June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 6

Pusat latihan memiliki sebuah menara yang dirancang khusus untuk para peserta dan tim mereka. Tempat ini akan jadi rumah kami hingga pertarungan sesungguhnya dimulai. Setiap distrik ditempatkan disatu lantai sendiri. Kau hanya perlu masuk ke elevator dan menekan angka asal distrikmu. Mudah untuk diingat.
Di Distrik 12, aku pernah dua kali naik elevator di Gedung Pengadilan. Sekali untuk menerima medali atas kematian ayahku dan kemarin untuk menyampaikan salam perpisahan terakhir dengan teman-teman dan keluargaku. Tapi elevator di sana gelap dan berderit dengan gerakan selamban siput dan baunya seperti susu basi. Dinding-dinding elevator ini terbuat dari kristal, jadi kau bisa melihat orang-orang di lantai dasar makin lama makin kecil ketika elevator membawamu makin tinggi. Rasanya menyenangkan dan aku tergoda untuk bertanya pada Effie apakah kami bisa naik elevator sekali lagi, tapi itu bakal terdengar kekanak-kanakan.
Ternyata, tugas Effie Trinket tidak berakhir di stasiun kereta api. Dia dan Haymitch akan  mengawasi  kami  hingga  di  arena.  Di  satu  sisi,  keberadaannya  menguntungkan karena paling tidak Effie bisa diandalkan untuk membawa kami keliling ke tempat-tempat seharusnya kami berada tepat waktu karena kami belum bertemu Haymitch lagi sejak dia bilang bersedia membantu kami di kereta api. Mungkin dia sedang teler hingga pingsan entah di mana. Sebaliknya, Effie Trinket, tampak riang gembira. Kami adalah tim pertama yang pernah diawasinya yang membuat kegemparan pada upacara pembukaan. Effie tidak hanya memuji kostum kami tapi juga tingkah laku kami. Dan kami juga mendengar, Effie kenal  semua  orang penting di  Capitol dan sudah  bicara  tentang  kami  sepanjang  hari, berusaha memperoleh sponsor untuk kami.
"Tapi semuanya sangat misterius," ujar Effie, matanya setengah menyipit. "Karena, tentu saja, kau tahu Haymitch tidak mau memberitahuku apa saja strategi kalian. Tapi aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa yang bisa kukerjakan. Bagaimana Katniss mengorbankan diri demi adik perempuannya. Bagaimana kalian berdua berhasil melawan kegiatan barbar dari distrik kalian."
Barbar? Ironis saat mendengar kata itu terucap dari wanita yang membantu menyiapkan kami untuk kegiatan pembantaian massal. Dan atas apa dia menilai keberhasilan kami? Berdasarkan sopan santun di meja makan?
"Pada dasarnya semua orang memiliki keengganan tertentu karena kalian berasal dari distrik batu bara. Tapi untungnya aku pintar, kubilang pada mereka, 'Hm, batu bara yang diberi cukup tekanan akan berubah jadi mutiara!' " Mata Effie berbinar begitu cerah memandang  kami  sehingga  kami  tidak  punya  pilihan  lain  selain  menanggapi kepintarannya dengan penuh semangat, meskipun kami tahu dia salah besar.
Batu bara tidak bisa berubah jadi mutiara. Mutiara berasal dari kerang. Mungkin maksud  Effie batu bara  berubah  jadi berlian, tapi itu  juga  tidak benar.  Kudengar  ada semacam mesin di Distrik 1 yang bisa mengubah batu granit menjadi berlian. Tapi Distrik
12  tidak  menambang  batu  granit.  Itu  bagian  dari  tugas  Distrik  13  sebelum  mereka dihancurkan.
Aku penasaran apakah orang-orang yang mendengarnya memuji-muji kamu atau bahkan peduli tentang hal itu.
"Sayangnya, aku tidak bisa membuat perjanjian kontrak dengan sponsor untuk kalian. Hanya Haymitch yang bisa melakukannya," kata Effie muram. "Tapi jangan kuatir, kalau perlu aku akan menodongkan pistol padanya agar dia mau datang ke meja perjanjian."
Meskipun memiliki kekurangan sana-sini, Effie Trinket jelas memiliki keteguhan yang harus kukagumi.
Ruang bagian tempat tinggalku lebih luas daripada rumah kami di Distrik. Ruang- ruang di sini terlihat mewah, seperti di gerbong kereta api, juga memiliki sejumlah peralatan otomatis yang tak bakal sempat kupencet tombolnya satu per satu. Pancuran air di  kamar  mandinya  saja  memiliki  panel  dengan  lebih  dari  seratus  pilihan  yang  bisa kaupilih  untuk  mengatur  temperatur,  tekanan  air,  sabun,  sampo,  wewangian,  minyak
mandi,   dan   spons   yang   bisa   memijat.   Saat   berdiri   di   atas   keset   kaki,   pemanas
menyemburkan udara yang mengeringkan tubuh. Aku tidak perlu bersusah payah melepaskan ikatan kepang di rambutku yang basah, aku hanya perlu menaruh tanganku di atas kotak yang mengalirkan arus ke kulit kepalaku, yang akan melepaskan ikatan rambutku, menyisirnya, dan mengeringkannya dalam waktu sekejap. Rambutku langsung tergerai lembut di punggungku.
Aku memprogram lemari agar menyiapkan pakaian sesuai seleraku. Atas perintahku, jendela bisa menyorot jauh dan dekat bagian-bagian kota tertentu. Aku hanya perlu membisikkan jenis makanan yang kuinginkan dari daftar menu raksasa ke corong bicara, dalam waktu kurang dari semenit makanan itu muncul di hadapanku, panas dan mengepulkan asap. Aku berjalanan di sekeliling kamar, makan hati angsa dan roti susu sampai kudengar ketukan di pintu. Effie memanggilku untuk makan malam.
Baguslah. Aku kelaparan.
Peeta,  Cinna,  dan  Portia  sedang  berdiri  di  balkon,  yang  memperlihatkan pemandangan Capitol ketika aku memasuki ruang makan. Aku senang melihat para penata gaya  kami,  terlebih  lagi  ketika  mendengar  Haymitch  akan  bergabung  bersama  kami. Makan  malam  yang  dipimpin  oleh  Effie  dan  Haymitch  pasti  bakal  berakhir  dengan
kekacauan. Selain itu, makan malam sebenarnya bukanlah tentang makanan, tapi tentang
perencanaan strategi, dan Cinna serta Portia telah membuktikan betapa berharganya mereka bagi kami.
Seorang lelaki muda yang mengenakan tunik putih bicara menawarkan anggur di gelas tinggi  pada  kami.  Aku  hampir  menolaknya,  tapi  aku  tak  pernah  minum  anggur, kecuali buatan ibuku yang digunakannya untuk menyembuhkan batuk, dan mungkin aku takkan  pernah  punya  kesempatan  untuk  mencobanya  lagi.  Aku  menyesapnya  sedikit, cairan itu terasa kering dan diam-diam aku berpikir bahwa rasanya akan lebih baik jika ditambah beberapa sendok madu.
Haymitch  muncul  tepat  ketika  makan  malam  akan  disajikan.  Kelihatannya  dia memiliki penata gaya sendiri karena dia tampak bersih dan terawat, dan tidak pernah kulihat dia sesadar sekarang. Dia tidak menolak tawaran anggur, tapi ketika dia mulai menyantap sup, aku baru sadar inilah pertama kalinya kulihat dia makan. Mungkin dia bisa menguasai diri cukup lama untuk bisa membantu kami.
Cinna dan Portia tampaknya memiliki pengaruh untuk membuat Haymitch dan Effie jadi beradab. Paling tidak mereka saling bicara dengan sopan. Bahkan mereka pun memuji suguhan pembukaan dari penata gaya kami. Sementara mereka berbasa-basi, aku memusatkan perhatian pada makananku. Sup jamur, sayuran hijau pahit dengan tomat seukuran kacang polong, daging sapi panggang yang dipotong setipis kertas, mi dalam saus hijau, keju yang meleleh di lidah disajikan dengan anggur biru manis. Para pelayan, semuanya lelaki muda yang berpakaian tunik putih seperti yang dipakai oleh pelayan yang memberi kami anggur, bergerak tanpa bicara dari dan ke meja, memastikan piring dan gelas kami tetap penuh.
Setelah menghabiskan setengah gelas anggur, kepalaku mulai terasa berkabut, jadi aku ganti minumanku dengan air. Aku tidak menyukai perasaan ini dan aku berharap kabut ini segera lenyap. Aku tidak mengerti bagaiamana Haymitch bisa tahan melewati hari-harinya seperti ini.
Aku berusaha memusatkan perhatian pada percakapan, yang sudah beralih ke topik tanya-jawab kostum, saat seorang gadis menata kue yang kelihatan cantik di atas meja dan dengan cekatan menyalakan kue itu. Kue tersebut terbakar kemudian api mengerjap di ujung-ujung kue selama beberapa saat hingga api itu padam. Sejenak aku merasa ragu.
"Apa yang membuatnya terbakar? Apakah alkohol?" aku bertanya, sambil mendongak memandang gadis itu. "Aku tidak mau men-Oh! Aku kenal kau!"
Aku tidak ingat nama atau tempat ketika aku melihat wajah gadis ini. Tapi aku yakin pernah melihatnya. Rambut merah gelap, garis wajah yang memesona, kulit seputih porselen. Ketika aku mengucapkannya, aku merasakan kegelisahan dan rasa bersalah dalam ulu hatiku. Meskipun aku tidak ingat, aku tahu ada kenangan buruk yang berkaitan dengan gadis itu. Ekspresi ngeri yang terlintas di wajahnya hanya membuatku jadi tambah bingung dan tidak nyaman. Gadis itu menyangkalnya dengan menggeleng cepat dan bergegas menjauh dari meja.
Ketika aku menoleh, empat orang dewasa sedang mengawasiku seperti elang mengintai mangsa.
"Jangan  konyol,  Katniss.  Bagaimana  mungkin kau  bisa kenal  Avox  semacam itu?" sergah Effie. "Membayangkannya saja tak mungkin."
"Avox itu apa?" tanyaku dengan bodohnya.
"Orang yang melakukan kejahatan. Mereka memotong lidahnya sehingga dia tidak bisa bicara," kata Haymitch. "Dia mungkin pengkhianat atau semacam itulah. Tidak mungkin kau mengenalnya."
"Bahkan kalau mengenalnya, kau tak boleh bicara dengannya kecuali memberi perintah," kata Effie. "Tentu saja kau tidak benar-benar mengenalnya."
Tapi aku kenal dia. Setelah Haymitch menyebut soal pengkhianat, aku ingat di mana aku kenal dia. Aku merasakan kecaman yang begitu besar sehingga aku tak pernah bisa
mengakuinya.
"Ya, kurasa tidak. Aku cuma-" Aku tegagap, dan anggur yang kuminum tidak membantu sama sekali.
Peeta menjentikkan jarinya. "Delly Cartwright."
Itu dia. Kupikir wajahnya juga tidak asing. Lalu aku sadar dia mirip sekali dengan
Delly.
Delly Cartwright adalah gadis berwajah pucat, agak gemuk dengan rambut kuning yang kemiripannya dengan gadis pelayan kami ibarat membandingkan kumbang dengan kupu-kupu.   Delly   juga   bisa   disebut   manusia   paling   ramah   di   seantero   planet-dia tersenyum tanpa henti pada semua orang di sekolah, bahkan padaku. Aku tak pernah melihat gadis berambut merah itu tersenyum. Tapi aku langsung menyambar petunjuk Peeta dengan penuh syukur.
"Tentu saja, aku terpikir tentang dia. Pasti gara-gara rambutnya," kataku. "Matanya juga mirip," imbuh Peeta.
Suasana di meja makan pun jadi lebih santai.
"Oh, sudahlah. Cuma karena mirip," kata Cinna. "Dan, ya, kue ini mengandung minuman keras, tapi semua alkohol sudah terbakar. Aku sengaja memesannya sebagai penghormatan terhadap penampilanmu yang berapi-api."
Kami  makan  kue  dan  pindah  ke  ruang  duduk  untuk  menonton  tayangan  ulang upacara  pembukaan  yang  sedang  disiarkan.  Beberapa  pasangan  lain  memperlihatkan kesan yang baik, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa dibandingkan dengan kami. Bahkan pihak kami sendiri terpukau hingga mulut mereka ternganga "Ahhh!" saat mereka menampilkan kami yang keluar dari Pusat Tata Ulang.
"Siapa yang menyuruh berpegangan tangan?" tanya Haymitch. "Cinna," sahut Portia.
"Sentuhan sempurna untuk pembangkang," ujar Haymitch. "Bagus sekali." Pembangkang? Selama sesaat aku memikirkan kata itu. Tapi ketika aku mengingat
pasangan-pasangan lain, berdiri tegang terpisah, tak pernah menyentuh atau mengakui keberadaan yang lain, seakan rekan peserta mereka tak ada, seakan pertarungan telah
dimulai, aku mengerti maksud Haymitch. Menampilkan diri kami bukan sebagai musuh
tapi sebagai sahabat telah membuat kami tampak berbeda seperti halnya kostum kami yang membakar.
"Besok pagi adalah sesi latihan pertama. Temui aku untuk sarapan dan akan kuberitahu kalian bagaimana kuingin kalian memainkannya," kata Haymitch pada aku dan Peeta. "Sekarang pergilah tidur sementara kami orang dewasa di sini mau bicara."
Aku dan Peeta berjalan berdua menyusuri koridor menuju kamar kami. Ketika kami sampai ke depan pintu kamarku, Peeta bersandar di kusen pintu, bukan bermaksud menghalangi masuk tapi berkeras agar aku memperhatikannya. "Hm, Delly Cartwright. Bayangkan jika kita bisa bertemu kembarannya di sini."
Peeta meminta penjelasan, dan aku tergoda untuk menjelaskannya. Kami berdua sama-sama tahu bahwa dia melindungiku. Jadi sekarang aku berutang lagi padanya. Kalau aku  menceritakan yang  sebenarnya tentang  gadis  itu,  bisa  jadi  aku  melunasi  utangku padanya. Lagi pula apa sih ruginya? Bahkan kalau dia menceritakan ceritaku pada orang lain, aku juga tidak bakal kenapa-napa. Kejadiannya hanya sesuatu yang kusaksikan. Dan Peeta berbohong tentang Delly Cartwright bersama denganku.
Aku sadar bahwa aku ingin bicara dengan seseorang tentang gadis itu. Seseorang yang bisa membantuku memecahkan kisah tentang gadis itu. Gale jadi pilihan pertamaku,
tapi aku tak bakal bisa bertemu Gale lagi. Aku berusaha berpikir apakah memberitahu Peeta mungkin bakal memberinya keuntungan atas diriku, tapi aku tidak bisa melihat kemungkinan itu. Mungkin berbagi rahasia akan membuatnya percaya bahwa aku menganggapnya sebagai teman.
Selain itu, membayangkan gadis tadi dengan lidah buntung membuatku ngeri. Dia mengingatkanku  tentang  alasan  keberadaanku  di  sini.  Bukan  untuk  menjadi  model kostum mewah dan makan makanan lezat. Tapi untuk mati dalam kematian penuh darah sementara penonton mengelu-elukan pembunuhanku.
Cerita atau tidak ya? Otakku masih lamban akibat anggur. Aku menunduk memandangi koridor kosong seakan keputusannya terletak di sana.
Peeta menangkap keraguanku. "Kau pernah ke atap?" Aku menggeleng. "Cinna menunjukkannya padaku. Kau bisa melihat seluruh kota dari atas sana. Tapi anginnya agak keras hlo."
Otakku menerjemahkan ajakannya sebagai, "Tak ada seorangpun yang bisa menguping percakapan kita". Kami merasa selalu dakam pengawasan di tempat ini. "Bisa kita ke atas sekarang?"
"Bisa saja, ayo," ajak Peeta. Aku mengikutinya menaiki tangga menuju atap. Ada ruangan kecil berbentuk kubah dengan pintu menuju keluar. Ketika kami melangkah menuju udara malam yang dingin dan berangin, aku terkesiap melihat pemandangan di hadapanku. Capitol berkilau berkelip-kelip seperti lapangan yang penuh cahaya kunang- kunang. Listrik di Distrik 12 kadang menyala kadang tidak, biasanya kami punya listrik
selama beberapa jam sehari. Sering kali kami menghabiskan malam hari dengan cahaya
lilin. Listrik hanya bisa diandalkan saat mereka menyiarkan Hunger Games atau ada pesan penting dari pemerintah di televisi yang wajib di tonton. Tapi di sini tak ada kekurangan listrik. Tak pernah kekurangan.
Aku dan Peeta berjalan menuju pegangan pembantas di ujung atap. Aku melihat langsung ke bawah ke arah jalanan di samping gedung, yang penuh dengan orang. Kau bisa mendengar suara mobil mereka, kadang-kadang terdengar teriakan, dan suara logam beradu yang aneh. Di Distrik 12, kami pasti sedang berpikir untuk tidur sekarang.
"Aku bertanya pada  Cinna  kenapa mereka  membiarkan kita naik ke sini. Apakah
mereka tidak kuatir ada peserta yang mungkin saja memutuskan untuk meloncat dari gedung?" kata Peeta.
"Dia bilang apa?" tanyaku.
"Kau tidak bisa lompat," ujar Peeta. Dia mengibaskan tangannya ke ruang yang tampaknya  di  isi  udara  kosong.  Ada  sengatan  tajam  dan  Peeta  langsung  menarik tangannya. "Ada semacam medan listrik yang melemparmu kembali ke atap."
"Selalu memikirkan keselamatan kita," kataku. Meskipun Cinna sudah menunjukkan atap  ini  pada  Peeta,  aku  bertanya-tanya  apakah  kami  boleh  di  atap  berdua pada  jam selarut ini. Aku tak pernah melihat peserta berada di atap Pusat Latihan sebelumnya. Tapi tidak berarti kami tidak sedang di rekam sekarang. "Menurutmu mereka sedang mengawasi kita?"
"Mungkin," Peeta mengaku. "Ayo kita lihat tamannya."
Di sisi lain kubah, mereka membangun taman dengan deretan bunga dan pohon- pohon dalam pot. Dari dahan-dahannya tergantung ratusan genta angin, yang menjadi sumber suara suatu logam beradu yang kudengar tadi. Di sini di taman ini, pada malam berangin, bunyi yang  ditimbulkan genta  angin cukup  meredam suara  dua  orang  yang berusaha untuk tidak terdengar. Peeta memandangiku penuh harap.
Aku pura-pura melihat bunga yang bermekaran.
"Suatu hari kami sedang berburu di dalam hutan. Bersembunyi, menunggu buruan," aku berbisik.
"Kau dan ayahmu?" Peeta balas berbisik.
"Bukan, dengan temanku Gale. Mendadak semua burung berhenti bernyanyi seketika. Kecuali satu. Seakan burung itu menyanyikan peringatan. Lalu saat itulah kami melihatnya. Aku yakin dia gadis yang sama. Ada anak lelaki bersamanya. Pakaian mereka compang- camping. Ada lingkaran hitam di bawah mata mereka tanda kurang tidur. Mereka lari terbirit-birit seakan nyawa mereka tergantung pada kemampuan lari mereka," kataku.
Sejenak  aku  terdiam,  mengingat  bagaimana  perasaanku  ketika  melihat  pasangan aneh yang jelas-jelas tidak berasal dari Distrik 12 melarikan diri melalui hutan, hingga membuat kami tak mampu bergerak. Lama setelah itu, kami bertanya-tanya apakah kami bisa membantu mereka. Menyembunyikan mereka.
Kalau saja kami bergerak cepat. Ya, aku dan Gale terkejut, tapi kami berdua pemburu. Kami tahu seperti apa binatang yang berusaha bertahan hidup. Kami tahu pasangan itu dalam masalah saat kami melihatnya. Tapi kami hanya menonton.
"Pesawat ringan itu muncul entah dari mana," aku menjutkan ceritaku pada Peeta. "Maksudku, tadinya langit kosong kemudian mendadak pesawat itu ada di sana. Pesawat
itu tidak menimbulkan suara, tapi mereka melihatnya. Ada jaring yang meluncur jatuh pada gadis itu dan mengangkatnya ke atas, cepat sekali, seperti diangkat dengan elevator.
Mereka menembakkan semacam tombak ke anak lelaki itu. Tombak itu terkait pada kabel
dan mereka juga menariknya ke atas. Tapi aku yakin anak itu sudah tewas. Kami mendengar gadis itu menjerit sekali. Kurasa dia menjeritkan nama lelaki itu. Lalu pesawat itu hilang. Lenyap tak berbekas. Kemudian burung-burung mulai bernyanyi lagi, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."
"Apakah mereka melihatmu?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu. Kami berada di bawah bebatuan," sahutku.
Tapi aku tahu. Ada jeda, setelah burung berhenti bernyanyi, tapi sebelum pesawat itu muncul, gadis itu melihat kami. Matanya memandang mataku lekat-lekat lalu dia berteriak minta tolong. Tapi aku dan Gale tidak bergerak membantunya.
"Kau gemetar," kata Peeta.
Embusan angin dan kisah yang kuceritakan mengenyahkan kehangatan dari tubuhku. Gadis itu menjerit. Apakah itu jeritan terakhirnya?
Peeta melepaskan jaketnya dan menyampirkannya ke bahuku. Tadinya aku hendak mundur selangkah, tapi kemudian aku membiarkannya, sesaat memutuskan untuk menerima jaket dan kebaikannya itu. Itu yang dilakukan sahabat, kan?
"Mereka  berasal  dari  sini?"  tanya  Peeta,  lalu  tangannya  mengancingkan  jaket disekitar leherku.
Aku mengangguk. Tampilan anak lelaki dan gadis itu kelihatan seperti orang Capitol. "Menurutmu mereka hendak ke mana?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu," jawabku.
Distrik 12 bisa dibilang sebagai akhir perjalanan. Di luar sana hanya ada alam liar. Kalau kau tidak menghitung reruntuhan Distrik 13 yang masih mengepulkan asap akibat bom beracun. Kadang-kadang mereka menampilkannya di televisi hanya untuk mengingatkan kami. "Atau kenapa mereka hendak pergi dari sini."
Haymitch menyebut kaum Avox sebagai pengkhianat. Penkhianatan terhadap apa?
Kemungkinannya hanya tehadap Capitol. Tapi mereka memiliki segalanya di sini. Tidak ada alasan untuk memberontak.
"Aku mau pergi dari sini," tiba-tiba Peeta bersuara. Kemudian dia menoleh gelisah ke sekeliling. Suaranya cukup keras mengalahkan suara genta angin. Dia tertawa. "Aku mau saja pulang sekarang kalau mereka mengizinkan. Tapi kau harus mengakui, makanan di sini lezat tak ada bandingannya."
Dia melindungiku lagi. Bila hanya mendengar perkataan Peeta, seolah-olah kata-kata itu berasal dari peserta yang ketakutan, bukan seseorang yang memikirkan kebaikan Capitol yang tak perlu dipertanyakan.
"Sudah mulai dingin. Sebaiknya kita masuk," katanya. Di dalam kubah suasananya terang dan hangat. Nada bicara Peeta terdengar santai. "Temanmu, Gale. Dia yang menarik adikmu pada hari pemungutan?"
"Ya. Kau kenal dia?" aku bertanya.
"Tidak juga. Aku sering mendengar gadis-gadis membicarakannya. Kupikir dia sepupumu atau apalah. Kalian tampak akrab," katanya.
"Tidak, kami tidak punya hubungan," jawabku.
Peeta  mengangguk,  sikapnya tak bisa kubaca. "Apakah  dia datang untuk mengucapkan selamat tinggal padamu?"
"Ya.  "  Aku  mengamatinya  dengan  saksama.  "Ayahmu  juga  datang.  Dia membawakanku kue."
Peeta mengangkat alis seakan ini berita baru untuknya. Tapi setelah mengamatinya berbohong dengan lancar,  aku  tidak terlalu  memikirkan reaksi  ini. "Sungguh? Ayahku
menyukaimu  dan  adikmu.  Kurasa  diam-diam  dia  berharap  punya  anak  perempuan, bukannya rumah yang penuh anak laki-laki."
Memikirkan bahwa aku mungkin saja dibicarakan secara sambil lalu, di meja makan, di dekat pemanggang roti, dan di dalam rumah Peeta membuatku kaget. Pasti obrolan itu
muncul ketika ibunya tidak ada di ruangan.
"Ayahku kenal ibumu ketika mereka masih kecil," kata Peeta. Kejutan lagi. Tapi mungkin saja benar.
"Oh, ya. Ibuku di besarkan di kota," kataku. Rasanya tidak sopan mengatakan bahwa ibuku tidak pernah bercerita tentang tukang roti kecuali memuji roti buatannya.
Kami sudah tiba di depan pintuku. Aku mengembalikan jaketnya. "Sampai ketemu besok pagi."
"Sampai ketemu," katanya, dan Peeta berjalan menjauh menyusuri lorong.
Ketika aku membuka pintu, gadis berambut merah itu sedang memungut pakaian dan sepatu botku di tempat aku melemparkannya di lantai sebelum aku mandi. Aku ingin meminta maaf karena mungkin saja aku membuatnya dalam masalah tadi. Tapi aku ingat bahwa aku tidak boleh bicara dengannya kecuali hanya untuk memberikan perintah.
"Oh, maaf," kataku. "Seharusnya aku mengembalikan itu ke Cinna. Maafkan aku. Bisa kaubawakan padanya?"
Gadis itu menghindari tatapanku, mengangguk sedikit, dan berjalan menuju pintu.
Aku bersiap-siap untuk mengatakan padanya bahwa aku minta maaf atas kejadian di meja  makan  tadi.  Tapi  aku  tahu  permintaan  maafku  jauh  lebih  dalam  lagi.  Aku  malu karena tak berusaha membantunya di hutan. Aku membiarkan Capitol membunuh anak lelaki itu dan memutilasi lidahnya tanpa sedikit pun berniat menolongnya.
Seolah-olah aku sedang menonton Hunger Games.
Kulepaskan sepatuku dan naik ke bawah selimut tanpa berganti pakaian. Gemetarku belum hilang. Mungkin gadis itu tidak ingat padaku. Tapi aku yakin dia mengenalku. Kau
takkan pernah lupa pada wajah orang yang menjadi harapan terakhirmu. Kutarik selimut
hingga menutupi kepalaku seakan selimut ini bisa melindungiku dari gadis berambut merah   yang   tak   bisa   bicara.   Tapi,   aku   bisa   merasakan   matanya   memandangiku, menembus dinding, pintu, dan selimut.
Aku bertanya-tanya apakah dia bakal senang menontonku mati.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates