December 24, 2015

Can You See Me part 5

PENEMUAN TIDAK TERDUGA
Malam itu begitu cerah, bintang-bintang berpendar bagai permata, Risa memandang dari jendela
kamarnya. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Ia beruntung bisa melihat bintang dilangit malam tanpa
awan, membuat hatinya tenang dan nyaman. Bintang-bintang itu ada yang berkelompok. Risa
berusaha menebak bentuk-bentuk yang mungkin dirangkai gugus bintang itu. Tapi sejauh ini ia
hanya bisa melihat satu kelompok bintang yang berbentuk seperti layang-layang. Setelah puas
mengamati, Risa menutup tirai kelambu.
Ia sudah di ranjangnya kemudian mengalihkan pandang pada kotak musik besar di meja riasnya,
di sebelah vas bunga yang penuh berisi mawar putih segar yang ia petik dari taman. Risa
mengamatinya sebentar sebelum akhirnya membuka kotaknya, sekedar membuatnya melakukan
sesuatu untuk mengisi waktu luangnya. Dua orang penari dansa berputar-putar. Risa menikmati
melodinya yang indah sambil memandang pasangan dansa itu, agak melamun, terbuai alunan
musiknya yang lembut. Setelah agak lama, suaranya menjadi tidak teratur dan sumbang.
“lho?! Nggak kuapa-apakan kok,” gumam Risa bingung lalu mengguncang-guncang kotak musik
di tangannya, berharap suaranya menjadi jelas kembali. Namun tampaknya tidak berhasil.
Risa bermaksud mengecek batrainya. Ia mengamati sisi kotak itu dengan seksama, mencari-cari
di mana letak bateranya. Ia mengangkat kedua penari itu, otomatis bagian dasarnya ikut
terangkat. Yang mengejutkan adalah bahwa di dalamnya tidak hanya terdapat baterai tetapi
tersimpan buku harian kecil.
Risa ragu-ragu mengambilnya, menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri seolah takut ada yang
memarahinya. Ia tidak tahu apakah bijaksana membiarkan dirinya membaca buku harian orang
lain. Bukankah dia sekarang Anita. Setidaknya buku harian ini bisa membantunya mengetahui
segala sesuatu tentang Anita, pikirnya. Risa membuka-buka sekilas. Ternyata Anita tidak
menulis setiap hari, hanya mencatat hal-hal penting yang terjadi atau menulis curahan perasaan
dan pemikirannya. Beberapa tulisan yang menarik perhatiannya adalah sebagai berikut.
Ini sudah yang kesekian kalinya aku pergi ke Singapura untuk cuci darah. Aku sering bertanyatanya
sampai kapan harus seperti ini. Pengobatan ini memang berhasil memperpanjang umurku
selama bertahun-tahun, tapi bagiku hidup tidak lagi indah. Alasanku bertahan hidup adalah ayah
dan kakak, terutama ayah..
Ayah bekerja keras mencari uang demi pengobatanku. Aku sampai kasihan melihat ayah seperti
ini. Aku tidak ingin mengecewakannya. Aku ingin bersama mereka lebih lama. Aku ingin
membalas kebaikan mereka. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali belajar untuk
sekolahku.
Teman-teman begitu antusias merencanakan masa depan dan cita-cita mereka. Mereka kadang
menelpon ingin tahu keadaanku, datang berkunjung ke rumah, menghibur, menasehati dan
macam-macam. Tampaknya Cuma formalitas. Aku berterimakasih tapi sikap mereka yang
berlebihan membuatku tidak nyaman.
Ibu... aku sangat merindukanmu, aku ingin bersamamu Bu. Tenang dan aman dalam pelukanmu,
tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, tidak perlu berpikir apa-apa. Biu tahu betul bagaimana
harus menghiburku dan menenangkanku. Tahukah kau Bu, hidupku begini hampa... Ayah dan
kakak menjagaku dengan sangat baik, aku sangat berterimakasih pada mereka. Tapi tetap saja
hatiku merasa sedih. Ibu...
***
Esok harinya Risa bangun satu jam lebih pagi dari biasanya, membuka tirai dan jendela kamar.
Di luar langit masih gelap. Ia menghirup udara pagi yang menyegarkan dalam-dalam lalu
beranjak menyisir rambut di depan cermin.
Beruntung kamar mandi masih kosong, maka Risa langsung mandi dan menyikat gigi. Ia sering
rebutan kamar mandi denganViko di pagi hari. Biasanya Risa mengalah karena mengingat Viko
mempunyai kepentingan lebih mendesak hendak ke kampus.
Memasak merupakan salah satu hobinya saat ini. Dia senang sekali bisa membuat berbagai
makanan yang diinginkannya tanpa kesulitan. Padahal dia baru pertama kali membuat makananmakanan
tersebut. Walaupun begitu, tampaknya Risa tahu betul bahan-bahan apa saja yang
dibutuhkan dan cara pembuatannya. Rasa masakannya juga enak. Mau tidak mau ia mengakui
dirinya berbakat. Bik Ti kadang ingin membantunya tapi Risa menolak dengan alasan Bibik
masih punya banyak pekerjaan dan harus memasak untuk keluarga.
Risa menikmati hari-harinya dengan riang gembira. Ia sangat menyukai ayah yang serius tapi
baik hati, Viko tukang usil, Bik Ti yang cerewet kalo sudah mulai bercerita. Dari ketiga orang
itu, Risa merasa lebih akrab dengan Viko. Mungkin karena usia yang sebaya jadi Risa merasa
lebih rileks berbicara dengan Viko.
Walaupun sudah tinggal bersama cukup lama, Risa tetap saja tidak bisa menghilangkan sedikit
ganjalan bahwa sebetulnya ia bukan bagian keluarga itu. Wajar kalau ia merasa sungkan atau
bagaimana, ia kan masih tergolong baru mengenal mereka.
Tadi malam Risa membaca buku harian Anita dengan teliti. Menarik sekali membaca tulisan
tangan seseorang, seakan kau bisa melihat bagaimana orang itu sebenarnya. Menurutnya, Anita
agak jenuh dengan hidupnya yang seakan diatur.
Ayah ada tugas diluar kota, Bik Ti sedang belanja ke pasar, sedangkan Viko sepertinya masih
tidur di kamar, kelihatannya Viko masuk ke kampus agak siang hari ini. Risa sedang menyiapkan
makanan untuk disantap sambil menonton acara kesukaannya nanti.
“hmm.. kenyalnya udah ok,” kata Risa sambil mematikan api kompor yang baru dipakainya
untuk merebus. Di sebelahnya, bau harum saus yang dibuatnya memenuhi dapur.”ups, hampir lupa, sausnya juga udah matang.”
Sewaktu Risa mengambil piring, dilihatnya Viko masuk ke dapur, membuka kulkas dan mengambil jus jeruk. Risa tidak menghiraukan kedatangannya lalu meniriskan masakannya.
Viko melihat Risa yang sibuk dengan terheran-heran karena ia tahu pasti adiknya tidak pernah dan tidak suka memasak. Risa menuang saus tomat campur daging giling yang masih hangat ke
atasnya lalu mengambil keju dari atas lemari.
“bikin apa nih?” tanya Viko ingin tahu sambil mencium aroma masakan Risa.
“PASTA,” jawab Risa singkat seraya menyerut keju diatasnya.
“coba dong..” kata Viko memelas dengan perut lapar.
“boleh,” sahutnya. Risa menyuapkan satu sendok penuh ke dalam mulut kakaknya. “nih.”
“mm.. enak,” komentar Viko sambil mengunyah yang sekarang malah ingin memakan habis
sepiring pasta hangat d hadapannya. “buatin satu dong.”
“gak ada waktu, buru-buru,” tolak Risa sembari mengisi gelasnya dengan air hingga penuh.
“buru-buru apa?” tanya Viko penasaran, mengusap sisa jus jeruk di mulutnya.
“mau nonton film kartun di TV. Makan aja sisa sarapan tadi pagi, masih ada tuh di lemari.”
“FILM KARTUN???” tanya Viko tak percaya. “ya ampuunn, kamu ini umur berapa sih?”
Namun Risa tidak mempedulikan ucapannya.
“aduh udah jam segini! Bisa telat nih,” kata Risa yang sekarang menghambur secepat kilat ke
ruang keluarga sambil membawa makanan dan minumannya, duduk manis, dan mulai menonton
acara kesukaannya. Sebentar saja ia sudah tertawa-tawa kegelian.
Viko tersenyum melihat adiknya begitu senang. Setengah kecewa karena ia tidak bisa makan pasta, ia membuka lemari dan mengambil makanan sisa sarapan tadi pagi.
Sorenya, Risa membuatkan ayahnya secangkir kopi hangat. Bibik sedang berbenah di kamar sedangkan Viko ada kerja kelompok di rumah temannya. Ayahnya sedang membawa kumpulan tugas mahasiswanya yang menggunung tinggi di ruang keluarga. Risa merasa kagum dengan ayahnya. Ayahnya sekarang memberi nilai pada makalah yang baru dibacanya dengan menggunakan spidol hitam, lalu menghisap rokok di tangannya.
“ayah!” tegur Risa sambil mengambil batang rokok yang tinggal setengah dari tangan ayahnya, meletakkannya di asbak lalu menyodorkan kopi yang baru dibuatnya. “jangan merokok terus!
Mau kopi?”
“terimakasih,” kata ayahnya yang matanya tampak jenuh lalu menyeruput kopi hangatnya. Ia tidak tampak marah karena Risa mengambil paksa rokoknya.
“Tata tahu hampir tidak mungkin lepas dari kebiasaan merokok. Tapi Tata mohon, ayah bisa
mengurangi jatah merokok setiap harinya. Dikuranginya pelan-pelan aja,” kata Risa cemas.
“janji ya.”
“kenapa memangnya” tanya ayahnya heran. “kamu nggak suka bau asapnya ya?”
“ya iya sih,” jawab Risa jujur, merasa tidak enak sendiri. “sebenarnya nggakpapa sih tapi kalo
kayak gini caranya, lama-lama ayah bisa ngabisin satu pak sehari. Nggak baik lho. Apalagi
merokok di ruang ber-AC, bahaya banget yah.”
“iya juga ya. Ayah sendiri sampai nggak merasa,”kata ayahnya sembari melihat puntungpuntung
rokok di asbak.
“Tata pernah dengar kalo kebiasaan merokok bisa dilupakan dengan mengunyah permen karet.
Tapi akhirnya jadi kecanduan permen karet juga. Repot juga sih. Aku gak tahu manjur atau
enggak. Mungkin nggak cocok buat ayah, ntar malah giginya lubang semua. Sebaiknya gimana
ya,” kata Ris serius, bingung mencari solusi. Ayahnya terdiam menatapinya. Risa buru-buru
berkata, “Tata gak bermaksud melarang lho. Hanya saja perlu dikura..”
“sudah sudah. Ayah tahu. Kamu mencemaskan ayah ya? Jangan khawatir. Ayah akan membatasi
diri mulai sekarang,” kata ayah pengertian, membuat Risa lega karena maksudnya tersampaikan
sehingga tidak perlu menjelaskan panjang lebar.
“bener yah? Ayah mau mendengarku saja aku sudah senang,” kata Risa lalu memeluk sayang
ayahnya.
“kamu ini. Ada-ada saja,” kata ayah tak habis pikir lalu menepuk pundak anaknya.
