Can You See Me part 7
TANPA
DISADARI
Hari ini teman-teman
sekelompoknya mengerjakan tugas di rumahnya. Mereka hanya ada satu mata kuliah yang
perlu diikuti di kampus. Tadi pagi, Viko sudah memberitahu ayah dan Tata perihal kedatangan
teman-temannya. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju
rumahnya
bersama-sama. Viko dan seorang temannya mengendarai motor, sedang yang lain menumpang di mobil
Erik. Semuanya berjumlah 9 orang, antara lain: Erik, David, Emi, Vivi,
Eve, Rina, Dicky,
Evan dan Ahmad. Bik Ti bergegas membuka pagar sesaat setelah ia membunyikan bel.
Viko masih teringat
jelas kejadian Vivi yang menitipkan surat cinta ke adiknya. Ngapain sih pake titip-titip
segala, pikirnya, bikin malu aja. Vivi memang sudah lama mengejarnya, datang
ke rumahnya dengan
alasan meminjam catatan dan sebagainya tapi ia sudah menolaknya secara halus. Rupanya Vivi pantang
menyerah, untungnya mereka hanya sekelas mata kuliah tertentu.
Ia menggiring masuk
sepeda motornya, melepas helm dan menggantungnya di spion. Temantemannya
mengikutinya.
Kemudian ia melihat sosok Tata yang disinari matahari. Tata sedang membaca buku chicken
soup di bangku taman, di mejanya terdapat jus tomat yang sudah setengah minum. Tata
berhenti membaca, mendongak ke arahnya sementara teman sekelompoknya
mengatur letak kendaraan mereka. Begitu menyadari kehadiran Tata, temanteman
prianya spontan merapikan
rambut dan balas menatap Tata penuh gaya, Viko mengamati.
Disebelahnya, Vivi
menyapa,
“hai Ta!”
Tata tersenyum dingin
seraya mengabaikan senyum dan lambaian tangan teman prianya. Mereka berjalan masuk,
begitu sampai d dalam, teman prianya langsung berkomentar.
“wow ada cewek cakep.
Kamu kok gak pernah cerita sih,” celetuk Evan, menyikut Viko.
“tapi orangnya dngin
man. Coba liat deh ekspresinya waktu aku pasang senyum kerenku, sedikitpun tidak
tergerak,” sahut David sambil memperlihatkan senyum keren yang dimaksud ke
anak-anak cewek.
Eva dan Emi saling
pandang dan terkikik, Vivi menghela napas lalu menggeleng-geleng kepala.
“elo sih kalo senyum
bikin takut orang,” komentar Rina.
“sayang aku udah
punya cewek,” keluh Ahmad. “kasihan Ko, adikmu terpaksa patah hati.”
“kalo aku sih lebih
berminat sama Vivi,” kata Dicky tanpa malu-malu menatap langsung ke arah
Vivi. Diam-diam Vivi
mencubit lengannya.
“masuk, masuk.
Barang-barangnya taruh di dalam aja,” kata Viko mengatasi suara ribut
temannya seraya
membuka pintu kamarnya.
Tak lama kemudian
mereka asyik mengerjakan tugas hingga selesai di ruang keluarga. Di
selaselanya,
Bik Ti mengirim
keripik kentang sebagai camilan dan sirup leci. Sebagian temannya
menguap, menggeliat,
merebahkan diri di sofa, memainkan bolpoin, dan menarik napas lega.
“capek nih!” kata
salah seorang temannya.
“lho?! In gambar
siapa?” tanya Aldi sambil melambaikan secarik kertas HVS yang diperoleh
dari dalam salah satu
buku Viko dengan sketsa seorang perempuan yang menoleh ke arah
mereka sambil
tersenyum manis.
Teman-teman perempuan
langsung tertarik.
“mana. Mana,” kata
Emi, Vivi dan Eva kompak.
“lihat dong,” pinta
Rina.
“hei! Jangan
bongkar-bongkar punya orang sembarangan dong,” seru Viko hendak menyambar
hasil gambarnya namun
sudah keburu diambil Evan. Dalam sekejap, teman-temannya
berkerumun di
sekeliling Evan.
“wow cakep banget!
Kok aku gak tau ya kalo kamu pinter gambar,” kata Evan takjub.
“dia sih di kampus
kalo suntuk kerjaannya kan nggambar-nggambar di catatannya,” kata Ahmad
menanggapi, melihat
sekilas gambar itu.
“mirip orang beneran
ya,” kata Dicky menilai.
“wih iya lho bagus
banget,” sahut Eva mengagumi gambar hitam putih yang dilukis dengan
pensil itu.
Disebelahnya, Emi mengangguk setuju.
“lho ini kan klo gak
salah gambar adikmu,” kata Vivi tepat sasaran. Viko mengangguk.
“oh iya ya. Kok aku
baru sadar sih,” kata David menyalahkan diri sendiri. “gambar ini buat aku
ya.”
“enak aja,” sahut
viko, mengambil kembali gambar yang beredar tersebut. “gambar aja sendiri.”
“kamu kan bisa gambar
lagi,” bujuk David.
“bisa sih tapi
hasilnya gak bakal sama,” kata Viko serius, helai kertas itu dengan hati-hati
agar
tidak terlipat ke
dalam bukunya lalu menyimpannya di rak.
“betul. Perasaan
waktu menggambar kan nggak bisa sama,” sahut Rina menambahkan.
“udah ah. Pulang.
Pulang,” ajak David kecewa.
“makan bareng dulu
yuk, baru pulang,” ajak Erik. “dideket sini kan ada yang jual belut goreng.”
“enak ya?” tanya Emi.
“aku belum pernah makan belut.”
“enak banget,” sahut
Dicky. “apalagi kalo pake sambel. Pengen nambah terus.”
Mereka semua setuju,
mengemasi barang-barang dan membawa kendaraan masing-masing
keluar rumah. Ia
berpamitan pada Bik ti, berpesan bahwa ia membawa kunci rumah jadi tidak
perlu membukakan
pagar. Tata masih asyik membaca, untung saja cuaca gak sepanas tadi.
Viko sampai dirumah
sejam kemudian, ayahnya masih mengajar di kampus terutama ada
asistensi bagi
mahasiswa semester akhir, seperti biasa sibuk sekali. Viko memasukkan sepedanya
ke garasi, lalu
tampak olehnya Tata tertidur di meja. Buku bacaannya menutup, botol
minumannya kosong dan
berpindah tempat ke pinggir meja, terdorong sikutnya.
“ck ck gimana sih,
bisa masuk angin,” gumamnya.
“Ta? Ta?” panggilnya
sambil menepuk lengan adiknya ingin membangunkannya.
Sebagai jawaban,
terdengar gumam lirih yang bagi Viko kelihatan aneh. Ia meraba kening
adiknya dan
cepat-cepat melepasnya. Badan Tata panas sekali, Viko langsung menggendongnya
ke dalam kamar,
menyuruh Bik Ti mengambilkan obat penurun panas. Obat yang sudah berupa
serbuk itu dminumkan
kepada adiknya lalu ia menjaganya sebentar. Viko sudah setengah
menarik gagang pintu
ketika sayup-sayup didengarnya sepotong namanya, “Vi..ko...” adiknya
mengigau dalam
tidurnya. Viko tersenyum memandang adiknya, membelai rambut Tata
kemudian melangkah
pergi.
***
Siang itu panas
terik. Ayah pulang agak pagi dari kampus dan menghabiskan waktunya
mengobrol dengan
Risa. Tak lama kemudian, mereka kedatangan tamu beberapa mahasiswa
yang diajar ayahnya.
Kelihatannya hendak mengasistensi tugas mereka.
Risa beranjak ke
dapur hendak mengobrol dengan bibik. Tapi bibik sedang tidak ada di tempat.
Ia melihat baskom
berisi air didekat cucian. Tanpa pikir panjang Risa membenamkan wajah ke
dalamnya sambil
menghela napas. Beberapa detik kemudian ia bangkit dengan napas terengahengah,
mengusap wajahnya
yang basah.
“rasanya lumayan,”
kata Risa tidak jelas. Lalu bersiap untuk menahan napas lagi, ingin melihat
sejauh mana ia bisa
bertahan dalam air yang dingin ini.
Risa berkali-kali
membenamkan wajahnya ke dalam baskom, tanpa terasa sudah kecanduan. Ia
sudah berhasil
menahan napas paling lama satu setengah menit. Entah kenapa ia jadi teringat
Viko. Hal ini
membuatnya stress. Dinginnya air seakan mendinginkan kepalanya juga. Akhirakhir
ini, Risa sedang
memastikan perasaannya apakah ia menyukai Viko atau tidak. Ternyata ia
memang menyukai Viko,
ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia sudah bersiap
membenamkan wajahnya
kembali ketika mendengar suara kaget bibik.
“lho non?! Itu kan
buat nyuci sayur,” katanya sambil menunjuk potongan-potongan sayur di
meja dekat jendela.
Setengah melamun,
Risa tersadar. Air menetes-netes ke bajunya sementara bibik melongo
memandangnya, seperti
tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya.
“apa?” tanya Risa
tidak mengerti, memandang bibik dan baki air di depannya bergantian,
mendadak ia paham,
“oh iya, biar aku ganti airnya.”
Risa buru-buru
mengelap air yang menempel di wajah dan rambut depannya lalu mengisi ulang
baskom dengan air
yang baru. Bibik rupanya baru dari kamar mandi.
“tamunya ada berapa
ya non?” tanya bibik sambil mengambil sirup dari lemari. Untung saja
bibik sudah melupakan
kejadian yang memalukan tadi.
Kalau gak salah 4
orang. Sama ayah jadi 5. Bibik buat aja 6 gelas untuk jaga-jaga,” kata Risa
menganjurkan selagi
bibik meletakkan gelas dengan berjajar rapi di meja.
Bik Ti sedang
membuatkan minuman untuk tamu lalu mengantarkannya, sedangkan Risa
memandang sejenak isi
kulkas dan kemudian mendapat ide. Ia mengambil beberapa buah tomat
dingin, mencucinya
lalu memotong-motong menjadi beberapa bagian. Setelah selesai, ia
menaburkan gula
secukupnya. Orang pasti mengira dia vegetarian, tapi makan semangkuk tomat
dingin yang manis di
hari panas begini akan menyegarkan.
Baru seminggu yang
lalu ia menyadari perasaan sukanya kepada Viko. Sekarang ia malah takut
berada di dekat-dekat
Viko, ia takut terlihat gugup terlebih lagi ia takut lebih menyukai Viko dari
sebelumnya. Maka ia
selalu membuat percakapan yang disertai debat seru untuk menekan
perasaannya. Huh,
cukup sulit dan melelahkan. Sampai kapan ia harus seperti ini. Masa sih Viko
jelek itu bisa
membuatnya merasa bersalah karena menyukai Viko, seharusnya ia menghapus
perasaan ini dari
awal. Dengan perasaan menyesal ia membentur-benturkan kepalanya ke kulkas.
“kamu kenapa Ta?”
tanya Viko heran. Ia baru datang dan rupanya tertarik melihat Risa
membenturkan
kepalanya.
“DEG! Aduhh! Disaat
seperti ini, orang yang paling ingin dihindarinya justru mendadak muncul
di hadapannya. Ia
pasti tampak sangat konyol. Risa menguasai diri, bersikap sepert biasa.
“kepanasan,” jawab
Risa asal saja.
Tepat saat itu Bik Ti
kembali ke dapur, begitu melihat Viko segera menawarkan minuman dingin
yang tersisa.
“mau sirup leci den?”
“nggak usah bik,
makasih. Lho?! Kenapa berhenti? Katanya kepanasan,” tanya Viko bergurau,
susah payah menahan
tawa.
“susah ngomong sama
kakak,” kata Risa angkuh, menyambar mangkuk tomatnya.
“ap? Hei.. Ta,”
panggil Viko hendak mencegah Risa.
Risa berpura-pura
tidak mendengar dan mengunci pintu setibanya di kamarnya yang terang
benderang. Ia mendudukkan
diri di karpet dan memakan tomat dinginnya.
Viko berjalan masuk
rumah dengan tertatih-tatih, tangannya tergores di beberapa tempat,
celananya yang robek
memperlihatkan salah satu lututnya yang luka. Tempurung lututnya terasa
seperti kena sakit
gigi. Ia terpaksa menopang berat tubuhnya pada satu kaki. Ia menahan rasa
sakit sepanjang
perjalanan pulang. Ia berteriak memanggil-manggil bibik. Bibik datang
secepatnya dan
memekik ketakutan melihat luka-lukanya. Viko menyuruhnya mengambil kotak
obat sementara ia
membaringkan diri di kursi.
Ia masih shock dengan
tabrakan yang baru saja dialaminya, sungguh tidak disangka, nyaris saja.
Untunglah si supir
angkot yang salah, jadi tidak ribut ke kantor polisi. Supir angkutannya jelas
tidak senang melihat
angkutannya agak melesak bekas tertabrak ban sepedanya tapi itu tidak
seberapa dibanding
Viko yang terpental akibat menahan laju sepeda motornya mendadak.
“dia sih enak pake
mobil, paling parah ya mobilnya yang kena bukan orangnya,” gerutu Viko
jengkel, meniup lengannya
yang perih akibat tergores aspal lalu memandang lututnya yang
meneteskan darah
tanpa henti.
Viko merobek robekan
pada lututnya supaya bisa melihat seberapa dalam lukanya. Tata datang
mendengar suara ribut
dari ruang tamu dan mendapatinya sedang kelelahan di kursi. Wajah
adiknya langsung
pucat pasi seakan melihat hantu, sejenak, berdiri mematung lalu cepat-cepat
melihat keadaannya.
“ya ampun Vik..., kok
bisa..,” kata Tata gemetar. Matanya beralih dari luka-luka di tangannya
kemudian melihat
lututnya, kedua tangannya terkepal.
“ini den,” kata bibik
tergesa-gesa, membawakan kotak obat. “perlu bibik telponin dokter den?”
“gak usah bik,
diobati sendiri aja,” jawab Viko seraya hendak mengambil kapas tapi buru-buru
direbut Tata.
“sini biar aku aja,”
kata Tata tegas, Viko sampai tidak berani membantahnya.
Adiknya segera
membersihkan luka-luka di tangan dan lututnya dengan Rivanol, menutup
lukanya dengan
Betadine, meniupnya sebentar agar cepat mengering. Ia susah payah menahan
sakit ketika Tata
mengobati lututnya, sekarang Tata sedang membalutkan perban ke
sekelilingnya.
“makanya ati-ati
dong.”
Viko tidak tahu
apakah adiknya sedang marah atau cemas. Dia sebenarnya ingin menjelaskan
bahwa bukan dia yang
tidak berhati-hati, namun mengurungkan niatnya. Dia merasa lemah untuk
berdebat dengan
adiknya dan diam saja sementara Tata menyimpul ikatan perbannya.
“nah selesai. Bisa
jalan ke kamar? Kubantu ya,” usul Tata tanpa menunggu jawaban darinya.
“biiikk, dini bantu
bentar.”
Maka ia dipapah oleh
Tata dan Bik Ti ke kamarnya. Tata mendirikan bantal supaya Viko bisa
bersandar di tempat
tidur. Tata rupanya berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dari yang
tampak di wajahnya.
Tata duduk di sampingnya, memandangnya dalam diam. Viko tersenyum,
mengelus kepala Tata
dengan sayang.
“aku sudah agak
baikan. Makasih ya.”
“sungguh???” tanya
adiknya tidak yakin, masih tampak cemas.
“beneran,” jawab Viko
meyakinkan.
“baiklah. Istirahat
aja dulu, kutinggal ya,” kata Tata ramah, beranjak dari tempat tidurnya.
“Tunggu!” kata Viko
tiba-tiba sambil menarik tangan adiknya. Mendadak perasaan aneh
mengalir dalam
tubuhnya. Ia sendirir tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
“apa?” tanya Tata
heran sambil menatap tangan Viko yang menggenggam pergelangan
tangannya.
“oh, nggak.
Nggakpapa,” kata Viko gugup lalu melepaskan tangan adiknya.
“kutinggal ya,” kata
Tata berpamitan. Viko tersenyum mengangguk.
Pintu menutup di
seberang. Sebenarnya Viko ingin menahan adiknya tapi tidak ingin
membuatnya lebih
khawatir. Ia memaksakan diri untuk tidur, melupakan sejenak peristiwa tidak
mengenakkan itu.
Rasanya lamaaa sekali ia baru bisa tidur. Sorenya ia terbangun dengan
perasaan plong. Tak
lama kemudian bibik membawakan susu coklat hangat ke kamarnya.
“baru bangun den? Ini
bibik bawakan minum. Non Tata yang suruh.”
“Tatanya sekarang
dimana bik?”
“ada di kamar lagi
baca buku di tempat tidur.”
“dia nggakpapa kan
bik? Apa penyakitnya mulai kambuh?” tanya Viko khawatir.
“bibik nggak tahu
den, tapi kelihatannya non Tata baik-baik aja. Bapak sebentar lagi datang,”
jawab bibik sama
cemasnya seraya meninggalkan kamarnya. “kalo butuh apa-apa panggil bibik
ya den.”
Ternyata Tata baru
muncul malam harinya. Viko sudah bertanya-tanya apakah Tata akan datang
melihatnya. Entah
mengapa hatinya tidak tenang bila tidak melihat adiknya.
“ini kubawain roti
lapis,” kata Risa riang, menyodorkan piringnya ke arah Viko.
“thanks.”
Risa terdiam
memandang kakaknya, beberapa saat. Luka-luka ditangan Viko sudah mengering,
sebagian lebamnya
membiru kehitaman. Risa meraba memar ditangan Viko.
“gimana? Masih sakit?
Apa gak perlu diperiksa ke dokter?” kata Risa memberi saran.
“belum tahu. Lihat
aja besok. Kalau udah mendingan ya gak perlu,” jawab Viko sambil
menghabiskan roti
lapisnya dalam beberapa lahap. Ia mengambil minum dari meja di
sebelahnya, meneguknya
sampai habis.
“ups,” katanya
ringan, tersenyum memandangnya, sambil menepuk-nepuk perutnya.
“kekenyangan.”
“kata ayah, kakak ini
ceroboh sekali. Makanya biar lebih aman pasang kaca spion yang sebelah
kiri juga,” kata Risa
memberi nasehat, seakan-akan inilah penyebab kecelakaan yang menimpa
Viko.
“hah?! Tapi ini kan
gak ada hubungannya sama kecelakaan ini. Andaikata dipasang pun sama
sekali gak membantu,”
seru Viko tidak setuju.
“iya, iya. Kakak
pasti mau bilang walaupun kita sudah hati-hati, orang lain belum tentu
hati-hati.
Iya kan?” kata Risa
menebak-nebak.
“iya, iya kamu memang
pintar,” sindir Viko ngambek.
Tiba-tiba Risa
memeluk Viko erat-erat. Entah mengapa ia berbuat seperti ini. Yang dirasakannya
sekarang hanyalah
tidak ingin kehilangan Viko. Kadang-kadang perasaannya memang
membuatnya bertindak
bodoh. Kepalanya bersandar pada dada Viko, membuatnya bisa
mendengarkan detak
jantung di dalamnya.
“ke.. kenapa Ta?”
tanya Viko kaget melihat adiknya bertingkah aneh.
“Tata gak mau
kehilangan kakak,” jawab risa, masih belum melepas pelukannya.
“kehilangan gimana?”
tanya Viko bingung, “kalau maksudmu gara-gara kecelakaan ini...”
“bukan itu saja,”
potong Risa. “kalau aku sudah tidak ada. aku akan merindukanmu... Viko...”
“kamu ini kenapa
sih?” kata Viko sedih, menarik lepas pelukan adiknya lalu memegang wajah
adiknya. “seperti
bukan Anita saja. Dengar ya, kakak juga tidak ingin kehilanganmu, ayah juga
tidak ingin
kehilanganmu. Mengerti?!”
“hm..,” gumam Risa
lesu, mulutnya cemberut. Ia tahu benar Viko mengkhawatirkan adiknya,
tapi bila Viko tahu
ia bukan Anita, apakah Viko akan merasa kehilangan juga.
Risa memandang mata
Viko lekat-lekat seakan bertanya dari dalam hatinya apakah Viko dapat
melihat dirinya.
Apakah Viko bisa melihat diriku yang sesungguhnya? Aku ada disini, bisakah
kau melihatnya? Aku
bukan Anita, bisakah kau melihatku dalam diri Anita? Mata Viko balas
menatapnya tidak
mengerti. Bayangan wajahnya terpantul disana. Sekaliii saja, bisakah kau
melihatku? Bisakah
kau merasakan kehadiranku?
“aku mau kembali ke
kamar,” kata Risa tiba-tiba. Yaah, sia-sia saja mengharap Viko menyadari
keberadaannya.
Setidaknya ia ingin bersama Viko lebih lama tanpa perasaan tertekannya.
“tapi sebelum itu,
bolehkah aku memelukmu lagi?”
Viko bimbang, ia
tidak langsung menjawab, heran melihat ulah adiknya.
“sepuluh menit,” kata
Risa menegaskan, memandang Viko penuh harap.
“baiklah,” kata Viko
pelan, memandang kasihan padanya. “kemrilah.”
Risa dengan perasaan
penuh terima kasih memeluk Viko. Viko mendekapnya, membelai rambut
panjangnya dengan
lembut. Risa dapat merasakan dan mendengarkan detak jantung Viko. Jarang
sekali ia mempunyai
kesempatan seperti ini. Aku ingin mendengarnya lebih lama, batin Risa
penuh harap. Tidak
lama lagi, ia akan sangat merindukan orang ini. Walaupun sedih, ia senang
tuhan telah
memberikannya kesempatan bertemu dan mengenal Viko. Risa menyadari bahwa ia
sangat membutuhkan
orang ini, sampai kapanpun untuk tetap berada disisinya.
Andai saja ia bisa
hidup lebih lama, ia akan sangat berterima kasih. Tidak peduli apakah Viko
menyayangi dirinya
atau menganggapnya sebagai Anita. Asalkan bisa berada di dekatnya, ia
sudah merasa bahagia.
Risa tidak menyangka, dulu ia takut akan kematian, gelisah akan
identitasnya, dan
bingung apa yang aan ia lakukan. Sekarang semuanya itu tidak penting lagi.
Yang ia takutkan
hanyalah kehilangan Viko. Ia tidak akan bisa berbicara, memilukan. Dan tanpa
ditahan lagi, ia
bergumam lirih.
“aku menyukaimu
Viko,” bisiknya sangat pelan, tapi masih bisa sampai ke telinga Viko. Risa
yakin bahwa dirinya
benar-benar menyukai Viko. Ia sadar menyukai seseorang bukanlah suatu
kesalahan.
Viko membelai
adiknya, entah kenapa perasaannya kalut. Perasaan apakah ini? Saat ia akan
melepas pelukan
adiknya nanti, walau sekarang masih dalam pikirannya, seakan menuntutnya
untuk menyerahkan
sebagian nyawanya. Dia di sini. Anita, adiknya. Dengan aman berada dalam
dekapannya, tapi...
sampai kapan? Benarkah ini Anita? Viko seperti melihat Anita yang lain,
Anita yang tidak
pernah dikenalnya selama bertahun-tahun. Apakah ini hanya perasaannya saja?
Tapi baru kali ini ia
merasa seperti ini. Apa yang harus ia lakukan...
Kemudia... Viko
mendengar bisikan pelan adiknya yang hampir tidakterdengar. Bunyinya
seperti... ‘aku
menyukaimu Viko’. Untuk sepersekian detik jantungnya terasa berhenti lalu
mendadak berganti
berdetak kencang, matanya membelalak kaget, perasaannya tidak terkendali.
Benarkah? Benarkah
apa yang baru saja didengarnya? Tangannya kaku, hawa dingin merambati
tubuhnya. Hatinya
perlahan serasa akan meledak. Kenapa? Kenapa dia merasa begini? Wajar
bila adiknya
menyayanginya. Jadi kenapa. Kenapa ia menjadi tidak terkendali. Andai saja
perempuan dalam
dekapannya kini bukanlah adiknya. Ia pasti sudah jatuh hati padanya.
Tidak. Tidak. Ia
tidak boleh begini. Ia tidak bisa berlaku seperti ini terhadap adiknya. Tapi
kenapa hatinya sangat
sedih setiap kali ia hendak melepas adiknya. Menit demi menit berlalu,
tapi ia masih belum
bisa melakukan apa-apa.
Perempuan ini, atau
lebih tepatnya adiknya... tidak akan lama lagi berada dalam dekapannya
seperti sekarang. Ia
tidak akan pernah berjumpa, mendengarnya bicara, melihat senyum tulus
yang berasal dari
lubuk hatinya dan pandangan matanya, terlebih menggoda adiknya yang
selama
ini membuatnya senang. Sekarang ia merasa lemah dan tidak berdaya.
0 komentar:
Post a Comment