June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 1

Ketika aku bangun, bagian tempat tidur di sebelahku terasa dingin. Jari-jariku terulur, mencari kehangatan tubuh Prim, tapi hanya menemukan sebuah kanvas kasar yang menutupi kasur. Dia pasti mengalami mimpi buruk dan naik ke tempat tidur ibu kami. Tentu saja, dia pasti mengalaminya. Hari ini hari penuaian.

Aku menyokong tubuhku dengan sikuku. Ada cahaya yang cukup di kamar tidur untuk bisa melihat mereka. Adik perempuanku Prim, berbaring menyamping, meringkuk seperti kepompong pada  tubuh ibuku,  pipi mereka  bersentuhan.  Dalam  tidur, ibuku terlihat lebih muda, kelihatan lelah tapi tidak terlihat begitu kelelahan. Wajah Prim sesegar tetesan hujan, seindah bunga Primrose, seperti nama yang diberikan padanya. Ibu ku dulu juga sangat cantik. Atau seperti itulah yang mereka ceritakan.

Adalah  kucing paling  jelek  di  dunia yang duduk  dilutut  Prim,  menjaganya. Hidungnya pesek, setengah dari salah satu telinganya hilang, matanya berwarna seperti labu busuk. Prim menamainya Buttercup, bersikeras bahwa warna bulunya yang berwarna kuning lumpur seperti warna bunga yang cerah. Buttercup membenci ku. Setidaknya tidak percaya padaku. Meski sudah beberapa tahun yang lalu, aku rasa dia masih ingat bagaimana aku mencoba menenggelamkannya  ke  dalam  ember  ketika  Prim membawanya pulang. Anak kucing yang kurus, dengan perut penuh cacing dan digerogoti kutu. Hal terakhir yang kubutuhkan adalah mulut lain yang harus diberi makan. Tapi Prim memohon dengan sangat, bahkan menangis, aku harus membiarkan kucing itu tinggal. Hasilnya baik-baik saja. Ibuku berhasil membuang kuman dari tubuhnya dan kucing itu terlahir sebagai pemburu tikus. Bahkan bisa menangkap tikus besar. Kadang-kadang, sehabis aku berburu, aku memberi makan Buttercup isi perut. Dia sudah berhenti mendesis padaku.

Isi perut binatang. Tidak ada desisan. Ini adalah jalan terdekat kami untuk sebuah kasih sayang.

Aku  mengayunkan kedua  kakiku  turun  dari  tempat tidur dan  memakai  sepatu  boot berburuku. Berbahan kulit lentur yang membentuk kakiku. Aku memaakai celana panjang, kemeja, dan kuselipkan rambut kepang panjangku yang gelap kedalam topi, lalu kuambil tas berburuku. Di atas meja, dibawah mangkuk kayu yang melindunginya dari tikus dan kucing kelaparan, tersembunyi sepotong kecil keju kambing yang terbungkus daun basil. Hadiah Prim untukku pada hari penuaian. Aku masukkan keju itu dengan hati-hati ke dalam sakuku ketika aku diam-diam keluar.

Bagian wilayah kami di Distrik 12 dinamakan Seam, biasanya disesaki para penambang batu bara yang sedang menuju tempat kerja memulai shift pagi di jam seperti ini. Pria dan wanita dengan bahu-bahu bungkuk, buku-buku tangan yang bengkak, banyak diantara mereka yang sudah lama berhenti berusaha mencungkil sisa-sisa lapisan arang batu bara yang terselip di antara kuku mereka yang patah, atau di garis-garis wajah mereka yang cekung. Tapi hari ini jalan yang hitam karena arang terlihat kosong. Daun-daun jendela di rumah-rumah kelabu kecil tampak kosong. Daun-daun jendela di rumah-rumah kelabu tertutup. Penuaian diadakan jam dua siang. Lebih baik tidur selagi bisa.

Rumah kami berada nyaris di pinggiran Seam. Aku hanya perlu melewati beberapa pagar untuk tiba dilapangan tak  terurus  yang  disebut  The Meadow.  Adalah rangkaian pagar besi tinggi yang puncaknya dipasangi kawat berduri, memisahkan The Meadow dari hutan, mengelilingi seluruh Distrik 12. Secara teori, seharusnya pagar itu dialiri arus listrik 24  jam per hari untuk menghalangi binatang-binatang pemangsa yang hidup  dihutan  seperti kawanan  anjing  liar,  macan  kumbang  yang  berburu  sendirian,  dan beruang yang dulu mengancam jalanan kota kami. Tapi sejak kami beruntung mendapatkan aliran listrik selama dua atau tiga jam pada malam hari, pagar ini biasanya jadi aman untuk dipegang. Walaupun begitu, aku selalu menunggu sebentar mendengarkan apakah ada dengungan yang berarti pagar ini dialiri listrik. Sekarang, pagar ini setenang batu. Kukempiskan perutku dan kusorongkan tubuhku ke bawah bagian pagar yang longgar sekitar setengah meter. Celah itu sudah ada selama bertahun-tahun, namun tertutup dibawah sesemakan. Masih ada beberapa bagian longgar di pagar ini, tapi celah yang satu ini paling dekat dengan rumah sehingga aku hampir selalu masuk ke hutan lewat sini.

Secepatnya ketika aku berada di pepohonan, aku mengambil busur dan anak-anak panah dari batang kayu yang berongga. Berlistrik atau tidak, pagar itu berhasil menjaga binatang pemakan daging agar tetap berada diluar Distrik 12. Di hutan, mereka berkeliaran bebas dan ada kekhawatiran lain seperti ular-ular berbisa, anjing-anjing gila, dan tak ada jejak untuk bisa diikuti. Tapi disana ada makanan juga jika kau tahu bagaimana menemukannya. Ayahku tahu dan dia mengajariku sebagian caranya sebelum dia meledak berkeping-keping dalam ledakan di tambang. Tidak ada yang bisa dikuburkan. Umurku sebelas tahun saat itu. Lima tahun kemudian, aku masih terbangun sambil berteriak pada ayahku agar lari dari tambang.

Walaupun melanggar batas dan memasuki hutan adalah ilegal dan berburu tanpa izin bisa dihukum berat, tapi banyak orang berani mengambil risiko jika mereka memiliki senjata. Tapi kebanyakan tidak punya cukup keberanian hanya bermodalkan pisau. Panahku adalah sesuatu yang langka, dibuat oleh ayahku bersama dengan beberapa benda lain yang kusembunyikan dengan baik di hutan, yang dengan hati-hati dibungkus dengan pembungkus tahan air. Ayahku bisa mendapat uang banyak jika dia mau menjualnya, tapi jika pihak yang berwenang mengetahuinya dia bisa dieksekusi didepan umum karena menghasut pemberontakan. Sebagian besar Penjaga Perdamaian menutup mata pada segilintir kami yang berburu karena mereka juga lapar daging sama seperti semua orang. Sesungguhnya, mereka pelanggan-pelanggan terbaik kami. Tapi gagasan bahwa ada orang yang mungkin saja bisa mempersenjatai Seam selamanya takkan pernah diperbolehkan.

Pada musim gugur, beberapa orang yang berjiwa pemberani menyelinap ke hutan untuk memanen apel. Tapi masih dalam jarak pandang The Meadow. Selalu cukup dekat untuk bisa berlari pulang ke dalam Distrik 12 yang aman jika masalah datang. "Distrik Dua Belas. Dimana kau bisa mati kelaparan dalam keadaan aman," gumamku. Kemudian aku menoleh cepat kebelakang. Bahkan disini, bahkan ditengah antah berantah, kau mengkhawatirkan seseorang yang bisa mendengarmu.

Ketika  aku masih  muda,  aku benar-benar membuat  ibuku ketakutan, dengan kata-kata yang kuocehkan tentang Distrik 12, tentang orang-orang yang mengatur negara kami, Panem, dari kota yang jauh di sana bernama Capitol. Pada akhirnya aku paham bahwa kata-kata ini hanya akan menuntun kami dalam masalah yang lebih besar. Jadi aku belajar untuk menahan lidahku kemudian berubah menjadi orang yang tak pedulian agar tidak ada seorang pun yang bisa mendengar pikiranku. Melakukan pekerjaanku dengan tenang disekolah. Hanya bicara sedikit dengan sopan di pasar. Mendiskusikan lebih banyak tentang hal di luar perdagangan di Hob, pasar gelap dimana aku bisa banyak menghasilkan uang. Bahkan di rumah, di tempat yang tidak terlalu menyenangkan buatku, aku menghindari obrolan tentang topik-topik yang rumit, seperti penuaian, atau kekurangan makanan, atau The Hunger Games. Prim mungkin saja mengulangi kata-kata yang kuucapkan dan kemudian apa yang terjadi.

Di dalam hutan, menunggu satu-satunya orang yang bisa membuatku menjadi diriku sendiri. Gale. Aku bisa merasakan otot-otot wajahku mulai santai, langkahku semakin cepat ketika aku mendaki perbukitan menuju birai batu tempat pertemuan kami. Semak-semak berry yang tebal melindunginya dari mata-mata orang-orang yang tidak di inginkan. Melihatnya berdiri menunggu di sana membuatku tersenyum. Gale bilang aku tak pernah tersenyum kecuali saat ada di hutan.

"Hey, Catnip," panggil Gale. Nama asliku Katniss, tapi ketika aku menyebutkannya pertama kali, suaraku hampir seperti bisikan. Jadi dia pikir aku bilang Catnip. Kemudian ketika ada lynx gila yang mulai mengikutiku selama di hutan menunggu sisa buruanku, Catnip resmi jadi nama julukanku. Aku akhirnya terpaksa membunuh lynx itu karena dia menakuti buruanku. Aku nyaris menyesalinya karena binatang itu teman yang lumayan. Tapi aku memperoleh harga yang memadai atas kulit bulunya.

"Lihat apa yang kupanah." Gale mengangkat sebongkah roti dengan panah di tengahnya,  dan aku tertawa. Itu  roti  sungguhan buatan tukang  roti,  bukan roti  tawar bantat dan keras yang kami buat dari gandum hasil ransum kami. Kuambil roti itu, kutarik lepas panahnya, dan kutempelkan hidungku pada bagian roti yang berlubang, kuhirup aroma yang membuat mulutku dibanjiri liur. Roti enak seperti ini untuk acara khusus.
"Mm, masih hangat," kataku. Gale pasti sudah ada di toko roti subuh dini hari untuk membarternya. "Apa yang kautukar untuk mendapatkannya?"

"Hanya seekor tupai. Kurasa lelaki tua itu agak sentimental pagi ini," kata Gale. "Bahkan mengucapkan semoga beruntung padaku."

"Yah,  kita  semua  merasa  nyaris  habis  keberuntungan  hari  ini,  ya  kan?"  kataku, bahkan tanpa perlu repot untuk memutar bola mataku. "Prim menyisakan keju untuk kita."
Aku mengeluarkan kejuku.

Ekspresinya menjadi cerah "Terima kasih, Prim. Kita akan pesta sungguhan." Mendadak aksen Gale berubah menjadi aksen Capitol ketika dia meniru Effie Trinket, wanita heboh penuh semangat  yang datang setahun sekali untuk membacakan nama-nama saat penuaian "Aku hampir lupa! Happy Hunger Games!" Dia memetik beberapa buah blackberry di sekitar kami, "Dan semoga keburuntungan-" Dia melempar sebutir berry dalam lemparan yang sangat tinggi kearahku.

Kutangkap  buah  itu  dengan  mulutku  dan  memecahkan kulit  buah  yang  tipis  itu dengan gigiku. Rasa pahit-manis yang tajam meledak di lidahku. "-selalu berpihak padamu!". Kuselesaikan kalimatnya  dengan semangat  yang  sama.  Kami  harus  bisa bercanda tentang hal ini karena pilihan lain selain bercanda adalah merasa ketakutan setengah mati. Disamping itu, aksen Capitol sangat dibuat-buat, hampir semua kata terdengar lucu.

Aku memperhatikan Gale mengeluarkan pisaunya dan memotong roti. Dia bisa menjadi kakakku. Rambutnya hitam lurus dengan kulit putih kuning pucat, kami bahkan sama-sama memiliki  warna  mata kelabu.  Tapi  kami tidak saling berhubungan,  setidaknya tidak dekat. Kebanyakan keluarga yang bekerja di tambang mirip satu sama lain seperti ini.

Itulah sebabnya mengapa ibuku dan Prim, dengan rambut mereka yang berwarna pirang  dan  bermata  biru, selalu  tampak  salah  tempat.  Begitulah mereka. Orangtua ibuku merupakan kelas pedagang kecil yang melayani pejabat, Peacekeepers, dan kadang-kadang pelanggan dari Seam. Mereka memiliki toko obat-obatan di  wilayah  yang  lebih  bagus  dari Distrik  12.  Karena  nyaris  tak  seorangpun  sanggup membayar dokter, ahli obat-obatan ini menjadi dokter kami. Ayahku mengenal ibuku karena dalam perburuannya kadang-kadang dia menemukan tumbuh-tumbuhan obat dan dia menjualnya di toko ibuku agar bisa diramu jadi obat. Ibuku pasti sangat mencintai ayahku hingga rela meninggalkan rumahnya untuk tinggal di Seam. Aku berusaha mengingat semua itu ketika aku hanya bisa melihat wanita yang duduk diam,  kosong,  dan tak terjangkau,  sementara  anak-anaknya  kelaparan  hingga  tinggal tulang berbalut kulit. Aku berusaha memaafkannya demi ayahku. Tapi sejujurnya, aku bukan tipe orang yang pemaaf.

Gale mengoleskan keju kambing yang halus di atas potongan-potongan roti, dengan hati-hati menaruh daun basil di atas setiap roti sementara aku mengobrak-abrik sesemakan untuk mencari buah berry. Kami duduk santai di celah di antara bebatuan. Dari tempat ini, kami tidak kelihatan tapi bisa mendapat sudut pandang yang jelas ke arah lembah, penuh  dengan  kehidupan  musim  panas, ikan berwarna-warni di bawah sinar matahari. Hari tampak cemerlang, dengan langit biru dan embusan angin sepoi-sepoi. Makanannya lezat, dengan keju yang meresap kedalam roti yang hangat dan buah-buah berry yang meletup didalam mulut kami. Segalanya akan sempurna jika ini benar-benar liburan, jika sepanjang hari libur ini berarti menjelajahi pegunungan bersama Gale, berburu untuk makan malam. Tapi kami harus berdiri di alun-alun pada jam dua siang menantikan nama-nama yang akan disebutkan.

"Kau tahu, kita bisa melakukannya," kata Gale pelan. "Apa?" tanyaku
"Meninggalkan distrik. Lari. Tinggal di hutan. Kau dan aku, kita bisa berhasil," sahut
Gale

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Gagasan ini terlalu gila. "Jika saja kita tidak punya begitu banyak anak," imbuh Gale cepat. Tentu saja, mereka bukan anak-anak kandung kami. Tapi bisa kami anggap seperti itu. Dua adik lelaki dan satu adik perempuan Gale. Prim. Dan sekalian juga tambahkan ibu-ibu kami, karena bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup tanpa kami? Siapa yang bisa mengisi perut mereka yang selalu minta tambah? Meskipun kamu berburu setiap hari, masih saja ada malam-malam ketika hasil buruan kami harus ditukar dengan minyak, tali sepatu,  atau  kain  wol,   masih   ada  malam-malam  ketika   kami  tidur  dengan   perur berkeruyuk.

"Aku tidak kepingin punya anak," kataku
"Aku mungkin saja kepingin. Jika aku tidak tinggal di sini," ujar Gale. "Tapi kau tinggal disini," tukasku kesal.
"Lupakan saja," sahutnya.
Semua percakapan ini terasa salah. Pergi? Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan Prim, yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang tanpa keraguan sedikitpun kucintai setengah mati? Dan Gale berbakti pada keluarganya. Kami tidak bisa pergi, jadi kenapa repot membicarakannya? Bahkan jika kami melakukannya. darimana asal omongan tentang kepingin punya anak ini? Antara aku dan  Gale  tak  pernah  ada  hibungan  romantis.  Saat  kami  pertama  kali  bertemu,  aku hanyalah anak kurus berusia dua belas tahun, dan walaupun Gale hanya dua tahun lebih tua daripadaku, dia sudah tampak seperti lelaki dewasa. Butuh waktu lama bagi kami untuk bisa berteman, untuk berhenti saling menawar atas setiap pertukaran dan mulai saling membantu.

Lagi pula, kalau dia kepingin punya anak, Gale tidak akan kesulitan mencari istri. Dia tampan, cukup kuat untuk bekerja di tambang, dan bisa berburu. Kau bisa melihat bagaimana gadis-gadis bergosip tentang Gale ketika melihatnya berjalan di sekolah dan betapa mereka menginginkannya. Hal itu membuatku cemburu tapi bukan dengan alasan yang dipikirkan orang-orang. Pasangan berburu yang baik sukar ditemukan.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku.
Kami bisa berburu menangkap ikan, atau mengumpulkan makanan.
"Ayo kita menangkap ikan di danau. Kita tinggalkan galah kita dan mengumpulkan makanan di hutan. Mencari sesuatu yang enak untuk nanti malam," kata Gale.

Malam ini. Setelah hari penuaian, semua orang seharusnya merayakan hari ini. Dan banyak orang yang memang melakukannya, karena lega anak mereka lolos dari maut selama setahun lagi. Tapi paling tidak ada dua keluarga yang akan menutup daun jendela mereka, mengunci pintu, dan berusaha mencari tahu bagaimana mereka bisa melewati minggu-minggu menyakitkan yang akan datang.

Hasil kami lumayan bagus. Binatang pemangsa mengabaikan kami pada hari ketika mangsa yang lebih mudah dan lebih nikmat berlimpah. Menjelang siang, kami berhasil mengumpulkan selusin ikan, sekantong sayuran hijau, dan yang terbaik di antara segalanya, segalon stroberi. Aku menemukan sebidang tanah beberapa tahun lalu, tapi Gale yang punya ide untuk mengikat mata jala di sekelilingnya untuk menjaga binatang agar tidak masuk.

Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Hob, pasar gelap yang terdapat di gudang terbengkalai yang dulu jadi tempat penyimpanan batu bara. Ketika mereka menemukan sistem yang lebih efisien untuk mengangkut batu bara langsung dari tambang ke kereta api, gudang itu perlahan-lahan menjadi Hob. Sebagian besar toko tutup pada hari penuaian, tapi pasar gelap masihlah sibuk. Dengan mudah kami menukar enam ekor ikan dengan roti lezat, dan dua ekor lainnya dengan garam. Greasy Sae, wanita tua bertubuh kurus yang menyediakan sup panas dalam ceret besar dan menjualnya dalam mangkuk-mangkuk, mau menerima setengah sayuran hijau kami dan menukarnya dengan bongkahan-bongkahan lilin. Di tempat lain kami mungkin bisa melakukan pertukaran dengan lebih baik, tapi kami berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan Greasy Sae. Dia satu-satunya orang yang bisa diharapkan untuk membeli anjing liar. Kami tidak melukainya secara sengaja, tapi kalau kau diserang dan kau membunuh satu atau dua ekor anjing, daging tetaplah daging.

"Kalau sudah di dalam sup, aku menamainya daging sapi," kata Greasy Sae sambil mengedipkan mata.
Tak ada seorang pun di Seam yang jijik makan daging paha anjing liar, tapi para
Penjaga Perdamaian yang datang ke Hob punya uang lebih untuk memilih makanan lain.
Ketika  urusan  kami  dipasar  telah  selesai,  kami  berjalan  menuju  pintu  belakang rumah Wali Kota untuk menjual setengah buah stroberi kami, karena kami tahu dia menggemarinya dan sanggup membayar harga yang kami minta.

Putri Wali Kota, Madge, membuka pintu untuk kami. Dia berada di angkatan yang sama denganku disekolah. Dengan menjadi putri Wali Kota, orang-orang pasti mengira dia bakalan sombong, tapi dia ternyata menyenangkan. Dia penyendiri dan tidak suka ikut campur urusan orang. Seperti aku.
Karena tak satupun dari kami benar-benar memiliki kelompok teman, tampaknya kami jadi sering bersama-sama di sekolah. Makan siang, duduk berdampingan di ruang pertemuan, berpasangan untuk kegiatan olahraga. Kami jarang bicara, dan itu cocok buat kami.

Hari ini seragam sekolahnya yang membosankan sudah diganti dengan gaun putih mahal,   dan   rambut   pirangnya   di   gelung   ke   atas   dengan   pita   pink.   Pakaian   hari penuaian.
"Gaun yang cantik," kata Gale.
Madge melotot memandangnya, berusaha mencari tahu apakah pujian tadi tulus atau Gale hanya menyindir. Gaun itu memang cantik, tapi dia takkan memakainya pada hari biasa. Madge mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat kemudian tersenyum. "Yah, jika aku akhirnya harus pergi ke Capitol, aku ingin kelihatan cantik, kan?"

Sekarang giliran Gale yang kebingungan. Apakah Madge serius dengan perkataannya? Atau Madge hanya menggodanya. Kurasa gadis itu hanya mengejek.
"Kau takkan pergi ke Capitol," kata Gale tenang. Matanya tertuju pada pin bundar kecil yang menghiasi gaun Madge. Emas sungguhan. Perhiasan yang terukir indah. Benda itu bisa membeli roti untuk sebuah keluarga selama berbulan-bulan. "Kau memasukkan berapa nama? Lima? Aku memasukkan enam nama saat umurku baru dua belas."
"Itu bukan salahnya," kataku.
"Ya, itu bukan salah siapa pun. Karena memang aturannya begitu," tukas Gale.
Wajah Madge tampak gusar. Dia menaruh uang untuk membayar stoberi ke tangabku. "Semoga beruntung, Katniss."
"Kau juga," kataku, lalu menutup pintu.

Kami  berjalan  menuju  Seam  tanpa  bicara.  Aku  tidak  suka  Gale  menusuk  Madge seperti tadi, tapi dia benar. Sistem penuaian ini tidak adil, karena orang miskin mendapat kemungkinan terburuk dari penuaian ini. Namamu disertakan dalam pemilihan   pada   saat   kau   berulang   tahun   kedua   belas.   Pada   tahun   itu,   namamu dimasukkan satu kali. Pada umur tiga belas, namamu dimasukkan dua kali. Dan begitu seterusnya sampai umurmu delapan belas, tahun terakhir kau bisa ikut penuaian, saat namamu tujuh kali masuk ke undian. Itulah yang terjadi pada semua warga di dua belas distrik dalam seantero negara Panem.

Tapi ada udang dibalik batu. Misalkan kau miskin dan kelaparan seperti kami, kau bisa memasukkan namamu lebih banyak untuk ditukar dengan tessera. Setiap tessera bisa ditukar dengan persediaan setahun gandum dan minyak untuk satu orang. Kau juga bisa melakukan  ini  untuk  anggota  keluargamu  yang  lain.  Jadi  pada  usia  dua  belas  tahun, namaku dimasukkan empat kali. Satu, karena memang diharuskan, dan tiga nama lagi untuk tessera untuk gandum dan minyak bagiku, Prim, dan ibuku. Sesungguhnya, setiap tahun aku harus melakukan hal ini. Dan setiap tahun nama yang dimasukkan bersifat kumulatif. Jadi kali ini, pada usia enam belas tahun, namaku dimasukkan dua puluh kali dalam penuaian. Gale, yang berusia delapan belas dan membantu atau bisa dibilang seorang  diri  menafkahi  keluarganya  yang  terdiri  atas  lima  orang  selama  tujuh  tahun, tahun ini akan memasukkan namanya 42 kali.

Yah, jadi bisa dimaklumi kenapa orang seperti Madge, yang tak pernah membutuhkan tessera, bisa membuat Gale naik darah. Kemungkinan nama Madge terambil dalam penuaian sangat kecil dibanding dengan kami yang tinggal di Seam. Bukannya tidak mungkin,   tapi   kecil   sekali.   Walaupun   peraturan   tersebut   diterapkan   oleh   Capitol, bukannya oleh distrik masing-masing dan jelas bukan oleh keluarga Madge, sulit rasanya untuk tidak kesal pada mereka yang tidak perlu mendaftar untuk tessera.

Gale tahu kemarahannya pada Madge salah alamat. Pernah dulu, jauh di dalam hutan, aku mendengarnya mengoceh tentang tessera sebagai cara lain untuk menimbulkan penderitaan  di  distrik  kami.  Suatu  cara  untuk  menananmkan  kebencian  antara  para
pekerja yang kelaparan di Seam dengan mereka yang tiap malam bisa makan dan pada akhirnya membuat kami takkan bisa saling percaya.

"Memecah belah kita adalah demi keuntungan Capitol," katanya hanya kepadaku, itu pun setelah memastikan tak ada telinga lain yang mendengarkan.

Jika saja hari ini bukan hari penuaian. Jika saja gadis dengan pin emas dan tidak perlu mendaftar untuk tessera tidak perlu mengatakan apa yang kuyakini sebagai komentar tanpa maksut jahat. Saat  kami 
berjalan,  aku  menoleh  memandang  wajah  Gale  yang  tampak  masih membara dengan kejengkelan di balik ekspresinya yang tegar. Kemarahannya tampak tak ada gunanya bagiku, meskipun aku tak pernah mengatakannya. Bukannya aku tak sependapat  dengannya.  Aku  setuju dengannya.  Tapi  apa  gunanya berteriak  tentang Capitol di tengah hutan. Itu takkan mengubah apa pun. Itu juga tidak membuat keadaan jadi adil. Itu tidak membuat perut kami kenyang. Nyatanya, teriakan itu membuat takut buruan kami. Tapi kubiarkan saja dia berteriak. Lebih baik dia berteriak di hutan dari pada di distrik.

Aku dan Gale membagi hasil buruan kami, sisa dua ekor ikan, beberapa potong roti bagus, sayuran, seperempat bagian stroberi, garam, parafin, dan sedikit uang kami bagi dua.
"Sampai bertemu di alun-alun," kataku
"Pakai baju yang cantik," sahut Gale datar.

Di rumah, aku melihat ibuku dam adikku sudah siap berangkat. Ibuku mengenakan gaun indah bekas peninggalan masa ketika dia bekerja di toko obat. Prim mengenakan pakaian hari penuaian yang pertama, rok dan blus berkerut-kerut. Pakaian itu agak terlalu besar untuknya, tapi ibuku membuatnya pas dengan peniti. Meski begitu, bagian belakang blus Prim masih tampak longgar.

Seember  air  hangat  sudah  disiapkan  untukku.  Aku  menyeka  debu  dan  keringat sehabis dari hutan, bahkan sempat  mencuci rambut. Yang membuatku terkejut, ibuku sudah mengeluarkan salah satu gaun indahnya untukku. Gaun biru yang halus lengkap dengan sepatu yang serasi.
"Ibu  yakin?"  aku  bertanya.  Aku  berusaha  melewati  keingiman  untuk  menolak
tawaran bantuan dari ibuku. Sesaat, aku merasa sangat marah, aku tidak membiarkan ibuku melakukan apa pun untukku. Dan gaun ini merupakan benda istimewa. Pakaian- pakaian ibuku dari masa lalu sangat berharga untuknya.
"Tentu saja. Ayo kita gelung rambutmu juga," kata ibuku.
Kubiarkan ibuku mengeringkan rambutku dengam handuk, mengepangnya, lalu menggelungnya ke atas. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri saat memandang bayanganku di cermin retak yang disandarkan di dinding.
"Kau tampak cantik," ujar Prim dengan suara berbisik.
"Dan  sama  sekali  tidak  mirip  diriku,"  jawabku.  Kupeluk  Prim,  karena  kutahu beberapa jam berikutnya akan sangat sulit dan berat. Hari penuaian pertamanya. Dia bisa dibilang aman, karena namanya hanya dimasukkan satu kali. Aku tidak mengizinkannya menukar tessera. Tapi Prim menguatirkanku. Dan membayangkan kejadian terburuk yang mungkin saja terjadi. Aku melindungi Prim dengan segala cara yang bisa kulakukan, tapi aku tak berdaya melawan   penuaian. 

Kemarahan   yang   selalu   kurasakan   saat   Prim   menderita membuncah  dalam  dadaku  dan  sebentar lagi  akan  tampak  di  wajahku.  Kuperhatikan bahwa bagian belakang blusnya keluar dari roknya dan kutahan diriku agar tetap tenang.
"Masukkan ekormu, bebek kecil," kataku, seraya meluruskan blusnya ke dalam rok. Prim tergelak dan berkata pelan, "Kwek."
"Kwek sendiri sana," sahutku sambil tertawa kecil. Jenis tawa yang hanya bisa dihasilkan Prim pada diriku.
"Ayo kita makan," kataku dan kucium puncak kepalanya dengan cepat.
Ikan dan sayuran sudah direbus, tapi itu disimpan untuk makan malam. Kami memutuskan untuk menyimpan stroberi dan roti tukang roti untuk makanan malam nanti, supaya makan malam jadi istimewa. Kami minum susu Lady, kambing milik Prim, dan makan roti kasar yang dibuat dari gandum tessera, meskipun tak satupun dari kami masih punya nafsu makan.

Pada pukul satu, kami menuju alun-alun. Kehadiran kami di sini wajib hukumnya kecuali kau dalam keadaan sekarat. Nanti malam, para petugas akan datang memeriksa apakah kau hadir atau tidak. Jika tidak, kau akan dipenjara.

Sungguh sayang mereka mengadakan penuaian di alun-alun-satu dari sedikit tempat di distrik 12 yang bisa jadi tempat menyenangkan. Alun-alun dikelilingi banyak toko, dan pada hari pasar, terutama saat cuaca cerah, suasananya terasa seperti liburan. Tapi hari ini, walaupun banyak umbul-umbul cerah yang digantung di gedung-gedung, ada nuansa suram di udara. Kru-kru kamera yang nangkring di atap-atap seperti elang menambah efek suram yang ada.

Orang-orang mendaftar dan masuk tanpa bicara. Hari penuaian juga kesempatan yang baik bagi Capitol untuk mengetahui jumlah penduduk. Pemuda-pemudi berusia dua belas hingga delaban belas tahun digiring menuju area yang sudah dibatasi berdasarkan usia,  mereka  yang  paling  tua  berada  di  depan,  sementara yang  muda,  seperti  Prim, berbaris di belakang. Anggota-anggota keluarga berkerumun di dekat garis batas, berpegangan tangan dengan orang-orang disebelah mereka. Tapi ada juga orang-orang yang tidak memiliki orang yang mereka cintai dalam undian penuaian itu, atau mereka yang tidak lagi peduli, yang berada di antara kerumunan, bertaruh pada nama dua anak yang akan diambil dalam penuaian. Kemungkinan selalu lebih besar pada mereka yang usianya lebih tua, tidak peduli mereka warga Seam atau pedagang, apakah mereka luluh dan menangis. Banyak orang yang menolak berurusan dengan pemeras tapi mereka juga harus hati-hati dan waspada. Orang-orang ini biasanya juga informan, dan siapa yang tak pernah melanggar hukum tinggal di tempat ini? Aku bisa ditebak setiap hari karena berburu, tapi nafsu makan mereka berusaha melindungiku. Tidak semua orang bisa mendapat perlakuan yang sama.

Aku dan Gale sependapat bahwa jika kami harus memilih antara mati kelaparan dan mati karena peluru di kepala, peluru akan jadi kematian yang jauh lebih cepat. Tempat   ini   jadi   seolah   makin   sempit,   semakin   banyak   orang   yang   datang membuatnya  sesak. 

Alun-alun  ini  lumayan  luas,  tapi  tidak  cukup  untuk  menampung sekitar delapan ribuan warga Distrik 12. Orang-orang yang datang belakangan diarahkan menuju  jalan-jalan  di  dekat  alun-alun,  di  sana  mereka  bisa  menonton  peristiwa  yang berlangsung di layar-layar televisi karena acara ini disiarkan secara langsung oleh negara.

Aku berdiri di antara gerombolan remaja berusia enam belas tahun dari Seam. Kami saling mengangguk cepat lalu memusatkan perhatian kami pada panggung non-permanen yang dibangun di depan gedung pengadilan. Di sana ada tiga kursi, podium, dan bola kaca ukuran besar, satu bola untuk nama lelaki dan satu lagi untuk anak perempuan. Ku perhatikan baik-baik kertas-kertas nama dalam bola anak perempuan. Dua puluh diantaranya bertuliskan nama Katniss Everdeen dengan tulisan tangan yang indah.

Dua dari tiga kursi itu diisi oleh ayah Madge, Wali Kota Undersee-yang bertubuh jangkung dan mulai botak, dan Effie Trinket, pengiring Distrik 12, dikirim langsung dari Capitol  lengkap dengan  seringainya  yang putih menakutkan,  rambut  berwarna  merah jambu, dan pakaian berwarna hijau cerah. Mereka bergumam pada satu sama lain kemudian memandang kursi kosong yang tersisa dengan pandangan cemas.

Ketika jam kota menunjukkan tepat pukul dua, sang wali kota melangkah ke podium dan mulai membaca. Kisah yang sama setiap tahunnya. Dia menceritakan sejarah Panem, negara yang muncul dari sisa-sisa tempat yang dulunya bernama Amerika Utara. Dia mengurutkan daftar malapetaka, kekeringan, badai, kebakaran, perang brutal demi memperebutkan sedikit makanan yang tersisa. Hasilnya adalah Panem, Capitol yang bersinar dikelilingi tiga belas distrik, yang membawa perdamaian dan kemakmuran pada warga negaranya. Kemudian tiba Masa Kegelapan, gejolak kebangkitan perlawanan distrik terhadap  Capitol.  Dua  belas  distrik  dikalahkan,  dan distrik  ketiga  belas  dimusnahkan. Perjanjian Pengkhianatan memberi kami undang-undang baru untuk menjamin perdamaian, dan sebagai pengingat setiap tahunnya agar Masa Kegelapan itu tak terulang lagi, Capitol memberi kami Hunger Games.

Peraturan Hunger Games sebenarnya sederhana. Sebagai hukuman atas perlawanan kami,   masing-masing   distrik   harus   menyediakan   satu   anak   lelaki   dan   satu   anak perempuan, yang dinamakan sebagai para peserta, untuk berpatisipasi. Dua puluh empat peserta akan dipersenjatai di arena luar yang luas, yang berupa padang pasir tandus yang panas menyengat hingga tanah pembuangan yang dingin membeku. Selama beberapa minggu, mereka harus bersaing dalam pertarungan sampai mati. Peserta terakhir yang masih hidup adalah pemenangnya.

Mengambil anak-anak dari distrik kami, memaksa mereka untuk saling membunuh sementara kami menontonnya- ini adalah cara Capitol untuk mengingatkan kami betapa sesungguhnya kami berada dibawah belas kasihan mereka. Betapa kecil kemungkinan kami  bisa  selamat  jika  timbul  pemberontakan  lain. Apapun  kata-kata  yang  mereka gunakan pesan yang mereka sampaikan jelas.

"Lihat bagaimana kami mengambil anak-anakmu dan mengorbankan mereka, dan tak ada yang bisa kau lakukan untuk menghalanginya. Kalau kau sampai berani mengangkat satu jari saja, kami akan menghancurkan semuanya. Sebagaimana yang kami lakukan di Distrik Tiga Belas."

Untuk membuatnya lebih memalukan dan menyiksa, Capitol memaksa kami memperlakukan Hunger Games sebagai perayaan, peristiwa olahraga yang membuat satu distrik berkompetisi dengan distrik lainnya. Peserta terakhir yang hidup akan menikmati hidup enak saat pulang nanti, dan distrik mereka akan dilimpahi berbagai hadiah, yang kebanyakan berupa makanan. Sepanjang  tahun, Capitol akan menunjukkan bagaimana distrik yang jadi pemenang menerima hadiah gandum, minyak, bahkan makanan lezat seperti gula sementara distrik-distrik lain harus berjuang agar tidak mati kelaparan.

"Waktunya untuk penyesalan dan berterimakasih," kata Wali Kota dengan nada mendayu.
Kemudian  dia  membacakan  daftar  pemenang  tahun  sebelumnya  dari  Distrik  12. Dalam 74 tahun, distrik kami hanya pernah dua kali menang. Hanya tinggal satu yang masih hidup. Haymitch Abernathy, lelaki gendut setengah baya, yang pada saat ini sedang mengoceh tidak jelas, terhuyung-huyung naik ke panggung, dan jatuh terduduk di kursi ketiga. Dia mabuk. Teler berat. Kerumunan orang menyambutnya dengan tepuk tangan, tapi dia kebingungan dan berusaha memeluk Effie Trinket erat-erat, sementara wanita itu berusaha mengenyahkannya.

Effie Trinket yang selalu cerah ceria menjejakkan kaki ke podium dan menyampaikan salamnya yang terkenal, "Selamat mengikuti Hunger Games! Semoga keberuntungan menyertaimu selalu!" Rambutnya yang berwarna merah jambu pasti cuma wig karena ikalnya agak berubah letak sejak dia ditabrak Haymitch. Dia masih berceloteh tentang betapa terhormatnya dia bisa berada di sini, meskipun semua orang tahu bahwa Effie sebenarnya sudah tidak sabar untuk bisa pindah ke distrik lain dengan pemenang- pemenang yang layak tampil sebagai pemenang, bukan pemabuk-pemabuk yang melecehkannya di depan sepenjuru negeri.

Di antara kerumunan massa, aku melihat Gale memandangku dengan senyum samar. Sepanjang berlangsungnya penuaian, ada sedikit hiburan dalam penuaian kali ini.
Tapi mendadak aku memikirkan Gale dan 42 namanya yang terdapat dalam bola kaca besar  itu  dan betapa  probabilitas  tidak  berpihak  padanya,  apalagi  jika  dibandingkan dengan banyak anak lelaki lain. Mungkin dia juga memikirkan hal yang sama tentang diriku karena wajahnya berubah muram dan dia memalingkan wajah.

"Tapi masih ada ribuan kertas disana." Aku berharap bisa membisikkan kata-kata itu di telinganya.
Waktunya menarik undian. Effie Trinket mengucapkan kalimat yang selalu diucapkannya, "Anak perempuan lebih dulu!" dan berjalan menuju bola kaca yang berisi nama anak perempuan. Dia mengulurkan tangan, mengaduk-aduk ke dalam bola kaca, dan menarik selembar kertas. Kerumunan massa sama-sama menahan napas dan heningnya bisa membuat kau mendengar suara peniti jatuh, dan aku merasa mual saat mati-matian
berharap semoga bukan namaku, bukan namaku, bukan namaku.
Effie Trinket kembali ke podium, meluruskan kertas itu, dan membacakan nama yang tertera di sana dengan lantang. Dan memang bukan namaku.

Itu adalah Primrose Everdeen.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates