June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 4



Selama beberapa saat, aku dan Peeta memandangi pembimbing kami yang berusaha bangun dari cairan lengket menjijikan yang menempel di perutnya. Bau muntah dan minuman keras yang tengik nyaris membuat makan malamku naik ke kerongkongan.
Kami bertukar pandang. Jelas Haymitch tidak bisa diandalkan, tapi Effie Trinket benar tentang satu hal, setelah kami memasuki arena pertarungan hanya dia yang kami miliki. Seakan ada persetujuan bersama yang tak terucap, aku dan Peeta masing-masing memegangi lengan Haymitch dan membantunya berdiri.
"Aku kepeleset ya?" tanya Haymitch. "Baunya nggak enak," Haymitch menyeka tangannya ke hidung, mencoreng wajahnya dengan muntahan.
"Ayo ke kamar," kata Peeta. "Kita bersihkan tubuhmu."
Kami setengah membopong setengah menyeret Haymitch kembali ke gerbongnya. Karena kami tidak bisa menaruhnya di atas seprai berbordir cantik, kami menariknya ke
bathtub dan menyalakan pancuran menyiraminya. Haymitch hampir tidak menyadarinya.
"Sudah, tinggalkan saja," kata Peeta padaku. "Biar kuurus dia."
Aku bersyukur karena aku enggan menelanjangi Haymitch, membasuh muntahan dari bulu dadanya, dan membaringkannya di ranjang. Mungkin saja Peeta sedang berusaha menjadi favoritnya saat Hunger Games dimulai. Tapi melihat keadaan Haymitch saat ini, dia takkan punya ingatan tentang hal ini besok.
"Baiklah," sahutku. "Aku bisa memanggil orang dari Capitol untuk membantumu." Ada beberapa orang dari Capitol di kereta ini. Memasak untuk kami. Melayani kami.
Mengawal kami. Menjaga kami adalah tugas mereka. "Tidak. Aku tidak mau dibantu mereka," tukas Peeta.
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamarku sendiri. Aku mengerti bagaimana perasaan Peeta. Aku sendiri tidak tahan melihat orang-orang dari Capitol. Tapi membuat
mereka mengurus Haymitch mungkin bisa jadi semacam balas dendam. Aku jadi memikirkan alasan kenapa dia berkeras mengurus Haymitch seorang diri dan mendadak aku berpikir, Itu karena dia memang baik. Perbuatan baik yang sama seperti ketika dia
memberiku roti.
Pemikiran itu membuatku terenyak. Peeta Mellark yang jahat. Orang baik memliki cara untuk menyelinap masuk dalam diriku dan membusuk di sana. Dan aku tidak bisa membiarkan Peeta melakukan ini. Mengingat tempat seperti apa yang kami tuju. Jadi mulai sekarang aku memutuskan untuk tidak terlalu sering berhubungan dengan anak tukang roti ini.
Saat aku kembali ke kamarku, kereta berhenti di peron untuk menambah bahan bakar. Buru-buru aku membuka jendela dan melempar biskuit yang diberikan ayah Peeta keluar kereta, langsung menutup jendela itu. Tidak ada lagi. Tidak ada lagi hubungan dengan mereka.
Sayangnya, kemasan biskuit jatuh menghantam tanah dan pecah terbuka sehingga isinya tersebar membentuk rupa bunga dandelion. Aku hanya melihatnya sesaat, karena kereta bergerak lagi, tapi sesaat itu sudah cukup. Cukup untuk mengingatkanku pada dandelion lain yang kulihat dibelakang halaman sekolah beberapa tahun lalu...
Aku baru saja memalingkan wajahku dari wajah Peeta Mellark yang lebam ketika melihat dandelion tersebut dan aku tahu harapanku belum musnah total. Kupetik bunga itu dengan hati-hati dan bergegas pulang. Aku mengambil ember dan menarik tangan Prim lalu berjalan menuju Padang Rumput dan ya, di sana penuh dengan titik-titik rumpun berwarna keemasan. Setelah kami memanen bunga-bungaan itu, mencari-cari di sekitar bagian dalam pagar sampai sejauh satu mil hingga ember kami penuh dengan dedaunan, tangkai, dan bunga-bunga dandelion. Malam itu, kami puas melahap salad dandelion dan sisa roti dari toko roti.
"Apa lagi?" Prim bertanya padaku. "Makanan apa lagi yang bisa kita temukan?" "Segala macam makanan." Aku berjanji padanya. "Aku hanya perlu mengingat apa
saja yang bisa dicari."
Ibuku memiliki buku yang dibawanya dari toko obat. Halaman-halamannya terbuat dari perkamen tua dan penuh dengan coretan-coretan tinta bergambar tumbuh- tumbuhan. Tulisan tangan yang ditulis dengan huruf balok menjelaskan nama tumbuhan itu, di mana mencarinya, kapan tumbuhan itu berbunga, dan apa saja kegunaan medisnya. Tapi ayahku menambahkan entri-entri lain dalam buku itu. Tumbuhan-tumbuhan yang bisa dimakan, bukan untuk pengobatan. Dandelion, pokeweed, bawang liar, cemara. Aku dan Prim menghabiskan sisa makan malam itu dengan membaca isi buku tersebut dengan tekun.
Keesokan harinya, kami bolos sekolah. Selama beberapa saat aku hanya berkeliaran di sekitar ujung Padang Rumput, tapi akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk melewati bagian bawah pagar. Untuk pertama kalinya aku berada di sana sendirian, tanpa senjata ayahku yang bisa jadi pelindung. Tapi aku bisa mengambil busur kecil dan panah yang dibuatkan Ayah untukku dari pohon berongga. Mungkin aku tidak masuk ke hutan lebih dari dua puluh meter hari itu. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di atas dahan pohon oak tua, berharap buruanku lewat. Setelah beberapa jam, aku beruntung
bisa membunuh kelinci. Sebelumnya, aku pernah memanah kelinci dari arahan ayahku. Tapi kali ini aku melakukannya sendiri.
Sudah berbulan-bulan kami tidak makan daging. Melihat kelinci tampaknya memunculkan sesuatu dalam diri ibuku. Dia bangkit berdiri, menguliti bangkai kelinci itu, dan membuat rebusan daging yang di campur dengan daun-daunan yang berhasil di kumpulkan Prim. Kemudian dia bertingkah bingung lagi dan kembali ke tempat tidur, tapi ketika rebusan daging itu matang, kami memaksanya makan semangkuk.
Hutan menjadi penyelamat kami, dan makin hari aku masuk makin dalam ke hutan. Mulanya perlahan, tapi aku bertekad untuk memberi makan kami sekeluarga. Aku mencuri telur dari sarang burung, menangkap ikan dengan jala, dan kadang-kadang berhasil memanah tupai atau kelinci untuk dibuat rebusan daging, dan mengumpulkan berbagai tumbuhan yang mekar di bawah kakiku. Mengumpulkan tumbuhan lebih rumit. Banyak tumbuhan yang bisa dimakan, tapi sekali salah makan kau bisa tewas seketika. Aku berkali-kali memeriksa tumbuh-tumbuhan yang berhasil kukumpulkan dengan membandingkannya dengan gambar-gambar yang dibuat ayahku. Aku menjaga kami sekeluarga tetap hidup.
Awalnya, bila merasakan ada tanda bahaya, lolongan di kejauhan, dahan patah tiba- tiba, aku pasti langsung melesat lari ke pagar. Kemudian aku mulai berani memanjat pohon-pohon agar bisa kabur dari kejaran anjing-anjing liar yang biasanya cepat bosan lalu pergi. Beruang dan macan hidup jauh didalam hutan, mungkin mereka tidak menyukai bau jelaga dari distrik kami.
Pada tanggal 8 Mei aku pergi ke Gedung Pengadilan, mendaftar untuk jatah tessera, membawa pulang gandum dan minyak pertamaku yang jumlahnya tak seberapa dalam gerobak mainan Prim. Pada tanggal delapan setiap bulan, aku berhak mengambil jatahku. Tentu saja, aku tidak bisa berhenti berburu dan mengumpulkan makanan. Gandum yang kami terima tidak cukup untuk kebutuhan hidup, dan masih banyak barang yang harus dibeli, seperti sabun, susu, dan benang. Makanan-makanan yang tak perlu kami makan, mulai kutukar di Hob. Rasanya mengerikan masuk ketempat itu tanpa didampingi ayahku, tapi orang-orang di sana menghormatinya, dan mereka menerimaku. Hasil buruan
tetaplah hasil buruan, tidak peduli siapa yang membunuhnya. Aku juga menjual hasil buruanku lewat pintu belakang rumah orang-orang kaya di kota, berusaha mengingat- ingat apa yang pernah diberitahu ayahku sambil belajar trik-trik baru. Tukang daging mau membeli kelinci tapi tidak mau tupai. Tukang roti menyukai tupai tapi hanya mau menukarnya dengan roti jika tidak ada istrinya. Pemimpin Penjaga Perdamaian suka kalkun liar. Sang wali kota menyenangi stroberi.
Pada akhir musim panas, aku sedang mandi di kolam ketika aku memperhatikan tumbuh-tumbuhan mulai tumbuh di sekelilingku. Tumbuhan jenis rimpang dengan dedaunan yang lancip. Bunga-bunganya bermekaran dengan tiga kelopak putih. Aku berlutut di dalam air, jemariku menggali lumpur lembut, dan menarik akar umbi-umbian dari sana. Umbi kecil berwarna kebiru-biruan dengan tampilan tidak menarik tapi bila direbus atau dipanggang rasanya selezat kentang.
"Katniss," kataku lantang. Ini jenis tanaman yang menjadi asal-usul namaku. Dan bisa kudengar canda ayahku yang berkata, "Selama kau bisa menemukan dirimu, kau takkan pernah kelaparan."
Selama berjam-jam aku mengaduk tepi-tepi kolam dengan ujung jari-jari kakiku dan tongkat kayu, lalu mengumpulkan umbi yang terangkat ke permukaan. Malam itu, kami
berpesta ikan dan umbi katniss sampai kami merasa kenyang, perasaan yang akhirnya bisa kami rasakan setelah berbulan-bulan.
Pelan-pelan, ibuku kembali pada kami. Dia mulai membersihkan, memasak, dan mengawetkan sebagian makanan yang kubawa pulang untuk persediaan musim dingin.
Orang-orang melakukan barter atau membayar kami dengan uang untuk ramuan ibuku.
Suatu hari, kudengar ibuku bernyanyi.
Prim gembira ibuku kembali, tapi tetap mengawasi ibuku, menunggunya menghilang dari kami lagi. Aku tidak mempercayainya. Dan sisi beringas dalam diriku membencinya karena sikap lemah ibuku, karena melalaikan kami, selama berbulan-bulan yang harus kami lalui. Prim memaafkannya, tapi aku mengambil langkah mundur dari ibuku, membangun dinding untuk melindungi diriku agar tidak membutuhkannya, dan keadaan di antara kami tak pernah sama lagi.
Kini aku akan mati tanpa punya kesempatan memperbaiki keadaan itu. Aku teringat bagaimana aku membentak ibuku tadi siang di Gedung Pengadilan. Tapi aku juga bilang aku sayang padanya. Jadi mungkin kata-kata itu bisa jadi penyeimbang.
Selama beberapa saat aku berdiri memandang ke luar jendela kereta, berharap aku bisa membuka jendela lagi, tapi aku tidak yakin dengan kemungkinan yg bisa terjadi jika aku membuka jendela ketika kereta bergerak secepat ini. Di kejauhan, aku melihat cahaya dari distrik-distrik lain. Distrik 10? Aku tidak tahu. Aku memikirkan orang-orang yang
berada di dalam rumah mereka, bersiap-siap tidur. Aku membayangkan rumahku, dengan
jendela yang ditutup rapat. Apa yang sedang dilakukan Prim dan ibuku sekarang? Apakah mereka sanggup makan malam? Menu malam ini adalah ikan kukus dan stroberi. Ataukah mereka membiarkan makanan itu tak tersentuh di piring? Apakah mereka menonton tayangan ulang rangkuman acara hari ini di TV tua yang ditaruh di atas meja menempel pada dinding? Tentu akan ada air mata lagi. Apakah ibuku bisa tetap bertahan, tetap kuat demi Prim? Atau apakah dia mulai menghilang lagi? Menempatkan beban dunia pada bahu adikku yang rapuh?
Aku yakin Prim akan tidur dengam ibuku malam ini. Membayangkan Buttercup yang budukan itu memposisikan dirinya di ranjang untuk mengawasi Prim membuatku tenang. Jika Prim menangis, binatang itu akan berjalan ke pelukan adikku dan bergelung di sana sampai Prim tenang dan tertidur lagi. Aku lega tidak menenggelamkan kucing itu dulu.
Membayangkan rumah membuat hatiku perih dengan rasa kesepian. Hari ini seakan tak pernah berakhir. Apa benar aku dan Gale baru tadi pagi makan blackberry? Rasanya seperti kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang lampau. Seperti mimpi yang panjang berubah menjadi mimpi buruk. Mungkin jika aku tidur, aku akan terbangun di Distrik 12, tempatku seharusnya berada.
Mungkin di laci-laci kamar ini terdapat banyak gaun tidur, tapi aku hanya melepaskan kemeja dan celana panjangku lalu naik ke ranjang hanya dengan pakaian dalam. Seprainya terbuat dari bahan yang halus seperti sutra. Selimut tebal dan empuk langsung memberikan kehangatan.
Jika aku ingin menangis, sekaranglah saat untuk melakukannya. Besok pagi, aku bisa membasuh bekas-bekas air mata dari wajahku. Tapi tidak ada air mata yang keluar. Aku terlalu lelah atau kebas untuk menangis. Satu-satunya hak yang kudambakan adalah berada di tempat lain. Jadi kubiarkan kereta ini membuaiku hingga terlena.
Cahaya kelabu membias di antara tirai ketika suara ketukan membangunkanku. Kudengar suara Effie Trinket, menyuruhku bangun. "Bangun, bangun, bangun! Hari ini hari besaaaaaar!"
Sesaat aku membayangkan seperti apa rasanya berada dalam kepala wanita itu. Apa isi pikirannya saat dia terjaga? Mimpi apa yang menyambanginya pada malam hari? Aku sama sekali tidak tahu.
Kupakai baju hijau yang sudah kupakai sebelumnya karena bajunya masih bersih, hanya sedikit kusut karena semalaman teronggok di lantai. Jemariku menelusuri lingkaran di sekelilimg hiasan mockingjay emas dan aku teringat pada hutan, dan ayahku, saat Prim dan ibuku terbangun, dan segera bergegas dengan kesibukan.
Aku tertidur dengan rambut masih dikepang, hasil kepangan ibuku untuk Hari Pemungutan, dan bentuknya tidak terlalu berantakan, jadi kubiarkan saja rambutku masih terkepang. Tidak masalah. Capitol pasti tidak jauh lagi. Dan setelah kami tiba di kota, penata busanaku pasti akan mengatur penampilanku. Kuharap aku tidak mendapat
penata gaya yang beranggapan bahwa telanjang adalah tren busana terbaru.
Ketika aku memasuki ruang makan, Effie Trinket berjalan melewatiku dengan membawa secangkir kopi pahit. Dia menggerutu pelan soal kecabulan. Haymitch, yang dengan wajah bengkak dan merah karena kejadian kemarin, tampak tergelak. Peeta memegang roti dan tampak malu.
"Duduk! Duduk!" seru Haymitch, melambaikan tangan padaku agar mendekat. Saat aku duduk di kursiku, piring-piring berisi makanan melimpah langsung tersaji dihadapanku. Telur, daging, tumpukan kentang goreng. Semangkuk besar buah-buahan yang ditaruh di atas es agar tegap dingin. Seranjang roti yang ditaruh di depanku bisa memberi makan keluargaku selama seminggu. Ada segelas jus jeruk, pada Tahun Baru ketika ayahku membelikan kami sebuah jeruk sebagai hadiah istimewa. Secangkir kopi. Ibuku amat menyukai kopi, yang nyaris tak sanggup kami beli, tapi rasa kopi di lidahku hanya pahit dan encer. Dan ada secangkir entah apa berisi cairan cokelat yang tak pernah kulihat.
"Ini namanya cokelat panas," kata Peeta. "Rasanya enak."
Aku meminum seteguk cairan panas, manis, kental itu dan langsung bergidik. Meskipun makanan lain memanggilku untuk mencicipinya, aku mengabaikan panggilan
itu hingga aku menghabiskan cokelatku. Lalu aku memasukkan semua makanan yang bisa kutelan ke mulutku, banyak-banyak. Tapi berlemak. Pernah ibuku bilang padaku bahwa
aku selalu makan seolah-olah aku ketakutan tak bisa melihat makanan lagi. Dan kujawab
"Ya, betul, kecuali aku pulang membawa makanan." Ibuku langsung terdiam.
Ketika perutku rasanya nyaris pecah, aku duduk bersandar dan memperhatikan rekan-rekan sarapanku. Peeta masih makan, memecah rotinya dan mencelupkannya ke dalam cokelat panas. Haymitch tampak tidak peduli pada makanan di piringnya, tapi dia menenggak segelas jus berwarna merah yang ditambahkan cairan bening dari botol. Dari
bau yang tercium, pasti cairan itu semacam minuman keras. Aku tidak kenal Haymitch,
tapi aku sering melihatnya di Hob, melemparkan segepok uang ke meja kepada wanita yang menjual cairan bening. Dia pasti bakal teler berat pada saat kami tiba di Capitol.
Aku sadar bahwa aku membenci Haymitch. Tidak heran para peserta dari Distrik 12 tak pernah punya kesempatan menang. Bukan karena kami kurang makan dan kurang latihan. Beberapa peserta dari distrik kami cukup kuat untuk menghadapi pertarungan. Tapi kami jarang mendapat sponsor dan Haymitch-lah alasan utama kenapa kami tidak memperolehnya. Orang-orang kaya yang mendukung peserta-entah karena mereka bertaruh atas diri sang peserta atau hanya demi bisa pamer bisa memilih pemenang yang tepat-mengharapkan orang yang lebih elegan dibanding Haymitch untuk diajak bekerja sama.
"Kau seharusnya memberi kami nasihat," kataku pada Haymitch.
"Ini nasihat untukmu. Usahakan tetap hidup," sahut Haymitch kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
Aku bertukar pandang dengan Peeta sebelum aku sadar aku tidak mau berurusan lagi dengannya. Aku kaget melihat ketegasan di matanya. Biasanya Peeta tampak begitu lembut.
"Lucu sekali," kata Peeta.
Mendadak Peeta menepis keras gelas di tangan Haymitch. Gelas itu pecah berantakan di lantai, membuat cairan berwarna merah darah itu mengalir hingga ke bagian belakang kereta. "Tapi buat kami tidak lucu."
Haymitch berpikir sejenak, kemudian meninju rahang Peeta, hingga membuatnya terjatuh dari kursi. Ketika dia mengulurkan tangan untuk mengambil minuman kerasnya, aku menusukkan pisau ke meja, ke antara tangan dan botol minumannya, nyaris mengenai jemari Haymitch. Kusiapkan diri untuk mengelak hantaman Haymitch, tapi dia tidak membalas. Malahan dia duduk bersandar dan menyipitkan mata memandang kami.
"Hm, ada apa rupanya?" tanya Haymitch. "Apakah aku mendapatkan petarung sejati
tahun ini?"
Peeta bangkit dari lantai dan meraup es dari bawah mangkuk buah, kemudian menempelkan es itu ke bagian memar di rahangnya.
"Jangan," kata Haymitch menghentikan Peeta. "Biarkan memar itu kelihatan. Penonton akan mengira kau sudah bertarung dengan peserta lain sebelum sampai ke arena pertarungan."
"Tapi itu melanggar peraturan," jawab Peeta.
"Hanya jika mereka menangkapmu. Memar itu menunjukkan kau berkelahi, tapi kau tidak tertangkap, itu lebih baik lagi." kata Hatmitch. Dia berpaling memandangku. "Bisakah kau menggunakan pisau itu selain untuk menusuk meja?"
Busur dan panah adalah senjataku. Tapi aku juga sering menghabiskan waktu dengan melemparkan pisau. Kadang-kadang, aku melukai binatang dengam pisau ke tubuh binatang itu sebelum aku mendekatinya. Aku sadar jika aku ingin menarik perhatian Haymitch, sekaranglah saatnya. Kutarik pisau dari meja, kupegang erat gagangnya, lalu kulempar ke dinding di seberang ruangan. Sebenarnya aku cuma berharap pisau itu bisa tertancap kuat di dinding, tapi pisau itu tersangkut di ruang sempit di antara dua papan, membuatku tampak lebih jago.
"Berdiri disini. Kalian berdua," kata Haymitch, mengangguk ke bagian tengah ruangan. Kami mematuhinya dan dia berjalan mengitari kami, mengamati kami seperti yang kadang-kadang dilakukan binatang, memperhatikan otot-otot kami, mengamati wajah kami. "Hm, kalian tidak seluruhnya tanpa harapan. Tampak kuat. Dan setelah penata busana mendandani kalian, kalian pasti akan kelihatan menarik."
Aku dan Peeta tidak mempertanyakan hal ini. Hunger Games bukanlah kontes kecantikan, tapi peserta yang kelihatan paling tampan atau cantik selalhu bisa menarik lebih banyak sponsor.
"Baiklah, aku akan membuat perjanjian dengan kalian. Kalian jangan menggangguku kalau aku ingin minum dan aku akan menjaga diri supaya tegap sadar untuk membantu kalian," kata Haymitch. "Tapi kau harus melakukan apa yang kuperintahkan."
Perjanjian ini memang tidak terlalu menguntungkan tapi bila mengingat sepuluh menit yang lalu, ini jauh lebih baik daripada tidak ada petunjuk sama sekali.
"Baik," sahut Peeta.
"Jadi bantulah kami," kataku. "Ketika kami sampai ke arena, apa strategi terbaik di
Cornucopia untuk orang yang..."
"Satu-satu dulu. Beberapa menit lagi kita akan tiba di stasiun. Kau akan berada di tangan penata busana. Kau takkan menyukai apa yang akan mereka lakukan padamu. Tapi apapun yang terjadi jangan melawan," kata Haymitch.
"Tapi..." aku hendak protes.
"Tidak ada tapi. Jangan melawan," ujar Haymitch, dia mengambil botol minuman keras dari meja dan meninggalkan ruang makan. Ketika pintu menutup dibelakangnya, ruang makan berubah gelap. Masih ada sedikit cahaya di dalam, tapi di luar seakan-akan malam kembali menelan bumi. Kami pasti berada dalam terowongan yang menembus pegunungan memasuki Capitol. Pegunungan membentuk penghalang alami antara Capitol
dan distrik-distrik sebelah timur. Nyaris tidak mungkin memasuki Capitol dari arah timur
selain melewati terowongan. Keuntungan geografis ini adalah faktor utama penyebab kekalahan distrik-distrik ini dalam perang yang membuatku sekarang jadi peserta pertarungan hari ini. Karena para pemberontak harus memanjat pegunungan, mereka jadi sasaran mudah bagi angkatan udara Capitol.
Aku dan Peeta Mellark berdiri tanpa bicara ketika kereta api melaju cepat. Terowongan itu seakan tanpa akhir dan aku memikirkan berton-ton batu memisahkan diriku dengan langit, dadaku langsung terasa sakit membayangkannya. Aku benci terperangkap dalam batu seperti ini. Aku jadi teringat pada tambang dan ayahku, terjebak, tidak bisa menemukan cahaya matahari, terkubur selamanya dalam kegelapan.
Kereta akhirnya mulai melambat dan mendadak cahaya terang membanjiri ruangan. Kami tidak bisa menahan diri. Aku dan Peeta langsung berlari ke jendela untuk melihat apa yang biasanya cuma kami lihat di televisi, Capitol kota yang mengendalikan negara Panem. Kamera tidak menipu saat menggambarkan kemegahannya. Jika pun ada yang tidak tertangkap kamera adalah betapa besarnya gedung-gedung berkilau dengan warna- warna pelangi yang menjulang ke angkasa, mobil-mobil mengilat yang hilir-mudik di
jalan-jalan lebar beraspal, orang-orang berpakaian asing dengan tata rambut aneh dan wajah-wajah yang dilukis yang tampaknya tidak pernah kekurangan makan. Semua warnanya tampak palsu, warna pinknya terlalu pink, warna hijaunya terlalu terang, warna kuningnya menyakitkan mata, seperti warna permen lolipop yang tak pernah sanggup kami beli di toko kecil di Distrik 12.
Orang-orang mulai menunjuk ke arah kami dengan penuh semangat ketika mereka mengenali kereta peserta pertarungan memasuki kota. Aku melangkah mundur menjauhi kereta, muak melihat antusiasme mereka, tahu bahwa mereka tidak sabar lagi menonton kami mati. Tapi Peeta tetap bertahan, dia bahkan melambai dan tersenyum pada kerumunan orang. Dia baru berhenti melambai dan tersenyum ketika kereta memasuki stasiun, dan membuat kami terhalang dari pandangan.
Dia melihatku sedang memelototinya dan mengangkat bahu.
"Siapa tahu?" katanya. "Salah seorang dari mereka mungkin orang kaya."
Aku telah salah menilainya. Aku memikirkan segala tindakannya sejak pemungutan. Caranya menggenggam tanganku. Ayahnya datang membawa kue dan berjanji untuk
memberi makan Prim... apakah Peeta yang menyuruhnya? Air matanya di stasiun kereta. Mengajukan diri untuk memandikan Haymitch tapi kemudian menantang lelaki itu pagi ini ketika pendekatan baik-baik tampaknya gagal. Dan sekarang dia melambai di jendela, berusaha mengambil hati penonton.
Semua potongan itu kini berusaha kusatukan, tapi kurasakan Peeta sedang menyusun rencana. Dia tidak menerima kematiannya. Dia sedang berusaha keras untuk tetap hidup. Dan itu berarti Peeta Mellark yang baik hati, yang memberiku roti, sedang berusaha keras untuk membunuhku.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates