June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 25

MUTAN. Tidak ada keraguan lagi. Aku pernah melihat mutt ini, tapi mereka bukan binatang-binatang yang lahir secara alami. Mereka mirip serigala-serigala raksasa, tapi serigala apa yang berdiri mantap dengan kedua kaki belakangnya? Serigala apa yang melambai pada kawanannya dengan cakar depannya seakan punya pergelangan tangan? Aku bisa melihat makhluk-makhluk ini dari jauh. Dari jarak dekat, aku yakin tampilan mereka yang lebih menakutkan akan lebih jelas terlihat.
Cato langsung berlari lurus menuju Cornucopia, dan tanpa bertanya lagi aku mengikutinya. Jika Cato berpikir Cornucopia adalah tempat yang paling aman, aku tak mau  menentang  pendapatnya.  Selain  itu,  jika aku  bisa memanjat  pohon,  tak mungkin Peeta bisa lari lebih cepat dari mereka dengan kakinya yang luka—Peeta! Kedua tanganku baru saja mendarat di logam yang menjadi bagian dari ekor runcing Cornucopia ketika
aku ingat Peeta  adalah  bagian dari  timku.  Dia berada lima belas meter dibelakangku,
tertatih-tatih secepat yang dia bisa, tapi mutt-mutt itu mendekat dengan amat cepat. Kutembakkan anak panahku ke kawanan binatang itu dan satu tumbang kena panahku, tapi masih banyak yang menggantikan tempatnya.
Peeta melambai menyuruhku naik keatas trompet. "Sana, Katniss! Pergi!"
Peeta benar. Aku tak bisa melindungi kami berdua dengan tetap berada di atas tanah. Aku mulai memanjat, menapaki Cornucopia dengan kedua tangan dan kakiku. Permukaannya yang terbuat dari emas murni di desain agar bentuknya serupa dengan trompet anyaman yang kami isi pada saat memungut hasil panen, jadi ada bagian-bagian yang menonjol dan lipatan yang bisa untuk tempat berpegangan. Tapi setelah sehari terpanggang matahari di arena pertarungan ini, logam itu cukup panas untuk bisa membuat tanganku melepuh.
Cato berbaring miring dipuncak trompet, enam meter diatas tanah, terengah-engah sambil muntah diujung trompet. Sekarang kesempatanku untuk menghabisinya. Aku berhenti di tengah jalan menuju trompet dan menyiapkan anak panah, tapi ketika aku hendak menembakkannya, aku mendengar jeritan Peeta. Aku menoleh dan melihatnya baru tiba di ekor Cornucopia, dan mutt itu berada di tumitnya.
"Panjat!" teriakku. Peeta mulai memanjat, tapi gerakannya tak hanya terhalang kakinya  yang  luka  tapi  juga  pisau  ditangannya.  Kutembakkan  panah  ke  leher  mutt pertama yang sudah menancapkan cakarnya di ekor logam itu. Sebelum mati binatang itu menyambar   teman-temannya,   tanpa   bisa   dihindari   cakarnya   menimbulkan   luka menganga pada tubuh beberapa mutt lain. Saat itulah aku sempat melihat cakarnya. Panjangnya sepuluh sentimeter dan setajam silet.
Peeta sampai di kakiku dan kupegang lengannya lalu kutarik dia. Kemudian aku ingat Cato menunggu dipuncak trompet, tapi dia sedang meringkuk kesakitan dan lebih disibukkan dengan mutt daripada kami. Cato mengucapkan sesuatu yang tak bisa kupahami. Suara dengusan dan raungan mutt-mutt membuatku makin tak mengerti apa yang diucapkannya.
"Dia bilang, 'Apa mereka bisa memanjat?'" jawab Peeta, dan mengembalikan fokusku ke dasar trompet.
Mutt-mutt  itu  mulai  berkumpul.  Ketika  mereka  bergabung,  mereka  bangkit  dan berdiri  dengan  kaki  belakang  dengan  mudah,  membuat  mereka  secara  mengerikan tampak  seperti  manusia.  Masing-masing  binatang  itu  memiliki  bulu  lebat,  ada  yang bulunya lurus, ada yang keriting, warnanya pun beragam mulai dari hitam legam sampai pirang. Ada sesuatu dari mereka yang membuat bulu kudukku berdiri, tapi aku tak tau apa yang salah.
Moncong  mereka  mengendus  dan  merasakan  trompet,  mencium  dan  merasakan logam itu, mengais-ngais permukaan logam itu lalu memekik dengan nada tinggi terhadap satu sama lain. Ini pasti cara mereka berkomunikasi karena kawanan mutt itu mundur seakan memberikan ruang. Lalu salah satu dari mereka, mutt berukuran besar dengan bulu pirang dan halus berlari dari jauh lalu melompat ke trompet. Kedua kaki belakangnya sangat kuat karena dia mendarat hanya tiga meter di bawah kami, bibirnya yang pink membentuk seringai. Selama sesaat binatang itu bertahan disana dan ketika itulah aku sadar apa yang membuatku gelisah memandang mutt itu. Mata hijaunya memandangku tidak seperti mata anjing atau serigala atau mata binatang lain yang pernah kulihat. Mata itu tak salah lagi mata manusia. Kesadaran itu baru saja kucerna ketika kuperhatikan ada kalung leher dengan angka 1 tertera disana dengan perhiasan dan semua itu menghantamku. Rambut pirang, mata hijau dan angka itu... Glimmer.
Aku memekik kecil dan kesulitan memegang panahku. Aku sudah menunggu untuk menembakkan panah, dan makin menyadari menipisnya jumlah anak panahku. Aku menunggu apakah makhluk itu bisa memanjat. Tapi sekarang, ketika mutt itu mulai meluncur mundur, tidak mampu berpegangan pada logam itu, meskipun aku bisa mendengar suara cakaran pelan seperti kuku yang digeruskan di papan tulis, aku menembakkan anak panah ke lehernya. Tubuh mutt itu berkelojotan lalu jatuh berdebum di tanah.
"Katniss?" aku bisa merasakan genggaman Peeta dilenganku. "Itu dia!" aku berseru.
"Siapa?" tanya Peeta.
Kepalaku menoleh kesana kemari melihat kawanan itu, memperhatikan berbagai ukuran dan warna kawanan itu. Mutt yang kecil dengan bulu merah dan mata kekuningan.. si Muka Rubah! Dan disana, rambut kelabu dan mata hijau kecoklatan anak lelaki dari distrik 9 yang tewas ketika kami berebutan ransel! Dan yang terburuk dari semuanya, mutt terkecil, dengan bulu gelap berkilau, mata coklat besar dan kalung yg tertulis angka
11. Giginya dipamerkan dengan penuh kebencian. Rue... "Ada apa Katniss?" Peeta mengguncang bahuku.
"Itu mereka. Mereka semua. Yang lain-lain. Rue dan si Muka Rubah dan.. peserta- peserta lain," aku tercekat.
Aku mendengar Peeta terkesiap ketika mengenali mereka. "Apa yang mereka lakukan pada mereka? Kaupikir.. itu mata asli mereka?"
Mata mereka adalah kekuatiran terakhirku. Bagaimana dengan otak mereka? Apakah mereka  diberi  ingatan  peserta  yang  sesungguhnya? Apakah  mereka  diprogram  secara khusus untuk membenci wajah kami karena kami selamat dan mereka tewas terbunuh
dengan keji? Dan mereka yang kami bunuh... apakah mereka percaya bahwa mereka membalaskan kematian mereka?
Sebelum aku bisa menemukan jawabannya, mutt-mutt itu mulai menyerang trompet. Mereka  terbagi  dalam  duakelompok  di  kedua  sisi  trompet  dan  menggunakan  bagian bawah  tubuh  mereka  yang  kuat  untuk  menghantamkan  diri  mereka  ke  arah  kami. Sergapan gigi tak jauh dari tanganku lalu aku mendengar Peeta berteriak, kurasakan tubuhnya ditarik, beratnya tubuh anak lelaki dan mutt membuatku tertarik ke kesamping. Jika bukan karena pegangan dengan lenganku, Peeta sudah terjatuh ke tanah, tapi karena itu juga butuh seluruh kekuatanku untuk membuat kami tetap berada di lekukan trompet. Dan lebih banyak lagi peserta yang datang.
"Bunuh dia, Peeta! Bunuh dia!" aku berteriak, meskipun aku tidak bisa melihat apa yang terjadi, aku tau Peeta pasti menusuk binatang itu karena tarikannya melemah. Aku berhasil menarik Peeta kembali ke trompet dan menyeret tubuh kami ke puncak. Disana musuh kami yang tidak sekeji musuh kami di bawah sudah menunggu.
Cato belum bangkit berdiri, tapi napasnya sudah teratur dan aku tahu tidak lama lagi dia akan pulih dan bisa mendatangi kami, mendorong kami kesamping agar jatuh menuju kematian kami. Kusiapkan busurku, tapi anak panahku berakhir ke mutt yang kemungkinan besar adalah Thresh. Siapa lagi yang bisa melompat setinggi itu? Sejenak aku merasa lega karena akhirnya kami bisa lebih tinggi daripada lompatan mutt itu dan aku baru saja hendak menoleh ke Cato ketika Peeta terlonjak dari sisiku. Aku yakin kawanan binatang itu berhasil menariknya sampai darahnya muncrat mengenai wajahku.
Cato  berdiri  dihadapanku,  nyaris  dimulut  trompet,  mengunci  Peeta  dan  menutup jalan  pernapasannya.  Peeta  mencakar-cakar  lengan  Cato,  tapi  dengan  lemah,  seakan
bingung   apakah   jauh   lebih   penting   untuk   bernapas   atau   berusaha   membendung semburan darah dari lubang terbuka yang ditimbulkan mutt di betisnya.
Kuarahkan satu dari dua sisa anak panah ke kepala Cato, tahu bahwa panahku takkan
ada efeknya pada tubuhnya atau lengan dan kakinya, yang kini bisa kulihat tubuhnya tertutup semacam jala berwarna kulit yang pas badan. Semacam baju pelindung canggih dari Capitol. Apakah itu yang terdapat di ranselnya sewaktu pesta? Baju pelindung dari serangan panahku? Yah, mereka lupa mengirimkan pelindung wajah.
Cato hanya tertawa. "Tembak aku dan dia ikut jatuh bersamaku."
Dia benar. Jika aku memanahnya dan dia jatuh ke kawanan mutt itu, Peeta pasti akan tewas bersamanya. Kami tiba dijalan buntu. Aku tidak bisa memanah Cato tanpa membunuh Peeta juga. Dia tidak bisa membunuh Peeta tanpa memastikan otaknya akan kena panah. Kami berdiri seperti patung, kami semua mencari jalan keluar.
Otot-ototku menegang, rasanya otot-ototku bisa putus kapan saja. Gigiku bergemeletuk. Kawanan mutt itu terdiam dan satu-satunya hal yang bisa kudengar adalah darah yang berdentam di telingaku yang masih bagus.
Bibir Peeta membiru. Jika aku tak melakukan sesuatu dengan cepat, dia akan mati kehabisan napas dan aku juga akan kehilangan dia dan Cato mungkin akan menggunakan tubuh  Peeta  sebagai  senjata  melawanku.  Sesungguhnya,  aku  yakin  ini  rencana  Cato. Karena ketika dia berhenti tertawa, bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan.
Seakan ini usaha terakhirnya, Peeta mengangkat jemarinya, yang meneteskan darah dari kakinya, ke arah lengan Cato. Bukannya berusaha meloloskan diri, telunjuknya tiba- tiba berbelok dan dengan sengaja membuat tanda Xdipunggung tangan Cato. Cato menyadari apa artinya sedetik setelah aku sadar. Aku bisa melihat dari senyumnya yang hilang dari bibirnya. Tapi kesadarannya terlambat sedetik karena pada saat itu anak panahku menembus tangannya. Cato menjerit dan secara naluriah melepaskan Peeta yang menghantamkan punggungnya ke Cato. Selama sesaat yang mengerikan, kupikir mereka akan jatuh bersama. Aku meluncur ke depan memegangi Peeta ketika Cato kehilangan pijakannya diatas trompet yang licin kena darah dan terjerembap ke tanah.
Kami mendengarnya menghantam tanah, udara mengembus keluar dari tubuhnya, lalu kawanan mutt menyerangnya. Aku dan Peeta berpegangan, menunggu tembakan meriam.  Menunggu  kompetisi  ini  berakhir.  Menunggu  dibebaskan.  Tapi  semua  tidak terjadi. Belum. Karena ini klimaks Hunger Games dan penonton menunggu tayangan yang tak terlupakan.
Aku tidak melihat, tapi aku bisa mendengar gerunan, raungan dan lolongan kesakitan dari manusia dan binatang ketika Cato menghajar kawanan mutt. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa selamat sampai aku teringat pada baju pelindung yang melindunginya dari pergelangan kaki sampai leher. Cato pasti juga punya pisau atau pedang atau semacamnya,   sesuatu   yang  dia   sembunyikan  di   balik  pakaiannya,  karena   sesekali terdengar jeritan kematian mutt atau suara logam beradu ketika mata pisau itu beradu dengan  trompet  emas.  Pertarungan  berpindah  ke  samping  Cornucopia  dan Cato  pasti berusaha  mencoba  satu  cara  yang  bisa  menyelamatkan  nyawanya-kembali  ke  ekor trompet lalu bergabung  bersama  kami.  Tapi,  dia  tak sanggup lagi  melawan meskipun memiliki kekuatan dan keahlian luar biasa.
Aku tidak tahu sudah lewat berapa lama, mungkin sekitar satu jam, ketika Cato terjatuh  ke tanah. Kami  mendengar  para  mutt  menyeretnya, menyeretnya kembali  ke Cornucopia. Sekarang mereka akan menghabisinya, pikirku. Tapi tidak terdengar suara meriam.
Malam tiba dan lagu kebangsaan terdengar tapi tak ada foto Cato di angkasa, hanya ada erangan-erangan samar yang terdengar dari logam dibawah kami. Udara dingin yang berhembus dari tanah lapang mengingatkanku bahwa Hunger Games belum berakhir dan mungkin akan berlangsung sampai entah kapan, dan tidak ada jaminan siapa yang bakal jadi pemenangnya.
Aku  mengalihkan  perhatianku  pada  Peeta  dan  melihat  kakinya  berdarah  parah. Semua  persediaan  kami,  ransel  kami,  berada  didekat  danau  tempat  kami meninggalkannya ketika melarikan diri dari kawanan mutt. Aku tidak punya perban, tidak ada yang bisa kupakai untuk menghambat aliran darah dari betisnya. Walaupun menggigil, aku membuka jaketku, melepaskan kausku dan menutup ritsleting jaketku secepat mungkin. Hanya sebentar saja terkena udara dingin gigiku sudah bergemeletuk tanpa terkendali.
Wajah Peeta tampak kelabu dalam cahaya bulan yang pucat. Aku menyuruhnya berbaring sebelum aku memeriksa lukanya. Darah yang licin dan hangat mengalir dijemariku.  Aku  pernah  beberapa  kali  melihat  ibuku  mengikat  turniket  dan  kini  aku
berusaha meniru ikatannya. Aku memotong bagian lengan kausku, membungkusnya dua kali dikakinya tepat dibawah lutut dan kubuat simpul setengah. Aku tak punya kayu, jadi kupakai  anak  panahku  yang  tersisa  dan  kuselipkan  di  dalam  simpul,  lalu  kuputar ikatannya sejauh yang bisa kulakukan dengan aman. Tindakanku amat beresiko—Peeta bisa saja kehilangan kakinya—tapi ketika aku menimbang kemungkinan Peeta kehilangan kaki dengan kemungkinan kehilangan nyawa, pilihan apalagi yang kumiliki? Kuperban lukanya dengan sisa kausku lalu aku berbaring disisinya.
"Jangan tidur," kataku padanya. Aku tidak yakin apakah ini protokol medis yang tepat, tapi aku takut jika dia tertidur dia takkan bangun lagi.
"Kau kedinginan?" tanya Peeta. Dia membuka ritsleting jaketnya dan aku melekatkan tubuhku padanya, Peeta memelukku erat. Rasanya sedikit lebih hangat, bisa berbagi panas tubuh di dalam dua lapis jaketku, tapi malam belum larut. Suhu udara masih akan terus
turun. Bahkan sekarang aku bisa merasakan Cornucopia, yang panas membakar ketika
aku mendakinya pertama kali, perlahan-lahan jadi sedingin es.
"Cato masih bisa memenangkan pertarungan ini," aku berbisik pada Peeta.
"Jangan berpikir seperti itu," sahut Peeta, menarik tutup kepalaku, tapi dia gemetar lebih hebat dari aku.
Jam-jam selanjutnya adalah masa terburuk dalam hidupku, dan apa yang kumaksud buruk ini pasti sudah jelas jika memikirkan apa yang telah kulewati sepanjang hidupku. Dinginnya sudah cukup menyiksa, tapi mimpi buruk yang sesungguhnya adalah mendengarkan Cato mengerang, memohon dan akhirnya merengek ketika kawanan mutt
menjauh darinya. Tidak lama kemudian, aku tidak peduli lagi siapa dia atau apa yang telah
dia lakukan, aku hanya ingin penderitaannya segera berakhir.
"Kenapa mereka tak langsung membunuhnya?" aku bertanya pada Peeta. "Kau tau kenapa," katanya, lalu dia menarikku makin dekat padanya.
Dan aku  paham  kenapa.  Tak  ada  seorang  penonton pun yang  bisa meninggalkan tayangan ini sekarang. Dari sudut pandang juri pertarungan, ini adalah kata penghabisan dalam dunia hiburan.
Suara Cato terus-menerus terdengar hingga akhirnya menguasai pikiranku, menghalangi  berbagai  kenangan  dan  harapan  akan  hari  esok,  menghapus  segalanya
kecuali yang terjadi saat ini, yang mulai kuyakini takkan pernah berubah. Takkan ada apapun kecuali rasa dingin dan takut serta suara-suara memilukan dari anak lelaki yang menjelang kematiannya ditrompet Cornucopia.
Peeta mulai tertidur sekarang, dan setiapkali dia tertidur, aku meneriakkan namanya makin lama makin keras karena jika dia tidur lalu mati, aku yakin aku pasti bakalan gila.
Peeta melawannya, mungkin lebih untukku daripada untuk dirinya sendiri, dan aku tau itu pasti sulit karena ketidaksadaran pasti merupakan salah satu bentuk pelarian. Tapi adrenalin dalam tubuhku tak mengizinkanku mengikutinya, jadi aku tak bisa membiarkan
Peeta tertidur. Aku tidak bisa membiarkannya.
Satu-satunya petunjuk berlalunya waktu tampak di langit, dengan perubahan bulan yang nyaris tak kentara. Jadi Peeta mulai menunjukkannya padaku lagi, berkeras agar aku menyadari pergerakannya dan kadang-kadang, selama sesaat aku merasakan sepercik harapan sebelum penderitaan malam itu melahapku bulat-bulat sekali lagi.
Akhirnya, aku mendengar Peeta berbisik bahwa matahari sudah terbit. Kubuka mataku dan kulihat bintang-bintang tampak memudar dalam cahaya dini hari yang pucat. Aku juga bisa melihat betapa piasnya wajah Peeta. Waktu yang tersisa untuknya juga tak banyak lagi. Dan aku tau aku harus segera membawanya kembali ke Capitol.
Namun, tetap tak terdengar dentuman meriam. Kutempelkan telingaku yang masih bisa mendengar pada trompet dan samar-samar kudengar suara Cato.
"Rasanya dia lebih dekat sekarang. Katniss, kau bisa memanahnya?" tanya Peeta.
Jika dia berada dimulut trompet, aku mungkin bisa menghabisinya. Pada titik ini, membunuhnya adalah tindakan yang kulakukan karena belas kasihan.
"Panah terakhir ada di turniketmu," kataku.
"Ambil saja," kata Peeta, membuka ritsleting jaketnya dan melepaskanku dari pelukannya.
Kemudian kulepaskan anak panah di kakinya, kuikat turniket itu lagi seerat yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku yang beku. Kugosok-gosokan kedua tanganku. Ketika
aku merangkak ke mulut trompet dan berpegangan diujungnya, aku merasakan tangan
Peeta memegangiku.
Perlu beberapa saat untuk melihat Cato dalam cahaya temaram ini, dalam genangan darah. Onggokan daging mentah yang dulunya adalah musuhku mengeluarkan suara, aku tau di mana letak mulutnya. Dan menurutku kata yang hendak diucapkannya adalah kumohon.
Rasa kasihan, bukan balas dendam, yang membuat anak panahku melayang ke tengkoraknya. Peeta menarikku ke atas, busur di tangan, tak ada anak panah tersisa.
"Kau berhasil menembaknya?" bisik Peeta. Meriam berdentam sebagai jawabannya.
"Kalau begitu kita menang, Katniss," kata Peeta tanpa semangat.
"Hore untuk kita," kataku, tapi dalam suaraku tak tersirat kegembiraan karena menang.
Ada lubang terbuka ditanah lapang dan seakan ada aba-aba mutt yang tersisa melompat ke dalamnya,menghilang ke dalam tanah yang kemudian menutup.
Kami   menunggu   pesawat   ringan   mengambil   mayat   Cato.   Menunggu   trompet
kemenangan yang seharusnya akan mengikuti, tapi tak ada yang terjadi.
"Hei!" aku berteriak ke udara. "Apa yang terjadi?" hanya terdengar celoteh burung- burung.
"Mungkin karena mayatnya. Mungkin kita harus menjauh darinya," kata Peeta.
Aku berusaha mengingatnya. Apakah kami harus menjauhkan diri dari peserta yang tewas pada pembunuhan terakhir? Otakku terlalu keruh untuk bisa yakin, tapi apalagi yang bisa menjadi alasan penundaan ini?
"Oke, apakah kau bisa berjalan sampai danau?" tanyaku.
"Rasanya bisa kucoba," kata Peeta. Kami meluncur turun menuju ekor trompet dan terjatuh ke tanah. Kalau sendi-sendiku saja sekaku ini, bagaimana Peeta bisa bergerak? Aku bangkit lebih dulu, mengoyang-goyangkan dan menekuk-nekukan kedua lengan dan kakiku sampai kupikir bisa membantunya berdiri. Entah bagaimana kami berhasil sampai ke danau. Kedua tanganku meraup air dingin untuk Peeta dan satu lagi untukku.
Seekor   mockingjay   bersiul   panjang   dan   rendah   membuat   air   mata   kelegaan memenuhi mataku ketika pesawat ringan mengambil mayat Cato. Sekarang mereka akan membawa kami. Sekarang kami bisa pulang.
Tapi sekali lagi tak ada kelanjutannya.
"Apalagi yang mereka tunggu?" tanya Peeta dengan suara lemah. Ikatan turniket yang mengendur dan usaha yang dihabiskannya untuk berjalan ke danau ini membuat lukanya terbuka lagi.
"Aku tidak tau," jawabku. Apapun yang menyebabkan penundaan ini, aku tidak sanggup melihat Peeta kehilangan lebih banyak darah lagi. Aku berdiri untuk mencari kayu tapi aku melihat anak panahku yang terpantul dari baju pelindung Cato. Anak panah ini akan bisa dipakai seperti sebelumnya. Aku membungkuk untuk mengambilnya, ketika suara Claudius Templesmith membahana di arena.
"Salam  untuk  para  peserta  terakhir  dari  Hunger  Games  ke  tujuh  puluh  empat.
Perubahan peraturan sebelumnya telah dicabut. Setelah membaca buku peraturan dengan lebih seksama, dinyatakan bahwa hanya satu pemenang yang diizinkan dalam acara ini," katanya. "Semoga beruntung dan semoga keberuntungan ada di pihakmu."
Terdengar  ledakan  statis  kecil  lalu  hening.  Kutatap  Peeta  tak  percaya  ketika kenyataan itu  meresap  dalam  benakku.  Mereka  tak pernah  berniat  membiarkan kami berdua hidup. Ini cuma cara juri pertarungan untuk memastikan bahwa Hunger Games kali ini menjadi tayangan paling dramastis dalam sejarah. Dan tololnya, aku percaya.
"Kalau kaupikirkan lagi, sebenarnya tak terlalu mengejutkan kok," kata Peeta pelan. Kuperhatikan Peeta ketika dengan susah payah dan kesakitan berusaha berdiri. Lalu dia
bergerak menghampiriku, seakan dalam gerakan lambat, tangannya mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya...
Sebelum aku sempat menyadari tindakanku, busurku langsung siaga dengan anak panah yang tertuju ke jantung Peeta. Dia mengangkat alis dan kulihat pisau sudah terlepas
dari tangannya menuju danau dan tercemplung di air. Aku menjatuhkan senjataku lalu melangkah mundur, wajahku terbakar malu.
"Tidak," kata Peeta. "Lakukanlah." Peeta tertatih-tatih berjalan mendekatiku dan mendesakkan senjataku ke tanganku.
"Aku tidak bisa," kataku. "Aku tidak mau."
"Lakukanlah. Sebelum mereka mengirim mutt-mutt itu kembali atau apalah. Aku tak mau mati seperti Cato," katanya.
"Kalau  begitu,  kau  saja  yang  panah,"  kataku  marah,  mendorongkan  senjata  itu kembali padanya. "Kaupanah aku lalu kau pulang dan jalani hidupmu!" lalu ketika aku mengucapkannya, aku tau kematian disini, sekarang, akan jauh lebih mudah bagi kami berdua.
"Kau tau aku tak bisa melakukannya," kata Peeta, membuang senjata itu. "Baiklah, aku yang akan mati lebih dulu."
Dia menunduk dan merobek perban dari kakinya, melepaskan penghalang antara darahnya dan tanah.
"Tidak, kau tak boleh bunuh diri," kataku. Aku berlutut, putus asa berusaha menempelkan kembali perban ke lukanya.
"Katniss," katanya. "Ini yang kumau."
"Kau takkan meninggalkanku sendiri disini," kataku. Karena jika dia mati, aku takkan pernah benar-benar pulang. Aku akan menghabiskan sisa hidupku di arena ini, berusaha memikirkan jalan pulang.
"Dengar," kata Peeta, menarikku berdiri. "Kita sama-sama tahu mereka harus punya pemenang. Dan hanya salah satu dari kita yang akan jadi pemenangnya. Tolong jadilah pemenang. Demi aku."
Kemudian dia mengoceh tentang betapa dia mencintaiku, seperti apa hidupnya tanpaku, tapi aku sudah tak mendengarnya karena kata-kata Peeta sebelumnya terngiang dalam kepalaku.
Kita sama-sama tau mereka harus punya pemenang.
Ya, mereka harus punya pemenang. Tanpa pemenang, semua ini akan mempermalukan Juri Pertarungan.Mereka akan mengecewakan Capitol. Kemungkinan mereka akan dihukum mati, secara perlahan dan menyakitkan sementara kamera-kamera akan menyiarkannya ke seantero negeri.
Jika aku dan Peeta mati, atau mereka pikir kami...
Jemariku  meraba-raba  kantong  di  ikat  pinggangku,  lalu  melepaskannya.  Peeta melihat apa yang kulakukandan segera mencengkeram pergelangan tanganku. "Tidak, aku takkan membiarkanmu."
"Percayalah," aku berbisik. Dia menatapku lama sebelum melepaskan cengkeramannya.  Kubuka  kantong  itu  dan  kutuang  segenggam  kecil  buah  berry  itu
ditelapak tangannya. Lalu aku menuangnya ketanganku sendiri. "Pada hitungan ketiga?"
Peeta menunduk dan menciumku sekali, sangat lembut. "Pada hitungan ketiga," katanya.
Kami berdiri, berpunggungan, dua tangan kami yang kosong bergenggaman erat. "Ulurkan tanganmu. Aku ingin semua orang melihatnya," kata Peeta.
Kubuka telapak tanganku, buah-buah berry yang hitam berkilau ditimpa matahari. Kugenggam tangan Peeta sebagai pertanda, sebagai salam perpisahan, lalu kami mulai menghitung.
"Satu," mungkin aku salah. "Dua," mungkin mereka tak peduli jika kami mati. "Tiga!"
sudah terlambat untuk berubah pikiran. Kuangkat tanganku kemulut, kupandangi dunia terakhir kalinya. Berry-berry itu baru saja melewati mulutku ketika suara trompet menggelegar.
Suara Claudius yang panik menyela suara trompet. "Stop! Stop! Bapak-ibu sekalian, dengan ini kupersembahkan para pemenang Hunger Games ke 74, Katniss Everdeen dan Peeta Mellark!" "Kupersembahkan pada kalian—para peserta dari Distrik Dua Belas!"

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates