June 20, 2015

The Hunger Games indonesia bagian 26

KULUDAHKAN buah-buah berry dari mulutku, mengelap lidah dengan ujung kausku untuk memastikan tidak ada cairan berry yang menempel. Peeta menarikku ke danau, disana kami membasuh mulut kami dengan air lalu ambruk berpelukan.
"Kau tak menelannya kan?" aku bertanya padanya. Peeta menggeleng. "Kau?"
"Kurasa aku sudah mati kalau ada yang tertelan," kataku.
Aku bisa melihat bibirnya bergerak untuk menjawab, tapi aku tidak bisa mendengarnya   di   antara   gemuruh   raungan   penonton   di   Capitol   yang   mereka perdengarkan langsung ke arena melalui pengeras suara.
Pesawat ringan muncul diatas kepala dan dua tangga turun, hanya saja tak mungkin aku melepaskan Peeta. Satu tanganku masih merangkulnya ketika aku membantunya naik
dan kami berdua menaruh satu kaki di anak tanggapaling bawah. Arus listrik membuat
kami membeku ditempat dan aku lega karena aku tidak yakin Peeta sanggup bertahan sepanjang perjalanan. Karena kami bisa memandang ke bawah sementara otot-otot kami tak bisa bergerak, aku bisa melihat darah mengalir keluar dari kaki Peeta. Tidak heran ketika pintu menutup dibelakang kami dan arus listrik itu berhenti, Peeta langsung tak sadarkan diri dilantai.
Jemariku masih memegang bagian belakang jaketnya kuat-kuat sehingga ketika mereka menariknya pergi, di tanganku terenggut segenggam kain hitam. Dokter dengan pakaian steril putih, bermasker dan sarung tangan, sudah siap untuk mengoperasi Peeta dan langsung beraksi. Peeta tampak begitu pucat dan tenang di atas meja perak, berbagai tabung dan kabel mencelat dari berbagai sisi tubuhnya. Sesaat aku lupa kami sudah tidak lagi berada di Hunger Games dan aku melihat para dokter sebagai salah satu ancaman lain, sekawanan mutt yang dirancang untuk membunuhnya. Dengan ngeri, aku menerjang ke arahnya, tapi aku ditangkap dan ditarik ke ruangan lain, pintu kaca menutup diantara kami. Kugedor-gedor pintu kaca, berteriak sekuat-kuatnya. Semua orang mengabaikanku kecuali beberapa pelayan Capitol yang muncul dari belakangku dan menawariku minum.
Aku terduduk di lantai, wajahku menghadap pintu, memandangi gelas kristal di tanganku. Sedingin es, terisi jus jeruk, sedotan dengan rumbai-rumbai putih. Betapa tidak pasnya  benda  ini  berada  di  tanganku  yang  berdarah,  kotor  dengan  kuku-kuku  penuh tanah dan bekas-bekas luka. Mulutku langsung mengeluarkan liur mencium aroma yang nikmat, tapi kutaruh gelas itu dengan hati-hati ke lantai, aku tidak percaya pada sesuatu yang tampak begitu bersih dan cantik.
Melalui pintu kaca, aku melihat para dokter bekerja giat mengobati Peeta, alis mereka bertautan ketika berkonsentrasi. Aku melihat cairan dipompakan ke tubuhnya melalui tabung-tabung, mengamati deretan tombol dan lampu yang tak berarti apa-apa bagiku. Aku tidak yakin, tapi kupikir jantungnya berhenti dua kali.
Aku serasa berada di rumah lagi, ketika mereka membawa tubuh korban yang hancur
karena ledakan tambang, atau wanita yang sudah tiga hari menunggu persalinannya yang tak kunjung tiba, atau anak kelaparan berusaha melawan pneumonia sementara ibuku dan Prim menunjukan ekspresi yang sama seperti para dokter itu. Sekarang saatnya untuk
berlari ke hutan, bersembunyi di antara pepohonan sampai si pasien itu sudah lama tewas dan di bagian lain Seam peti mati sedang dibuat. Tapi aku tertahan di sini dengan dinding- dinding pesawat ringan dan kekuatan yang sama yang menahan orang-orang yang mencintai mereka yang di ambang batas maut. Entah sudah berapa kali aku melihat mereka, mengelilingi meja dapur kami dan aku pikir, Kenapa mereka tak pergi? Kenapa mereka tetap tinggal untuk melihat?
Dan sekarang aku tau. Itu karena kau tak punya pilihan.
Aku   terkejut   ketika   melihat   ada   yang   memandangku   dalam   jarak   beberapa sentimeter, lalu aku tersadar bahwa aku sedang melihat wajahku sendiri yang terpantul di kaca. Tatapan mata yang liar, pipi yang cekung, rambut kusut. Ganas. Buas. Gila. Tidak heran semua orang menjaga jarak aman denganku.
Selanjutnya  yang kutahu  kami  mendarat  diatap  Pusat Latihan,  mereka  membawa
Peeta tapi meninggalkanku di belakang pintu. Kubenturkan tubuhku ke kaca sambil menjerit-jerit. Kupikir  sekilas  aku  melihat  bayangan  rambut  pink—pasti  rambut  Effie,
pasti Effie datang menyelamatkanku—ketika jarum suntik menusukku dari belakang.
Ketika aku terbangun, mulanya aku takut bergerak. Seluruh langit-langit berbinar dengan sinar kuning lembut membuatku bisa melihat bahwa aku berada di kamar yang di dalamnya hanya ada ranjangku.Tidak tampak pintu atau jendela. Ada bau menyengat dan bau antiseptik diudara. Dilengan kananku ada beberapa slang yang menjulur hingga ke dinding di belakangku. Aku telanjang, tapi seprai terasa nyaman di kulitku. Ragu-ragu aku mengangkat tangan kiriku diatas selimut. Tidak hanya tanganku sudah digosok hingga bersih, kuku-kukunyapun sudah dibentuk menjadi oval sempurna, bekas luka bakarnya tak tampak terlalu kentara lagi. Kusentuh pipiku, bibirku, luka lama di atas alisku dan jemariku baru saja menyentuh rambutku yang halus ketika aku tercekat. Takut-takut aku menyentuh rambut didekat telinga kiriku. Bukan, ini bukan ilusi. Aku bisa mendengar lagi.
Aku berusaha bangkit dan duduk, tapi ada semacam pengikat yang menahan tubuhku di sekitar pinggang sehingga aku hanya bisa bangkit tak lebih dari beberapa sentimeter. Tubuhku yang tertahan ini membuatku panik dan aku berusaha bergerak duduk, menggoyang-goyangkan  pahaku  keluar  dari  pengikat  ketika  ada  bagian  dinding  yang
terbuka   dan   gadis   Avox   berambut   merah   melangkah   masuk   membawa   nampan.
Melihatnya membuatku tenang dan aku berhenti mencoba melepaskan diri. Aku ingin menanyakan jutaan pertanyaan padanya, tapi aku takut jika aku kelihatan mengenalinya dia malah akan kena bahaya. Saat ini tentu aku diawasi secara ketat. Dia menaruh nampan diatas pahaku dan menekan sesuatu yang membuat ranjangku bergerak hingga aku dalam posisi duduk. Ketika dia mengatur bantal-bantalku, aku memberanikan diri mengajukan satu pertanyaan. Kutanyakan pertanyaan itu dengan lantang, selantang yang bisa kuucapkan dengan suara serakku, jadi tak tampak ada rahasia. "Apakah Peeta selamat?"
Gadis itu mengangguk. Lalu dia menyelipkan sendok ke tanganku dan aku merasakan tekanan persahabatan darinya.
Kurasa dia tidak mengharapkan aku mati. Dan Peeta berhasil selamat. Tentu saja, dia selamat. Dengan segala peralatan canggih dan mahal yang ada ditempat ini. Tapi, aku tidak pernah yakin sampai saat ini.
Ketika si Avox pergi, pintu menutup tanpa suara dibelakangnya lalu aku menyerbu isi nampan dengan rakus. Semangkuk kuah daging yang jernih, sedikit saus apel dan segelas air. Cuma ini? pikirku geram. Bukankah makan malam menyambut kepulanganku seharusnya lebih spektakuler? Tapi ternyata aku harus susah payah menghabiskan sedikit makanan yang tersaji di depanku. Lambungku sepertinya menyusut hingga seukuran kacang, sehingga aku bertanya-tanya sudah berapa lama aku pingsan karena tak sulit bagiku makan sarapan lumayan banyak tadi pagi di arena pertarungan. Biasanya ada jeda beberapa hari antara akhir pertarungan dan tampilnya pemenang, agar mereka bisa mengembalikan pemenang, yang kelaparan, terluka dan kacau hingga utuh lagi. Entah dimana, Cinna dan Portia akan membuat pakaian untuk penampilan kami didepan umum. Haymitch dan Effie akan mengatur pesta untuk para sponsor kami, meninjau pertanyaan- pertanyaan untuk wawancara-wawancara akhir kami. Di kampung halaman, distrik 12 mungkin dalam kondisi  kacau  karena mereka  berusaha mengatur pesta penyambutan untuk aku dan Peeta, mengingat pesta penyambutan terakhir diadakan hampir tiga puluhtahun lalu.
Rumah! Prim dan ibuku! Gale! Bahkan memikirkan kucing tua budukan milik Prim saja membuatku tersenyum. Tak lama lagi aku akan pulang ke rumah!
Aku ingin turun dari  ranjang ini.  Melihat Peeta dan Cinna, mencari tau apa yang terjadi. Dan kenapa aku  tak boleh  melakukannya? Aku merasa sehat. Tapi ketika aku berusaha melepaskan diri dari ikatan, aku merasakan cairan dingin masuk ke pembuluh darahku dari salah satu slang dan seketika aku hilang kesadaran.
Ini terjadi beberapa kali dalam waktu yang tak bisa kuhitung. Aku bangun, makan,
meskipun aku berusaha menolak dengan turun dari ranjang, aku tak sadarkan diri lagi. Seakan-akan aku berada dalam senja yang aneh dan tak berkesudahan. Hanya beberapa hal yg kuingat. Gadis Avox berambut merah tak pernah datang lagi sejak membawakanku makanan, bekas luka-lukaku mulai menghilang dan apakah aku cuma mengkhayalkannya? Atau apakah aku mendengar laki-laki berteriak? Bukan dengan aksen Capitol, tapi dengan irama aksen dirumah yang lebih kasar. Dan aku tak bisa tidak merasakan perasaan menenangkan yang samar bahwa ada seseorang yang menjagaku.
Akhirnya, tiba waktunya ketika aku sadar dan tak ada slang yang menempel dilengan kananku. Ikatan penahan dibagian tengah tubuhku juga sudah lepas dan aku bebas bergerak kemanapun. Aku mulai duduk tapi terpukau melihat kedua tanganku. Kulitku tampak sempurna, halus dan berkilau. Tak hanya luka-luka di arena yang hilang, tapi luka- luka yang terkumpul selama beberapa tahun berburu telah lenyap tanpa bekas. Dahiku
selembut  satin dan ketika  aku  berusaha  mencari bekas luka dibetisku, aku tidak bisa
menemukannya.
Kuturunkan kakiku dari ranjang, gelisah membayangkan bagaimana kakiku sanggup menahan beratku, tapi ternyata kakiku kuat dan mantap. Di kaki ranjang ada pakaian yang membuatku tersentak. Itu pakaian yang dikenakan semua peserta di arena. Kupandangi pakaian itu begitu lama seakan pakaian itu punya gigi, sampai aku ingat bahwa pakaian ini yang akan kupakai untuk menyambut timku.
Aku mengenakan pakaian dalam waktu kurang dari semenit dan berdiri gelisah di depan dinding yang kutau ada pintu disana bahkan jika aku tidak bisa melihatnya dan
mendadak pintu itu terbuka. Aku melangkah ke lorong lebar dan kosong yang tampaknya tak ada pintu lain disana. Tapi seharusnya ada pintu. Dan dibalik salah satu pintu pasti ada Peeta. Sekarang aku sadar dan bergerak, makin lama merasa makin gelisah memikirkannya. Dia pasti baik-baik saja atau gadis Avox itu takkan mengatakannya.
"Peeta!" aku berseru, karena tak ada seorangpun yang bisa kutanyai. Aku mendengar namaku dipanggil, sebagai jawabannya, tapi bukan suara Peeta. Suara itu menimbulkan kekesalan dan keingintahuan. Effie.
Aku menoleh dan melihat mereka semua menunggu diruangan besar diujung lorong, Effie, Haymitch dan Cinna. Kakiku melangkah tanpa ragu. Mungkin pemenang harus menunjukkan lebih banyak menahan diri, superioritas, terutama saat dia tau ini akan direkam kamera, tapi aku tak peduli. Aku berlari ke arah mereka dan bahkan akupun terkejut  ketika  pertama-tama  aku  berlari  ke  pelukan  Haymitch.  Ketika  dia  berbisik
ditelingaku, "Kerja bagus, sweetheart," nadanya tak terdengar sarkastik.
Effie tampak berkaca-kaca sambil menepuk-nepuk rambutku dan berbicara tentang bagaimana dia mengatakan pada semua orang betapa hebatnya kami.
Cinna memelukku erat dan tak mengatakan apa-apa. Lalu kuperhatikan Portia tak bersama kami dan aku jadi punya firasat buruk.
"Dimana Portia? Apakah dia bersama Peeta?" tanyaku tanpa henti. "Peeta baik-baik saja kan? Maksudku, dia masih hidupkan?"
"Dia baik-baik saja. Hanya saja mereka ingin kalian melakukan reuni kalian langsung di upacara," kata Haymitch.
"Oh. Karena itu," kataku. Saat mengerikan ketika memikirkan Peeta tewas kembali
berlalu. "Kurasa aku hanya ingin melihatnya sendiri."
"Pergilah dengan Cinna. Dia harus menyiapkanmu," kata Haymitch.
Lega rasanya bisa berduaan dengan Cinna ,merasakan lengannya yang melindungi di bahuku ketika dia membawaku menjauh dari kamera, melewati jalan dan menuju elevator yang menuju lobi Pusat Latihan. Rumah sakit berada jauh dibawah tanah, bahkan dibawah gym tempat para peserta berlatih. Jendela-jendela lobi digelapkan dan beberapa penjaga berdiri berjaga-jaga. Tidak ada orang lain di sana yang mengantar kami menyebrang menuju elevator peserta. Langkah-langkah kaki kami bergema dalam ruangan kosong. Dan ketika kami naik menuju lantai dua belas, semua wajah peserta yang takkan pernah kembali melintas dibenakku, membuat dadaku berat dan sesak.
Ketika pintu elevator terbuka, Venia, Flavius dan Octavia mengerubungiku, bicara sangat cepat dan girang hingga aku tidak bisa mengerti apa yang mereka ocehkan. Tapi perasaan mereka amat jelas. Mereka sungguh bahagia melihatku dan aku juga bahagia bertemu mereka, meskipun kadarnya tak seperti kebahagiaanku melihat Cinna. Rasanya lebih seperti seseorang yang merasa gembira bisa melihat tiga binatang peliharaannya pada akhir hari yang sulit.
Mereka membawaku menuju ruang makan dan di sana aku mendapat makanan sungguhan—daging sapi panggang, kacang polong dan roti lembut—walaupun porsi makananku masih sedikit dikontrol, karena ketika aku minta tambah, mereka menolak memberikannya.
"Tidak, tidak, tidak. Mereka tak ingin semua makanan ini keluar lagi di panggung," kata Octavia, tapi diam-diam dia menyelipkan roti tambahan untukku dibawah meja agar aku tau dia mendukungnya.
Kami kembali ke kamarku dan Cinna menghilang sejenak ketika tim persiapannya menyiapkanku.
"Oh, mereka melakukan poles satu badan penuh padamu," kata Flavius dengan nada iri. "Tak ada cacat sedikitpun di kulitmu."
Tapi  ketika  aku  melihat  tubuh  telanjangku  dicermin,  aku  hanya  melihat  betapa
kurusnya diriku. Maksudku, aku yakin kondisiku pasti lebih buruk ketika aku keluar dari arena, tapi saat ini aku bisa menghitung jumlah rusukku dengan mudah.
Mereka membereskan pengaturan air pancuran untukku dan mereka menata rambutku, kukuku dan makeup-ku ketika aku selesai. Mereka bicara tanpa henti hingga aku tak perlu menjawab mereka, yang menurutku bagus karena akumerasa tak kepingin bicara. Lucu sebenarnya,  karena walaupun mereka  berceloteh tentang  Hunger Games, semua  yang  mereka  bicarakan  adalah  tentang  dimana  mereka  berada  atau  apa  yang sedang mereka lakukan atau bagaimana perasaan mereka ketika suatu peristiwa khusus terjadi. "Aku masih berbaring di ranjangku!" "Aku baru menyemir alisku!" "Berani sumpah aku nyaris pingsan!" Segalanya tentang mereka, bukan anak-anak lelaki dan perempuan yang tewas di arena.
Kami tidak bicara tentang Hunger Games di Distrik 12. Disana kami mengatupkan gigi dan menontonnya karena kami harus melakukannya lalu berusaha kembali melakukan kegiatan kami sesegera mungkin setelah tanyangan itu usai. Kata-kata mereka hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan, untuk menjaga diriku agar tak membenci tim persiapanku ini.
Cinna masuk membawa gaun kuning sederhana di kedua lengannya.
"Apakah kau sudah menyerah dengan segala konsep 'gadis yang terbakar' itu?" tanyaku.
"Menurutmu bagaimana," kata Cinna dan dia memakaikan gaun itu dari atas kepalaku. Aku segera menyadari ada sumpalan dibagian dadaku, menambah lekuk-lekuk ditubuhku
yang hilang akibat kelaparan. Kedua tanganku memegang dadaku lalu aku mengernyitkan
dahi.
"Aku tau," kata Cinna sebelum aku bisa protes. "Tapi para Juri Pertarungan ingin mengubah bentuk tubuhmu dengan operasi. Haymitch ribut besar dengan mereka karena hal  ini.  Pakaian ini adalah  bentuk  kompromi."  Dia  menghentikanku  sebelum  aku  bisa melihat bayangan diriku. "Tunggu, jangan lupa sepatunya."
Venia membantuku memakai sandal kulit datar lalu aku berpaling ke cermin.
Aku masih 'gadis yang terbakar.' Kain yang halus ini berkilau lembut. Bahkan gerakan samar di udara mengirimkan desiran ke sekujur tubuhku. Kostum kereta tampak berkilauan sementara gaun wawancara terlalu malu-malu. Dalam gaun ini, aku memberi ilusi seakan mengenakan cahaya lilin.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Cinna.
"Menurutku ini yang terbaik," kataku. Ketika mataku berpaling dari kain yang berkelap-kelip, aku terkejut. Rambutku tergerai, tertahan dengan ikat rambut sederhana,
riasan  wajahku  mengisi  sudut-sudut  tajam  wajahku,  kuteks  bening  menghias  kukuku. Gaun tanpa lengan ini terpusat di rusukku bukan di pinggangku, menghilangkan kesan sumpalan  pada  bentuk  tubuhku. Ujung  gaun  jatuh  tepat di  lututku.  Sepatu  tanpa  hak membuat orang bisa melihat sosokku yang sesungguhnya. Aku terlihat sederhana, seperti anak perempuan. Gadis muda. Paling banter empat belas tahun. Lugu. Tak berbahaya. Ya mengejutkan, Cinna berhasil menampilkanku seperti ini padahal aku baru saja menang Hunger Games.
Ini adalah penampilan yang penuh perhitungan. Tak ada satupun rancangan Cinna yang tak punya tujuan. Kugigit bibirku berusaha mencari tau motivasinya.
"Kupikir tadinya lebih.. anggun," kataku.
"Kupikir Peeta akan lebih menyukai yang ini," jawab Cinna hati-hati.
Peeta? Bukan, ini bukan tentang Peeta. Ini tentang Capitol, para juri pertarungan dan penonton. Walaupun aku tidak memahami rancangan Cinna, gaun ini mengingatkanku bahwa Hunger Games belumlah berakhir. Dan dibalik jawabannya yang sambil lalu ini, aku merasakan adanya bahaya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan Cinna di depan timnya sendiri.
Kami masuk ke elevator menuju lantai tempat kami latihan. Sudah jadi kebiasaan bagi pemenang dan tim pendukungnya untuk muncul dari bawah panggung. Pertama tim persiapan, diikuti pendamping. Penata gaya. mentor. Dan akhirnya sang pemenang. Tapi tahun  ini,  dengan  dua  pemenang  yang  memiliki  pendamping  dan  mentor  yang  sama, semua ini harus dipikirkan ulang. Aku berdiri di ruangan temaram dibawah panggung.
Piringan logam baru sudah terpasang untuk membawaku keatas. Aku masih bisa mencium
bau serbuk gergaji dan cat yang masih baru. Cinna bersama tim persiapannya mengganti pakaian dan mengenakan kostum mereka sendiri lalu mengambil tempat,meninggalkanku seorang  diri.  Dalam  keremangan,  aku  melihat  dinding  buatan  yang  jaraknya  sekitar sepuluh meter dan aku menduga Peeta ada dibaliknya.
Sorak-sorai   penonton   sangat   ribut,   sehingga   aku   tidak   menyadari   kehadiran Haymitch   sampai  dia   menyentuh   bahuku.   Aku   terlonjak,   terkejut,   kurasa  separuh pikiranku masih berada di arena pertarungan.
"Tenang, ini aku. Sini kulihat dulu," kata Haymitch. Aku mengulurkan lenganku dan berputar sekali. "Cukup bagus."
Kata-katanya tak terdengar seperti pujian. "Tapi apa?" tanyaku.
Mata Haymitch memandangi ruang pengap diantara kedua tanganku yang terbuka dan dia tampaknya mengambil keputusan. "Tapi tidak apa-apa. Bagaimana kalau pelukan
untuk keberuntungan?"
Oke,   ini   permintaan   janggal   dari   Haymitch,   tapi   bagaimanapun   kami   adalah pemenang. Mungkin pelukan untuk keberuntungan adalah wajib. Namun ketika aku merangkulnya,  aku  merasa  terperangkap  dalam  pelukannya.  Dia  mulai  bicara,  sangat cepat, sangat pelan di telingaku, rambutku menutupi bibirnya.
"Dengar. Kau dalam masalah. Katanya Capitol murka karena kau melawan mereka di arena. Mereka tak tahan ditertawai dan jadi bahan olokan Panem," kata Haymitch.
Saat ini rasa takut mengalir disekujur tubuhku, tapi aku tertawa seakan-akan Haymitch   mengatakan   sesuatu   yang   menyenangkan   karena   tak   ada   apapun   yang menutupi mulutku. "Lalu apa?"
"Satu-satunya perlindunganmu adalah kau sedang kasmaran dan tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakanmu." Haymitch mundur dan memperbaiki ikat rambutku. "Jelas Sweetheart?"
Orang tak bisa menduga Haymitch bicara tentang apa. "Jelas," kataku. "Kau sudah bilang pada Peeta tentang ini?"
"Tidak perlu," sahut Haymitch. "Dia sudah paham."
"Dan  kaupikir  aku  tak  paham?"  tanyaku,  sembari  menggunakan  kesempatan  ini untuk  meluruskan  dasi  kupu-kupu  merah  cerah  yang  pasti  dipasangkan  oleh  Cinna dengan susah payah.
"Sejak kapan apa yang kupikirkan penting untukmu?" tanya Haymitch. "Lebih baik kita bersiap-siap diposisi."
Dia membawaku ke lingkaran logam. "Ini malammu, sweetheart. Nikmatilah."
Dia mencium keningku lalu menghilang dalam keremangan.
Kutarik rokku, berharap gaunku lebih panjang, berharap gaun ini bisa menutupi lututku yang goyah. Lalu aku sadar tindakanku tak ada gunanya. Seluruh tubuhku gemetar seperti daun. Aku berharap ini bisa diartikan sebagai rasa grogi karena terlalu senang. Lagipula, ini kan malamku.
Bau apak dan lembab di bawah panggung membuatku tercekik. Keringat dingin mengalir  deras  dan  aku  tak  bisa  menghalau  pikiranku  bahwa  papan-papan  diatas
kepalaku bakalan runtuh, menguburku. Ketika aku meninggalkan arena, ketika trompet dimainkan, seharusnya aku merasa aman. Sejak saat itu. Selama sisa hidupku. Tapi, jika
yang  dikatakan  Haymitch  benar,  saat  ini  aku  berada  ditempat  yang  paling  berbahaya sepanjang hidupku.
Jauh lebih buruk daripada diburu di arena. Di sana aku paling hanya tewas. Habis cerita. Tapi disini ada Prim, ibuku, Gale, penduduk Distrik 12, semua orang yang kusayangi bisa dihukum jika aku tidak bisa tampil sesuai skenario sebagai gadis-yang-sedang-jatuh-
cinta-setengah-mati seperti yang disarankan Haymitch.
Tapi aku masih punya kesempatan. Lucunya, di arena, ketika aku menuangkan buah- buah berry itu, aku hanya berpikir untuk mempercundangi para Juri Pertarungan, tak memikirkan  bagaimana  pengaruh  tindakanku  terhadap  Capitol.  Tapi  Hunger  Games adalah senjata mereka dan kau tak seharusnya mengalahkannya. Jadi sekarang Capitol akan bertindak seolah-olah mereka yang mengontrol semua ini sepanjang waktu. Seakan mereka yang mengatur semua kejadian ini, bahkan pada usaha bunuh diri bersama kami. Tapi hal itu hanya akan berhasil jika aku bekerja sama dengan mereka.
Dan Peeta... Peeta juga akan menderita jika semua ini gagal. Tapi tadi apa kata Haymitch ketika aku bertanya apakah dia sudah memberitahu Peeta tentang keadaan ini? Bahwa dia harus berpura-pura jatuh cinta?
"Tidak perlu. Dia sudah paham."
Sudah paham dan berpikir lebih maju daripada pikiranku dalam Hunger Games dan menyadari betapa berbahayanya keadaan kami? Atau sudah paham bahwa kami sedang
jatuh cinta setengah mati? Aku tak tau. Aku belum memilah-milah beragam perasaanku tentang Peeta. Semuanya terlalu rumit. Apa yang kulakukan adalah bagian dari Hunger Games dan kebalikannya adalah kemarahanku pada Capitol. Atau karena aku memikirkan seperti  apa  tindakanku  akan  dilihat  oleh  mereka  di  Distrik  12.  Atau  karena  itu  satu- satunya hal yang layak dilakukan. Atau aku melakukannya karena aku menyayanginya.
Pertanyaan-pertanyaan  ini  harus  kurenungkan  lagi  dirumah,  dalam  hutan  yang tenang dan damai, tanpa diawasi seorang pun. Bukan pada saat ini ketika semua mata tertuju padaku. Tapi entah berapa lama aku bisa punya kemewahan itu. Dan saat ini, bagian paling berbahaya dari Hunger Games segera dimulai.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates