
“yaa tergantung....
masalahnya pergaulan bikin peranan penting! Banyak temen dan komunikasi
sama dosen itu bagus.
Tapi nggak enaknya kalau salah pergaulan. Kebanyakan mahasiswa tuh kan udah menginjak
dewasa jadi mereka ada yang kena narkoba atau pergaulan bebas. Walaupun
kelihatannya gak
ketahuan tapi buka berarti gak ada lho. Yang kayak gitu itu tersembunyi dengan baik. Makanya
harus ati-ati. Sekali terjerumus susah keluarnya.”
“masa sih?”
“he eh. Kalau orang
udah kuliah, pikirannya pasti masa depan, tentang pekerjaan, pacaran,
berkeluarga,
macem-macemlah. Belum lagi ada ego tentang status sosial, kepandaian dll.”
“susah juga ya jadi
orang dewasa.”
“kamu sih...
pengennya jadi anak kecil mulu yang dimanja.”
“yak anda be...” kata
Risa dramatis. “benar-benar salah.”
“menurutku paling
enak sih masa SMA.”
“kalo kakak pengen
punya cewek yang kayak apa?”
“kenapa emangnya?”
tanyanya penuh selidik tapi kemudian melanjutkan, “yaa yang penting klop
jadi gak bosen. Kalau
bisa orangnya imut, mukanya manis dan gak sombong, menyenangkan dan
setia.”
“ciee. Sudah ada ya?
Aku pengen lihat, kapan-kapan kenalin ya.”
“belum. Barusan
putus,” kata Viko kaku.
“hah?! Diputusin
cewek ceritanya... duh kasihan banget,” ledek Risa.
“sapa bilang?!” sahut
Viko tidak terima.
“trus yang tiap hari
telpon tuh sapa?”
“nggak tahu tuh
anak-anak cewek lain jurusan minta kenalan. Kalo sms atau miscall ke HP sih nggak kubales. Kalo
sekedar iseng sih bisa tapi nggak deh pokoknya, kayak cowok apaan aja.
Sebenarnya seneng sih
banyak fans,” kata Viko sok ngetop.
Mereka terus
mengobrol, Risa mendengarkan penuh minat. Risa sedang melihat belanjaan mereka, takut ada
yang terlupa.
“shampo, sabun, pisau
cukur untuk ayah, pemutih pakaian, pasta gigi, deodoran, tissue, kecap,
snack, mentega, susu,
sirup rasa mangga, jagung popcorn, mie, sosis, rumput laut, agar-agar, buah, teh, kopi,
gula. Hmm... kayaknya udah semua. Wow roti panjang kesukaanku!” pekik Risa girangbegitu melihat
roti perancis keras dengan panjang hampir semeter.
“suka ya? Ini sih
bisa buat mukul orang,” sindri Viko geli, mengambil satu dan memukulkannya
pelan ke kepala Risa,
“kalo gak ya bikin gigi rontok.”
“o suka baaaaanget,”
sahut Risa tanpa mempedulikan sindiran Viko, langsung mengambil lima bungkus.
“banyak amat?! Nafsu
makanmu sekarang udah kayak dinosaurus aja.”
“gakpapa, ini kan
tahan lama, bisa buat simpanan tiga minggu. Yuk ah! Ngantri tuh.”
Setelah membayar di
kasir, mereka menenteng belanjaan dan menyusul ayah. Kemudian Risa
membeli ice cream
yang dinikmatinya dalam perjalanan pulang.
“bintang di langit
kelip engkau di sana, memberi cahayanya di setiap insan. Malam yang dingin
kuharap engkau
datang...” Risa bersenandung sambil menatap bintang betulan di langit. Dia
sedang duduk
sendirian di teras depan. Angin sepoi malam itu agak dingin, ia merapatkan jaketnya dan
menegakkan kerahnya.
Bibik dan ayah sedang
menonton TV, sedangkan Viko seperti biasa sibuk mengerjakan tugas. Risa menghirup udara
malam yang segar dalam-dalam. Rasanya sejuuk sekal. Ia memandang
tamandi depannya,
tanamannya telah bertambah tinggi dan lebat semenjak kali pertama dia tiba dirumah ini.
“nggak masuk Ris?
Nanti masuk angin lho,” kata suara sayup-sayup ayahnya dari dalam.
“nggak yah. Diluar
sini sejuk,”jawab Risa agak berteriak.
Risa bersandar pada
kursinya, mengangkat kedua kakinya ke kursi. Sebentar-sebentar ia mendengar derum
kendaraan yang lewat. Suara serangga yang berbisik di tanah yang lembab
membuatnya terbuai.
Tiba-tiba ada suara di dekatnya.
“ngapain Ta?”
“eh kakak, bikin
kaget aja,” kata Risa, ia sampai hampir terguling dari kursinya. “liat
pemandangan. Udah
selesai tugasnya?”
“udah. Suntuk nih.
Enaknya ngapain ya?” tanya Viko meminta pendapat asal saja, tidak benarbenar
mengharap jawaban,
seraya duduk di kursi sebelahnya.
“jalan-jalan aja,”
kata Risa mendadak mendapat ide dengan mata bersinar-sinar. Viko menoleh
terkejut.
“lagi?” kata Viko
bosan, “ke mana?”
“keliling kota naik
otor, ngabisin bensin. Pasti seru,”sahut Risa meyakinkan.
Viko ragu,
menimbang-nimbang usulnya.
“boleh juga. Tapi
sudah malem nih. Kamu kan gak boleh keluar.”
“belum terlalu malam
kok. ayolah..,” bujuk Risa tidak sabar. “bentar aja deh.”
“ya udah deh,” kata
Viko menyerah. “sana. Minta ijin dulu sama ayah. Kalo gak dibolehin nggak
mau tahu lho.”
“bener? Asyiiik,”
seru Risa bertepuk tangan. “kalo soal ayah sih beresss.”
Risa dengan
bersemangat masuk ke dalam rumah. Viko hanya bisa geleng-geleng kepala.
Benerbener
kalah kalau menyangkut
keinginan adiknya. Maka Viko mangambil jaket di kamarnya dan
kunci motor. Saat ia
kembali ke ruang keluarga, ia melihat adiknya tersenyum lebar dan puas.
“berangkat yuk,” ajak
Risa, menggandeng lengan Viko.
Ayah dan bibik yang
sedari tadi duduk menonton TV terlihat agak khawatir.
“pergi bentar yah,
bik,” pamit Viko.
“ati-ati rampok den.”
“bentar aja ya Vik,”
kata ayah ketika Viko membuka pintu depan.
“oke.”
Risa bukan main
senangnya. Kota di malam hari memang berbeda. Dimana-mana lampu
berwarna-warni
menerangi jalan. Jalan raya agak sepi sehingga Risa bisa berteriak-teriak
senang
dengan bebas.
“wow. Dari sini
bintang-bintangnya kelihatan lebih jelas,” teriak Risa mengalahkan deru angin
sambil menengadahkan
kepala memandang langit.
“Ta, jangan berisik
dong.”
“kak lebih cepat
dong. Yang cepaaat,” pinta Risa sambil mengguncang pundak Viko.
“kita bukan nak jet
coaster tau,” kata Viko heran dari balik helmnya.
“ah kakak gak seru,”
protes Risa.
Sebenarnya Viko takut
terjadi apa-apa pada adiknya tapi melihat Tata tidak pernah segembira
ini, ia bersiap
menambah kecepatan. “pegangan yang bener.”
Dan motor yang
ditunggangi mereka melaju kencang sepanjang jalan yang sepi. Angin yang
dingin serasa
menembus jaket mereka.
“WUIHH Asyikkk,”
teriak Risa dari bangku belakang. Rambutnya yang panjang tertarik
kencang ke belakang.
Dalam hati Viko
bertanya-tanya apakah perilaku adiknya ini normal? Biasanya kalo ngebut gini, anak cewek kan justru
ketakutan. Viko sendiri menikmati perjalanan ini. Semua hal dalam pikirannya tersapu
lenyap. Perasaannya menjadi ringan, sringan udara di sekelilingnya. Ia
memacu motornya lebih
cepat. Bunyi derum motor mereka menderu mengalahkan desau angin. Dinginnya udara
serasa menembus jaket dan tulang. Di belakangnya, Tata berteriak-teriak senang.
Setelah satu jam
lamanya berkeliling tanpa henti, mereka tiba di rumah. Tubuh mereka bukan main lelahnya, energi
mereka terasa ikut terbawa angin sepanjang perjalanan. Ayah menyambut mereka dengan
perasaan lega. Risa mengucapkan selamat tidur kepada keluarganya dan Bibik. Sewaktu Risa hendak
menutup pintu kamarnya, ia melihat ke arah Viko yang sudah di ambang pintu kamarnya
sendiri, sedang menyalakan lampu kamar.
“kak,” panggilnya.
Viko menoleh.
“apa?” tanyanya
sambil merapikan rambutnya yang agak acak-acakan.
“makasih ya,” kata
Risa tiba-tiba sambil tersenyum lalu menutup pintu kamar. Viko memandang tata
dengan bingung. Tampaknya adiknya jadi sangat sopan. Mereka berangkat tidur
dengan perasaan lega sehingga langsung tertidur nyenyak.
0 komentar:
Post a Comment