Risa sekarang tertarik dengan kumpulan tugas yang sudah dinilai. Ia mengambil satu untuk
dilihat-lihat sekilas.
“kalau aku yang jadi mahasiswi ayah, kira-kira ayah ngasih nilai berapa ya?” tanya Risa ingin
tahu menatap ayahnya, setengah bercanda. Ayahnya balas memandangnya curiga dari balik
kacamatanya.
“wah wah wah. Gak boleh KKN lho.” Jawab ayahnya yang ingin tertawa mendengarnya.
“sudah kuduga,” kata Risa paham sambil membalik-balik halamannya. “oh iya, masalah berobat
itu..”
Risa tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia sengaja menunggu ayahnya mengucapkan sesuatu. Risa takut ia akan salah bicara.
“kamu sudah memikirkannya”
Risa mengangguk. Ia sudah memikirkannya semalaman menimbang semua kemungkinan. Risa sebenarnya mau-mau saja berobat tapi umurnya toh sudah tidak akan lama lagi. Walaupun sudah
berobat, Risa sangsi bahwa usianya bisa lebih lama setengah tahun. Selain itu sampai kapan ia harus memperpanjang umurnya. Belum lagi biaya pengobatan yang mahal dan menyita waktu.
Risa tidak yakin ia akan bahagia bila menjalaninya.
Mungkin ia merasa bersalah terhadap Anita karena tidak bisa menjaga kondisi kesehatannya. Tapi setelah membaca buku harian milik Anita, Risa yakin dengan keputusannya. Anita pasti mengerti. Ia bukanlah Anita dan kali ini ia bisa mengutarakan pendapatnya. Dengan menjalani
kehidupan sewajarnya, Risa justru merasa lebih baik. Entah apakah ayahnya akan setuju dengan pendapatnya ini.
“lalu kapan kamu mau pergi berobat?”
“tidak yah... ayah salah paham. Aku menolak untuk berobat,” kata Risa mantap. Ayahnya sampai
bangkit dari kursi saking terkejutnya. “mengertilah yah.”
“apa? Kamu tidak mau? Tapi kenapa?” tanya ayahnya terperanjat, kembali duduk di samping
Risa, menatap Risa lekat-lekat seakan dia salah mendengar.
“bukannya Tata menolak niat ayah atau bagaimana tapi Tata lebih suka menjalaninya seperti sekarang ini,” jawabnya hati-hati. Ayahnya tampak tidak puas dengan jawabannya. “aku tidak
akan menyesal yah. Aku jamin.”
“tapi nak, apa kau sadar dengan apa yang baru kau ucapkan?” tanya ayahnya tak percaya.
“aku tidak apa-apa yah. Jangan terlalu khawatir. Semua orang toh akan mengalaminya juga. Walau berobat atau tidak, yang pasti aku tetap sayang ayah. Tata tahu ayah selalu mengusahakan
yang terbaik. Tata mengertiii sekali,” katanya mantap. Mata ayahnya sampai berkaca-kaca, campuran kecewa dan terharu.
“tapi nak, apa kamu sudah yakin? Maksud ayah, benar-benar yakin?”
Risa mengangguk yakin, membuat ayahnya merasa putus asa dan berusaha mencari cara untuk membujuk Risa namun akhirnya menyerah karena melihat keputusan anaknya tidak bisa
diganggu gugat.
“nanti... kalau sewaktu-waktu kamu berubah pikiran, katakan saja. Semuanya belum terlambat,”
kata ayah menganjurkan.
“baiklah,” jawab Risa menghargai, “tapi pendapatku tidak akan berubah.”
“tapi Ta, kenapa ayah tetap merasa tidak enak? Ayah tidak ingin memaksamu sebetulnya. Tapi apakah kamu tidak mau memberi ayah kesempatan sekali lagi?” tanya ayahnya bersikeras.
“aku mau memberi kesempatan pada diriku sendiri yah. Inilah jalan yang kupilih. Aku tau resikonya. Aku sangat senang kalau ayah bisa mnegerti,” kata Risa berusaha meyakinkan.
“baiklah, baiklah. Ayah tahu suatu saat kamu akan menolak. Hanya saja ayah tidak menyangka,”
kata ayahnya sedih memeluknya. “maafkan ayah ya.”
“sudahlah yah,” kata Risa menenangkan sambil menepuk-nepuk pundak ayahnya.
“tapi kamu harus berjanji satu hal pada ayah,” ucapnya serius. Mimik ayahnya sampai terlihat sangar.
“apa?” tanya Risa penasaran.
“kalau kamu merasakan sesuatu, segera katakan kepada ayah, mengerti?” kata ayahnya. Risa tahu betul apa yang dimaksud dengan ‘merasakan sesuatu’ itu.
“janji,” jawab Risa singkat. Ayahnya tersenyum lebar.
Mereka tampak lebih akrab lalu Risa menemani ayahnya memeriksa tugas di meja sepanjang
hari itu, walau ia memperhatikan bahwa ayahnya berkali-kali meliriknya cemas.
***
Hari minggu berarti waktunya bersantai, setidaknya Risa bersantai sepanjang waktu, tetapi begitulah halnya bagi ayah dan Viko. Mereka sepakat akan bepergian bersama ke supermakrket.
Risa sebetulnya heran melihat pria seperti ayah dan kakaknya belanja di supermarket. Bukankah kebanyakan yang berbelanja ibu-ibu atau perempuan? Kemudian ia sadar bahwa ia satu-satunya
perempuan yang tersisa dari anggota keluarga itu.
Setibanya disana, ayah menuju bagian elektronik yang menjual kamera digital dan komputer model baru. Ayah berbincang seru dengan pegawai toko dan kelihatannya akan memakan waktu
lama. Maka Risa belanja ditemani Viko. Orang-orang yang melihat ia dan Viko sebagai pasangan muda-mudi, mengira mereka sedang berpacaran.
“vik, kuliah itu kayak apa sih?” tanya Risa tiba-tiba selagi melihat tanggal kadaluarsa barang yang hendak dibeli.
“hm,.. gimana ya. Biasa aja sih, lebih bebas, harus bisa ngatur waktu, pelajarannya lebih sulit, temen-temennya lebih banyak, dosennya aneh-aneh,” jawab Viko setelah mengatasi kekagetan karena Risa tiba-tiba menyebut namanya.
“enak gak?”
“yaa tergantung.... masalahnya pergaulan bikin peranan penting! Banyak temen dan komunikasi
sama dosen itu bagus. Tapi nggak enaknya kalau salah pergaulan. Kebanyakan mahasiswa tuh kan udah menginjak dewasa jadi mereka ada yang kena narkoba atau pergaulan bebas. Walaupun
kelihatannya gak ketahuan tapi buka berarti gak ada lho. Yang kayak gitu itu tersembunyi dengan baik. Makanya harus ati-ati. Sekali terjerumus susah keluarnya.”
“masa sih?”
“he eh. Kalau orang udah kuliah, pikirannya pasti masa depan, tentang pekerjaan, pacaran,
berkeluarga, macem-macemlah. Belum lagi ada ego tentang status sosial, kepandaian dll.”
“susah juga ya jadi orang dewasa.”
“kamu sih... pengennya jadi anak kecil mulu yang dimanja.”
“yak anda be...” kata Risa dramatis. “benar-benar salah.”
“menurutku paling enak sih masa SMA.”
“kalo kakak pengen punya cewek yang kayak apa?”
“kenapa emangnya?” tanyanya penuh selidik tapi kemudian melanjutkan, “yaa yang penting klop
jadi gak bosen. Kalau bisa orangnya imut, mukanya manis dan gak sombong, menyenangkan dan
setia.”
“ciee. Sudah ada ya? Aku pengen lihat, kapan-kapan kenalin ya.”
“belum. Barusan putus,” kata Viko kaku.
“hah?! Diputusin cewek ceritanya... duh kasihan banget,” ledek Risa.
“sapa bilang?!” sahut Viko tidak terima.
“trus yang tiap hari telpon tuh sapa?”
“nggak tahu tuh anak-anak cewek lain jurusan minta kenalan. Kalo sms atau miscall ke HP sih nggak kubales. Kalo sekedar iseng sih bisa tapi nggak deh pokoknya, kayak cowok apaan aja.
Sebenarnya seneng sih banyak fans,” kata Viko sok ngetop.
Mereka terus mengobrol, Risa mendengarkan penuh minat. Risa sedang melihat belanjaan mereka, takut ada yang terlupa.
“shampo, sabun, pisau cukur untuk ayah, pemutih pakaian, pasta gigi, deodoran, tissue, kecap,
snack, mentega, susu, sirup rasa mangga, jagung popcorn, mie, sosis, rumput laut, agar-agar, buah, teh, kopi, gula. Hmm... kayaknya udah semua. Wow roti panjang kesukaanku!” pekik Risa girangbegitu melihat roti perancis keras dengan panjang hampir semeter.
“suka ya? Ini sih bisa buat mukul orang,” sindri Viko geli, mengambil satu dan memukulkannya
pelan ke kepala Risa, “kalo gak ya bikin gigi rontok.”
“o suka baaaaanget,” sahut Risa tanpa mempedulikan sindiran Viko, langsung mengambil lima bungkus.
“banyak amat?! Nafsu makanmu sekarang udah kayak dinosaurus aja.”
“gakpapa, ini kan tahan lama, bisa buat simpanan tiga minggu. Yuk ah! Ngantri tuh.”
Setelah membayar di kasir, mereka menenteng belanjaan dan menyusul ayah. Kemudian Risa
membeli ice cream yang dinikmatinya dalam perjalanan pulang.
“bintang di langit kelip engkau di sana, memberi cahayanya di setiap insan. Malam yang dingin
kuharap engkau datang...” Risa bersenandung sambil menatap bintang betulan di langit. Dia
sedang duduk sendirian di teras depan. Angin sepoi malam itu agak dingin, ia merapatkan jaketnya dan menegakkan kerahnya.
Bibik dan ayah sedang menonton TV, sedangkan Viko seperti biasa sibuk mengerjakan tugas. Risa menghirup udara malam yang segar dalam-dalam. Rasanya sejuuk sekal. Ia memandang
tamandi depannya, tanamannya telah bertambah tinggi dan lebat semenjak kali pertama dia tiba dirumah ini.
“nggak masuk Ris? Nanti masuk angin lho,” kata suara sayup-sayup ayahnya dari dalam.
“nggak yah. Diluar sini sejuk,”jawab Risa agak berteriak.
Risa bersandar pada kursinya, mengangkat kedua kakinya ke kursi. Sebentar-sebentar ia mendengar derum kendaraan yang lewat. Suara serangga yang berbisik di tanah yang lembab
membuatnya terbuai. Tiba-tiba ada suara di dekatnya.
“ngapain Ta?”
“eh kakak, bikin kaget aja,” kata Risa, ia sampai hampir terguling dari kursinya. “liat
pemandangan. Udah selesai tugasnya?”
“udah. Suntuk nih. Enaknya ngapain ya?” tanya Viko meminta pendapat asal saja, tidak benarbenar
mengharap jawaban, seraya duduk di kursi sebelahnya.
“jalan-jalan aja,” kata Risa mendadak mendapat ide dengan mata bersinar-sinar. Viko menoleh
terkejut.
“lagi?” kata Viko bosan, “ke mana?”
“keliling kota naik otor, ngabisin bensin. Pasti seru,”sahut Risa meyakinkan.
Viko ragu, menimbang-nimbang usulnya.
“boleh juga. Tapi sudah malem nih. Kamu kan gak boleh keluar.”
“belum terlalu malam kok. ayolah..,” bujuk Risa tidak sabar. “bentar aja deh.”
“ya udah deh,” kata Viko menyerah. “sana. Minta ijin dulu sama ayah. Kalo gak dibolehin nggak
mau tahu lho.”
“bener? Asyiiik,” seru Risa bertepuk tangan. “kalo soal ayah sih beresss.”
Risa dengan bersemangat masuk ke dalam rumah. Viko hanya bisa geleng-geleng kepala. Benerbener
kalah kalau menyangkut keinginan adiknya. Maka Viko mangambil jaket di kamarnya dan
kunci motor. Saat ia kembali ke ruang keluarga, ia melihat adiknya tersenyum lebar dan puas.
“berangkat yuk,” ajak Risa, menggandeng lengan Viko.
Ayah dan bibik yang sedari tadi duduk menonton TV terlihat agak khawatir.
“pergi bentar yah, bik,” pamit Viko.
“ati-ati rampok den.”
“bentar aja ya Vik,” kata ayah ketika Viko membuka pintu depan.
“oke.”
Risa bukan main senangnya. Kota di malam hari memang berbeda. Dimana-mana lampu
berwarna-warni menerangi jalan. Jalan raya agak sepi sehingga Risa bisa berteriak-teriak senang
dengan bebas.
“wow. Dari sini bintang-bintangnya kelihatan lebih jelas,” teriak Risa mengalahkan deru angin
sambil menengadahkan kepala memandang langit.
“Ta, jangan berisik dong.”
“kak lebih cepat dong. Yang cepaaat,” pinta Risa sambil mengguncang pundak Viko.
“kita bukan nak jet coaster tau,” kata Viko heran dari balik helmnya.
“ah kakak gak seru,” protes Risa.
Sebenarnya Viko takut terjadi apa-apa pada adiknya tapi melihat Tata tidak pernah segembira
ini, ia bersiap menambah kecepatan. “pegangan yang bener.”
Dan motor yang ditunggangi mereka melaju kencang sepanjang jalan yang sepi. Angin yang
dingin serasa menembus jaket mereka.
“WUIHH Asyikkk,” teriak Risa dari bangku belakang. Rambutnya yang panjang tertarik
kencang ke belakang.
Dalam hati Viko bertanya-tanya apakah perilaku adiknya ini normal? Biasanya kalo ngebut gini, anak cewek kan justru ketakutan. Viko sendiri menikmati perjalanan ini. Semua hal dalam pikirannya tersapu lenyap. Perasaannya menjadi ringan, sringan udara di sekelilingnya. Ia
memacu motornya lebih cepat. Bunyi derum motor mereka menderu mengalahkan desau angin. Dinginnya udara serasa menembus jaket dan tulang. Di belakangnya, Tata berteriak-teriak senang.
Setelah satu jam lamanya berkeliling tanpa henti, mereka tiba di rumah. Tubuh mereka bukan main lelahnya, energi mereka terasa ikut terbawa angin sepanjang perjalanan. Ayah menyambut mereka dengan perasaan lega. Risa mengucapkan selamat tidur kepada keluarganya dan Bibik. Sewaktu Risa hendak menutup pintu kamarnya, ia melihat ke arah Viko yang sudah di ambang pintu kamarnya sendiri, sedang menyalakan lampu kamar.
“kak,” panggilnya. Viko menoleh.
“apa?” tanyanya sambil merapikan rambutnya yang agak acak-acakan.
“makasih ya,” kata Risa tiba-tiba sambil tersenyum lalu menutup pintu kamar. Viko memandang tata dengan bingung. Tampaknya adiknya jadi sangat sopan. Mereka berangkat tidur dengan perasaan lega sehingga langsung tertidur nyenyak.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates