June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 11

ENAM  puluh  detik.  Itulah  waktu  yang  ditetapkan  pada  kami  untuk  berdiri  di piringan-piringan  logam  sebelum  suara  gong  melepaskan  kami.  Melangkah  sebelum waktu satu menit, ranjau darat akan meledakkan kakimu. Enam puluh detik waktu yang diberikan pada semua peserta untuk pergi sejauh mungkin dari Cornucopia, terompet emas raksasa berbentuk seperti corong dengan ekor melengkung. Di mulut corong yang tingginya sekitar enam meter berceceran benda-benda yang akan membantumu bertahan hidup di arena. Makanan, tempat air, senjata, obat-obatan, pakaian, alat membuat api. Di Cornucopia berserakan persediaan-persediaan lain, yang nilainya makin berkurang semakin jauh jaraknya dari trompet. Contohnya, hanya beberapa langkah dariku terdapat plastik berukuran satu meter persegi. Benda ini bisa berguna saat turun hujan. Tapi di mulut  terompet,  aku  bisa  melihat  benda  yang  akan  melindungiku  dari  hampir  semua cuaca. Kalau saja aku punya keberanian untuk masuk dan bertarung untuk mendapatkannya melawan 23 peserta lain. Dan aku sudah diberi instruksi untuk tidak melakukannya.
Kami berada di lapangan terbuka yang datar. Tanah gersang yang penuh tanah. Di seberangku, di belakang peserta-peserta lain, aku tidak bisa melihat apa-apa, bisa jadi di sana ada lereng melandai atau jurang. Di sebelah kananku ada danau. Di sebelah kiri dan belakangku terdapat hutan pinus yang tidak terlalu lebat. Haymitch pasti ingin aku berlari ke sana. Segera.
Aku bisa mendengar perintah-perintahnya dalam kepalaku. "Segera pergi, buat jarak sejauh-jauhnya dengan peserta lain, dan cari sumber air."
Tapi hadiah di depan mata tampak menggoda, sangat menggoda. Dan aku tahu jika aku tidak mengambilnya, orang lain yang akan mendapatkannya. Para Peserta Karier yang selamat dari pertumpahan darah akan membagi benda-benda untuk bertahan hidup yang
tersisa. Ada yang menarik perhatianku. Di sana, di atas gundukan selimut yang terlipat,
ada anak panah berujung perak dan busurnya, lengkap dengan tali busurnya, menunggu untuk dipakai. Itu milikku, pikirku. Benda itu dimaksudkan untukku.
Aku cepat. Aku bisa berlari lebih cepat daripada anak-anak perempuan lain di sekolahku dalam lari jarak dekat, meskipun ada beberapa bisa mengalahkanku dalam lari jarak jauh. Jarakku dengan busur itu hanya empat puluh meter, aku bisa melakukannya dengan mudah. Aku tahu aku bisa mendapatkannya, aku tahu aku bisa jadi orang pertama yang mengambilnya, tapi pertanyaannya adalah seberapa cepat aku bisa keluar dari sana? Pada saat aku berhasil berlari dari gelombang ini dan mengambil senjata itu, yang lain pasti  tiba  di  terompet,  dan  satu  atau  dua  peserta  juga  bisa  mengambil  senjata  lain, mungkin juga lebih dari sepuluh peserta yang tiba, dan dalam jarak dekat, mereka bisa menghabisiku dengan tombak atau alat pemukul. Atau menghajarku dengan tinju mereka yang keras.
Tapi, aku bukan sasaran satu-satunya. Aku berani bertaruh banyak peserta yang akan melewati gadis bertubuh kecil, walaupun gadis itu mendapat nilai sebelas dalam latihan, dan mereka akan berusaha mengalahkan lawan-lawan yang lebih berat.
Haymitch tak pernah melihatku berlari. Mungkin jika dia pernah melihatku lari, dia akan menyuruhku mengambilnya. Mengambil senjata itu. Karena itu satu-satunya senjata yang bisa jadi penyelamatku. Dan aku hanya melihat satu busur di antara benda-benda yang bertumpukan di sana. Aku tahu waktu satu menit sudah hampir habis dan aku harus memutuskan apa strategiku. Kakiku bersiap-siap lari,  bukan berlari  masuk hutan tapi menuju tumpukan selimut, menuju busur panah. Tiba-tiba aku melihat Peeta, jarak kami terpisah lima peserta di sebelah kananku, lumayan jauh sebenarnya, tapi aku masih bisa melihatnya memandangku dan aku merasa dia menggeleng padaku tapi sinar matahari membuat mataku silau. Sementara aku masih bingung mengartikan gelengan Peeta, gong berbunyi.
Dan  aku  melewatkannya!  Aku  melewatkan  kesempatanku!  Beberapa  detik  yang hilang  karena  tidak  segera  bersiap-siap  membuatku  harus  berubah  pikiran.  Sejenak kakiku bingung hendak melangkah ke mana, otakku menyuruhnya lari dan mengambilnya tapi aku melompat ke depan, memungut lembaran plastik dan sebongkah roti. Benda- benda yang kuambil sangat kecil nilainya dan aku sangat marah pada Peeta karena mengalihkan perhatianku sehingga aku berlari cepat dalam jarak dua puluh meter untuk mengambil tas ransel oranye cerah yang bisa dipakai untuk menyimpan banyak barang karena aku tidak tahan membayangkan pergi dari sini nyaris tanpa membawa apa-apa.
Seorang anak lelaki, kurasa dia dari Distrik 9, mengambil tas ransel itu berbarengan denganku dan selama beberapa saat kami bertarik-tarikan lalu dia terbatuk, memuncratkan darah ke wajahku. Aku terhuyung mundur, merasa jijik dengan semburan darah yang hangat dan lengket. Lalu anak lelaki itu jatuh ke tanah. Saat itulah aku melihat pisau tertancap di punggungnya. Peserta-peserta lain sudah tiba di Cornucopia dan menyebarkan diri untuk menyerang. Aku melihat gadis dari Distrik 2, hanya berjarak sepuluh meter, berlari ke arahku, satu tangannya memegang enam bilah pisau. Aku sudah melihatnya melempar pisau dalam latihan. Lemparannya tak pernah meleset. Dan aku jadi sasaran selanjutnya.
Segala ketakutan yang kurasakan kini memadat menjadi ketakutan terhadap gadis ini, predator yang bisa membunuhku dalam waktu beberapa detik. Adrenalin mengalir deras dalam darahku dan aku langsung menggayutkan ransel itu ke sebelah bahuku lalu berlari dengan  kecepatan  penuh  ke  dalam  hutan.    Aku  bisa  mendengar  pisau  mendesing  ke arahku dan secara refleks aku mengangkat ransel untuk melindungi kepalaku. Mata pisau itu menancap ke atas ranselku. Kini kedua bahuku memanggul ransel, dan aku berlari menuju pepohonan. Entah bagaimana aku tahu gadis itu takkan mengejarku. Dia akan kembali ke Cornucopia sebelum semua benda bagus di ambil orang. Aku menyeringai. Terima kasih atas pisaunya, pikirku.
Di tepi hutan aku menoleh ke belekang untuk melihat pemandangan di tanah lapang. Kurang-lebih dua belas peserta sedang saling baku hantam di trompet. Beberapa peserta sudah  tewas  terbaring  di  tanah.  Mereka  yang  kabur  sudah  menghilang  di  antara pepohonan atau menuju ruang kosong di seberangku. Aku terus berlari sampai hutan berhasil menyembunyikanku dari peserta-peserta lain, lalu aku berlari pelan selama beberapa saat. Bergantian aku berlari pelan dan berjalan, membuat jarak sejauh mungkin antara aku dan para pesaingku. Aku kehilangan rotiku saat berebutan tas dengan anak
lelaki dari Distrik 9 tapi aku berhasil menyimpan plastik ke dalam pergelangan tanganku, jadi sembari berjalan aku melipat plastik itu dengan rapi dan menyimpannya ke dalam saku. Aku juga melepaskan pisau yang tertancap-pisau yang bagus dengan mata pisau panjang dan tajam, dengan bagian bergerigi di dekat gagangnya, yang membuat pisau ini berguna untuk menggergaji-dan aku menyelipkan pisau ini ke ikat pinggangku. Aku belum berani berhenti untuk memeriksa isi tas ranselku. Aku terus bergerak, dan hanya berhenti untuk memastikan apakah ada yang mengejarku.
Aku bisa berjalan lama sekali. Aku tahu berdasarkan pengalamanku di hutan. Tapi aku akan membutuhkan air. Itu saran kedua dari Haymitch, dan karena aku hampir melanggar saran pertamanya, kini aku menajamkan pandanganku untuk menemukan air. Ternyata aku belum beruntung.
Hutan  mulai  berubah  bentuk,  dan  pohon-pohon  pinus  mulai  berpadu  dengan berbagai macam pohon, ada pohon-pohon yang kukenali tapi ada yang sama sekali asing
buatku. Pada satu ketika, aku mendengar suara dan segera menghunus pisau, berpikir bahwa aku mungkin harus membela diri, tapi aku ternyata cuma membuat kaget kelinci.
"Senang bertemu denganmu," bisikku. Kalau ada satu kelinci, pasti ada ratusan yang menunggu untuk dijerat.
Lereng mulai melandai. Aku tidak menyukainya. Lembah membuatku merasa terperangkap. Aku ingin berada di tempat tinggi, seperti perbukitan di sekitar Distrik 12, di sana aku bisa melihat musuh-musuhku mendekat. Tapi aku tidak punya pilihan selain terus melangkah.
Tapi   lucu,   aku   tidak   merasa   lemah.   Hari-hari   makan   dengan   rakus   akhirnya
membuahkan hasil. Aku masih sanggup bertahan meskipun kurang tidur. Berada di hutan rasanya menyegarkan. Aku lega bisa merasa sendirian, walaupun rasa itu cuma ilusi, karena aku mungkin sedang tampil di layar televisi sekarang. Tidak terus-menerus tapi muncul sesekali. Ada banyak peserta yang tewas pada hari pertama sehingga peserta yang berjalan santai di hutan tidaklah menarik untuk dilihat. Tapi mereka akan cukup sering menunjukkan keberadaanku agar para penonton tahu aku masih hidup, tanpa terluka dan sedang bergerak. Hari pembukaan merupakan hari taruhan paling ramai, saat pendataan korban-korban awal. Tapi hari itu tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi ketika para peserta di arena pertarungan menyusut hingga tinggal beberapa orang saja.
Sudah lewat tengah hari ketika aku mendengar dentuman suara meriam. Satu tembakan   mewakili   satu   peserta   yang   tewas.   Perkelahian   pasti   sudah   selesai   di Cornucopia. Mereka tidak pernah mengumpulkan mayat peserta yang tewas bersimbah darah sampai para pembunuhnya pergi. Pada hari pembukaan, mereka bahkan kadang- kadang tidak menembakkan meriam sampai perkelahian awal  berakhir karena terlalu sulit untuk menghitung jumlah korban. Aku memberanikan diri untuk berhenti berjalan, napasku terengah-engah sembari menghitung suara tembakan. Satu... dua.... tiga... terus dan terus sampai tembakan terdengar sebelas kali. Sebelas peserta yang tewas. Sisa tiga belas orang yang masih dalam pertarungan. Kukuku menggaruk lepas darah kering milik anak lelaki dari Distrik 9 yang batuk darah ke wajahku. Dia pasti sudah tewas. Aku memikirkan Peeta. Apakah dia berhasil bertahan untuk hari ini? Beberapa jam lagi aku
akan tahu. Ketika foto-foto mereka yang tewas diproyeksikan ke angkasa agar bisa dilihat kami semua.
Mendadak aku dibanjiri perasaan bahwa Peeta mungkin saja sudah tewas, kehabisan darah, mayatnya diambil dan sekarang sedang dalam proses dipindahkan ke Capitol lalu dibersihkan, didandani, dan dikirim ke Distrik 12 dalam kotak kayu sederhana. Dia tidak lagi berada di sini. Dia dalam perjalanan pulang. Aku berusaha keras mengingat apakah aku sempat melihatnya ketika pertarungan dimulai. Tapi bayangan terakhir yang bisa kulihat adalah Peeta menggeleng ketika gong berbunyi.
Mungkin lebih baik jika dia sudah tewas sekarang. Dia sama sekali tidak punya keyakinan akan menang. Dan aku tidak perlu menghadapi tugas tak menyenangkan untuk membunuhnya. Mungkin lebih baik jika dia sudah tidak lagi dalam pertarungan ini.
Aku duduk berselonjor di samping tas ranselku, kelelahan. Aku harus memeriksa barang-barang di dalam ransel sebelum malam tiba. Melihat barang apa saja yang bisa kumanfaatkan. Ketika melepaskan kaitan tas ransel itu, aku bisa merasakan tas ini kokoh walaupun warna tas ini norak. Bisa dibilang warna oranye ini berkilau dalam kegelapan. Dalam hati aku mengingatkan diri agar segera membuat kamuflase pada tas ini besok pagi.
Kubuka  penutup  ransel.  Yang  paling  kuinginkan  saat  ini  adalah  air.  Perintah Haymitch  untuk  segera  menemukan  air  bukanlah  jenis  perintah  yang  bisa  kuabaikan begitu saja. Aku tidak bisa bertahan lama tanpa air. Selama beberapa hari, aku masih bisa hidup dengan gejala-gejala dehidrasi yang tidak mengenakkan, tapi setelah itu kondisiku yang  memburuk  dan  kepayahan  dan  aku  bakal  mati  dalam  seminggu,  paling  lama.
Perlahan-lahan aku mengeluarkan barang-barang rampasanku. Satu kantong tidur hitam
tipis yang bisa memantulkan panas tubuh. Sebungkus biskuit. Sebungkus dendeng sapi kering. Sebotol iodine. Sekotak korek api. Segulung kawat. Kacamata hitam. Dan botol plastik berukuran 1,8 liter lengkap dengan tutupnya yang bisa untuk menampung air tapi sekarang kering kerontang.
Tidak ada air. Memangnya sulit ya bagi mereka untuk mengisi botol ini dengan air? Aku sadar mulut dan kerongkonganku mulai kering, juga bibirku pecah-pecah. Aku sudah berjalan seharian. Cuaca panas dan banyak berkeringat. Aku sering mengalami ini di distrikku, tapi di sana selalu ada air sungai yang bisa diminum, jika terpaksa salju bisa dilelehkan jadi air.
Ketika aku menyimpan barang-barangku ke dalam ransel, terlintas pikiran yang mengerikan. Danau tadi. Danau yang kulihat ketika aku menunggu gong berbunyi. Bagaimana jika danau itu satu-satunya sumber air di arena? Dengan begitu, mereka akan memastikan agar kami bertarung di sana. Danau itu jaraknya satu hari penuh perjalanan dari tempatku duduk sekarang, perjalanan yang jauh lebih sulit tanpa ada minuman. Dan, seandainya aku berhasil  sampai  ke  sana,  aku  yakin tempat  itu dijaga  ketat oleh  para Peserta Karier. Aku nyaris panik saat teringat pada kelinci yang kukagetkan tadi. Binatang itu pasti harus minum. Aku hanya perlu mencari tahu sumbernya.
Senja mulai tiba dan aku gelisah. Pepohonan terlalu jarang untuk bisa jadi tempat persembunyian. Daun-daun pinus yang membuat suara langkahku teredam juga membuatku makin sulit mencari jejak binatang, padahal aku butuh jejak mereka untuk
menemukan air. Dan aku masih terus berjalan turun, makin jauh ke dalam lembah yang tampaknya tak berujung.
Aku juga lapar, tapi aku belum berani membuka bungkus biskuit atau dendengku yang   berharga.   Malahan,   aku   mengeluarkan   pisau   dan   mengorek   pohon   pinus, mengelupasi lapisan luar pohon dan memotong bagian dalam batang pohon yang lebih lembut. Perlahan-lahan aku mengunyahnya sambil berjalan. Setelah seminggu menyantap makanan paling lezat di dunia, batang pohon ini rasanya sulit ditelan. Tapi aku sudah sering makan pinus ini sepanjang hidupku, dan aku langsung bisa menyesuaikan diri.
Satu jam kemudian, jelas bahwa aku harus menemukan tempat untuk berkemah. Binatang-binatang malam mulai keluar. Sesekali aku bisa mendengar suara burung hantu atau lolongan binatang, firasatku mengatakan aku harus bersaing dengan binatang- binatang pemangsa lain dalam memburu kelinci. Tapi sejauh ini belum bisa dipastikan apakah aku juga dipandang sebagai sumber makanan binatang-binatang pemangsa tersebut. Mungkin sekarang ada binatang-binatang yang sedang mengintaiku.
Tapi sekarang keputusan untuk menempatkan peserta-peserta lain sebagai lawan yang harus kupikirkan. Aku yakin banyak yang harus berburu saat malam tiba. Mereka yang bertarung di Cornucopia akan punya makanan, air yang berlimpah dari danau, obor atau senter, dan senjata yang sudah gatal ingin mereka gunakan. Aku cuma berharap aku sudah berjalan cukup jauh dan cepat untuk keluar dari jangkuan mereka.
Sebelum beristirahat, kuambil kawat dan kupasang dua jerat di semak-semak. Aku tahu terlalu berisiko untuk menyiapkan perangkap, tapi makanan akan cepat habis di sini. Dan aku tidak bisa menyiapkan jerat jika terus berlari. Aku berjalan selama lima menit lagi sebelum membuat kemah.
Kupilih pohonku dengan saksama. Pohon willow yang tidak terlalu tinggi tapi berada di antara pohon-pohon willow lain, memberikan tempat persembunyian di antara deretan pepohonan. Aku memanjatnya, naik ke dahan pohon yang lebih kuat di dekat batangnya, dan menemukan tempat nyaman untuk jadi tempat tidurku. Perlu sedikit pengaturan, tapi akhirnya aku berhasil mendapatkan kantong tidurku dalam posisi yang lumayan nyaman. Kutaruh ranselku ke bagian kaki kantong tidurku, lalu aku masuk ke dalamnya. Untuk jaga-jaga, aku melepaskan ikat pinggangku, melingkarkannya ke sekeliling dahan pohon dan kantong tidurku, lalu mengencangkannya di bagian pinggangku. Tubuhku cukup kecil untuk bisa masuk seluruhnya ke dalam kantong tidur sampai kepalaku bisa tertutup, tapi aku tetap memakai penutup kepalaku.
Ketika malam tiba, udara makin dingin. Meskipun besar risiko yang kuhadapi untuk mendapatkan ransel ini, aku tahu keputusanku tepat. Kantong tidur ini tak ternilai harganya, karena bisa memelihara dan memancarkan kembali panas tubuhku. Aku yakin saat ini kekuatiran utama beberapa peserta lain adalah bagaimana menjaga tubuh mereka agar tetap hangat sementara aku bisa tidur selama beberapa jam. Seandainya aku tidak sehaus ini....
Hari sudah malam ketika aku mendengar lagu kebangsaan yang selanjutnya diikuti pengumuman mereka yang tewas. Di antara cabang-cabang pohon aku bisa melihat lambang Capitol, yang tampak seperti mengambang di angkasa. Aku sebenarnya memandang  layar  lain,  layar  raksasa  yang  diangkut  pesawat  ringan  mereka.  Lagu
kebangsaan berakhir dan sesaat langit tampak gelap. Di rumah, kami bisa menonton liputan penuh setiap pembunuhan yang terjadi, tapi di layar ini tidak karena dianggap bisa memberikan keuntungan yang tidak adil terhadap peserta-peserta yang masih hidup. Contohnya, jika aku bisa mendapat busur dan panah lalu aku memanah seseorang, rahasiaku akan diketahui semua orang. Tidak, di arena ini, yang kami lihat hanyalah foto- foto yang sama yang mereka tunjukkan ketika mereka menayangkan nilai latihan kami di televisi. Foto wajah yang sederhana. Tapi sekarang mereka tidak menunjukkan angka, hanya nomor distrik. Aku mengambil napas dalam-dalam ketika wajah-wajah sebelas peserta yang tewas ditampilkan dan jemariku mulai menghitung satu per satu.
Wajah  pertama  yang  ditampilkan  adalah  gadis  dari  Distrik  3.  Itu  artinya  Peserta Karier dari Distrik 1 dan 2 berhasil bertahan hidup. Tidak mengejutkan. Lalu anak lelaki dari Distrik 4. Aku tidak mengira anak lelaki itu tewas, biasanya semua Peserta Karier berhasil melewati hari pertama. Anak lelaki dari Distrik 5... kurasa gadis berwajah rubah itu berhasil selamat. Dua peserta dari Distrik 6 dan 7. Anak lelaki dari Distrik 8. Sepasang dari Distrik 9. Ya, itu anak lelaki yang berebutan tas ransel denganku. Kedua jemari tanganku sudah habis, tinggal satu peserta lagi. Apakah Peeta? Ternyata bukan, satu lagi adalah anak perempuan dari Distrik 10. Itu saja. Capitol menutup tayangan itu dengan musik sebelum gambar menghilang. Lalu kegelapan dan suara-suara hutan kembali menyelimutiku.
Aku lega Peeta masih hidup. Kukatakan pada diriku sendiri sekali lagi bahwa jika aku terbunuh, kemenangan Peeta akan memberi keuntungan pada ibuku terutama Prim. Inilah yang kukatakan pada diriku untuk menjelaskan berbagai emosi yang bertentangan saat aku   memikirkan   Peeta.   Rasa   terima   kasihku   padanya   karena   telah   memberiku keuntungan  berkat  pernyataan  cintanya  padaku  saat  wawancara.  Kemarahanku  pada sikap soknya di atap. Ketakutanku bahwa kami mungkin saja harus bertarung satu lawan satu di arena ini.
Sebelas tewas, tapi tidak satu pun dari Distrik 12. Aku berusaha mengingat-ingat siapa  saja  yang  tersisa.  Lima  Peserta  Karier.  Si  Muka  Rubah.  Thresh  dan  Rue.  Rue... ternyata dia berhasil selamat melewati hari pertama. Aku merasa bersyukur. Aku baru ingat sepuluh peserta yang tersisa. Tiga lagi biar kupikirkan besok. Sekarang aku berada tinggi diatas pohon, saat ini yang harus kulakukan untuk mencoba beristirahat.
Aku tidak bisa tidur selama dua hari belakangan, dan aku juga melewati perjalanan panjang menuju arena. Perlahan-lahan otot-ototku mengendur. Mataku terpejam. Hal terakhir yang kupikirkan adalah untungnya aku tidak mendengkur...
Krak! Suara ranting patah membuatku terbangun. Sudah berapa lama aku tertidur? Empat jam? Lima? Ujung hidungku terasa dingin membeku. Krak! Krak! Apa yang terjadi? Ini bukan suara ranting yang patah terinjak, tapi suara patahan yang berasal dari pohon. Krak! Krak! Kuperkirakan suara itu berasal dari jarak ratusan meter di sebelah kananku.
Perlahan-lahan, tanpa suara, aku memutar tubuhku ke arah tersebut. Selama beberapa
menit, tidak ada apa-apa kecuali kegelapan dan suara gaduh. Lalu aku melihat percikan dan api mulai timbul. Aku bisa melihat seseorang menghangatkan tangannya di atas api, tapi aku tidak bisa melihat lebih dari itu.
Aku harus menggigit bibirku agar tidak meneriakkan berbagai sumpah serapah yang ada dalam kosakataku pada orang yang menyalakan api. Apa yang mereka pikirkan? Api yang  dinyalakan  saat  senja  tidak  terlalu  jadi  masalah.  Mereka  yang  bertarung  di Cornucopia memiliki kekuatan lebih dan persediaan cukup, dan mungkin sudah menyisiri hutan selama berjam-jam untuk mencari korban. Daripada cuma menyalakan api, sekalian saja mengibarkan bendera dan berteriak, "Ayo kemari tangkap aku!"
Dan sekarang aku hanya berjarak selemparan batu dari peserta paling tolol dalam Hunger Games ini. Terikat di pohon. Tidak berani melarikan diri karena lokasiku sudah disebarluaskan kepada pembunuh manapun yang berminat. Maksudku, aku tahu di luar sana memang dingin dan tidak semua orang punya kantong tidur. Tapi kau sebaiknya mengatupkan gigimu rapat-rapat dan tetap bertahan seperti itu sampai pagi!
Selama dua jam selanjutnya aku berbaring di dalam kantong tidurku dalam keadaan marah, berpikir sungguh-sungguh bahwa jika aku bisa turun dari pohon ini, aku pasti bisa dengan mudah menghabisi tetangga baruku itu. Instingku menyuruhku kabur, bukan bertarung. Tapi jelas orang ini mengundang bencana. Orang bodoh selalu berbahaya. Dan orang ini mungkin bukan orang yang ahli memakai senjata sementara aku memiliki pisau yang bagus ini.
Langit masih gelap, tapi aku bisa merasakan tanda-tanda awal fajar menyingsing. Aku mulai berpikir bahwa kami-maksudnya orang yang sedang kurencanakan kematiannya dan aku-memiliki kemungkinan untuk lolos. Lalu saat itulah aku mendengarnya. Langkah- langkah kaki beberapa orang yang mulai berlari. Orang yang menyalakan api itu mungkin ketiduran. Para penyerang itu sudah ada di depannya sebelum dia sempat kabur.
Sekarang aku tahu si tolol itu adalah perempuan, aku bisa mendengar rengekannya, diikuti jeritan memilukan setelahnya. Kemudian terdengar suara tawa dan saling memberi selamat dari beberapa suara.
Seseorang berteriak, "Dua belas tewas dan sebelas lagi sisanya!" yang disambut dengan teriakan mengelu-elukan.
Jadi   mereka   bertarung   dalam   kawanan.   Aku   tidak   kaget.   Sering   kali   mereka bersekutu pada tahap awal Hunger Games. Kelompok yang kuat memburu mereka yang
lemah, lalu saat ketegangan mulai meningkat, mereka akan saling membantai. Aku tidak
perlu berpikir keras siapa yang bersekutu di sini. Pasti para Peserta Karier yang tersisa dari Distrik 1, 2, dan 4. Dua anak lelaki dan tiga anak perempuan. Mereka yang selalu makan siang bersama.
Sesaat, aku mendengar mereka memeriksa barang-barang gadis yang tewas itu. Dari komentar-komentar yang terdengar aku tahu mereka tidak menemukan barang berharga. Aku bertanya-tanya apakah Rue yang jadi korban kali ini tapi buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Dia jauh lebih cerdas untuk tidak menyalakan api seperti itu.
"Lebih baik kita pergi supaya mereka bisa mengambil jasadnya sebelum bau." Aku yakin itu suara anak lelaki kasar dari Distrik 2. Ada aksen dalam suaranya, dan yang membuatku takut, aku mendengar kawanan itu berjalan ke arahku. Mereka tidak tahu aku di  sini. Bagaimana mungkin?  Dan  aku  tersembunyi di  antara  pepohonan.  Paling tidak selama matahari belum terbit. Pada saat kantong tidurku akan mengubah dari kamuflase
menjadi masalah. Jika mereka terus bergerak, mereka akan melewatiku dan lenyap dalam waktu satu menit.
Tapi Peserta Karier itu berhenti di tanah terbuka sekitar sepuluh meter dari pohonku. Mereka punya senter dan obor. Aku bisa melihat ada tangan dan sepatu bot, di celah-celah dahan pohon. Aku diam membeku, bahkan tidak berani bernapas. Apakah mereka sudah melihatku?  Tidak,  belum.  Dan  kata-kata  yang  mereka  ucapkan  aku  bisa  mendengar pikiran mereka berada di tempat lain.
"Bukankah kita seharusnya sudah mendengar dentuman meriam?" "Menurutku begitu. Tidak seharusnya mereka berlama-lama." "Kecuali dia belum mati."
"Dia sudah mati. Aku sendiri yang menusuknya." "Lalu mana suara meriamnya?"
"Harus ada yang kembali ke sana. Memastikan dia benar-benar sudah tewas."
"Yeah, kita kan tidak mau mencari jejaknya sampai dua kali." "Sudah kubilang dia sudah mati!"
Mereka  masih  terus  bertengkar,  sampai  salah  seorang  peserta  membungkamnya. "Kita menyia-nyiakan waktu! Aku akan ke sana dan menghabisinya lalu kita terus bergerak!"
Aku nyaris jatuh terjungkal dari pohon. Tadi itu suara Peeta.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates