June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 3

Saat lagu kebangsaan berakhir, kami dibawa untuk diamankan. Kami memang tidak diborgol atau semacamnya, tapi sekelompok Penjaga Perdamaian menggiring kami memasuki pintu depan Gedung Pengadilan. Mungkin dulu banyak peserta yang berusaha melarikan diri. Meskipun aku tak pernah melihat kejadian semacam itu.
Selama berada di dalam, aku dimasukkan ke ruangan dan ditinggal sendirian di sana. Ini tempat termewah yang pernah kumasuki, dengan karpet tebal, kursi-kursi, dan sofa berlapis beludru. Aku tahu seperti apa beludru karena ibuku memiliki gaun dengan kerah berbahan itu. Sewaktu duduk di sofa, aku tidak tahan untuk tidak mengelus beludru itu berkali-kali. Sentuhan itu membantu menenangkanku ketika aku menyiapkan diri untuk menghadapi saat-saat berikutnya. Waktu yang diberikan kepada para peserta untuk mengucapkan salam perpisahan dengan orang-orang yang mereka sayangi. Aku tidak bisa merasa merana, lalu keluar dari ruangan ini dengan mata bengkak dan hidung sembap. Menangis bukanlah pilihan. Akan ada lebih banyak kamera di stasiun kereta api.
Yang pertama datang adalah adik dan ibuku. Kuulurkan tangan pada Prim dan dia naik ke pangkuanku, kedua lengannya memeluk leherku, kepalanya di bahuku, sebagaimana yang sering dilakukannya saat dia masih balita. Ibuku duduk di sampingku dan memeluk kami berdua. Selama beberapa menit, tak ada yang bicara di antara kami. Kemudian aku mulai memberitahu segala hal yang harus mereka ingat untuk dikerjakan, karena sekarang aku takkan berada di sana untuk melakukannya.
Prim  tidak boleh  mengambil  tessera.  Jika mereka  hati-hati  mereka  bisa bertahan hidup dengan menjual keju dan susu kambing milik Prim dan menjalankan usaha toko
obat kecil yang sekarang diurus ibuku untuk penduduk Seam. Gale akan mencarikan tanaman  obat  yang  tidak  bisa  ditanam  sendiri  oleh  ibuku,  tapi  ibuku  harus  hati-hati
menggambarkannya pada Gale karena pemahamannya pada tanaman obat tidak seperti
aku. Gale juga akan membawakan sisa daging buruan untuk mereka-aku dan dia sudah berjanji soal ini sekitar setahun lalu-dan tidak akan meminta bayaran, tapi mereka akan berterima kasih pada Gale dengan memberinya barang-barang seperti susu atau obat- obatan.
Aku tidak mau repot-repot menyarankan Prim untuk belajar berburu. Aku pernah mengajarinya beberapa  kali  dan hasilnya kacau-balau. Dia  ketakutan berada di dalam hutan.  Setiap  kali  aku  memanah  sesuatu,  matanya  berkaca-kaca  dan  dia  mengatakan bahwa kami mungkin bisa mengobati binatang itu jika kami bergegas pulang secepatnya. Tapi dia punya hubungan baik dengan kambingnya, jadi aku berkonsentrasi pada hal itu.
Setelah aku selesai memberi pengarahan tentang bahan makanan, cara berdagang, dan agar Prim tetap bersekolah, aku berpaling pada ibuku dan mencekal lengannya kuat- kuat. "Dengarkan aku. Ibu mendengarku?"
Dia mengangguk, terkejut dengan keseriusanku. Dia pasti tahu apa yang hendak kukatakan.
"Ibu tidak boleh menghilang lagi," kataku.
Mata ibuku tertunduk memandang lantai. "Aku tahu. Aku takkan melakukannya. Aku tidak bisa menahan apa yang-"
"Yah,   kali   ini   ibu   harus   menahannya.   Ibu   tidak   bisa   cabut   begitu   saja   dan meninggalkan Prim sendirian. Sekarang tak ada aku yang bisa menjaga kalian agar tetap hidup. Tak peduli apa pun yang terjadi. Apa pun yang Ibu lihat di layar TV, Ibu harus berjanji padaku bahwa Ibu lihat dilayar TV, Ibu harus berjanji padaku bahwa ibu akan terus berjuang!" Suaraku  meninggi hingga  berteriak. Dalam  suaraku terdapat  segenap kemarahan, segenap ketakutan yang kurasakan ketika dia meninggalkanku.
Ibuku menarik lengannya dari cekalanku, dan jadi ikutan marah. "Dulu aku sakit. Aku bisa mengobati diriku sendiri jika memiliki obat yang kupunyai sekarang."
"Kalau begitu minum obatnya. Dan urus dia!" sergahku.
"Aku akan baik-baik saja, Katniss," kata Prim, seraya menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Kau juga harus jaga diri. Kau sangat cepat dan berani. Mungkin kau bisa menang."
Aku tidak bisa menang. Prim pasti sadar betul hal itu dalam hatinya. Pertarungan pasti akan jauh di atas kemampuanku. Anak-anak dari distrik yang lebih kaya, di mana
kemenangan adalah kehormatan besar, sudah berlatih sepanjang  hidup mereka untuk
pertarungan ini. Anak laki-laki yang ukuran tubuhnya dua kali lebih besar daripada tubuhku. Anak perempuan yang tahu dua puluh cara membunuhmu dengan pisau. Oh, tentu saja bakal ada orang-orang seperti aku nanti. Orang yang dihabisi sebelum pertarungan makin seru.


"Mungkin," jawabku, karena aku tidak mungkin bisa bilang pada ibuku untuk tetap berjuang jika aku sendiri sudah menyerah. Selain itu, bukan sifatku untuk kalah tanpa bertarung, bahkan saat kemungkinan untuk menang tampak begitu tipis. "Lalu kita akan kaya raya seperti Haymitch."
"Aku  tidak  peduli  kita  kaya  atau  tidak.  Aku  hanya  ingin  kau  pulang.  Kau  akan berusaha, kan? Sungguh-sungguh berusaha?" tanya Prim.
"Sungguh-sungguh berusaha. Sumpah," kataku. Dan aku tahu, demi Prim, aku akan harus sungguh berusaha.
Kemudian  Penjaga  Perdamai  berada  di  ambang  pintu,  memberi  tanda  waktunya sudah habis, lalu kami semua berpelukan sangat erat sampai sakit rasanya dan yang terus
ku ucapkan adalah "Aku menyayangimu. Aku menyayangi kalian."
Dan mereka membalas kata-kataku, kemudian Penjaga Perdamaian memerintahkan mereka keluar dan pintu pun tertutup. Kubenamkan kepalaku di salah satu bantal beludru seakan apa yang kulakukan ini bisa membendung segala yang terjadi.
Orang  lain  memasuki  ruangan,  dan  ketika  mendongak,  aku  kaget  saat  melihat ternyata yang datang adalah tukang roti ayah Peeta Mellark. Aku tidak percaya dia datang mengunjungiku. Bisa jadi aku bakalan berusaha membunuh anak lelakinya sebentar lagi. Tapi  kami  lumayan saling  mengenal,  dan dia  bahkan lebih  mengenal  Prim. Saat  Prim
menjual keju kambingnya di Hob, dia selalu menyisakan dua batang untuk tukang roti dan
sebagai gantinya dia memberikan banyak roti. Kalau ingin melakukan pertukaran dengannya, kami selalu menunggu saat istrinya yang jahat sedang tidak ada karena suaminya jauh lebih baik. Aku merasa yakin dia tidak pernah memukul anaknya karena
membuat   roti   hangus   seperti   yang   dilakukan   istrinya.   Tapi   kenapa   dia   datang menemuiku?
Tukang roti itu duduk dengan canggung di salah satu kursi empuk di ruangan ini. Dia lelaki  bertubuh  besar  dengan  bahu  lebar  dan  bekas  luka  bakar  di  tangannya  hasil bertahun-tahun di dekat  oven. Dia pasti baru mengucapkan salam perpisahan dengan putranya.


Dia mengeluarkan kantong kertas putih dari saku jaketnya lalu mengulurkannya ke arahku. Kubuka kantong itu dan kulihat ada kue di dalamnya. Kue adalah kemewahan yang takkan pernah bisa kuperoleh.
"Terima kasih," kataku. Tukang roti itu sering kali lebih banyak diam, dan hari ini dia tampak kehabisan kata-kata. "Aku makan roti Anda tadi pagi. Temanku Gale menukarnya dengan tupai pagi ini."
Dia mengangguk, seakan mengingat-ingat tupainya. "Bukan pertukaran yang menguntungkan Anda," kataku.
Lelaki itu mengangkat bahu seakan menganggapnya sebagai hal sepele.
Selanjutnya aku tidak bisa memikirkan topik pembicaraan lainnya, jadi kami duduk dalam keheningan sampai Penjaga Perdamaian memanggilnya. Dia bangkit dan batuk untuk melegakan pernapasannya. "Aku akan mengawasi gadis kecilmu. Memastikan dia bisa tetap kenyang."
Aku merasa beban yang mengimpit dadaku langsung terangkat mendengar perkataannya.  Orang-orang  biasanya  berdagang  denganku,  tapi  mereka  dengan  tulus
menyukai Prim. Mungkin akan ada cukup rasa suka yang mengupayakan Prim tetap hidup.
Tamuku berikutnya juga di luar dugaan. Madge berjalan langsung ke arahku. Dia tidak tampak cengeng atau menghindar, malahan ada ketergesaan dalam nada suaranya yang membuatku terkejut. "Mereka akan mengizinkanmu memakai satu barang dari distrikmu di dalam arena pertarungan. Satu benda yang mengingatkanmu pada rumah. Maukah kau memakai ini?"
Dia mengulurkan pin emas bundar yang tersemat digaunnya tadi siang. Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi sekarang aku melihat lambang burung yang sedang terbang.
"Pin  milikmu?"  tanyaku.  Memakai  tanda  mata  dari  distrikku  nyaris  tak  terlintas dalam benakku.
"Sini kupakaikan di gaunmu ya?" Madge tidak menunggu jawabanku, dia langsung menyematkan pin burung itu di pakaianku.
"Katniss, janji ya kau akan memakainya di arena?" tanya Madge. "Janji?"
"Ya," kataku. Kue. Pin. Aku dapat banyak hadiah hari ini. Madge memberiku hadiah lain. Ciuman di pipi. Kemudian dia pergi dan aku berpikir mungkin selama ini sebenarnya Madge adalah sahabatku.
Akhirnya, Gale datang. Mungkin memang tidak ada unsur romantis dalam hubungan kami, tapi saat dia merentangkan kedua lengannya, aku sama sekali tidak ragu untuk masuk  kepelukannya.  Tubuhnya terasa  tidak asing  lagi-caranya  bergerak, aroma  kayu yang terbakar, bahkan suara detak jantungnya yang kukenal dari momen-momen sunyi
saat berburu-tapi ini pertama kalinya aku sungguh-sungguh merasakannya, otot yang liat dan keras menempel pada tubuhku.
"Dengar," katanya. "Memperoleh pisau seharusnya urusan mudah, tapi kau harus bisa mendapat panah. Itu kemungkinan terbaikmu."
"Mereka  tidak  selalu  punya  panah,"  sahutku,  dan aku  teringat  pada  tahun ketika hanya ada tongkat berduri yang dimiliki para peserta untuk saling menghantam satu sama lain.
"Kalau begitu buat saja sendiri," tukas Gale. "Bahkan busur yang lemah lebih baik
daripada tak memilikinya sama sekali."
Aku pernah mencoba meniru busur panah buatan ayahku tapi hasilnya jelek sekali. Ternyata tidak semudah itu. Bahkan ayahku kadang-kadang harus membuang busur buatannya sendiri.
"Aku juga tidak tahu apakah bakal ada kayu di sana nanti," kataku. Pada tahun yang lain, mereka melempar semua orang ke daerah yang hanya ada batu-batu besar, pasir dan
semak-semak. Aku benci pertarungan tahun itu. Banyak peserta digigit ular berbisa atau
jadi gila karena kehausan.
"Selalu ada kayu," kata Gale. "Sejak tahun itu ketika setengah peserta mati karena kedinginan. Tidak banyak hiburan dari tayangan tahun itu."
Memang   benar.   Kami   pernah   menonton   para   peserta   dalam   Hunger   Games kedinginan sampai mati pada malam hari. Kau nyaris tida kbisa melihat mereka karena mereka hanya berbaring menggelung dan tidak ada kayu untuk dibuat api atau obor atau
apalah. Tahun itu dianggap tahun yang antiklimaks bagi Capitol, hanya melihat kematian-
kematian yang tenang dan tanpa darah. Sejak saat itu, biasanya selalu tersedia kayu untuk membuat api.
"Ya, biasanya memang ada," kataku.
"Katniss, ini hanya perburuan. Kau pemburu terbaik yang kukenal," kata Gale.
"Ini bukan sekedar perburuan. Mereka bersenjata. Dan mereka bisa berpikir," jawabku.
"Kau juga. Dan kau lebih sering latihan. Latihan sungguhan," katanya. "Kau tahu bagaimana membunuh."
"Bukan membunuh manusia," kataku. "Sesulit apa sih?" tanya Gale muram.
Yang membuatku bergidik adalah jika aku bisa lupa bahwa mereka manusia, maka tidak ada bedanya sama sekali.
Para Penjaga Perdamaian datang lebih awal dan Gale minta waktu lebih, tapi mereka
menariknya pergi dan aku mulai panik. "Jangan biarkan mereka kelaparan!" Aku menjerit memegangi tangan Gale.
"Tidak akan pernah! Kau tahu aku takkan membiarkannya. Katniss, ingat aku..." katanya. Kemudian mereka memisahkan kami dengan paksa lalu menutup pintu dan aku takkan pernah tahu apa yang ingin Gale katakan agar bisa kuingat.
Perjalanan dari Gedung Pengadilan sampai stasiun kereta api cukup singkat. Aku tak pernah naik mobil. Naik kereta kuda pun jarang. Di Seam, kami biasanya berjalan kaki.
Tidak menangis adalah keputusan benar. Stasiun kereta api penuh dengan wartawan lengkap dengan kamera mereka yang seperti serangga pengganggu diarahkan padaku. Tapi aku sudah sering berlatih menghapus segala bentuk emosi agar tidak terpampang di wajahku  dan  aku  melakukannya  sekarang.  Sekilas  kulihat  diriku  di  layar  televisi  di dinding yang menyiarkan kedatanganku secara langsung dan aku bersyukur bisa tampil dengan wajah bosan seperti itu.
Sebaliknya, Peeta Mellark jelas habis menangis dan yang menarik darinya adalah dia tidak berusaha menutupinya. Aku langsung berpikir apakah ini strateginya untuk Hunger Games kali ini. Dengan tampil lemah dan ketakutan, dia meyakinkan peserta-peserta lain bahwa dia bukanlah lawan yang patut di perhitungkan, baru kemudian dia muncul sebagai jagoan. Hal ini berhasil buat anak bernama Johanna Mason dari Distrik 7 beberapa tahun lalu. Dia kelihatannya cuma anak pengecut dan cengeng tak di perdulikan oleh semua orang sampai ketika tinggal beberapa peserta yang tersisa. Ternyata anak perempuan itu bisa membunuh dengan keji. Caranya bermain sangat cerdik. Tapi ini tampaknya strategi yang aneh dari Peeta Mellark karena dia putra tukang roti. Selama bertahun-tahun dia mendapatkan cukup makanan, lagi pula mengangkat nampan-nampan roti kesana kemari membuat bahunya kekar dan kuat. Dia harus menangis sampai tersedu-sedu tanpa henti untuk meyakinkan siapa pun agar mau menganggap enteng dirinya.
Kami  harus  berdiri  di  ambang  pintu  kereta  selama  beberapa  menit  sementara kamera televisi melahap wajah kami bulat-bulat, kemudian kami diizinkan masuk dan untunglah pintu segera menutup di belakang kami. Seketika kereta api pun bergerak.
Kecepatan kereta api ini membuatku tercengang. Tentu saja, aku tak pernah naik kereta, karena melakukan perjalanan antar disttik termasuk kegiatan terlarang kecuali
untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan negara. Bagi distrik kami, tugas ini terutama mengangkut batu-bara. Tapi ini bukan kereta batu bara biasa. Ini salah satu
kereta milik Capitol yang berkecepatan tinggi, dengan kecepatan rata-rata 250 mil per jam.
Perjalanan kami ke Capitol akan makan waktu kurang dari sehari.
Di sekolah, mereka memberitahu kami bahwa Capitol dibangun di tempat yang dulu dinamai Pegunungan Rocky. Distrik 12 adalah wilayah yang dikenal sebagai Appalachia. Bahkan ratusan tahun lampau, mereka menambang batu bara disini. Itulah sebabnya para penambang kami harus menggali sangat dalam.
Entah  bagaimana  pelajaran  di  sekolah  selalu  kembali  ke  batu  bara.  Selain  buku bacaan dasar dan matematika kebanyakan pelajaran yang kami terima berhubungan dengan batu bara. Kecuali untuk kelas mingguan tentang sejarah Panem. Kebanyakan sih omong kosong tentang apa saja utang kami terhadap Capitol. Aku tahu pasti banyak yang tidak mereka beritahukan tentang kejadian yang sesungguhnya terjadi pada masa pemberontakan. Tapi aku tidak menghabiskan banyak waktu untuk memikirkannya. Apa pun kebenarannya, aku tidak melihat itu sebagai cara yang bisa membantuku mencari makan.
Kereta peserta ini lebih mewah dibanding ruangan di Gedung Pengadilan. Masing- masing orang diberi kamar sendiri lengkap dengan kamar tidur, ruang pakaian, dan kamar mandi pribadi dengan air keran yang bisa mengucurkan air dingin dan panas. Di rumah kami tidak punya air panas, kecuali kami memasaknya.
Ada laci-laci yang penuh berisi pakaian-pakaian bagus. Effie Trinket memberitahuku agar melakukan apa yang ingin kulakukan, memakai pakaian apa pun yang kuinginkan, segalanya yang ada disini bisa kupakai. Hanya saja kau harus siap untuk makan malam dalam waktu satu jam. Aku melepaskan gaun biru ibuku lalu mandi air hangat dari pancuran. Aku tak pernah mandi dengan air pancuran. Rasanya seperti di bawah siraman hujan, hanya saja lebih hangat. Aku memakai kemeja hijau tua dan celana panjang.
Pada saat terakhir, aku teringat pin emas Madge. Untuk pertama kalinya aku benar- benar memperhatikan pin itu. Ada perhiasan kecil bergambar burung emas dengan lingkaran emas di sekelilingnya. Burung itu menempel dengan lingkaran hanya di bagian ujung sayapnya. Tiba-tiba aku mengenali burung ini. Burung Mockingjay.
Mereka jenis burung yang lucu dan menampar wajah Capitol. Selama masa pemberontakan, Capitol membiakkan serangkaian hewan rekayasa genetika sebagai senjata. Istilah umum bagi hewan-hewan itu adalah mutan, atau kadang-kadang disingkat dengan sebutan mutt. Salah satunya adalah burung istimewa disebut jabberjay yang memiliki kemampuan untuk mengingat dan mengulang seluruh percakapan manusia. Mereka adalah burung yang bisa terbang pulang ke sarang, semuanya jantan, yang dilepaskan  ke  wilayah-wilayah  yang  dikenal  sebagai  tempat  persembunyian  musuh Capitol. Setelah burung-burung itu mengumpulkan kata-kata yang didengarnya, mereka terbang pulang ke markas untuk direkam. Butuh waktu beberapa saat bagi orang-orang untuk menyadari apa yang terjadi pada distrik-distrik tersebut, bagaimana percakapan- percakapan   pribadi   bisa   sampai   ke   telinga   Capitol.   Tentu   saja   kemudian   para pemberontak  mengibuli  Capitol  dengan  kebohongan-kebohongan  besar  dan  mereka tertipu habis-habisan. Sehingga markas yang jadi sarang burung itu pun ditutup dan burung-burung itu dibiarkan begitu saja agar punah di alam liar.
Hanya saja mereka tidak pernah punah. Malahan, burung-burung jabberjay itu kawin dengan mockingbird betina menciptakan spesies baru yang bisa meniru siulan burung dan melodi manusia. Mereka telah kehilangan kemampuan untuk mengulang kata-kata tapi masih  bisa  meniru  suara  manusia  sampai  tingkat  tertentu,  mulai  dari  suara  merdu bernada tinggi milik anak-anak hingga suara berat orang dewasa. Dan burung-burung ini bisa menciptakan ulang lagu. Bukan hanya beberapa nadanya, tapi seluruh lagu dengan berbagai versi berbeda, jika kau punya kesabaran untuk menyanyikannya pada burung- burung itu dan jika mereka menyukai suaramu.
Ayahku sangat menyukai burung mockingjay. Sewaktu kami berburu, biasanya Ayah akan bersiul atau menyanyikan lagu yang rumit pada mereka, dan setelah jeda yang sopan, burung-burung itu selalu balas bernyanyi. Tidak semua orang mendapat kehormatan semacam itu. Tapi setiap kali ayahku bernyanyi, semua burung di sana akan diam dan mendengarkan dengan saksama. Suaranya begitu indah, bernada tinggi dan jernih dan penuh  dengan  getar  kehidupan  sehingga  membuat  orang  yang  mendengarnya  ingin tertawa dan menangis pada saat yang bersamaan. Aku tak pernah sanggup melanjutkan latihan nyanyiku setelah ayahku tewas. Namun, entah bagaimana burung-burung kecil itu memberikan semacam kenangan. Seakan-akan ada bagian dari ayahku yang bersamaku, melindungiku.  Kupasang  pin  itu  ke  kemejaku,  dan  dengan  kain  berwarna  hijau  gelap
sebagai latar belakang,  aku nyaris bisa membayangkan burung mockingjay terbang  di antara pepohonan.
Effie   Trinket   datang   menjemputku   untuk   makan   malam.   Kuikuti   langkahnya melewati koridor sempit dan bergoyang-goyang menuju ruang makan dengan dinding berpanel kayu yang dipelitur. Di sana terdapat meja dengan piring-piring yang mudah pecah. Peeta Mellark duduk menunggu kami kursi di sampingnya kosong.
"Di mana Haymitch?" tanya Effie Trinket dengan nada ceria. "Terakhir kulihat dia, dia bilang mau tidur siang," sahut Peeta.
"Yah, ini memang hari yang melelahkan," kata Effie Trinket. Menurutku dia tampak lega tanpa kehadiran Haymitch, dan aku tidak menyalahkannya.
Makan malam  disajikan  satu  demi  satu.  Sup  wortel  kental,  salad  sayuran,  daging domba dan kentang tumbuk, keju dan buah-buahan, kue cokelat. Sepanjang makan, Effie
Trinket  mengingatkan  kami  untuk  menyisakan  ruang  di  perut  karena  masih  ada  lagi
makanan  yang  akan  disajikan.  Tapi  aku  makan  sebanyak-banyaknya  karena  aku  tak pernah makan makanan seperti ini, begitu lezat dan begitu banyak, dan karena mungkin saja hal terbaik yang bisa kulakukan sampai saat pertarungan tiba adalah menambah bobotku beberapa kilogram.
"Paling tidak kalian berdua masih punya sopan santun," kata Effie saat kami menghabiskan makanan utama. "Pasangan tahun lalu makan segalanya dengan tangan seperti orang-orang tak beradab. Aku sampai tidak nafsu makan melihatnya."
Pasangan tahun lalu adalah dua anak dari Seam yang tak pernah melewati satu hari pun dengan makan kenyang. Dan saat mereka melihat makanan, sopan santun di meja makan pasti sudah tak dipikirkan lagi. Peeta adalah anak tukang roti. Ibuku mengajari aku dan Prim untuk makan dengan benar, jadi ya, aku bisa menggunakan pisau dan garpu dengan baik. Tapi aku amat membenci komentar Effie Trinket sampai-sampai aku sengaja menghabiskan sisa makan malamku  dengan menggunakan tangan. Lalu aku mengelap kedua  tanganku  dengan  taplak  meja.  Perbuatanku  membuat  bibirnya  terkatup  makin rapat.
Kini setelah selesai makan, aku berusaha keras untuk menjaga agar makananku tidak naik lagi. Aku melihat  muka Peeta juga  agak pucat.  Perut kami berdua tidak terbiasa dengan makanan-makanan lezat seperti tadi. Tapi jika aku bisa tahan makan sup dengan daging tikus, jeroan babi, dan kulit pohon-terutama di musim dingin-aku bertekad untuk bisa menahan makananku agar tetap di lambung.
Kami menuju gerbong lain untuk menonton tayangan ulang pemungutan di seantero Panem. Mereka berusaha mengatur acara itu berlangsung sepanjang hari agar satu orang bisa menonton seluruh pemungutan secara langsung, tapi hanya orang-orang yang berada di Capitol yang bisa menonton seluruhnya, karena mereka tidak perlu menghadiri pemungutan.
Satu   demi   satu,   kami   melihat   pemungutan   di   distrik   lain,   nama-nama   yang disebutkan, para sukarelawan yang maju menggantikan, atau lebih seringnya lagi tak ada yang mau menjadi sukarelawan. Kami memperhatikan wajah-wajah mereka yang akan menjadi lawan-lawan kami. Ada beberapa yang sulit kulupakan. Anak lelaki mengerikan yang  berlari  maju  untuk  menjadi  sukarelawan  dari  Distrik  2.  Gadis  berwajah  rubah
dengan  rambut  merah  lurus  dari  Distrik  5.  Anak  laki-laki  yang  kakinya  pincang  dari Distrik 10. Dan yang paling menakutkan, gadis berusia dua belas tahun dari Distrik 11. Dia memiliki mata cokelat gelap, tapi selain itu ukuran tubuh dan tingkah polahnya mirip Prim. Hanya ketika dia naik ke panggung dan mereka bertanya apakah ada sukarelawan, yang bisa kudengar hanyalah embusan angin kencang di antara gedung-gedung kumuh di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang mau menggantikan tempatnya.
Terakhir, mereka menampilkan Distrik 12. Nama Prim disebutkan, aku berlari maju untuk menjadi sukarelawan. Kau tidak bisa mendengar keputusasaan dalam suaraku saat mendorong Prim ke belakang tubuhku, seakan aku takut tak seorang pun mendengarku dan mereka akan membawa Prim pergi. Tapi tentu saja mereka mendengarnya. Aku melihat Gale menarik Prim menjauh dariku dan melihat diriku naik ke panggung. Para komentator tidak tahu harus berkata apa ketika melihat kerumunan massa menolak tepuk tangan. Salam hormat tanpa suara. Salah satu komentator mengatakan Distrik 12 selalu ketinggalan zaman tapi kebiasaan masyarakat setempat itu bisa tampak menawan. Seakan mendapat  aba-aba,  Haymitch  jatuh  di  panggung  dan mereka  mengerang  kocak.  Nama Peeta  ditarik,  dan  dengan  tenang  dia  mengambil  tempatnya.  Kami  berjabat  tangan. Mereka sampai ke bagian lagu kebangsaan lagi, dan acara pun berakhir.
Effie Trinket menggurutu tentang keadaan wignya. "Mentor kalian harus belajar banyak tentang penampilan. Juga banyak belajar tentang bagaimana bersikap saat disorot televisi."
Tanpa disangka Peeta tertawa. "Dia mabuk," kata Peeta. "Dia mabuk setiap tahun." "Setiap hari," tambahku. Aku tidak bisa tidak takut menyeringai. Cara Effie Trinket
mengatakannya seakan-akan Haymitch cuma bersikap kasar dan sikap lelaki itu bisa diperbaiki dengan beberapa tips darinya.
"Ya," desis Effie Trinket. "Kalian anggap ini lucu ya. Kalian tahu mentor kalian adalah penyambung  hidup  kalian  kepada  dunia  luar  dalam  Hunger  Games  ini.  Orang  yang
memberi kalian saran, mencarikan sponsor, dan menentukan hadiah-hadiah apa yang diberikan. Haymitch bisa jadi orang yang menentukan hidup dan mati kalian!"
Tepat  pada  saat itu,  Haymitch  terhuyung-huyung  masuk ke dalam  gerbong. "Aku ketinggalan makan malam ya?" katanya dengan suara tidak jelas. Kemudian dia muntah di
atas karpet mahal dan jatuh ke kotorannya sendiri.
"Silahkan tertawa!" kata Effie Trinket. Dia melompat dalam sepatu berhak lancipnya mengitari kubangan muntahan dan meninggalkan ruangan.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates